Daud Sihombing | CRCS | Article
On June 18 2015, the Constitutional Court rejected the judicial review on Article 2 (1) of the Government Regulation No. 1/1974 about Marriage that was proposed by three graduates and one student of University of Indonesia from Law Department. The judicial review was proposed in order to guarantee the legal law for interreligious marriage. The common interpretation of the ambiguous Article 2 (1) of the Regulation is that interreligious marriage is impossible in Indonesia. The previous article that is published by Magdalene generally tells about the same understanding.
As it so happened, I recently conducted my class assignment about interreligious marriage in Indonesia or to be specific in Yogyakarta. I would like to introduce to you, the two people who informed me on this matter, and who is also an interfaith couple, Sak Liung (a Buddhist) and Friska Widhiyati (a Catholic). They got married in 2013 in St. Antonius Church, Yogyakarta. They wedded in a Catholic ceremony, but it did not involve converting Sak Liung into Catholicism. He also did not need to change his religion on his identity card. They told me that the church gave a dispensation for Catholics who want to marry non-Catholics.
In order to get a legal recognition from the state, the church testified to give evidence that the marriage was already officiated in a Catholic ceremony to the Population and Civil Registration Agency in Yogyakarta, so the state can issue the marriage certificate.
Read more http://www.magdalene.co/
________________________________
Daud Sihombing is a 25 years old photographer who is continuing his studies at the Center for Religious and Cross-cultural Studies at Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Subandri | CRCS | Artikel
“Puasa itu tidak hanya sebuah rutinitas keagamaan semata, tetapi harus membuat kita menjadi semakin lebih baik”, demikian ungkapan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam Sahur bersama di Masjid Darul Hikmah Sleman, Yogyakarta (21/06/2016). Ungkapan ini merupakan upaya penyadaran akan makna puasa yang sedang dijalankan oleh seluruh umat Islam dalam Bulan Suci Ramadhan ini. CRCS berkesempatan menghadiri salah satu kegiatan sahur keliling ini beberapa waktu lalu.
Sahur keliling ini dilakukan dengan menggandeng berbagai jaringan organisasi seperti Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), Yayasan Puan Amal Hayati, American Friends Service Committee (AFSC), dan pejabat pemerintahan daerah setempat. Mengusung tema, “Dengan berpuasa kita tingkatkan kearifan dan keteguhan Iman,” kegiatan ini menjadi sangat unik karena dihadiri oleh masyarakat lintas Iman seperti Hindu, Kong Hu Chu, Kristen Protestan, Katolik, Penganut Kepercayaan dan juga lintas budaya.
Kegiatan sahur keliling ini bermula sejak 16 tahun yang lalu ketika Almarhum Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4. Nia Syarifudin, Ketua ANBTI bercerita, “Niat Ibu Sinta adalah untuk mengajak sahur bukan berbuka. Kalau berbuka itu berarti orang menuju kemenangan sementara sahur itu mengajak orang untuk memulai perjuangan untuk menunaikan ibadah puasa. Ini yang sering dilupakan dan tidak diperhatikan oleh orang”. Namun, di beberapa tempat buka puasa bersama Bu Shinta akhirnya juga dilakukan karena banyaknya permintaan dari jejaring tahun ke tahun. “Intinya adalah sahur keliling. Beliau selalu mengingatkan bahwa orang itu justru memulai berjuang untuk berpuasa saat sahur”, ungkapnya.
Menyapa kaum Duafa
Walaupun tempat kegiatan sahur keliling sangat beragam namun tidak pernah di sebuah gedung mewah. Justru, Ibu Sinta menunjukkan kehadiran yang total dengan melakukan aktivitas ini di pasar kumuh, di dekat pembuangan sampah dan wilayah-wilayah dimana para kaum duafa melakukan aktivitasnya. Menurut Nia, yang selalu mengikuti kegiatan ini, “Ibu Sinta tidak pernah merasa capai atau terganggu dengan tempat-tempat seperti ini.” Selasa sore yang lalu, kegiatan buka bersama dilakukan di salah satu desa terpencil, Giring, Kabupaten Gunungkidul. Kepada Desa setempat mengungkapkan rasa harunya ketika mendengar Ibu Sinta akan datang mengunjungi desa itu.
Kehadiran mantan Ibu Negara dianggap sangat berarti bagi para kaum Duafa karena orang-orang seperti mereka seringkali terpinggirkan, terdiskriminasi, tereliminasi dan rentan tidak mampu menyiapkan makanan untuk sahur. Mereka selama ini terpinggirkan, termarginalkan, tertinggal, bahkan mendapat stigma buruk dari masyarakat sekitar. Namun, berkat kehadiran Ibu Sinta, mereka merasa disapa, diterima dan juga dihargai. Akhir bulan ini, Ibu Sinta akan melakukan buka puasa di sebuah desa terpencil di Madiun. “Hingga sekarang mereka belum bisa percaya Ibu Sinta akan hadir,” kisah Nia. Desa itu adalah desa Ngerawan, Kecamatan Delopo Madiun. Desa ini merupakan salah satu desa yang tidak pernah dikunjungi pejabat negara karena adanya stigma buruk atas mereka, yaitu stigma sebagai desa pembawa sial. Namun, Ibu Sinta memilih untuk melakukan kunjungan ke Desa ini.
Dakwah Damai: Sahur bersama masyarakat lintas Iman
Cara Ibu Sinta dalam menyampaikan “petuah” sangat sederhana. Para jemaah yang hadir selalu diajak berdialog dalam setiap pernyataannya. Hal ini membuat semua yang hadir betul-betul aktif dan terlibat. “Kita harus ingat bahwa kita hidup dalam sebuah negara yang namanya Indonesia. Dengan dasar negara Pancasila yang bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika,” tutur Ibu Sinta. Untuk menjelaskan kebhinekaan itu, Ibu Sinta menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sangat nyata di dalam kehidupan masyarakat seperti berbeda dalam agama, suku, budaya, bahasa dan juga makanan. “Orang Yogyakarta dengan gudegnya, masyarakat Gunungkidul dengan Tiwul, Papua dengan papeda dan masih banyak lagi. Selain itu, kita juga berbeda nasib. Namun perbedaan itu bukan memisahkan karena kita semua tetap saudara sebangsa dan setanah air. Apakah kita boleh saling bertengkar, bolehkah kita saling gontok-gontokan?” tanya, Ibu Sinta. Semua menjawab “tidak!”. Ajakan damai itu mereka amini dengan tegas dan lantang.
Mengapa mengikutkan orang-orang lintas iman? Selain di tempat-tempat kaum Duafa, sahur keliling ini juga kadang-kadang dilakukan di Vihara, Klenteng atau halaman Gereja. Ada yang mempertanyakan mengapa kegiatan Sahur Keliling ini dilakukan ditempat-tempat yang tidak Lazim seperti Gereja atau Vihara. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Ibu Sinta hanya melakukan tebar pesona. Menurut Nia, dari seluruh rangkaian acara yang dilakukan Ibu Sinta secara tidak langsungkan ia melakukan “dakwah”. Dari seluruh petuah yang disampaikan, Ibu Sinta hendak menyatakan bahwa Islam itu agama yang damai. Dakwah ini pun tidak hanya tertuang lewat kata-kata namun nyata dalam keterlibatan kelompok lintas iman dalam kepanitiaan. Beberapa panitia juga berasal dari kelompok agama Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Chu, bahkan dari Kelompok Kepercayaan.
Pesan utama Sahur Keliling Ibu Sinta adalah, puasa itu mengajarkan pengendalian diri dari segala dorongan atau kepentingan yang bersifat ideologis, ekonomi dan politik. Dengan sahur, Ibu Shinta memberikan semangat bagi umat Muslim untuk menjalankan ibadah puasa secara sungguh-sungguh. Melalui acara ini, Ia ingin memberikan harapan sederhana, yaitu menguatkan kesadaran akan adanya realitas keberagaman sebagai bagian dari kehidupan keseharian kita sebagai bangsa Indonesia. Orang-orang diajak untuk saling mengingatkan dan menguatkan.
Greg Vanderbilt | CRCS | Book Review
In 2014, CRCS’s Annual Report on Religious Life in Indonesia addressed the issue of “the politics of religious education” in the effects of religious education policies and implementation under the most recent curricular reform (2013) on the “public space of the school.” (Report available in Bahasa Indonesia and in English) Since 1966, every Indonesian attending school has been entitled to and required to attend classes on the religion listed on his/her family’s identity documents, which means one of the religions recognized by the Indonesian government. This instruction is assumed to be necessary for creating morally reliable citizens of Indonesia who revere the first principle of Pancasila, but the report found many difficulties, including related to the quality and content of the classes for minorities within as well as outside the six official religions as well as the increasingly active but often unmonitored role of outside “spirituality” organizations. Because that report was focused on the “public space of the [public] school,” it only implied that the answers to its questions and the factors that shape them might be different in Indonesia’s religiously-affiliated schools, but one of its authors, Mohamad Yusuf, CRCS 2003 batch and now a lecturer in the Faculty of Cultural Studies (FIB UGM), was in the process of finishing his dissertation on the subject. He successfully defended “Religious Education in Indonesia: an empirical study of religious education models in Islamic, Christian and Hindu affiliated schools” at Radboud University Nijmegen, the Netherlands, on February 16 of this year.
Yusuf has been careful to avoid setting up binaries in his research. His fieldwork was carried out in fifteen religiously-affiliated high schools (SMA) in three regions—one Muslim majority (West Java), one Christian majority (North Sulawesi) and one Hindu majority (Bali)—five schools per region, three from the majority and two from the minorities, but paying attention to diversity within each as well, so that, for example, he includes Adventist and Gandhi schools. His analysis is structured at three levels: the macro, or law and State policy, a textual study similar to CRCS’s; the meso-, or school-level policy and implementation, based on interviews with school officials; and the micro-, or student preference, based on extensive quantitative analysis of a survey of 799 high school seniors from the fifteen schools. At the heart of his argument are three models of religious education, distinguished based on pedagogy (in their goals, methods, and cognitive, affective, and attitudinal aspects), normative bases, and social contexts. The mono-religious model focusses students’ attention on deepening their understanding of and identities within their “own” religion, often to the detriment of their awareness of other faiths in a plural, but maybe not pluralist, society. The normative basis of the second model, the multi-religious model, is religious relativism and it aims primarily to provide information about other traditions. Yusuf’s sympathies clearly lie with the third model, the inter-religious model, the goal of which is “to construct religious identity in line with one’s own religion, in dialogue with other religious traditions” while learning both critical analysis of all religions and “effective communication” across traditions (p. 15).
Yusuf’s analysis of the macro- and meso- levels of religious education looks at how policies get made and implemented. He offers the important insight that the State’s preference for the mono-religious model is based on an understanding of rights—including this supposed right to religious education in one’s own religion—as not the rights of individuals but rather the rights of communities to transmit normative values and identities. Even so, there are, for example, many Muslim students attending Protestant and Catholic schools who receive only Christian religious education. As this situation and Yusuf’s meso-level suggest, religiously affiliated schools do not answer only to the State: they find themselves between the State and the religious communities which often are their owners and are subjected to the exercise of three forms of power from each: normative (as in the development of curriculum and the certification of teachers), coercive (as in the sending of inspectors and administrators), and utilitarian (as sources of funds and other material support). Within these factors, Yusuf found almost no major differences between Muslim, Christian, and Hindu schools, whether in the majority or not: all offer a mono-religious model of religious education, though some also indicate the importance of respecting those who are different. One Catholic high school in West Java did demonstrate the inter-religious model.
The difference in experience of contact, conflict, and “constrict” (withdrawal/avoidance) in relation to those of other religions leads Yusuf to ask a different kind of question at the micro-level: what do students want? Such a question presupposes what frameworks of imagination students have to make such choices and Yusuf makes a strong effort to pull out important factors, including socio-economic status and relative group size as well as attitudes to one’s own religion, such as whether one considers its sacred texts divinely inspired, and others, such as attitudes towards pluralism as a concept or interreligious marriages. Through multiple regression analysis, Yusuf is able to falsify many simplistic hypotheses and to argue instead that what indicates preferences for mono-, multi-, or inter- religious models, remembering, of course, that almost all students have only experienced mono-religious education environments, is the affective dimension, more than the other dimensions including the cognitive, through which student identities are formed, whether mono-, multi-, or inter-faceted. This reminds us that schools are where identities and commitments are formed and educators at all levels have a significant responsibility to imagine the society they are helping to shape. As instructive as these findings are, one line of future research could inquire into the hopes of the students’ parents, who have lived in the society over some decades as adult citizens and who have made the financial and identity commitment to send their children to religiously-affiliated schools, in relation to these models of religious (and moral) education. Moreover, it would be interesting to research how students’ attitudes are formed over time, either by tracing some groups from diverse samples through school into adulthood or to repeat Yusuf’s study in a few years.*
In our “Teaching Diversity” program, CRCS students have made small experiments at re-imagining religious education in public schools along the lines of what Yusuf calls the “inter-religious” model, joining together to discuss differences, human rights, and individual expression. line with Yusuf’s conclusion that, in general, youth are craving the inter-religious model, we found the students who chose to panI rticipate eager for the chance to express themselves and share with others, and in so doing learn about empathy for and understanding of others and themselves.
*This chapter has been published separately, with Yusuf’s mentor Carl Sterkens as co-author, as “Preferences for Religious Education and Inter-Group Attitudes among Indonesian Students,” Journal of Empirical Theology 28 (2015): 49-89. Available at link.
Greg Vanderbilt, The writer is Guest Lecture at CRCS since 2014. He teachs Religion and Globalization, Advanced Study of Christianity, and Advanced Study of Buddhism.
Subandri Simbolon | CRCS | Artikel
“Hubungan yang sangat interaktif dan cair antar berbagai etnis dan agama di Lasem sudah terbangun sejak zaman nenek moyang kami”, demikian ungkap H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem Pembina Pondok Pesantren Kauman, dalam menerima kunjungan Field Study CRCS UGM Sabtu, 7 Mei 2016. Pandangan Gus Zaim ini menggaris bawahi bahwa kultur koeksistensi tidak bisa dibangun secara instan, tetapi membutuhkan basis kultural yang dialami sebuah masyarakat dalam kurun waktu yang lama.
Gus Zaim menyampaikan ‘petuah’ yang berharga ini kepada rombongan mahasiswa CRCS saat melakukan studi lapangan di Lasem. CRCS memilih Lasem untuk belajar bagaimana satu masyarakat dari berbagai ragam agama dan etnis dapat hidup harmonis. Lasem adalah kota pesisir pantai utara Jawa dengan kultur Islam tradisional yang sangat kuat. Kultur ini seakan menyatu dengan keberadaan warga Tionghoa non-Muslim yang sangat menonjol dalam tata ruang dan kebudayaan Lasem. Menurut Munawar Azis, alumni CRCS yang meneliti Lasem dalam tesisnya, hubungan antar etnis dan antar agama sudah dimulai sejak zaman Majapahit. Kota yang dijuluki “Kota Tiongkok Kecil” ini menjadikan masyarakat Tionghoa, Arab dan Jawa dapat hidup berdampingan. Kehadiran Ponpes Kauman di tengah bangunan-bangunan lama masyarakat Tionghoa menjadi tanda keharmonisan masyarakat di kota kecil ini.
Masyaraat Lasem relatif beruntung karena mewarisi kultur toleransi dari nenek moyang mereka. Akar historis kultur damai ini, menurut Gus Zaim, “kalau kita runut ke atas, punjernya Lasem itu ada pada abad ke-8 hingga tingkat ke- 9.” Sejak dulu, Lasem telah menjadi daerah pertemuan antara berbagai etnis antara Portugis, Belanda, China, Arab dan Jawa. Umumnya mereka adalah pedagang dan kebanyakan yang datang adalah laki-laki. Sejak itulah terjadi proses asimilasi dengan masyarakat lokal. Perkawinan itulah yang kemudian menghasilkan keturunan yang membaur secara rasial. Proses ini menjadi sumber penting terjadinya akulturasi budaya di Lasem.
Tidak mudah untuk memutuskan sebuah identitas etnik di daerah ini. Orang mengatakan dirinya China, belum tentu adalah China. Demikian juga dengan mereka yang Arab, Belanda atau pun Jawa. Pembentukan karakter multi-identitas etnik ini menghasilkan suatu hubungan yang sangat cair. “Jika ada orang baru datang ke Lasem, mereka akan heran ketika melihat orang saling gojlok-gojlokan setengah mati” kisah Gus Zaim. Kedekatan yang sangat cair itu tidak lagi dipisahkan oleh tembok-tembok perbedaan. Semua identitas dileburkan menjadi satu di Lasem.
Situasi hubungan yang sangat akrab di Lasem menghasilkan suatu masyarakat dimana sumbu-sumbu kekerasan hampir tidak ada. Mengutip pernyataan dari seorang tokoh inteligen nasional, Guz Zaim bercerita bahwa aparat keamanan “pernah mencoba membakar Lasem, tetapi tidak pernah berhasil karena hubungan yang sangat cair seperti ini. Jadi Lasem bukan sumbunya panjang, tapi tanpa sumbu.” Situasi tanpa sumbu inilah yang membedakan Lasem dengan masyarakat multi etnis lainnya sehingga tidak pernah muncul huru-hara antar golongan.
Pengaruh Orde Baru: Diskontinuitas Kampung China
Pada masa Orde Baru, terjadi tekanan terhadap kelompok etnis China. Isu pribumisasi membuat banyak warga etnik Tionghoa menghilangkan identitasnya. “Nama Lim Sie Yoing harus menggantinya dengan nama Sudono atau Salim, nama King Ho dengan nama Kristianto” jelas Gus Zaim. Tetapi hal yang serupa tidak terjadi pada kelompok etnik lainnya. “Seperti nama Muhammad Zaim contohnya tidak harus mengganti nama menjadi Jaya Haditirto, nama Taufiq tidak harus diganti menjadi Mangkubumi” lanjutnya. Tekanan terhadap orang China ini menjadi sangat jelas ketika melakukan pembandingan itu.
Tekanan ini membuat warga etnik Tionghoa di Lasem akhirnya tidak terlalu ekspresif. Ketakutan-ketakutan itu memaksa mereka untuk sebisa mungkin menghilangkan identitas diri. “Tulisan-tulisan China yang ada di pintu-pintu mereka tutup dengan menggunakan seng, dikempul bahkan ditutup dengan semen dan bahkan dihilangkan dengan menggunakan kapak,” kisah Gus Zaim. Akhirnya, sebagian tulisan-tulisan itu hilang. Padahal, menurut Gus Zaim, tulisan itu sangat istimewa karena memiliki makna tentang kebijaksanaan sangat bagus.
Tekanan atas warga China pada masa Orde Baru menyisakan luka lama. Mereka bahkan harus menjadi penganut agama-agama resmi walau mereka punya cara tersendiri dalam beragama. Bahkan, pada tahun 1967 pernah dikeluarkan Inpres (Instruksi Preside) No.14 tahun 1967 yang isinya melarang mengadakan perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat China. Tekanan dari pemerintah ini membuat kota Lasem mengalami masa diskontiniutas dalam kebudayaan China di Lasem.
Pasca Orde Baru: Trauma Healing ala Gus Zaim
Berujungnya Orde Baru pada 1998, memberikan harapan baru bagi kelompok etnis China di Nusantara. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, keluar Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Dengan tegas, Gus Dur menyatakan bahwa masyarakat China adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga memberikan kebebasan beragama dengan mengangkat Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Negara Indonesia.
Akan tetapi, kebebasan itu tidak serta merta membebaskan orang China di Lasem dari ketakutan-ketakutan lamanya. Simbol-simbol China masih ditutupi seperti tulisan di depan pintu. Gus Zaim menjadi salah satu pelopor agar tulisan ini dibuka. Gus Zaim langsung menunjukkan salah satu pintu di depan pesantrennya. Bagi dia, tulisan itu dipenuhi dengan makna yang mendalam. “Semoga panjang umur setinggi gunung dan semoga luas rezekinya sedalam samudera”. Bagi Gus Zaim, tidak ada salahnya kalau itu dipertahankan dan itu sama sekali tidak melawan Aqidah seperti yang dipahami oleh beberapa orang. “Yang berdoa mereka, saya yang mengamini. Mereka berdoa pada Kong Hu Chu dan Tuhan mereka sendiri, saya amin juga pada Tuhan saya sendiri. Kan boleh seperti doa bersama ala Gus Dur. Boleh-boleh saja,” tegas Gus Zaim.
Melihat situasi traumatik ini, Gus Zaim sering melakukan kunjungan ke rumah-rumah etnis China di sekitar pesantren. Awalnya, masyarakat China merasa gamang dengan kedatangan Beliau. “Saat itu ada terdengar ‘wah, ternyata orang-orang pesantren itu baik-baik ya’”, kisah Gus Zaim. Bagi mereka, pesantren itu identik dengan kekerasan. Kehadiran Gus Zaim merombak paradigma lama itu dalam diri orang China yang mereka kunjungi. Selain kunjungan, para santri juga selalu membantu masyarakat China yang sedang punya hajatan. Demikian juga sebaliknya. Hal ini membuat hubungan yang dulu cair menjadi cair kembali. Menurut Gus Zaim, dia dan bersama teman-teman lainnya hanya mencoba mengembalikan dan melestarikan situasi damai yang dulu telah dilahirkan oleh para leluhur. “Saya bukan yang mempelopori, tidak. Saya hanya melanjutkan atau membuka kembali lembaran-lembaran yang dulu pernah ada dan ditutup. Itu hubungan interaksi di Lasem. Sangat cair” kisahnya.
Penuturan Gus Zaim ditutup dengan sebuah harapan agar toleransi di Lasem dapat dipancarkan ke seluruh Indonesia dan dunia. Gus Zaim menegaskan, “Saya sendiri ingin agar hubungan interaktif dan cair seperti ini bisa menjadi contoh bagi toleransi, hubungan antar etnis, antar suku bangsa, antar agama, tidak hanya di indonesia tetapi di international”
Subandri Simbolon | CRCS | Artikel
“Hubungan yang sangat interaktif dan cair antar berbagai etnis dan agama di Lasem sudah terbangun sejak zaman nenek moyang kami”, demikian ungkap H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem Pembina Pondok Pesantren Kauman, dalam menerima kunjungan Field Study CRCS UGM Sabtu, 7 Mei 2016. Pandangan Gus Zaim ini menggaris bawahi bahwa kultur koeksistensi tidak bisa dibangun secara instan, tetapi membutuhkan basis kultural yang dialami sebuah masyarakat dalam kurun waktu yang lama.
Gus Zaim menyampaikan ‘petuah’ yang berharga ini kepada rombongan mahasiswa CRCS saat melakukan studi lapangan di Lasem. CRCS memilih Lasem untuk belajar bagaimana satu masyarakat dari berbagai ragam agama dan etnis dapat hidup harmonis. Lasem adalah kota pesisir pantai utara Jawa dengan kultur Islam tradisional yang sangat kuat. Kultur ini seakan menyatu dengan keberadaan warga Tionghoa non-Muslim yang sangat menonjol dalam tata ruang dan kebudayaan Lasem. Menurut Munawar Azis, alumni CRCS yang meneliti Lasem dalam tesisnya, hubungan antar etnis dan antar agama sudah dimulai sejak zaman Majapahit. Kota yang dijuluki “Kota Tiongkok Kecil” ini menjadikan masyarakat Tionghoa, Arab dan Jawa dapat hidup berdampingan. Kehadiran Ponpes Kauman di tengah bangunan-bangunan lama masyarakat Tionghoa menjadi tanda keharmonisan masyarakat di kota kecil ini.
Masyaraat Lasem relatif beruntung karena mewarisi kultur toleransi dari nenek moyang mereka. Akar historis kultur damai ini, menurut Gus Zaim, “kalau kita runut ke atas, punjernya Lasem itu ada pada abad ke-8 hingga tingkat ke- 9.” Sejak dulu, Lasem telah menjadi daerah pertemuan antara berbagai etnis antara Portugis, Belanda, China, Arab dan Jawa. Umumnya mereka adalah pedagang dan kebanyakan yang datang adalah laki-laki. Sejak itulah terjadi proses asimilasi dengan masyarakat lokal. Perkawinan itulah yang kemudian menghasilkan keturunan yang membaur secara rasial. Proses ini menjadi sumber penting terjadinya akulturasi budaya di Lasem.
Tidak mudah untuk memutuskan sebuah identitas etnik di daerah ini. Orang mengatakan dirinya China, belum tentu adalah China. Demikian juga dengan mereka yang Arab, Belanda atau pun Jawa. Pembentukan karakter multi-identitas etnik ini menghasilkan suatu hubungan yang sangat cair. “Jika ada orang baru datang ke Lasem, mereka akan heran ketika melihat orang saling gojlok-gojlokan setengah mati” kisah Gus Zaim. Kedekatan yang sangat cair itu tidak lagi dipisahkan oleh tembok-tembok perbedaan. Semua identitas dileburkan menjadi satu di Lasem.
Situasi hubungan yang sangat akrab di Lasem menghasilkan suatu masyarakat dimana sumbu-sumbu kekerasan hampir tidak ada. Mengutip pernyataan dari seorang tokoh inteligen nasional, Guz Zaim bercerita bahwa aparat keamanan “pernah mencoba membakar Lasem, tetapi tidak pernah berhasil karena hubungan yang sangat cair seperti ini. Jadi Lasem bukan sumbunya panjang, tapi tanpa sumbu.” Situasi tanpa sumbu inilah yang membedakan Lasem dengan masyarakat multi etnis lainnya sehingga tidak pernah muncul huru-hara antar golongan.
Pengaruh Orde Baru: Diskontinuitas Kampung China
Pada masa Orde Baru, terjadi tekanan terhadap kelompok etnis China. Isu pribumisasi membuat banyak warga etnik Tionghoa menghilangkan identitasnya. “Nama Lim Sie Yoing harus menggantinya dengan nama Sudono atau Salim, nama King Ho dengan nama Kristianto” jelas Gus Zaim. Tetapi hal yang serupa tidak terjadi pada kelompok etnik lainnya. “Seperti nama Muhammad Zaim contohnya tidak harus mengganti nama menjadi Jaya Haditirto, nama Taufiq tidak harus diganti menjadi Mangkubumi” lanjutnya. Tekanan terhadap orang China ini menjadi sangat jelas ketika melakukan pembandingan itu.
Tekanan ini membuat warga etnik Tionghoa di Lasem akhirnya tidak terlalu ekspresif. Ketakutan-ketakutan itu memaksa mereka untuk sebisa mungkin menghilangkan identitas diri. “Tulisan-tulisan China yang ada di pintu-pintu mereka tutup dengan menggunakan seng, dikempul bahkan ditutup dengan semen dan bahkan dihilangkan dengan menggunakan kapak,” kisah Gus Zaim. Akhirnya, sebagian tulisan-tulisan itu hilang. Padahal, menurut Gus Zaim, tulisan itu sangat istimewa karena memiliki makna tentang kebijaksanaan sangat bagus.
Tekanan atas warga China pada masa Orde Baru menyisakan luka lama. Mereka bahkan harus menjadi penganut agama-agama resmi walau mereka punya cara tersendiri dalam beragama. Bahkan, pada tahun 1967 pernah dikeluarkan Inpres (Instruksi Preside) No.14 tahun 1967 yang isinya melarang mengadakan perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat China. Tekanan dari pemerintah ini membuat kota Lasem mengalami masa diskontiniutas dalam kebudayaan China di Lasem.
Pasca Orde Baru: Trauma Healing ala Gus Zaim
Berujungnya Orde Baru pada 1998, memberikan harapan baru bagi kelompok etnis China di Nusantara. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, keluar Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Dengan tegas, Gus Dur menyatakan bahwa masyarakat China adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga memberikan kebebasan beragama dengan mengangkat Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Negara Indonesia.
Akan tetapi, kebebasan itu tidak serta merta membebaskan orang China di Lasem dari ketakutan-ketakutan lamanya. Simbol-simbol China masih ditutupi seperti tulisan di depan pintu. Gus Zaim menjadi salah satu pelopor agar tulisan ini dibuka. Gus Zaim langsung menunjukkan salah satu pintu di depan pesantrennya. Bagi dia, tulisan itu dipenuhi dengan makna yang mendalam. “Semoga panjang umur setinggi gunung dan semoga luas rezekinya sedalam samudera”. Bagi Gus Zaim, tidak ada salahnya kalau itu dipertahankan dan itu sama sekali tidak melawan Aqidah seperti yang dipahami oleh beberapa orang. “Yang berdoa mereka, saya yang mengamini. Mereka berdoa pada Kong Hu Chu dan Tuhan mereka sendiri, saya amin juga pada Tuhan saya sendiri. Kan boleh seperti doa bersama ala Gus Dur. Boleh-boleh saja,” tegas Gus Zaim.
Melihat situasi traumatik ini, Gus Zaim sering melakukan kunjungan ke rumah-rumah etnis China di sekitar pesantren. Awalnya, masyarakat China merasa gamang dengan kedatangan Beliau. “Saat itu ada terdengar ‘wah, ternyata orang-orang pesantren itu baik-baik ya’”, kisah Gus Zaim. Bagi mereka, pesantren itu identik dengan kekerasan. Kehadiran Gus Zaim merombak paradigma lama itu dalam diri orang China yang mereka kunjungi. Selain kunjungan, para santri juga selalu membantu masyarakat China yang sedang punya hajatan. Demikian juga sebaliknya. Hal ini membuat hubungan yang dulu cair menjadi cair kembali. Menurut Gus Zaim, dia dan bersama teman-teman lainnya hanya mencoba mengembalikan dan melestarikan situasi damai yang dulu telah dilahirkan oleh para leluhur. “Saya bukan yang mempelopori, tidak. Saya hanya melanjutkan atau membuka kembali lembaran-lembaran yang dulu pernah ada dan ditutup. Itu hubungan interaksi di Lasem. Sangat cair” kisahnya.
Penuturan Gus Zaim ditutup dengan sebuah harapan agar toleransi di Lasem dapat dipancarkan ke seluruh Indonesia dan dunia. Gus Zaim menegaskan, “Saya sendiri ingin agar hubungan interaktif dan cair seperti ini bisa menjadi contoh bagi toleransi, hubungan antar etnis, antar suku bangsa, antar agama, tidak hanya di indonesia tetapi di international”
Farihatul Qamariyah | CRCS | News
Over the last several years, students from the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Gadjah Mada University, Yogyakarta, have been participating in the annual Graduate Student Fellowship Program hosted by Asia Research Institute, National University of Singapore. Started in 2005, this program offers graduate students working in the Asian topics related to the Humanities and Social Sciences from different universities and countries around Southeast Asia to spend two months based at the Asia Research Institute where they are mentored by ARI researchers and collaborate with other fellows from around the region as well as utilizing the wide range of resources in the libraries of NUS and the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS – Yusof Ishak Institute). This fellowship culminates with a conference for the fellows as well as other students from the region to present their research at the end of the program. During the program, the fellow students are able to participate in any seminars held in ARI and other institutions based in NUS. ARI also arranges a professional mentor, either an NUS lecturer or ARI scholar, for each of the students to offer personal consultation and advise according to each student’s research interest and topic. Since the primary goal of this program is to produce an academic paper that will be presented in the Graduate Forum, ARI organizes a course in Academic English Writing and Communication. These kind of activities effectively support the fellow students to improve their academic expertise as well as enrich the international experiences through the daily interaction and discussion. This year, ARI invited fellows from more diverse backgrounds compared with the previous year. There are fellows from the following countries: Indonesia, Malaysia, Thailand, Cambodia, Myanmar, Vietnam, Philippines, Japan, Taiwan, Korea, China, India and USA.
This year, five students of CRCS are invited to join the Asian Graduate Student Fellowship from May 22nd – July 15th 2016, two from the 2013 batch (Fredy Torang and Yoga Khoiri Ali) and three from the 2014 batch (Abdul Mujib, Aziz Anwar Fachrudin, and Farihatul Qamariyah). Two more (Partigor Daud Sihombing and Subandri Simbolon) have been selected as presenters at the Graduate Forum that will be held in July 2016. The fellows from CRCS bring research projects connected to their thesis projects that are especially related to ARI’s topic clusters including Cultural Studies in Asia and Religion and Globalization. Mujib’s project is entitled “The Relevant of Interreligious Relations in Shaping of Experience in Diversity and Pluralist Attitude” and examines the case of one multi – religious village located in Yogyakarta. Aziz’s research on ISIS discourse is titled “Indonesian Islamist Ideological Responses to the Islamic State”. Qamariyah’s research focuses on the issues of gender, religion and business and is entitled “Women, Islam, and Economic Activity by Examining the Religious Ethics of Muslim Business Women in Indonesia”. Fredy’s topic of research is “Faith Based Organization in Humanitarian Diplomacy: A Case Study of the Jesuit Refugee in Yogyakarta” and Yoga’s research examines “The Spirituality of Rain Water from the South East Slope of Mountain Merapi”. These various topics are expected to contribute significantly to the Asia Research Institute’s interests.
The participation of CRCS’ students in this fellowship for over ten years is a demonstration of the center’s academic track record on the international academic stage. “It is almost a tradition that CRCS UGM students have almost always been in the list of Asian Graduate Student Fellowships ARI – NUS recipient since the first batch”, said Ida Fitri Astuti (Batch 2013) who participated in this program last year. She also testified to the great benefit of this graduate fellowship program for her academic improvement and international network based on her own experiences. “This program is a kind of salad bowl which gathers Asian students to meet up each other, learn and bound together by “academic dressing” produced by the excellent staff and scholars of ARI – NUS.” This testimony was also confirmed by another CRCS’ student who is now experiencing the turn. “This place is like an academic heaven, a lot of literatures and academic sources are available here. ARI NUS provides us a great facility and possibility to explore and utilize the academic prosperity by the services. It is an extremely exciting!” said Fredi Torang through his first excitement living in the new environment.
Based on the documentation, about twenty seven students of CRCS have been Asian Graduate Student Fellows, starting with Ali Burhan in 2006, the program’s second year. Since then,CRCS participants have been Chandra Utama and Maufur in 2007; Akhmad Siddiq, Muhammad Endy Saputro and Ferry Muhammadsyah Siregar in 2008; Amanah Nurish and Saipul Hamdi in 2009; and Ruby Emy Astuti and Jimmy Immanuel Marcos in 2010. 2011 was the previous record year with four students: Mega Hidayati, Yudith Listiandri, Muhammad Rokib and Dian Maya Safitri. Only one student, Darwin Darmawan, was chosen in 2012. Anwar Masduki and I Made Arsana Dwiputra participated in 2013. Two students, Ida Fitri Astuti and Sulfia Lilin Nurindah Sari, were able to attend in 2015, with another, Hary Widyantoro, joining as a presenter in the Graduate Forum. Thus, when the five fellows are joined by the two presenters, this year of 2016 has the highest number of CRCS students selected as Asian Graduate Student Fellows and Graduate Forum presenters: seven. This is our challenge to the batches that follow us.