Problem keragaman seperti konflik rumah ibadah dan intoleransi selama ini seringkali dipahami sebagai akibat dari menguatnya radikalisme keagamaan. Namun tulisan-tulisan dalam buku ini memberikan gambaran yang berbeda. Secara umum relasi antar kelompok identitas ditempatkan dalam dua bentuk: kontestasi dan koeksistensi. Istilah kontestasi digunakan untuk menunjukkan bahwa konflik-konflik sosial keagamaan yang belakangan banyak terjadi tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial politik di Indonesia yang menunjukkan menguatnya perebutan kendali atas ruang publik oleh kekuatan-kekuatan sosial di Masyarakat. Untunglah kontestasi ini bukanlah gambaran tunggal: beberapa tulisan dalam buku ini mengangkat tradisi di masyarakat plural yang menjadi mekanisme pengelolaan keragaman secara damai atau dapat disebut koeksistensi. Kedua jenis relasi ini diharapkan dapat membuka jendela untuk mengeksplorasi ragam praktik pengelolaan keragaman di Indonesia secara jernih dan bernuansa.
Pendaftaran online masuk UGM diperpanjang hingga 6 Agustus 2015. Bagi yang berminat mendaftar ke Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), masih ada kesempatan.
Jadwal Kegiatan Ujian Masuk Program Pascasarjana Semester Gasal T.A. 2015/2016
Kegiatan | Waktu Mulai | Waktu Selesai |
Pembayaran biaya pendaftaran | 10 April 2015 (pukul 00.00 WIB) |
5 Agustus 2015 (pukul 23.59 WIB) |
Pendaftaran online dan unggah dokumen yang disyaratkan | 13 April 2015 (pukul 00.00 WIB) |
6 Agustus 2015 (pukul 23.59 WIB) |
Penerimaan dokumen pendaftaran syarat khusus selain yang diupload | 13 April 2015 (pada hari dan jam kerja) |
7 Agustus 2015 (pada hari dan jam kerja) |
Verifikasi dokumen pendaftaran dan pelaksanaan tes substansi (apabila ada) oleh prodi | 20 April 2015 (pada hari dan jam kerja) |
11 Agustus 2015 (pada hari dan jam kerja) |
Pengumuman hasil seleksi | 19 Agustus 2015 | |
Mulai kegiatan akademik | September 2015 |
Informasi lebih lanjut silakan buka www.um.ugm.ac.id dan untuk tes TPA bisa dilakukan di Sekolah Pascasarjana UGM tanggal 25 Juli 2015, klik Tes TPA Pascasarjana UGM untuk informasi lebih lanjut.
Untuk informasi syarat penerimaan mahasiswa CRCS silakan buka Admission CRCS atau hubungi Lina K. Pary via email: crcs@ugm.ac.id atau telpon: 0274 544976.
SPK VI/CRCS/Rifqi Fairuz
Mengkaji identitas menjadi hal yang penting dan menjadi titik tolak dalam Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK VI). Agama, sebagai bagian dari identitas juga perlu untuk dilacak akar sejarahnya, dan bagaimana agama dalam perkembangannya menjadi pembentuk identitas manusia. Banyak masyarakat yang masih bingung dalam mendefinisikan kosakata agama, karena berbagai macam persepsi dan definisi yang dikenalkan melalui berbagai disiplin pengetahuan dan institusi. Peserta SPK VI menyebutkan banyak definisi agama, antara lain sebagai sistem simbol, sistem nilai, hegemoni monotaistik, bahkan sumber diskriminasi terhadap sistem kepercayaan yang tidak dianggap sebagai agama.Sesi pertama Sekolah Pengelolaan Keragaman pentingnya mengetahui paradigma agama yang dibangun oleh pemerintah, dan perbedaan realitas yang ada di masyarakat. Paradigma tentang agama ini penting dalam mengetahui konstruksi pikiran masyarakat dalam mendefinisikan agama.
Fasilitator SPK VI, Dr. Samsul Maarif menjelaskan dalam konteks keindonesiaan, yang penting adalah bagaimana penggunaan definisi agama itu dibangun dan dikonstruksi, yang kemudian menjadi populer serta dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh masyarakat. Tidak lain, aktor pendefinisi dan pembangun konstruksi itu salah satunya adalah institusi Negara.
Dari sudut pandang sejarah, sebelum berdirinya Negara Indonesia, agama menjadi penanda identitas komunal dan penanda kelompok. Contohnya pengkategorian penduduk di masa kolonial. Snouck Horgronje, orientalis Belanda, melakukan studinya dalam mengkaji identitas masyarakat Aceh dan menemukan bahwa identitas agama sangat melekat di masyarakat. Kajian terhadap agama juga dianggap penting bagi pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari strategi menghadapi pemberontakan yang terjadi dari masyarakat pribumi.
Dalam konteks Negara, agama mulai dianggap penting dan diatur oleh Negara melalui UUD PNPS tahun 1965. Melalui UUD tersebut diaturlah pengakuan Negara terhadap agama, yaitu ada enam agama yang diakui Negara. Hal ini menimbulkan persoalan terhadap banyak agama lokal yang tidak diakui oleh Negara. Ada konstruksi pemisahan antara agama dan adat sebagai legitimasi identitas kewarganegaraan.
Lebih lanjut, Samsul Maarif mengungkapkan pada masa Orde Baru, kerangka berpikir agama yang terpisah dari adat menjadikan legitimasi untuk pembangunan, dan menjadi instrument untuk modernisasi. Demi kepentingan tersebut, agama menjadi alat nasionalisme-developmentalisme. Paradigma agama, oleh Negara, mewarisi prototype agama dunia/monoteis untuk mendefinisikan agama. Oleh karenanya, Hindu-Budha Indonesia beda dengan asalnya. Sama halnya tentang kepercayaan, yang dianggap berbeda dengan pakem agama.
Akibatnya, pengentalan makna agama itu menyisihkan budaya yang kemudian dimurnikan (purifikasi), budaya menjadi berbeda dan berjarak dengan agama. Di sisi lain, festival budaya, yang melibatkan agama dan masyarakat lokal, menjadi objek tourisme.
Meskipun dalam tourisme ini, banyak pro dan kontra dalam melestarikan dan mengeksploitasi adat budaya lokal. Banyak masyarakat penganut agama lokal di satu sisi dilarang atau dianggap sesat, dimana secara bersamaan mereka dituntut harus beragama (berafiliasi) kepada agama yang diakui negara secara ortodoks. Yang terjadi: budaya/praktik lokal boleh dikembangkan, selama tidak bertentangan terhadap agama seperti nyanyian, tarian, upacara, dll.
Definisi agama yang Negara konstruksi yang relatif baru. Sebelum masa kolonial, agama dan adat itu tidak menjadi dua entitas berbeda. Permasalahannya adalah bagaimana definisi itu dikonstruksi dan dilegitimasi oleh negara. Kmudian konsruksi itu sangat berpengaruh kepada masyarakat yang menerimanya, dan mempunyai dampak diskriminasi. Diskriminasi tersebut berupa terbatasnya layanan kewarganegaraan, seperti pengosongan kolom KTP, pelarangan mensahkan catatan pernikahan dengan adat pernikahan agama lokal, kesulitan kenaikan jabatan karena masalah sumpah jabatan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, penting untuk memperhatikan definisi agama sebagai konstruksi identitas kewarganegaraan. Pola pikir Negara dalam mengakui agama dunia, dan menyisihkan agama lokal, rentan menjadi ruang diskriminasi karena pada dasarnya warga Negara berhak untuk mendapatkan layanan yang sama oleh Negara.
SPK diselenggarakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross Cultural Study/CRCS) untuk mempertemukan akademisi dan praktisi dalam bidang pengelolaan keragaman. Kelas dan pelatihan penelitian dalam SPK berlangsung selama 10 hari, sejak 19 sampai 30 Mei 2015 di Disaster Oasis Training Center Sleman Yogykarta. Peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai Padang, Bengkulu, Kalimantan, Gorontalo, Makasar, Maluku, Lombok dan Jawa. Diharapkan setelah mengikuti kegiatan SPK, peserta mampu meningkatkan kemampuan advokasi melalui riset dan belajar dari pengalaman peserta lain dalam jaringan SPK di seluruh Indonesia.
CRCS | News | Farihatul Qamariyah
In recent years, the study of Indonesian culture and education have become the attractive discourse for the foreign scholars. On June 18, 2015, students from the Michigan University, United States, hold a campus visit to the Centre for Religious and Cross-cultural Studies, Gadjah Mada University (CRCS UGM), Yogyakarta. There were 21 participants that consist of 18 students coming from various major of study and 3 lecturers who are from the Faculty of Education. This visitation was the part of the program they take around Indonesia, in which, Jakarta and Bali also the other spot of field trip. Since the objective purpose of the program was about understanding the dynamic situation in Indonesian context including the culture, religion, and state, CRCS provided a short lecture conducted in Graduate School Building, in order to get to know the cultural and religious issue in Indonesia and their counterpart with the stage of education.
The representative lecturer from Michigan University addressed the key issue of world religions. Particularly, it focused on the issue of how the world religions involved in Islam, Christianity, Catholic, Buddhism, and Hinduism as the official religions, contact with the Indigenous religions that exist in Indonesia. Syamsul Ma’arif, as one of the lecturers in CRCS, who deals with the subject of Indigenous religion in class and research, explained in very much details about the issue of Indigenous religion and the dynamic communication of them in welcoming the world religions in their circumstance. The other key issue which was discussed in this forum is on the relation between religion and state. How the state negotiate religions with the constitution and law within a society is the main account. Zainal Abidin Bagir, the director of CRCS as well as the lecturer, took this topic and presented it in the holistic narration. It pictured out the historical background using the landmark of Indonesian independence in 1945 and its continuation to the new order until now on. He also raised up several issues which are concerned with this case, such as the case of erasing religion column in the identity card, the religious subject in the public school, and etc.
Regarding the short presentation from CRCS’s representatives, it raised up some questions from the students of Michigan University. One of the interesting questions was about the atheism. Contextually speaking, the state of Indonesia legalizes only five religions as the official religions. Other than that such Indigenous religions as the instance, they are still in the dispute and questionable about the status in the state recognition. Whether the state acknowledge the case of atheism or not is the main problem. In consequence, “Atheism has no place in Indonesia” said Bagir in his explanatory answer in response to this case. To some extent, it is still debatable in the constitutional court which is in contrast with the religious law.
Indeed, the short lecture and presentation between the participant of Michigan University and CRCS representative went through the attractive interaction. Additionally, a few of them was in curiosity of the social interaction of CRCS’ student. It was especially on how the students of CRCS who come from different faith or religion establish relationship one to another in the educational atmosphere. In response to this aspect, the representative of CRCS, Syamsul Ma’arif, briefly answered that CRCS has some programs which invite students to get together and encourage them to be in contact directly to the diversity and plurality, one of them is through the program of Teaching Diversity.
The “Keeping the Faith: A Study of Freedom of Thought, Conscience and Religion in ASEAN” discussion series arrived in Yogyakarta on May 30, 2015. Held in collaboration with HRRC’s partner, the Law Faculty of Gadjah Mada University (UGM), the event was also organized with the support of the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS UGM), the Center for Human Rights Studies of the Islamic University of Indonesia (PUSHAM UII), and the Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief at the Norwegian Centre for Human Rights.
Dr. Zainal Abidin Bagir, Director of the Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) at Gadjah Mada University and author of the Indonesia country report in “Keeping the Faith,” focused on the country’s freedom of religion situation. “Law both shapes the society and is shaped by the society. Thus, engagement with the society is important to end discrimination and persecution against religious and belief minorities.” Specifically on the Law on Anti-Blasphemy in Indonesia, “there is a need to raise awareness in the society to repeal laws that open the room or pathway toward intolerance,” Dr. Bagir emphasized.
For the whole report of the discussion series click “Keeping the Faith roadshow in Jakarta” and “Keeping the Faith discussion series in Yogyakarta.”
Dr. Zainal Abidin Bagir*
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Salah satu masalah mendasar dalam pengelolaan keragaman agama di Indonesia adalah pengakuan atas agama-agama. Jelas bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945). Menguatnya perlindungan HAM setelah Reformasi 1998, di antaranya dengan dikeluarkannya UU HAM (1998) dan masuknya satu bab khusus HAM dalam amandemen konstitusi, memperkuat jaminan itu. Namun semua ini hanya bermanfaat sejauh lingkup pengakuan negara atas agama.
Dalam konteks itulah beberapa pernyataan dan tindakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang baru menjabat selama 2 bulan, menjadi penting. Dalam waktu singkat itu ia telah menjamu beberapa perwakilan kelompok-kelompok agama minoritas (Ahmadiyah, Syiah, Parmalim, Sunda Wiwitan, Sikh) yang selama ini kerap terdiskriminasi bahkan mengalami serangan fisik. Ia juga telah mengunjungi pengungsi Syiah Sampang di rusun di Sidoarjo, Jawa Timur, yang hari-hari ini persis sudah dua tahun terusir dari kampung halaman mereka. Selain itu, ia juga mengeluarkan pernyataan mengenai agama Baha’i.
Tulisan lengkap artikel ini bisa dibaca di www.satuharapan.com