Suhadi Cholil* | CRCS | Artikel
Kebebasan pers di era Reformasi walaupun jauh lebih terbuka dibanding pada masa Orde Baru, namun, meminjam istilah Endy Bayuni, dalam bidang jurnalisme agama para jurnalis masih sulit memanfaatkan kebebasan ini untuk menyokong kesetaraan hak sipil warga. Hal ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan Yayasan Pantau mengenai persepsi wartawan Indonesia terhadap Islam tahun 2012. Survei yang dilakukan terhadap 600 wartawan di 16 propinsi ini memperlihatkan tingginya kecenderungan wartawan Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai Islam dari pada sebagai Indonesia. Identifikasi ini berimplikasi pada kentalnya bias wartawan ketika memberitakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Ini terlihat dari penggunaan kata-kata yang cenderung menghakimi seperti: “sesat”, “harus ditobatkan”, dan lain-lain. Bias ini menurut saya timbul karena jurnalis sulit membedakan antara arena keberagamaan personalnya dengan arena profesinya sebagai jurnalis. Tulisan ini akan mencermati lebih jauh beberapa temuan, tidak semuanya karena keterbatasan ruang, dari hasil survei Yayasan Pantau tersebut.