Beragama dengan Kentang di Tengah Rapuhnya Lingkungan
Sonia Putri Ana Awa Matalu – 6 September 2024
Dalam 20-30 tahun ke depan tanah di Dieng akan kehilangan kesuburannya jika aktivitas pertanian kentang yang masif terus dilakukan (Adriana, 2007). Tanda-tanda kerusakan lingkungan ini sudah mulai terlihat. Erosi semakin sering terjadi, hasil panen menurun, dan banyak petani mulai bangkrut. Dalam situasi genting ini, alih-alih mengambil langkah konservasi lahan pertanian, para petani kentang terus memacu produksi kentang seolah tidak terjadi apa-apa. Masjid-masjid besar yang menjadi simbol kesejahteraan terus bermunculan, aktivitas keagamaan pun kian intens. Realitas ini menarik perhatian Pujo Semedi, Guru Besar Antropologi UGM, untuk melakukan penelitian bersama dengan Hery Santoso dan Novilatul Ramadhani di Dieng. Pujo mempresentasikan sebagian hasil temuannya itu dalam Wednesday Forum, 28 Agustus 2024, bertajuk “Failed Negative Feedback: Cash crop, Socio-Religious Life and Climate Change in Upland Java, 1850s – 2010s”
Dieng: Negeri di Atas Kentang
Secara historis, budidaya kentang di Dieng telah dimulai sejak tahun 1800-an dalam jumlah kecil sebagai bahan pangan orang Belanda di Jawa. Saat itu, pemilik perkebunan Belanda sempat mengupayakan produksi kentang dalam jumlah besar tetapi gagal karena terserang hama. Kentang merupakan tanaman pertanian yang sangat sensitif terhadap kelembapan sehingga kurang cocok ditanam di wilayah perbukitan dengan curah hujan tinggi seperti Dieng. Para petani di Dieng banyak yang beralih pada tembakau.
Namun, pada tahun 1980-an, secara mengejutkan curah hujan di Dieng menurun drastis, sekitar 27% lebih rendah dari abad sebelumnya. Alhasil, angka produksi kentang pun melambung. Selama dua dekade, produksi kentang di Dieng mencapai angka tertinggi dengan seribu ton per tahun. Dieng mengalami kebangkitan perekonomian setelah sebelumnya lesu akibat produksi rokok tradisional (lintingan) yang kalah saing dengan pabrik rokok kretek. Jika dibandingkan dengan produksi tembakau, pertanian kentang dapat mencetak angka produksi lima kali lipat lebih besar dibandingkan produksi tembakau tiap tahun. Produksi kentang mengatrol kemakmuran masyarakat Dieng.
Peningkatan kemakmuran ini segera diikuti dengan perubahan gaya hidup. Dalam kacamata great tradition dan little tradition (Robert Redfield, 1955), masyarakat Dieng beralih dari gaya hidup masyarakat desa (folk) menuju gaya hidup masyarakat kota (urban). Rumah-rumah yang tadinya berbahan ilalang beralih menjadi rumah-rumah tembok nan kokoh. Ekses ledakan produksi kentang di Dieng juga merambah ranah keagamaan. Masyarakat Dieng menganggap kentang sebagai perantara berkah Ilahi yang menghujani kehidupan mereka. Sebagai ungkapan rasa syukur, mereka menginvestasikan sebagian kemakmuran tersebut untuk mendirikan masjid. Dalam dua dekade tersebut, pertumbuhan grafik kentang di Dieng seiring sejalan dengan pertambahan tingkat kemakmuran dan intensitas kehidupan keagamaan masyarakatnya.
Ketika Grafik Kentang Berubah
Setelah dua dekade dimanjakan dengan iklim yang sempurna untuk produksi kentang, mimpi buruk pun tiba. Pada tahun 2000-an, terjadi penurunan angka produksi kentang di Dieng. Curah hujan tiba-tiba meningkat sehingga tanah di Dieng semakin lembap. Jendela cuaca yang berubah ini menyebabkan penyakit kentang bermunculan dan memengaruhi kualitas tanaman kentang. Sayangnya, petani Dieng merenspons perubahan ini dengan mengandalkan kesaktian obat-obatan dan pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan. Selain lahan pertanian yang semakin rusak, produksi kentang pun tak pernah kembali ke masa kejayaannya. Bukannya panen kentang berkualitas yang didapat, bumi Dieng malah menghasilkan timbunan zat toksik. Namun, hal itu tidak menurunkan asa petani di Dieng untuk beralih dari pertanian kentang yang destruktif. Petani Dieng mengalami ketergantungan dengan pertanian kentang yang pernah menghujani mereka dengan untung berlipat. Menurut teori depeasantrization (Teodor Shanin, 1971), peralihan orientasi bertani dapat berubah ketika pemahaman untung rugi menutup nalar ekologi.
Berangkat dari fakta ekologis dan antropologis tersebut, respons masyarakat Dieng menunjukkan kegagalan negative feedback (Roy F. Ellen, 1982). Dalam pertanian tradisional, ketika hasil panen menurun akibat faktor lingkungan atau aktivitas pertanian itu sendiri, petani akan beralih kepada model pertanian yang lebih berkelanjutan. Namun, respons semacam ini tidak terbaca dalam masyarakat Dieng yang lahannya telah di ambang ketidaksuburan. Bukannya beralih, timbal balik negatif itu justru direspons dengan tindakan destruktif yang lain.
Kendati demikian, Pujo memperlihatkan bahwa kala grafik produksi kentang menurun, grafik ritual keagamaan malahan meroket naik lebih tinggi dari sebelumnya. Salah satunya indikatornya ialah kemunculan tradisi bani dalam masyarakat Dieng. Beberapa petani Dieng yang sukses mulai membentuk perkumpulan keluarga atau trah untuk mempererat dan menegaskan status kekeluargaan. Acara kumpul bani yang diadakan reguler ini biasanya berisi pengajian dan doa bersama untuk orang tua atau keluarga yang meninggal. Namun, Pujo juga menggarisbawahi secara kritis tradisi bani sebagai sebuah mekanisme akumulasi lahan. Ketika panen gagal, ada kecenderungan dari anggota bani yang makmur membujuk keluarganya agar menjual lahan kepada sesama anggota bani. Alasannya, agar tanah tersebut masih menjadi milik keluarga besar dan tidak berpindah tangan ke bani yang lain. Akibatnya, anggota bani yang makmur menjadi lebih makmur, sedangkan anggota bani yang tidak makmur harus kehilangan lahan dan menjadi pegawai atau buruh dari pemilik lahan. Dengan kata lain, praktik keagamaan ini ternyata membuka lebar jurang kesenjangan sosial pada masyarakat Dieng.
Kedua, intensifikasi ritual keagamaan. Sejak adanya tradisi bani, ritual keagamaan yang dulunya berpusat di dusun, sekarang menyebar ke beberapa bani yang ada di dusun tersebut. “Hampir setiap hari, kita bisa menemui pengajian Bani di desa-desa sekitar Dieng,” ungkap Pujo. Tak hanya pengajian rutin, aktivitas berhaji atau umroh di kalangan petani Dieng juga ikut melesat. Menurut Pujo, ritual agama yang dulunya dipraktikkan sebagai lantunan syukur atas berkah yang melimpah berubah menjadi sebuah upaya untuk mencari—sekaligus menuntut—jaminan kesuksesan pertanian yang sedang anjlok. Turunnya grafik produksi kentang rupanya berbanding terbalik dengan intensitas praktik kehidupan beragama di Dieng.
Mendiskusikan Kontribusi Agama
Relasi agama, penurunan hasil produksi kentang, dan kerusakan lingkungan di Dieng akhirnya menjadi bahan diskusi bersama dalam forum ini. Agama dianggap kurang berhasil menjalankan fungsi kontrolnya sebagai dasar moral dalam siklus negative feedback. Salah seorang peserta forum menawarkan jalan masifikasi pendidikan berorientasi pekerjaan nontani sehingga mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pertanian kentang destruktif. Namun, hal itu belum cukup menjawab. Apakah dengan berkurangnya aktivitas pertanian membuat kerusakan terhadap lingkungan pun terhenti? Dalam kenyataannya, di banyak tempat, limitasi aktivitas pertanian tidak serta-merta menghentikan kerusakan lingkungan. Banyak petani di Dieng enggan pindah pada jenis pertanian lain karena nilai keuntungan yang didapatkan tidak sebanding. Harapan yang dibalut dengan keberhasilan masa silam inilah yang membawa petani Dieng pada titik bertani kentang sebagai “harga mati”.
Sebuah tawaran yang diberikan dalam diskusi ini ialah dengan melihat realitas agama secara lebih luas. Dalam masyarakat Dieng, agama memiliki signifikansi yang tinggi. Baik ketika masa berlimpah maupun masa genting, aktivitas keagamaan memiliki nilai grafik yang tidak pernah turun. Dengan kata lain, agama punya kendali atas kerapuhan lingkungan. Pujo mengamini dengan menyodorkan fakta bahwa petinggi-petinggi agama di Dieng merupakan aktor yang sangat berkepentingan dengan keberadaan rantai perekonomian pertanian kentang. Walhasil, tafsir-tafsir ayat kitab suci cenderung pasif terhadap aktivitas perusak lingkungan tetapi positif kepada kepentingan elite dan pemilik modal. Ketika agama dikuasai oleh nalar ekonomi yang nirekologis, agama justru menjadi alat perusak lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Dieng menjadi tantangan, terutama bagi akademisi studi agama dan agamawan, untuk terus memperkaya narasi agama yang responsif terhadap isu lingkungan.
______________________
Sonia Putri Ana Awa Matalu adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Puma lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Infopublik.go.id (2023).
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 12 tentang Konsumsi dan Produksi yang Berkelanjutan; dan nomor 15 tentang Ekosistem Daratan.