Berebut Wacana Otoritas atas Tubuh Perempuan
Nanda Tsani – 17 November 2023
Bagaimana jika kelompok perempuan yang menyuarakan hak “tubuhku otoritasku” dibalas dengan “tubuhku otoritas tuhanku” oleh kelompok perempuan yang lain?
“The personal is political”. Slogan politis yang mencuat pada gerakan feminisme pada tahun 1960-an di Amerika Serikat ini sangat pas untuk menggambarkan dinamika pertarungan wacana atas tubuh dan otoritas perempuan. Pandangan perempuan mengenai otoritas tubuhnya tidak semata hal personal tetapi juga bagian dari gerakan politik yang terus dimobilisasi. Salah satu bentuknya ialah desakan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan preventif maupun kuratif terkait kekerasan seksual yang banyak dialami oleh kaum perempuan.
Kendati demikian, pandangan kelompok perempuan terhadap kebijakan publik terkait kekerasan seksual tidaklah tunggal dan tak jarang berseberangan. Dengan kata lain, wacana atas tubuh dan otoritas perempuan juga menjadi rebutan di antara kelompok perempuan. Afifur Rohman Sya’rani membawa dinamika isu tersebut dalam Wednesday Forum topik “Muslim Women and Anti-Feminist Movement in Indonesia” (6/9). Dosen UIN Sunan Kalijaga ini mengkaji bagaimana kelindan pandangan dunia Islam dan feminisme ikut memengaruhi wacana gender, baik dari sisi gerakan kelompok maupun legislasi di tingkat nasional.
RUU PKS dan Konstelasi Politis atas Tubuh Perempuan
Regulasi yang mengatur deprivatisasi seksualitas di ranah publik memunculkan banyak dinamika dan polemik. Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) contohnya. Setelah melalui pertimbangan dan perdebatan alot, RUU tersebut akhirnya disahkan satu dekade kemudian dengan nama Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Opini massa dari berbagai kelompok dan kepentingan berebut definisi, konsep, dan batasan kekerasan seksual dalam proses public hearing rapat program legislasi nasional (prolegnas) RUU PKS di parlemen.
RUU PKS mendapat dukungan dari kelompok muslim dan ulama perempuan yang menyuarakan narasi Islam adil gender. Di saat yang bersamaan, muncul narasi tandingan oleh kelompok muslim perempuan dari gerakan konservatisme Islam yang menentang agenda dan gagasan yang termuat dalam RUU tersebut. Kelompok ini memobilisasi massa dan memainkan instrumen psikologis perasaan terancam di masyarakat. Narasi yang hendak dibangun ialah RUU PKS disusupi agenda feminisme Barat yang membuka lebar pintu amoralitas seksual seperti seks bebas dan seks sesama jenis serta membahayakan harmoni tradisi keluarga, kesakralan pernikahan, dan fitrah perempuan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karenanya, kelompok konservatisme Islam ini mengusung RUU Ketahanan Keluarga sebagai regulasi tandingan.
Narasi Keluarga sebagai Senjata
Salah satu organisasi yang getol mengorganisasi dan menyuarakan narasi tersebut ialah Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Berdiri tahun 2013, AILA merupakan aliansi ormas-ormas Islam yang sebagian besar anggotanya ialah perempuan dan peduli pada upaya pengokohan keluarga. AILA gencar menentang isu-isu terkait moralitas yang mereka anggap bertentangan dengan gagasan tradisional tentang keluarga, perempuan, dan seksualitas. Sebagai gerakan anti-feminis, AILA berupaya memengaruhi wacana publik dan melobi pembuat kebijakan untuk menolak feminisme.
AILA memiliki cukup sumber daya dalam memobilisasi massa, baik melalui agensi pemangku kebijakan di sektor politik, maupun kelompok wadah pemikir (think tank), dan organisasi Islam atau dakwah masyarakat sipil. Di antara tokoh dan organisasi yang menjadi basis AILA ialah politikus Bachtiar Nasir, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Institute for the Study of Islamic Thought and Civilisation (INSISTS), Centre for Gender Studies (CGS), Mushida (Muslimah Hidayatullah), Salimah, Wanita Islam (WI), Gerakan Peduli Remaja (GPR), Persatuan Islam Istri (Persistri), Indonesia Tanpa JIL (ITJ), dan Gerakan Indonesia Beradab (GBI).
AILA melihat RUU PKS dan gerakan feminis sebagai oponen di level politis maupun wacana. Menurut AILA, visi menjaga moralitas dan ketahanan institusi keluarga ini tidak cukup dikampanyekan, tetapi perlu diikat sampai bentuk kebijakan publik. Sederhananya, menurut mereka, tindakan zina dan seks sesama jenis perlu ditegaskan secara hukum sebagai tindakan kriminal. Sekutu politik AILA di parlemen ialah Partai Keadlian Sejahtera, sebagai pengusung utama RUU Ketahanan Keluarga. Kiprah AILA di tingkat legislasi bisa dilacak sejak tinjauan yudisial Mahkamah Konstitusi tahun 2017 terkait kriminalisasi perbuatan seks immoral KUHP Pasal 284, 285, dan 292. Di samping melakukan aksi demonstrasi, aktivis perempuan AILA juga memobilisasi narasi kontrafeminisme mulai dari sosial media melalui tagar uninstalfeminism dan indonesiatanpafeminis.
Dalam nalar konservatif AILA, penguatan institusi keluarga yang berbasis agama (Islam) adalah solusi atas kejahatan seksual, HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual lainnya. Oleh karenanya, AILA menolak pendekatan edukasi seks, perluasan akses kontrasepsi, seks konsensual, dan aborsi aman yang diusung feminis di tengah realitas seksual masyarakat. Karena dalam paradigma AILA, feminisme dianggap sebagai kekuatan liberal Barat yang mengasingkan perempuan dari keluarga mereka, penyebab ketidakharmonisan keluarga, dan mengacak-acak kemapanan sifat biologis perempuan dan peran meraka di dalam keluarga.
Yang menarik, AILA menemukan ruang strategis dalam mengusung gagasan ketahanan keluarga ini melalui peran gender tradisional warisan Orde Baru yakni asas keluargaan dan ibuisme negara. Menurut Kathryn Robinson, kedua konsep ini memungkinkan kategorisasi gender berdasarkan biologis sebagai haluan negara dalam mengatur peran sosial berbasis gender dalam intitusi keluarga. Rezim Soeharto mengusung asas kekeluargaan untuk melegitimasi peran gender yang dikehendaki negara. Laki-laki sebagai kepala keluarga melakukan kerja-kerja bernilai ekonomi di ruang publik sedangkan perempuan adalah istri dan ibu yang melakukan pengasuhan dan pengurusan ruang domestik. Kodrat perempuan adalah istri (pendukung di belakang laki-laki) dan ibu karena kapasitas biologisnya untuk bereproduksi. AILA ingin melestarikan konsep keluarga tradisional tersebut.
AILA bergerak menggunakan cara-cara demokratis dalam mempengaruhi wacana dan kebijakan publik yang berpadampak pada perjuangan kesetaraan gender dan hak seksual. Peranan AILA menunjukkan reaksi tandingan kelompok Islam konservatif pasca-Reformasi tetap memiliki pengaruh khususnya pada saat memanasnya iklim politik terkait isu gender dan kekerasan seksual. Menurut Afif, pengaruh ini menunjukkan bahwa suara konservatisme kelompok Islam tidak dibungkam dalam pembuatan kebijakan publik. Betapa pun, pergulatan alot antarkelompok perempuan mengindikasikan hal positif dalam dinamika demokrasi Indonesia pascareformasi. Kubu yang bertentangan dapat bertarung menyuarakan aspirasi dan kepentingannya masing-masing. Di sisi lain, kendati pada akhirnya RUU Ketahanan Keluarga ditolak oleh parlemen, eksistensi AILA dan organisasi sejenis menunjukkan bahwa suara konservatisme Islam di Indonesia akan terus mengada—sebagai gerakan moral ataupun gerakan politik—dan konstestasi terkait gender dan moralitas adalah salah satu pemantiknya.
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari ballyscanlon/gettyimages