• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • News
  • Berkontribusi dalam Solusi: Relevansi Studi Agama dalam Krisis Ekologi

Berkontribusi dalam Solusi: Relevansi Studi Agama dalam Krisis Ekologi

  • News
  • 26 July 2021, 16.01
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Berkontribusi dalam Solusi:
Relevansi Studi Agama dalam Krisis Ekologi

Ahmad Ridha Mubarak – 18 Juli 2021

Seberapa penting agama dan ekologi untuk dikaji dalam studi agama?

Pertanyaan itu terlontar saat sesi tanya jawab peluncuran secara daring buku Varieties of Religion and Ecology: Dispatches from Indonesia. Dibandingkan disiplin keilmuan lain, studi agama memang datang agak “terlambat“ dalam menanggapi isu lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Zainal Abidin Bagir, pengampu mata kuliah Religion and Ecology sekaligus editor buku ini, pada “Pendahuluan”, kajian tentang agama dan ekologi atau lingkungan baru muncul sekitar tahun 1960-an seiring tumbuhnya kesadaran akan rusaknya lingkungan global pada dekade sebelumnya.

Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia. Frans Wijsen , profesor dari Radboud University yang juga salah satu dari editor buku ini, menyoroti bagaimana fokus kajian studi agama dan ekologi di Indonesia masih condong pada relasi interpersonal. “Tidak banyak buku tentang agama dan ekologi, apalagi yang dikupas dari sudut pandang studi agama. Semenjak inisiasi yang luar biasa oleh Prof. Mukti Ali, studi agama di Indonesia berkembang pesat. Namun, kita sebagai sarjana studi agama, seringkali berfokus pada hubungan interpersonal seperti hubungan antara umat Islam dan Kristen, ekstremisme dan fundamentalisme, dan sebagainya. Perspektif hubungan harmonis antara kita dan alam seolah-olah terpinggirkan.”

Dalam konteks inilah, keberadaan buku hasil kerja sama antara CRCS UGM, ICRS, Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim-Christian Relations (NICMCR), dan Radboud University ini menjadi sumbangsih penting dalam kajian agama dan ekologi, terutama di Indonesia. Michael S. Northcott, profesor dari University of Edinburgh yang juga mengampu mata kuliah Religion  and Ecology di CRCS dan ICRS, menggarisbawahi, “Tujuh dari sembilan studi kasus yang diangkat buku ini menggambarkan situasi terkini perkembangan di Indonesia dan konsekuensinya terhadap masyarakat.” Bab-bab dalam buku ini menandai salah satu kecenderungan baru dalam kajian agama dan ekologi. Tidak sekadar mengkaji apa yang dimaktubkan dari teks suci atau ajaran suatu agama mengenai lingkungan, penelitian di buku ini menekankan pada studi empiris di beberapa lokasi dan melibatkan berbagai komunitas keagamaan, termasuk perspektif agama leluhur, dari berbagai wilayah di Nusantara.

Salah satu temuan penting dalam buku ini adalah peran vital agama bagi masyarakat Indonesia dalam memobilisasi bentuk-bentuk perlawanan terhadap pendekatan industri teknologi kapitalis yang sangat dominan terhadap lingkungan—yang menjadi cikal bakal krisis ekologi. Dengan kata lain, “Buku ini adalah rekam jejak krisis antara kebudayaaan multiagama yang ada di Indonesia dan narasi yang kuat dari dominasi teknologi dan ekonomi,“ tukas Northcott yang juga menjadi editor buku ini.

Di sisi lain, kompleksitas perkembangan kajian agama dan ekologi di Indonesia juga ditunjukkan melalui keluasan perspektif yang dielaborasi, tidak hanya dari sisi keagamaan tetapi  juga dari sudut pandang sekularisme, “Bagaimana pandangan sekuler berinteraksi dengan pemahaman agama? Bagaimana mereka bersaing dan berkolaborasi? Dan yang tak kalah penting, bagaimana mereka bercampur dalam praktik kehidupan sehari-hari untuk mengatasi krisis atau tantangan ekologi,” jelas Wijsen. Interkonektivitas kajian juga menjadi catatan Dewi Candraningrum, pendiri Jejerwadon yang menjadi discussant dalam acara ini, “Buku ini mengeksplorasi hubungan manusia dengan alam, khususnya ekspresi simbolik dan ekspresi hidup dari interkoneksinya dalam berbagai teks, etika, dan praktik agama. Di samping itu, buku ini mengacu pada bidang ilmiah ekologi untuk pemahaman tentang proses dinamis ekosistem bumi, yaitu perkembangan paralel dalam hubungan manusia dengan bumi yang didefinisikan sebagai ‘ekologi agama’.” Agama yang dulunya dianggap sebagai bagian dari masalah lingkungan, kini dituntut untuk berkontribusi aktif dalam mencari solusinya. “Menjadi bagian vital dari kemanusiaan atau tenggelam,” tegas Dewi yang beberapa kali menjadi dosen tamu di CRCS UGM maupun ICRS ini.

Dengan demikian, elaborasi dan kolaborasi lintas disiplin menjadi tantangan dalam pengajaran dan penelitian pada kajian agama dan ekologi. Frans Wijsen berpendapat bahwa penting bagi sarjana agama untuk memiliki lebih banyak riset yang bersifat interdisiplier. “Salah satu upayanya adalah menggunakan pendekatan studi agama yang lebih komprehensif dan juga terus berkontribusi aktif dalam merespon perkembangan teknologi ataupun  diskursus pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, membuat suara kita lebih didengar adalah tantangan tersendiri untuk masa depan studi agama”.

Kajian agama dan ekologi dalam studi agama adalah sebuah upaya agar studi agama dapat lebih bersuara sehingga dapat lebih berkontribusi dan berkolaborasi dengan bidang ilmu yang lain dalam pembuatan kebijakan maupun aksi lapangan untuk mengatasi masalah ekologi. “Di Indonesia dewasa ini, agama selalu menjadi pedoman utama dalam melakukan transformasi. Mendengar bahwa agama berkontribusi pada krisis iklim dan degradasi lingkungan adalah kabar baik. Sebab, hal ini sangat diperlukan karena ia sangat vital, jarang, dan merupakan kebutuhan kita dalam situasi kritis sekarang,” pungkas Dewi Candraningrum menutup diskusi peluncuran buku.

____________________

Ahmad Ridha Mubarak adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Ridho lainnya di sini.
Foto oleh Michael S. Northcott.

Silakan klik “download” dalam kotak biru untuk membaca Daftar Isi dan Bab Pendahuluan buku ini.

Icon

Variaties of Religion and Ecology-Prelim

1 file(s) 346.42 KB
Download

Tags: ahmad ridha mubarak religion and ecology

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju