Berpikir Ulang atas Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Lasem
Teresa Astrid Salsabila – 20 Januari 2023
“Mbak, memang orang Katolik gak boleh masuk kelenteng ya?”
Pertanyaan itu diutarakan oleh salah seorang pemandu lokal di Lasem kepada saya selepas mengikuti ekaristi. Bagi saya, pertanyaan itu malah menimbulkan pertanyaan lainnya. Bukan karena tidak tahu harus menjawab apa, melainkan mengapa pertanyaan itu muncul. Terlebih lagi pertanyaan itu hadir dari warga lokal Lasem yang terkenal dengan toleransi dan multikulturalismenya. Menjawab pertanyaan bapak itu tentu mudah, sebab memang saya tidak pernah menemukan larangan seperti itu dari Romo saya. Namun, pertanyaan dalam benak saya itu tak kunjung mendapatkan jawaban yang utuh hingga akhirnya kami meninggalkan kota tersebut untuk kembali ke Yogyakarta.
Kunjungan lapangan kami pada akhir pekan di awal November silam ke Lasem merupakan bagian dari perkuliahan mahasiswa CRCS UGM dan ICRS. Kecamatan Lasem di Kabupaten Rembang dipilih menjadi destinasi untuk melihat situasi toleransi dan harmoni kehidupan masyarakat yang kental dengan perpaduan budaya Jawa, Tionghoa, dan Arab.
Sebelum berkunjung ke Lasem, saya sudah mengetahui beberapa informasi menarik mengenai kawasan ini dari beberapa literatur. Selain batik Tiga Negeri-nya yang tersohor, sejarah keberagaman masyarakat dan akulturasi budaya di kota kecematan ini membuat saya begitu terpukau. Ketika menyusuri jalan protokol, saya tak dapat berhenti berdecak kagum melihat bangunan kuno berarsitektur khas Tionghoa—rumah tembok dengan atap pelana melebar ke samping—di kanan kirinya. Tepat di pusat kota, Masjid Jami’ Baiturrahman Lasem menjadi rumah singgah rohani bagi para wisatawan muslim maupun santri di sekitarnya.
Meski demikian, ada sesuatu yang cukup mengganjal selama perjalanan di Lasem. Saya tidak banyak bertemu dengan orang-orang keturunan Tionghoa. Pertanyaan dari sang pramuwisata itu juga menguatkan teka-teki saya mengenai keberadaan mereka di Lasem. Padahal, saya pertama kali mengenal Lasem dengan istilah “Tiongkok Kecil” karena budaya dan arsitektur Tionghoa yang sangat kental. Sebenarnya, banyak orang Lasem yang tidak terlalu sepakat dengan istilah tersebut, meski tetap menghormatinya. Kuatnya pandangan orientalisme orang-orang Eropa menjadi salah satu sebab lahirnya istilah ini. Namun, tak bisa dimungkiri, eksistensi warga keturunan Tionghoa di Lasem ikut membentuk wajah utama kota kecil di pantai utara Jawa ini.
Sejarah Kehadiran Orang Tionghoa di Lasem
Sejak abad ke-14, kawasan Lasem sudah terkenal sebagai salah satu kawasan perdikan Majapahit dengan pelabuhan besar nan ramai (Dwi Ratna, dkk., 2015). Wilayah ini menjadi pintu masuk bagi bangsa asing untuk berniaga di Pulau Jawa. Lasem juga tidak ketinggalan disinggahi oleh Laksamana Cheng Ho, seorang diplomat di masa Dinasti Han yang berhasil memperluas hubungan Tiongkok dengan berbagai kerajaan di Asia Tenggara. Salah satu anak buah Cheng Ho yang berasal dari Champa (sekarang bagian dari Vietnam), Bi Nang Un, tertarik untuk menetap di Lasem. Beberapa sumber meyakini bahwa istri dan anak Nang Un adalah salah satu pionir pembuat batik di Lasem karena kepiawaian keduanya dalam menggambar di atas kain.
Nama Lasem kembali mencuat dalam sejarah ketika terjadi peristiwa Geger Pacinan pada 1740. Peristiwa ini pulalah yang menjadi awal perkenalan saya dengan Lasem melalui literatur. Perang antara Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan orang-orang Tionghoa pada saat itu tidak hanya terjadi di Batavia, tetapi juga merembet ke kota kecil seperti Lasem. Bagian dari kisah Geger Pacinan di Lasem ini lebih dikenal dengan nama Perang Kuning (1740-1743). Dinamakan demikian karena saat itu kulit kuning merupakan sebutan rasisme untuk orang-orang Tionghoa yang berkulit terang—untuk membedakan dengan sebutan kulit putih bagi orang-orang Eropa yang sama-sama berkulit terang. Namun, perang ini tidak hanya melibatkan orang-orang Tionghoa. Masyarakat Jawa dan para santri juga bahu-membahu berjuang melawan kongsi dagang Hindia-Belanda tersebut. Semua yang turut di medan perang menggunakan seragam berwarna hitam guna mengelabui tentara VOC.
Meski akhirnya mengalami kekalahan, rasa dan semangat perjuangan di tengah perbedaan latar belakang tersebut terus bertahan di masyarakat Lasem. Ketika mengunjungi Kelenteng Tjoe An Kiong, kelenteng tertua di Lasem dan salah satu yang tertua di Jawa, kami menemukan replika Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC yang menunjukkan tokoh-tokoh penting dalam babak perjuangan tersebut. Patung Tan Sin Ko (Singseh), Souw Pan Tjiang (Kapiten Sepanjang), Raden Tumenggung Widyaningrat, Raden Panji Margono, Tan Kee Wie, dan Bupati Martopuro terlihat heroik dalam menantang para petinggi VOC yang diwakili oleh Mayor Gerrit Mom, Mayor Baron van Hohendorff, dan Kapten Nathaniel Steinmetz. Monumen aslinya berada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Monumen replika ini didirikan oleh Paguyuban Warga Lasem untuk menghormati perjuangan para leluhur mereka melawan penjajah. Kutipan Ir. Sukarno tentang penghargaan terhadap jasa pahlawan menutup penjelasan pada plakat monumen tersebut. Peristiwa ini juga menjadi bukti bahwa orang-orang keturunan Tionghoa pun turut serta dalam mengupayakan pembentukan negara yang nantinya menjadi Indonesia. Sayangnya, narasi ini seringkali luput disampaikan di buku-buku pelajaran sekolah.
Kepemilikan sejarah bersama (shared history) ini menjadi salah satu aspek bagi warga Lasem untuk mempertahankan perdamaian dalam kebinekaannya. Perjuangan pemimpin multietnis dan agama dalam Perang Kuning menjadi dasar rasa persaudaraan bagi warga Lasem (Iqbal Ahnaf, 2020). Histori perbedaan agama di Lasem tidak pernah dianggap sebagai sebuah ancaman. Sebaliknya, hal ini merupakan fondasi keterikatan kolektif bagi kemajemukan di Lasem.
Dilema Tersembunyi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Lasem
“Konon di sini itu (disebut) ‘The Little Tiongkok’. Banyak banget Cina-nya. Sekampung ini, hanya empat yang bukan Cina, termasuk saya. Tapi tidak ada satu pun yang berbahasa Mandarin. Kenapa? Menurut saya, ini justru sukses dalam membumikan mereka-mereka (keturunan Tionghoa) di sini sehingga tidak ada lagi istilah Cina, Jawa, Arab.”
Pernyataan yang disampaikan oleh K.H. Ahmad Zaim—pendiri dan pengurus Pondok Pesantren Kauman yang berada di Kawasan Karangturi—tersebut menciptakan dua pandangan yang bertolak belakang bagi saya. Menghindari penonjolan identitas etnis tertentu memang mengurangi potensi konflik antarmasyarakat Lasem. Pria yang akrab disapa Gus Zaim ini menjelaskan, pernikahan antaretnis lumrah dilakukan di Lasem sejak zaman dahulu, terutama bagi para tokoh-tokoh pemimpin komunitas, untuk menjalin persaudaraan sedarah dan menghindari konflik di masa depan. Oleh karena itu, menemukan warga keturunan Tionghoa berkulit sawo matang layaknya orang Jawa atau seorang muslim yang punya nama dengan tiga suku kata singkat ala masyarakat Tionghoa merupakan hal biasa.
Akan tetapi, hegemoni terhadap identitas dan budaya masyarakat Tionghoa juga tersirat dalam cerita tersebut. Agar dapat diterima sebagai Indonesia seutuhnya, warga keturunan Tionghoa mau tidak mau harus melepaskan sebagian ke-Tionghoa-annya—salah satunya kemampuan berbahasa Mandarin. Penekanan praktik budaya dan manifestasi identitas Tionghoa yang terjadi pada era Orde Baru juga sempat mengemuka dalam diskusi di Pondok Pesantren Kauman. Saat saya mendapatkan kartu nama dari salah satu pemandu wisata kami, ia mencantumkan dua namanya sekaligus: nama Indonesia dan nama Tionghoa.
Saat kami berkunjung ke Kelenteng Tjoe An Kiong, sang penjaga kelenteng, Pak Iwing, mengamini bahwa dirinya pun tidak dapat berbahasa Mandarin meski seorang keturunan Tionghoa. Pak Iwing juga menyampaikan, semakin sedikit generasi muda keturunan Tionghoa di Lasem yang datang ke kelenteng karena kekristenan yang mereka peluk. Menurutnya, ajaran Kristen melarang mereka untuk pergi ke kelenteng. Padahal, kunjungan tersebut perlu dilakukan untuk menghormati para leluhur.
Sebagai seorang Kristen, saya cukup kaget dengan penjelasan tersebut. Dalam ajaran Katolik yang saya anut (ya, Katolik itu bagian dari Kristen), tidak pernah ada larangan seperti itu. Memang ajaran kekristenan begitu luas dan beragam. Saya juga tidak mau menciptakan asumsi apa pun dari pernyataan itu. Namun, tetap saja, penjelasan tersebut membuat saya bertanya-tanya. Apalagi, berdasarkan pemantauan saya, di pusat Lasem sendiri terdapat lima gereja dari berbagai denominasi. Asumsi perihal tendensi akan sinkretisasi bisa menjadi alasan pelarangan ini. Padahal, menurut saya, seorang Tionghoa bisa saja terus datang ke kelenteng untuk menghormati leluhurnya tanpa perlu melepaskan identitas agama yang tercantum dalam KTP-nya.
Di sisi lain, eksistensi warga keturunan Tionghoa di Lasem semakin terancam dengan semakin banyaknya anak muda yang melakukan migrasi ke luar Lasem. Sebagian besar dari mereka pindah untuk mengenyam pendidikan dan memilih untuk melanjutkan kehidupannya di luar Lasem. Tidak heran, sebagian besar warga Lasem keturunan Tionghoa yang kami jumpai sudah berumur lanjut. Oleh karena itu, jumlah populasi masyarakat keturunan Tionghoa di Lasem semakin lama terus berkurang dan hanya meninggalkan rumah-rumah kuno yang pada akhirnya dialihfungsikan.
Meski tidak memaksa yang sudah berpindah untuk kembali ke kampung halaman, mereka tetap berharap keluarga mereka dapat pulang sejenak ke Lasem. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan berbagai festival. Namun, penyelenggaraan acara semacam ini tidak sepenuhnya mudah. Kendala finansial dan pandemi Covid-19 membuat Lasem harus berupaya lebih keras untuk mengajak warganya menengok sebentar pada kampung halaman.
Beberapa tahun belakangan, Lasem tengah mempersiapkan diri untuk diresmikan sebagai kota pusaka. Sejak 2021, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menata kawasan Lasem supaya dapat memenuhi fungsinya sebagai kota budaya dan destinasi wisata tanpa menghilangkan kearifan lokal. Bagi saya, tanpa adanya pelabelan resmi apa pun, Lasem telah menjadi kawasan istimewa dengan nilai budaya, religius, dan historis yang kuat.
Di samping revitalisasi gedung-gedung kuno, menurut saya yang penting juga diupayakan adalah peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat Lasem sebagai bagian integral kota pusaka. Keindahan kawasan ini tentu akan menjadi masalah berkelanjutan jika warganya belum siap untuk menyambut tamu dari seluruh Nusantara, atau bahkan dunia. Selain itu, setiap komunitas dari masyarakat Lasem juga perlu diberikan ruang agar identitas mereka tidak menjadi label promosi semata. Eksistensi masyarakat keturunan Tionghoa di Lasem harus mulai menjadi perhatian dan pergumulan bersama, baik secara kuantitas maupun representasi dalam identitas Lasem sebagai kota multikultural. Jangan sampai Tionghoa hanya diingat melalui apa yang mereka tinggalkan tapi tidak mempertahankan yang masih hidup sebagai anggota dalam masyarakat Lasem.
______________________
Teresa Astrid Salsabila adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini diambil dari laman getlost.id (2019)