Bincang Bersama Paul Knitter: Dialog Korelatif dan Dialog Antaragama (Bagian 2)
Vikry Reinaldo Paais – 1 Februari 2023
Jika di bagian sebelumnya kami berbincang tentang batas-batas dan peluang bentuk dialog antaragama, kali ini Paul Knitter masuk dan berefleksi lebih jauh tentang sejarah gelap antara kekristenan dan agama leluhur serta apa yang bisa kita lakukan terhadap hal itu. Lebih lanjut, Knitter berusaha membuka ruang dialog yang korelatif—baik sebagai umat Kristen yang berupaya mengabarkan kesaksian tentang Yesus, maupun sebagai pencari kebenaran sejati yang terus belajar dari tradisi agama atau kepercayaan lain.
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari wawancara. Bagian pertama wawancara ini bisa dilihat di sini.
Dalam buku, Anda mengutarakan banyak kritik terhadap gagasan kekristenan yang eksklusif terhadap agama-agama dunia yang lain. Sebaliknya, beberapa konteks menunjukkan bahwa relasi Kristen dengan agama leluhur cenderung diskriminatif. Bagaimana tanggapan Anda terhadap realitas tersebut?
Saya sadar apa yang telah orang “kulit putih” lakukan terhadap kebudayaan dan agama leluhur di negara ini sangat mengerikan. Misalnya, dosa Amerika Serikat dengan tindakan semacam genosida terhadap penduduk pribumi Amerika. Sangat mengerikan.
Saya percaya, hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Orang Eropa di Amerika menyebutnya manifest destiny, percaya bahwa kami—orang “kulit putih”—memiliki panggilan takdir. Ada perasaan superior dibanding budaya-budaya tersebut dan oleh sebab itu, kami memiliki hak dan kewajiban untuk menyubordinasi mereka. Sebagian besar rasa supremasi tersebut berakar pada superioritas kekristenan. Saya dan rekan saya menulis sebuah buku yang mengeksplorasi bagaimana supremasi orang kulit putih di Amerika dijustifikasi oleh klaim-klaim kekristenan sebagai satu-satunya agama yang benar—Yesus Kristus menjadi satu-satunya juru selamat.
Jadi, realitas tersebut haruslah dihadapi terlebih dahulu.
Dalam periode awal saya menulis, selama 1980-an dan awal 1990-an, banyak teolog Kristen yang mencari pendekatan korelasional dan pluralis terhadap agama lain. Klaim seperti, “ada kebenaran, kebaikan, dan nilai” diperluas kepada semua agama, termasuk agama leluhur. Namun, saat itu saya tidak begitu menyadari nilai-nilai agama leluhur, seperti yang saya pernah saya lakukan di Buddha atau Hindu. Saya mengakui bahwa itu kekurangan saya. Namun, saya tidak pernah berniat mengeksklusi agama leluhur. Hanya saja, saya tidak berbicara banyak tentangnya.
Lalu bagaimana pendapat Anda tentang agama leluhur dalam konteks dialog antaragama?
Banyak hal perlu didalami dari ajaran dan pengalaman bagi agama leluhur tentang “apa yang kita sebut Tuhan”. Mereka tidak menemukan Tuhan melalui kitab suci, mereka juga tidak menemukan Tuhan dalam tokoh individu seperti nabi. Mereka menemukan Tuhan pada tanah, lingkungan, dan binatang.
Bagaimanapun juga, saya ingin mengikutsertakan agama leluhur secara eksplisit ke dalam dialog. Berkaitan dengan pertanyaan Anda, saya akan memberikan prioritas tertentu kepada agama leluhur karena kerusakan dan tantangan ekologis yang sedang kita hadapi saat ini. Yang mereka praktikkan adalah agama yang benar-benar mengajarkan kita tentang menemukan dan mengalami “kesucian” dalam materi: di bumi, pepohonan, dan binatang.
Bagi mereka, dan bahasa filosofis saya, agama leluhur sangat mengakui nondualisme antara spirit dan materi. Bagi agama leluhur, materi bukan sebatas benda mati, melainkan juga spirit atau jiwa. Saya tidak mempelajari agama leluhur Indonesia, tapi saya mempelajari agama leluhur penduduk Amerika. Saya berpartisipasi dalam beberapa ritual mereka. Sebuah pengalaman keilahian yang sangat kuat.
Jadi, ya, saya rasa kita dapat memberi prioritas tertentu dalam dialog antaragama. Sebagai umat Kristen, kita perlu mengutamakan dialog dengan agama-agama leluhur, karena kebutuhan akan kelestarian bumi kita—bumi satu-satunya yang kita punya.
Dialog bukan hanya tentang sebuah percakapan formal, melainkan juga aksi-aksi sosial. Namun, aksi sosial tersebut cenderung bermuara pada kristenisasi. Padahal, kita seyogianya perlu menerima eksistensi agama leluhur sebagaimana mereka ada, bukan sebagaimana kita mau mereka ada. Bagaimana tanggapan Anda?
Jika boleh saya katakan, kita mau agama leluhur—juga agama apa pun—untuk melestarikan identitas, kekhasan, dan semua kebaikan dalam tradisi mereka. Namun, sebagai umat Kristen, kita juga ingin memberi kesaksian tentang Yesus Kristus. Jadi, ada sesuatu yang harus kita pelajari dari agama leluhur dan, sebaliknya, mereka memiliki sesuatu yang dapat mereka pelajari dari Injil Yesus Kristus.
Jadi, menurut saya, dialog adalah “saya mau belajar”, sekaligus “saya juga mau memberi kesaksian”. Keduanya setara. Dalam memberi kesaksian, tidaklah dengan memaksakan dan mengatakan bahwa imanku lebih baik dari pada Anda, tetapi apa yang dapat Anda pelajari dari pesan Yesus.
Dialog Kristen dengan agama lain harusnya berpusat pada kepedulian bagi mereka yang tertindas, seperti yang dikhotbahkan Yesus tentang Kerajaan Allah. Tidak hanya mengalami Tuhan dan bertransformasi secara personal, tetapi bertransformasi secara sosial yang berdasarkan keadilan. Itulah kesaksian yang saya rasa kita perlu berikan, sekaligus kita pelajari.
Karena itu, ordo atau tarekat misionaris yang saya gunakan dahulu sebagai seorang pendeta adalah the Society of the Divine Word. Mereka sangat aktif di Flores, Indonesia. Mereka adalah misionaris yang sangat progresif. Bagi mereka, menjadi seorang misionaris Kristen adalah untuk melanjutkan dialog kenabian. Jadi, yang paling utama ialah dialog yaitu pergi untuk belajar. Itulah yang menjadi bagian dari makna misionaris: pergi untuk belajar, bukan untuk konversi.
Dialog kenabian adalah juga soal bersaksi tentang Yesus. Artinya, ada yang ingin saya pelajari, sekaligus ada juga yang ingin saya sampaikan. Saya percaya bahwa apa yang Anda pelajari dari Alkitab tidak semata-mata mengharuskan Anda menjadi seorang Kristen. Tidak! Tetap sebagai seorang muslim, tetap sebagai penganut agama leluhur. Namun, apa yang dipelajari dapat memperdalam dan mentransformasi pemahaman diri sebagai seorang penganut agama. Sama halnya dengan saya yang mengalami transformasi atas apa yang saya pelajari dari agama lain. Ini bukanlah konversi. Jika konversi terjadi, maka itu adalah pilihan personal. Beberapa orang mungkin merasa lebih nyaman dengan tradisi agama tertentu, tidak apa-apa. Namun, yang terpenting, apa yang kita lakukan terhadap orang lain adalah saling membantu untuk memperdalam, atau mungking mengoreksi beberapa kepercayaan lama kita. Jadi, saya sangat menyukai deskripsi tentang dialog kenabian.
Bagaimana Anda melihat dan merespons masa depan dialog antaragama berdasarkan realitas saat ini?
Usia saya yang sudah 83 tahun sekarang dan cukup banyak terlibat dalam dialog antaragama.
Ketika berusia 23 atau 24 tahun, saya menetap di Saint Peters, Roma. Pada 11 Oktober 1962, saya menyaksikan awal Konsili Vatikan II Gereja Katolik. Saya masih seorang mahasiswa kala itu. Ketika membaca kalimat Nostra Aetate, yaitu Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen, saya terdorong untuk mencari cara berdialog dengan agama-agama lain. Setelah bertahun-tahun, John Hick dan saya memublikasikan sebuah buku The Myths of Christian Uniqueness. Seiring berlalunya waktu, saya melihat semakin banyak gereja mengakui kebutuhan untuk terlibat dalam percakapan bersama orang-orang agama lain—bahkan Gereja Evangelis. Jadi, saya sangat optimis bahwa ada perkembangan dalam kekristenan soal ini—tidak hanya gereja saya, tetapi juga gereja lain yang saya amati.
Anda pernah mengajar di Indonesia. Menurut Anda, bagaimana masa depan dialog antaragama yang korelatif di sini?
Beberapa kali saya diberi kesempatan untuk mengajar di CRCS UGM Yogyakarta. Sebagian besar mahasiswanya saat itu muslim dan saya melihat keterbukaan. Saya rasa, Islam memiliki basis dalam Al-Qur’an yang lebih baik untuk dialog antaragama ketimbang Kristen. Bagaimana pun, saya sangat berharap dan percaya bahwa inspirasi utama untuk dialog yang lebih autentik, lebih korelasional, dan lebih pluralistik adalah fakta bahwa dunia membutuhkannya. Saya menyukai kalimat, “Sekian lama agama menjadi bagian dari masalah, kini agama harus menjadi bagian dari solusi”.
Jadi saya berharap penuh tentang ini.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.