Meta Ose Ginting | CRCS | Wednesday Forum Report
Elizabeth Inandiak began her presentation in Wednesday Forum with the familiar fairy tale opening “once upon a time.” A distinguished French writer who has lived in Yogyakarta since 1989, she herself is a story teller. In her newest book Babad Ngalor Ngidul (Gramedia, 2016), she tells how she came to write her children’s book The White Banyan published in 1998, just at the end of the New Order. She explained that the book grew out of the tale of the “elephant tree” tale that she created herself after she “bumped” into a banyan tree while she was wandering in her afternoon walk back in 1991. Her story became reality when shemet Mbah Maridjan, the Guardian of Mt. Merapi, and was shown a sacred site at Kaliadem on the slopes of Mt. Merapi, a white banyan tree. Her new book about the conversation between the North and South areas of Yogyakarta takes its name from Babad (usually a royal chronicle, but here of two villages) and the phrase Ngalor-Ngidul, which in common Javanese means to speak nonsense but for her is about the lost primal conversation between Mount Merapi as the North and the sea as the South.
Quoting the great French novelist Victor Hugo’s remark that “Life is a compilation of stories written by God” Inandiak highlighted how meaning is found in stories which come before larger systems like religion. In her book and her talk, she told stories from her experiences with the victims of natural disasters in two communities, one, Kinahrejo, in the North and one, Bebekan,in the South. Inandiak explained that the process of recovery after a natural disaster is a process with and within the nature. It is about the reconciliation between human communities and nature. In natural disasters people mostly lose their belongings such houses, money, clothes and domesticated animals, but, she said, the most important thing is not to lose their identity. Houses can be rebuilt, but once people lose identity they don’t know how to rebuild anything else. Inandiak spoke about the disaster as a conversation between the North and the South. This is also a kind of stories that helps people deal with their situation, by accepting that disaster are part of natural cycles.
Inandiak also spoke about rituals. First there were the rituals enacted by Mbah Maridjan and Ibu Pojo, the shamaness who was his unacknowledged partner, to connect human communities and nature. The offering ritual they made to Merapi included three important layers that describes their own identities: ancestors, Hinduism and Buddhism, and Islam especially Sufism. Despite all the issues that Mbah Marijan and Ibu Pojo faced before they died in the 2010 eruption, they insisted what they were doing is an act of communicating with the nature that was their home. Second, in order to overcome the difficulties after a disaster, stories and ritual mean a lot for reestablishing the victims’ identity. By doing rituals like dancing or singing, they connect to the wishes that become true. The wishes that they made bring such a different in their perspectives in continuing life. Through ritual people want to get connected with nature and Inandiak told how she helped these villages rebuild their identities.
In the question and answer session, we were moved by many fascinating question about the relation of nature and person. One of them is how the three layers in Javanese ritual—reverence for ancestors, Hinduism and Buddhism, and Islam, particularly Sufism—deal with the interference of world religion. Inandiak responded that there must be many changes brings by the world religion, especially in Kinahrejo, where Mbah Maridjan faced pressure from fundamentalists. The way villagers perceive myth changes from time to time. Their Muslim-Javanese identity is something they need to maintain in negotiation. In answering the issues about participants in the rituals wearing hijab, Inandiak argued that these layers should be clearer. They are not rooted in one story. But to maintain the customs is also important.
Inandiak closed her presentation with a remarkable message that disasters come from the interaction of people and nature but no one should feel guilty or think that any disaster is the result of sin or human mistakes. The most important things are not to give up and to work to rebuild identity.
Articles
Azis Anwar Fachrudin | CRCS UGM | Article
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”12″]”Sebagai tanggapan atas fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang isunya memanas dan menjadi perbincangan populer di awal tahun ini dan masih berlangsung hingga hari ini, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada (UGM), menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk “Negara dan Penanganan Konflik Sosial: Kasus Gafatar/Millah Abraham” pada Jumat, 23 September 2016. Bertempat di gedung Sekolah Pascasarjana UGM, diskusi yang dipandu Dr. Zainal Abidin Bagir (Dosen CRCS UGM) tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Hadi Suparyono (perwakilan dari eks-Gafatar), Tantowi Anwari (dari Serikat Jurnalis untuk Keragaman [SEJUK]), Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf (Peneliti dan Dosen CRCS UGM), dan sekitar 40 orang sivitas akademika UGM maupun dari kalangan yang lebih luas. Tulisan ini didasarkan pada percakapan pada diskusi tersebut dan beberapa sumber lain, yang ditulis oleh Azis Anwar Fachrudin dan dilengkapi oleh Zainal Abidin Bagir.”[/perfectpullquote]
Bagaimana memahami fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang isunya memanas di awal tahun 2016 ini? Pembahasan tentang pertanyaan ini penting sebab dampak yang timbul dari gerakan yang merupakan kelanjutan dari gerakan Millah Abraham ini tidaklah sepele. Upaya menyelesaikan masalah tersebut harus dimulai dengan pemahaman yang tepat mengenai fakta dan juga narasi yang dibangun. Narasi itulah yang mendasari kebijakan pemerintah, di bawah banyak kementerian, bahkan juga tampaknya aspek penegakan hukumnya, termasuk pengadilan pidana.
Pada Januari-Februari 2016, terjadi aksi pembakaran terhadap perumahan dan properti yang disusul dengan pengusiran 2.422 keluarga yang berisi 7.916 orang eks-Gafatar dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur; mayoritasnya berasal dari dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pada awal Februari, lebih dari 6000 orang telah dipaksa menjadi ‘pengungsi’, ditampung di enam tempat penampungan di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Tak berhenti di sana, banyak dari mereka yang kembali dari Kalimantan itu mendapat stigma negatif dan diskriminasi ketika kembali ke kampung asalnya. Ada yang mengalami kesulitan untuk bekerja kembali karena stigma itu, sebagian bahkan mendapat kesulitan ketika mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), yang menyebutkan “catatan kriminal” mereka, yaitu pernah menjadi anggota Gafatar. Selain itu, ada pula upaya kriminalisasi dengan dakwaan utama terlibat aliran menyimpang yang menodai agama atau upaya makar. Tiga orang pemimpin Gafatar/Millah Abraham dituduh melakukan penodaan agama, dan pada saat artikel ini ditulis berkas mereka telah dilimpahkan ke Kejaksaan oleh polisi. Jumlah orang sebanyak ini menjadikan peristiwa ini termasuk yang terbesar di antara banyak konflik bernuansa sektarian lain setelah Reformasi, khususnya sejauh menyangkut tuduhan “penodaan agama”.
Apakah Gafatar/Millah Abraham? Beragam Narasi
Pelbagai narasi untuk menggambarakan peristiwa di Mempawah muncul, mulai dari penculikan orang, upaya cuci otak (brainwashing), penodaan agama, makar, penyerangan properti, dan pemindahan paksa. Pemerintah (dari beberapa kementerian dan polisi), akademisi, maupun tokoh keagamaan mengajukan beragam narasi untuk memahami peristiwa itu. Setiap narasi membawa penekanan atau bias tertentu. Dan yang lebih penting, masing-masing narasi membawa konsekuensi berbeda.
Untuk itu Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM) mengajukan beberapa pertanyaan krusial terkait identifikasi, baik peristiwanya maupun entitas Gafatar itu sendiri, dan akibat kongkretnya. Menurutnya, setidaknya ada tiga narasi yang berkembang. Pertama, Gafatar sebagai gerakan politik, persisnya gerakan makar yang diduga kuat punya agenda tersembunyi mendirikan negara dalam negara. Jika dianggap bertujuan makar, Gafatar adalah pelanggar hukum serius yang layak dikriminalisasi.
Kedua, gerakan sosial-ekonomi, yaitu gerakan yang—sebagaimana dinyatakan oleh beberapa petinggi eks-Gafatar sendiri—memiliki program unggulan dan perhatian utama pada pertanian untuk “ketahanan dan kemandirian pangan.” Sebagai gerakan sosial-ekonomi, Gafatar adalah organisasi yang selayaknya didukung pemerintah. Dan, benar, orgnisasi ini memang didukung banyak lembaga resmi negara, sebelum ia akhirnya ditolak di beberapa tempat dan lalu diramaikan media karena dikaitkan dengan kasus penculikan.
Narasi ketiga mengidentifikasi Gafatar sebagai gerakan keagamaan, dengan beberapa variasi. Pertama, dalam bahasa UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penodaan agama, Gafatar dianggap sebagai sebagai aliran menyimpang atau sesat, karena, sesuai bunyi UU itu, memberikan tafsir yang menyimpang dari pokok-pokok agama atau menyerupai suatu agama di Indonesia.
Perlu dicatat bahwa dalam 15 tahun terakhir, bahasa “penodaan agama” tampak makin populer, ditandai dengan semakin sering dipakainya UU tersebut dan Pasal 156 A KUHP yang terkait dengan UU itu. Beberapa penelitian mencatat bahwa dari tahun 1965 hingga tahun 2000, Pasal 156A KUHP itu hanya dipakai sekitar 10 kali; namun sejak tahun 2000 sudah ada sekitar 50 kasus. Ini mungkin tampak sebagai paradoks demokratisasi, namun bisa juga dilihat sebagai konsekuensi demokratisasi sendiri.
Narasi “penodaan agama” disampaikan umumnya oleh para tokoh keagamaan, khususnya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena Gafatar dianggap telah menyimpangkan ajaran Islam. Fatwa MUI menjadi salah satu dasar dari represi Gafatar/Millah Abraham yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang diumumkan pada 24 Maret.
Sebutan lain yang kerap digunakan untuk organisasi semacam Gafatar/Millah Abraham adalah gerakan “kultus” (cult), dengan ciri-ciri tipikal seperti hidup komunal-eksklusif, memuja suatu figur karismatik, kerap dituduh melakukan brainwashing, juga diikuti kasus-kasus yang terkadang disebut oleh anggota keluarganya sebagai penculikan.
Narasi Gafatar/Millah Abraham sebagai fenomena keagamaan tidak selalu harus negatif. Dalam studi sosiologis tentang agama, ada istilah lain, yaitu Gerakan Keagamaan Baru (New Religious Movement), yang telah lazim digunakan sebagai istilah akademik dan dianggap netral. Dosen sosiologi agama UIN Sunan Kalijaga Al Makin menggunakan istilah ini.
Baginya, sebetulnya fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Dalam bukunya yang baru diterbitkan (2016), Al Makin menunjukkan bahwa dalam rentang sejarah sejak setidaknya abad ke-19, Nusantara telah menjadi lahan subur bagi berkecambahnya gerakan spiritual. Ada ratusan tradisi agama yang dalam kajian akademik sosiologis bisa dikategorikan NRM, termasuk gerakan yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Si Singamangaraja XII, yang keduanya bergelar Pahlawan Nasional Indonesia. Di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, kemunculan ratusan gerakan semacam ini tak pernah berhenti. Dengan memahami hal ini, kemunculan gerakan seperti Gafatar sebetulnya tak begitu mengejutkan.
Yang menjadikan Gafatar tampak lebih impresif dibanding gerakan keagamaan baru yang muncul belakangan ini adalah kemampuannya menarik pengikut dalam jumlah amat besar dan lalu bermigrasi ke daerah lain dalam waktu relatif singkat. Besarnya gerakan ini, dan bukan semata-mata kandungan keyakinan keagamaannya, yang tampaknya memperkuat kesan yang makin “mengancam”.
Dosen CRCS sekaligus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Suhadi Cholil menganggap penting ditemukannya suatu penamaan khusus untuk fenomena seperti Gafatar, bukan hanya dari sisi pengkajian, tapi juga advokasi. Ini dapat membantu masyarakat untuk memahami gerakan seperti Gafatar ini tidak sebagai sesuatu yang asing. Suhadi membandingkan dengan advokasi yang relatif cukup berhasil dilakukan dalam beberapa kasus penghayat kepercayaan. Istilah “aliran kepercayaan” sudah akrab di masyarakat sehingga—betapapun masih problematis karena berada dalam posisi inferior di hadapan agama-agama dunia—masyarakat sudah mempunyai istilah yang membantu untuk identifikasi dan kategorisasi.
Dalam kenyataannya, beragam narasi di atas tentang Gafatar saling berkontestasi, dan masing-masing—dengan melihat di mana aksentuasinya dan siapa yang mengungkapkannya—memiliki konsekuensi politis dan hukum yang nyata. Yang menjadi dominan dalam perbincangan populer (bahkan, menurut seorang peserta diskusi, dikabarkan hingga di tingkat obrolan ibu-ibu PKK) ialah narasi bahwa Gafatar merupakan aliran menyimpang dan/atau gerakan makar.
Maka, pertanyaan mula-mula yang penting ialah: sebenarnya siapa atau apa Gafatar ini?
Gafatar dalam Berbagai Dimensinya
Pertanyaan tersebut perlu dijawab bukan hanya oleh pihak luar (baik itu peneliti atau pemerintah), namun juga melihat identifikasi-diri dari dalam Gafatar sendiri. Dalam pemaparannya, Hadi Suparyono menegaskan bahwa ia tidak mewakili seluruh eks-Gafatar. Hadi menunjukkan sebuah video yang dibuat oleh Setara Institute dan Millah Abraham untuk memberikan gambarah jatuh bangunnya Gafatar/Millah Abraham. Ia tidak menampik bahwa ada peran vital dari figur Ahmad Mushaddeq, yang pada tahun 2000 lalu mendirikan gerakan al-Qiyadah al-Islamiyah itu.
Saat Mushaddeq masih dalam tahanan, terang Hadi, ada ribuan dari sekitar 45 ribu pengikut al-Qiyadah yang kemudian membentuk komunitas Millah Abraham pada 2009. “Ideologi utamanya,” terang Hadi, “ialah kembali kepada iman Abraham.” Ide mengenai “Millah Ibrahim” ada dalam al-Qur’an, Namun Hadi juga menyatakan bahwa ideologi ini “sangat berbeda dengan Islam”. Sebagaimana pernah dinyatakan mantan pemimpin eks-Gafatar, Mahful Tumanurung, Gafatar bukan bagian atau sudah keluar dari Islam sehingga, menurutnya, tak selayaknya dihakimi dengan fatwa MUI.
Ringkas cerita, 52 orang dari komunitas Millah Abraham kemudian mendirikan Gafatar pada Agustus 2011 dengan, lanjut Hadi, “berasas Pancasila dengan visi-misi […] mewujudkan kehidupan yang beradab, berkeadilan, dan bermartabat di bawah naungan Ketuhanan Yang Maha Esa melalui penyatuan nilai-nilai luhur bangsa […] sebagaimana sila kedua berdasarkan sila pertama Pancasila.” Berdasar pada visi-misi ini, Hadi menegaskan, “Millah Abraham tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila.”
Pada Januari tahun berikutnya, Gafatar melakukan deklarasi nasional dan mendirikan cabang-cabang di beberapa provinsi. Pelan-pelan segera mulailah muncul tekanan dan stigma-stigma negatif, dan di beberapa daerah deklarasi dan program kerjanya (antara lain berupa bakti sosial dan pelayanan kesehatan) hampir atau berhasil dibubarkan.
Memang ada beberapa daerah yang apresiatif terhadap program dan kerja sosial Gafatar. Namun stigma negatif pelan-pelan berhembus semakin kencang, sehingga banyak anggota Gafatar yang mengalami tekanan sosial, difatwa sesat, dibatalkan Surat Keterangan Tanah (SKT)-nya, diusir dari kampungnya, hingga dibawa ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama. Sampai akhirnya pada Agustus 2015 Gafatar membubarkan diri.
Meskipun telah bubar, banyak eks-anggota Gafatar yang masih ingin melanjutkan kerja sosialnya. Satu hal utama yang dilirik waktu itu ialah pertanian, mengingat Indonesia sedang krisis petani dan banyak tanah pertanian yang telah berubah menjadi perumahan. Maka diluncurkanlah Program Ketahanan dan Kemandirian Pangan, yang rintisannya telah bermula sejak Rakernas Gafatar 2013, dengan pilihan area garapan di Kalimantan—dan orang-orang Gafatar yang sebelumnya diusir dari daerahnya pun segera bergabung menuju Kalimantan.
Dalam keterangan Hadi, orang-orang yang ikut bergabung pindah ke Kalimantan adalah dengan keinginan sendiri, dan “bukan diculik”, termasuk—yang menjadi pemicu mulai panasnya isu Gafatar di media—kasus dokter Rica Tri Handayani, yang pengadilannya dilangsungkan di PN Sleman, DIY. (Ada dua kasus, yang belum lama ini diputuskan, pada 29 September dan 17 Oktober 2016).
Dengan latar belakang Gafatar sebagai kelanjutan dari Millah Abraham yang diajarkan Mushaddeq, narasi keagamaan memang sulit dielakkan. Ini, pada gilirannya, berimbas pada vonis sebagian orang bahwa Gafatar adalah aliran menyimpang, sesat, mencampuradukkan agama, dan pelabelan lain yang senada. Namun Hadi menampik hal itu. “Ajaran Millah Abraham yang dianut Gafatar,” ujar Hadi menjelang mengakhiri presentasinya, “tidak mencampurkan agama.” Karena, lanjutnya, “mencampuradukkan agama itu ya salat, ya ke gereja, ya ke sinagog.” Gafatar, dalam keterangan Hadi, berupaya kembali ke “pokok anggur”, dari spirit utama Nabi Ibrahim, dengan mengambil inspirasi dari al-Quran dan Alkitab.
Mengakhiri presentasinya, Hadi menjelaskan bahwa setelah Gafatar bubar, ada sebagian dari eks-anggotanya yang ingin meneruskan program pertanian dan program Kampung Pancasila di daerah-daerah di Kalimantan yang sebelumnya merupakan kampung-kampung binaan Gafatar. Para eks-anggota Gafatar di Kalimantan, lanjut Hadi, dapat menghasilkan 10 ton dari 1 hektar sawah sekalipun mereka dianggap para petani amatiran. Dan meski sudah berusaha baik terhadap masyarakat sekitar, bahkan direstui oleh camat di kampung binaannya, Hadi memaparkan ironi bahwa para eks-anggota Gafatar malah dianggap gerakan makar, bahkan dituduh telah membeli dan menyimpan senjata.
Cukup terang dari paparan Hadi Suparyono bahwa ada banyak elemen esensial dari Gafatar sebagai suatu gerakan. Aspek keagamaan memang ada, namun kenyataan bahwa Gafatar juga merupakan gerakan sosial-ekonomi (pertanian) juga tak bisa dikesampingkan—tanpa mengabaikan persengketaan tentang ‘penculikan’ yang masih dalam proses pengadilan. Lalu, pertanyaan berikutnya, bagaimana aspek-aspek yang kompleks ini dinarasikan terutama, dalam tahap yang paling krusial, di media massa?
Media Membentuk ‘Fakta’
Tantowi Anwari, aktifis di Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), mengungkapkan beberapa problem yang terjadi dalam narasi media. Di antaranya ialah kenyataan bahwa beberapa media besar (baik cetak maupun online)—setelah isu Gafatar memanas—segera menarasikan peristiwa perpindahan ribuan orang ke Mempawah itu sebagai isu “cuci otak” dan “penculikan” dengan narasumber utama dari kepolisian.
Media tidak memberikan representasi yang proporsional dari perspektif korban, atau setidaknya mengupayakan adanya konfirmasi dari para eks-anggota Gafatar sendiri. Hal ini, dalam taraf tertentu, membuat para eks-anggota Gafatar merasa tidak terwakili dalam kadar yang seharusnya di media.
Di samping itu, Tantowi juga memaparkan bahwa ada beberapa media yang cenderung gagap ketika berhadapan dengan isu “SARA” yang dianggap sensitif, di antaranya karena kekhawatiran memancing protes kelompok yang mengklaim sebagai perwakilan mayoritas umat beragama. Yang terakhir ini, terang Tantowi, pernah terjadi dalam kasus Tolikara, Aceh Singkil, dan razia warung di bulan Ramadhan.
Lebih penting dari itu, Tantowi menyayangkan media yang banyak jurnalisnya cenderung berperspektif ‘netral’ saja, mewartakan konflik bernuansa keagamaan sekadar “memberitakan peristiwa”, atau bahkan kadang melakukan keberpihakan yang semakin memperkuat narasi yang cenderung sektarian. Misalnya, pemberitaan media yang memberikan penekanan pada fatwa MUI dengan diksi yang bernada seolah-olah fatwa MUI adalah otomatis suara mayoritas umat Islam atau bahkan suara pemerintah.
Bagi Tantowi, seharusnya media melampaui prinsip netral itu dan memiliki tanggungjawab sosial lebih besar. Ini karena media, terang Tantowi mengutip Malcom X, “mengendalikan pikiran massa.” Dengan kata lain, pemberitaan media tidak akan pernah murni netral, sebab betapapun media adalah penyaring peristiwa: jembatan yang sekaligus memfilter ‘fakta’, dan dengan demikian membangun narasi, bagi para pembaca.
Dengan perspektif akan kenyataan media yang semacam ini, mungkinkah memberikan narasi lain yang bisa mewakili kepentingan korban, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi bias yang sektarian dan mendorong terjadinya rekonsiliasi damai?
Membingkai Ulang Realitas: Penyimpangan atau Persaingan Kepentingan?
Mohammad Iqbal Ahnaf, dosen CRCS UGM, memproblematisasi salah satu kecenderungan perspektif yang dominan dalam narasi-narasi populer. Di antaranya ialah perspektif yang berlandaskan paradigma “kekerasan terjadi akibat intoleransi”. Paradigma ini berasumsi bahwa orang-orang menyerang Gafatar karena mereka tidak suka dengan keyakinan Gafatar. Paradigma ini problematis karena dua alasan: narasi yang terbangun dari anggapan itu dan bagaimana menyikapinya.
Paradigma “kekerasan terjadi akibat intoleransi” pada umumnya akan memperkuat narasi bahwa kasus Gafatar ini adalah isu agama. Narasi ini cukup dominan, dan dipakai bukan hanya oleh pelaku namun juga oleh pemerintah, bahkan juga korban.
Dalam logika hukum, ketika isunya dibatasi sebagai isu agama, yang akan cenderung dipakai—dalam konteks Indonesia mutakhir—ialah undang-undang pencegahan penodaan agama (UU No. 1/PNPS/1965) dan pasal terkait dalam KUHP, yaitu Pasal 156A. Terbukti, kriminalisasi sebagian eks-pemimpin Gafatar saat ini menggunakan undang-undang tersebut. Dalam konteks satu dekade mutakhir di Indonesia, vonis “sesat” atau “menyimpang” bukan lagi sekadar istilah agama, melainkan juga telah menjadi terminologi hukum.
Sebetulnya bahasa hukum lain yang tersedia adalah kemerdekaan beragama dan berkepercayaan yang ada dalam UUD (sejak 1945 dan diperkuat setelah Amandemen kedua pada tahun 2000), UU HAM (1999), dan ratifikasi ICCPR (UU No. 12/2005). Ini bisa dipakai untuk mengidentifikasi pelanggaran hak sipil, diskriminasi, pelanggaran atas keamanan, dan sebagainya.
Nyatanya bahasa hukum yang dominan adalah yang menempatkan gerakan semacam Gafatar dalam posisi defensif dan didikte oleh yang mendominasi wacana. Dalam posisi semacam ini, eks-anggota Gafatar, yang mengadopsi bahasa tersebut dan menjadikan ini sebagai isu agama, bukannya meredakan malah mungkin justu dapat memperunyam masalah. Kontestasi antara bahasa kebebasan dan penodaan agama demikian kuat, dan, tampaknya, yang kedua lebih popular bukan hanya di kalangan umat beragam arus utama, tapi juga pemerintah, bahkan aparat penegak hukum.
Lalu apakah ada bahasa lain? Iqbal menawarkan untuk membaca kasus Gafatar ini sebagai konflik. Dalam teori konflik, bahasa yang dipakai ialah bahwa pihak-pihak yang bertikai memiliki kepentingan (interest) dan kebutuhan (needs). Berpijak pada paradigma ini, maka paradigma yang mendasari bukanlah “kekerasan terjadi akibat intoleransi”, melainkan “konflik terjadi karena adanya benturan kepentingan”. Berlandaskan pada paradigma ini maka mediasi pihak-pihak yang bertikai dan rekonsiliasi untuk menegosiasikan apa kepentingan dan kebutuhan masing-masing bisa lebih dimungkinkan.
Dalam paradigma yang terakhir ini pula, fenomenanya dibingkai bukan dengan menegosiasikan isu—sehingga persengkataan tentang isu agama bisa dihindari—melainkan berpindah kepada negosiasi realitas. Dalam negosiasi realitas ini, korban punya kesempatan untuk “menciptakan cerita,” antara lain dengan memperkuat narasi bahwa fakta yang terjadi adalah orang-orang membakar rumah, merusak properti, dan mengusir paksa, dan bukan orang-orang sedang menyebarkan ajaran sesat, apalagi makar, sehingga layak diusir.
Dengan membaca peristiwa ini sebagai konflik, maka logika yang beroperasi adalah bagaimana memikirkan resolusi konflik. Dalam soal terakhir ini, Iqbal sempat menyinggung Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial (UU No. 7/2012) yang, sayangnya, tidak digunakan secara maksimal. Salah satu penyebabnya adalah, menurutnya, belum ada institusi yang kokoh dan efektif untuk mengimplementasikannya dan minimnya ahli resolusi konflik sebagai tempat berkonsultasi. Penyebab lain tidak efektifnya resolusi konflik ini adalah, sekali lagi, dominannya narasi bahwa kasus Gafatar dan kasus lain yang serupa adalah isu agama.
Berangkat dari perspektif semacam inilah Iqbal mengajukan usulan agar ada transformasi, bukan hanya di kalangan pemerintah, tapi juga dari dalam eks-anggota Gafatar untuk membingkai ulang cerita (reframing the stories) dan mengalihkan fokus bukan dalam isu keagamaan (dan sebagai konsekuensinya: meminimalisasi menggunakan bahasa agama) melainkan kepada kepentingan yang bisa dipadukan dalam suatu titik temu (shared interests).
Masalah yang Tersisa
Apa kemudian yang bisa disimpulkan? Satu hal yang bisa menjelaskan mengapa Gafatar menjadi terasa mengancam adalah kegagalan atau kegagapan memahami fenomena sosial kemunculan kelompok-kelompok semacam itu yang sebetulnya tidak terlalu aneh dalam sejarah Indonesia.
Kegagapan itu diperkuat dan direproduksi melalui pemberitaan media yang, berbeda dengan di masa lalu, menjadikan peristiwa ini hadir demikian dekat dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi ketika logika media menuntut untuk menampilkannya sebagai peristiwa yang demikian dramatis dan sensasional, sehingga fakta tentang cuci-otak dan penculikan seakan-akan menjadi penjelasan yang memuaskan, meskipun kebenarannya masih dipertanyakan.
Tentu soalnya bukan hanya lemahnya atau tidak tepatnya pengetahuan mengenai fenomena ini. Narasi dominan yang menyebutnya sebagai gerakan sesat dan makar hidup dalam kontestasi politik kegamaan Indonesia hari-hari ini, yang memperebutkan ruang luas demokrasi pasca-1998.
Heterodoksi atau sinkretisme Gafatar mewakili kekuatan yang dilawan oleh sekelompok orang yang melihatnya sebagai mengotori religiusitas ruang publik yang mesti dijaga kemurniannya. Jumlah pengikut Gafatar yang besar menjustifikasi kesan bahwa ini adalah gerakan yang bukan hanya mengancam akidah tapi juga stabilitas NKRI.
Dalam situasi ini, pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda, baik itu pemerintah, aparat penegak hukum, atau militer, saling memperkuat narasi yang berkembang dan menerjemahkannya menjadi sekian tindakan—mulai dari penjagaan keamanan nasional dari upaya makar, perlindungan umat beragama dari upaya penodaan, hingga perlindungan keluarga dari upaya sistematis penculikan anggotanya.
Upaya menyelesaikan masalah yang tersisa mesti dimulai dengan upaya memahami entitas Gafatar/Millah Abraham dengan lebih baik. Selain itu, melampaui beragam narasi yang berkembang, pemerintah masih berhutang menyelesaikan banyak persoalan penting yang tersisa.
Aset milik anggota eks-Gafatar di Kalimantan tidak bisa tidak harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah. Stigmatisasi mereka, yang kini sebagiannya mengalami kesulitan bahkan untuk mendapatkan surat keterangan dari Kepolisian, mesti dihilangkan. Akibat dari stigmatisasi ini adalah kesulitan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara, termasuk akses pada pekerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan.
Beberapa kasus pidana yang kini sedang berjalan—baik menyangkut kasus penculikan maupun tuduhan penodaan agama—mesti mempertimbangkan narasi yang lebih baik tentang peristiwa yang telah dialami anggota Gafatar. Terkait kasus penodaan agama yang menimpa tiga orang pemimpinnya, khususnya, politik yang mendasari tuduhan itu perlu dipahami. Apalagi UU yang terkait”penodaan agama” dianggap cukup problematis karena banyak alasan.
Pemerintah dapat menunjukkan kemauan politik yang kuat agar proses-proses hukum itu tidak justru memviktimisasi korban. Kemampuan pemerintah menyelesaikan serangkaian masalah yang tersisa ini akan menjadi catatan amat penting bagi upaya mengatasi masalah-masalah serupa di masa depan.
Gafatar dalam Narasi: Melampaui Isu Agama
Nidaul Hasanah M | CRCS | Artikel
Sedekah Kedung Winong merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan Ruwat Rawat Candi Borobudur yang dilakukan selama bertahun-tahun di Dusun Gleyoran, sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur. Ruwat Rawat Borobudur sendiri merupakan kegiatan kesenian rakyat yang bertujuan untuk menjaga tradisi, budaya masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Borobudur yang multi etnis dan multi agama. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menjaga dan merawat Candi Borobudur beserta masyarakatnya dan ekologinya agar tetap harmoni dan tidak terdapat relasi yang eksploitatif.
Pada 3 Mei 2016 lalu, mahasiswa CRCS angkatan 2015 yang mengambil mata kuliah Advanced Study of Buddhism mengadakan kuliah lapangan (fieldtrip) dengan menghadiri acara Ruwat Rawat Borobudur selain kunjungan ke Vihara Mendut yang berada dekat Borobudur.
Bagi masyarakat dusun Gleyoran, Sungai Progo beserta ekosistemnya selama ini telah menjadi bagian yang menyatu dan penting bagi kehidupan mereka. Kedung Winong merupakan tempat bagi banyak penduduk dusun Gleyoran untuk menambatkan kehidupan disana dengan mencari bebatuan, pasir serta menjaring ikan. Karena itulah penduduk dusun Gleyoran memiliki relasi yang kuat dengan Kedung Winong yang terletak di daerah aliran Sungai Progo. Bagi mereka Sungai Progo telah memberikan kehidupan sehingga menjaga kelestariannya merupakan hal yang wajib dilakukan oleh penduduk dusun Gleyoran.
Ritual Sedekah Kedung Winong merupakan salah satu bentuk konservasi ekologi Sungai Progo. Ritual yang dilakukan dengan serangkaian doa, tarian dan persembahan hasil bumi masyarakat dusun Gleyoran secara simbolis merupakan bentuk relasi resiprokal menyatunya manusia dengan Sungai Progo. Kelestarian ekologi Sungai Progo bagi penduduk dusun Gleyoran adalah berkah kehidupan. Sungai Progo juga merupakan sungai yang memiliki relasi dengan Candi Borobudur sehingga menjaga ekologi sungai juga menjaga Borobudur dari keserakahan manusia agar harmoni tetap terjadi dan terjaga.
Tujuan lain dari Sedhekah Kedung Winong adalah memecah konsentrasi wisata sekitar Borobudur. Wisatawan biasanya terpusat pada Borobudur dan beberapa dari mereka melakukan hal yang tidak pantas pada tempat suci. Hal yang tak pantas tersebut dianggap mengotori keagungan Borobudur, dengan ritual Sedhekah Kedung Winong diharapkan dapat meminimalisir polusi yang ada di Borobudur.
Saat ini Borobudur memang menjadi magnet wisata bagi seluruh penjuru dunia. Ratusan ribu wisatawan datang demi menyaksikan peninggalan dari Wangsa Syailendra yang dibangun sekitar abad ke 7 Masehi. Pak Coro tak menampik fenomena tersebut, namun dia juga turut mengingatkan bahwa Borobudur juga tempat suci. Bertahun-tahun dia dianggap sebagai benda mati sementara kita lupa bahwa ada kesenangan yang diberikan Borobudur ketika kita menatapnya. Sedhekah Kedung Winong memang hanya dilakukan satu hari, namun Pak Coro beserta pemerhati budaya lain tetap memaksimalkan satu hari tersebut. Mereka ingin membuat Borobudur “beristirahat” sejenak dari hiruk pikuk wisatawan yang datang. Tak lupa, sedhekah ini juga merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada Borobudur atas apa yang telah diberikan. Berkat Borobudur-lah, masyarakat mampu mengambil manfaat baik segi material maupun moral.
Sekali lagi, Pak Coro mengingatkan, Sedhekah Kedung Winong mungkin hanya dilakukan sekali dalam setahun, namun itu tetap bisa kita jadikan pengingat bahwa keharmonisan tidak akan terjadi jika salah satu pihak dirugikan. Seluruh aspek dalam kehidupan bersatu padu menghormati satu sama lain demi terciptanya keserasian alam.
Daud Sihombing | CRCS | Article
Wilfred C. Smith in his book “The Meaning and the End of Religion,” defines reification as mentally making religion into a thing, gradually coming to conceive of religion as an objective systematic entity. In this process, religions are standardized and institutionalized. For instance, there were no “Hindus” who defined their practice as Hinduism until the term Hindu was established by Muslims and later British colonizers who invaded and sought to know and rule India. It was Muslims and Westerners with their concepts of religion who constructed or reified Hinduism.
Based on Smith’s insight, I am going to conduct an art exhibition which I call REIFICATION. In this exhibition I create an imaginary government institution named the Department of Certification. In my exhibition, this fictional governmental institution issues certificates for beliefs that fulfill the requirements to be recognized as a religion. My goals by conducting this exhibition are framing the religious discourse I learned in the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, in a different medium and offering new perspectives for seeing religious life in Indonesia.
This project can be considered a reflection of the past or the prediction for the future. What I mean by the reflection of the past is that I am going to visualize the unseen practice of standardizing the concept of religion and recognizing particular religions that happen in the past, especially in Indonesia. In predicting the future, I argue that this governmental institution can exist in Indonesia when the Bill of Rights protecting all religious people has been finalized.
This method of manipulating, imitating, pretending, or camouflaging in order to document an alternate reality has been used effectively by both Indonesian and foreign artists. An Indonesian artist, Agan Harahap created a photo series entitled The Reminiscence Wall, a compilation of “fictional novels” based on history that combines various realities of what happened in the past. Another example is Robert Zhao Renhui, a Singaporean multi-disciplinary artist. He constructs and layers each of his subjects with narratives, interweaving the real and the fictional. He focuses on the relation between humans and the natural world. Both Agan and Robert Zhao creates new “facts”based on their own fictional narratives.
This exhibition will be held in:
LIR Space, Yogyakarta, from September 3rd to 17th, 2016.
Open 12 pm – 20 pm, Closed on Monday.
It will be curated by Mira Asriningtyas as part of the ongoing Exhibition Laboratory project organized by Lir Space.
Suhadi | CRCS | Artikel
Akhir Juli 2016 lalu terjadi kekerasan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Sebagian sumber menyebutkan tidak kurang dari tiga vihara, delapan kelenteng, satu bangunan yayasan sosial dan tiga bangunan lain dirusak oleh massa. Terdapat enam mobil juga dirusak atau dibakar oleh massa.
Kekerasan tersebut sangat patut disayangkan, meskipun demikian apresiasi kepada masyarakat Tanjungbalai dan aparat keamanan penting dikemukakan. Sebab, setidaknya kekerasan yang terjadi tidak meluas menjadi kekerasan horizontal lebih besar dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun sudah terjadi agak lama, refleksi terhadap peristiwa kerusuhan tersebut tetap penting untuk meminimalisir kemungkinan berulangnya kekerasan sejenis, baik di Tanjungbalai ataupun di tempat lain.
Pendekatan Keamanan
Pada satu sisi, terjadinya pergerakan massa sampai merusak cukup banyak bangunan menunjukkan terlambatnya aparat keamanan bergerak melindungi warga dan patut menjadi catatan penting. Polisi seharusnya sudah bertindak cepat pada hari Jumat (29 Juli) malam itu, ketika massa dimobilisasi.
Di sisi lain, tindakan polisi, setelah kerusuhan terjadi, untuk melokalisir kerusuhan secara cepat, misalnya dengan menjaga keamanan wilayah dan memperketat keluar-masuk orang ke wilayah tersebut, patut diapresiasi. Dalam kasus-kasus kekerasan yang lain, tidak jarang aparat keamanan menjadi bagian dari masalah, atau setidaknya ragu-ragu, untuk dengan cepat mengambil keputusan bahwa kekerasan harus segera dihentikan. Pernyataan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Rina Sari Ginting, tidak lama setelah kerusuhan terjadi bahwa pelaku kekerasan melanggar pidana merupakan statemen yang jelas dan tegas bagaimana negara seharusnya hadir ditengah situasi yang genting.
Kerja bakti membersihkan puing-puing dan bekas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ratusan warga masyarakat Tanjungbalai sehari setelah kerusuhan terjadi dapat dimaknai sebagai isyarat publik bahwa situasi keamanan di Tanjungbalai dapat kembali normal dengan cepat. Ini penting disampaikan, karena dalam beberapa kejadian lain, ketika ketegasan aparat tidak tampak, apalagi jika ada upaya memanfaatkan situasi konflik untuk tujuan politik, situasi di suatu wilayah sulit untuk kembali normal.
Pendekatan Dialog untuk Perdamaian
Kerusuhan Tanjungbalai bukan pertama kali terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, kerusuhan serupa pernah terjadi pada tahun 1979, 1989, dan 1998 (Komnas HAM 2016). Artinya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari berlangsung praktik koeksistensi di masyarakat, potensi konflik bisa berkembang dan pada momen-momen tertentu meledak menjadi kekerasan massa.
Oleh sebab itu, pendekatan keamanan saja tidak akan memadai. Dialog antar kelompok di masyarakat menjadi niscaya dibutuhkan. Dalam konteks masyarakat Tanjungbalai, dialog tersebut mungkin bisa kita sebut dialog multikultural untuk perdamaian.
Disebut dialog multikultural sebab tidak saja menyangkut agama, tetapi juga etnik. Seperti ditunjukkan kasus Tanjungbalai, seorang warga berketurunan Tionghoa, berusia 41 tahun, yang memprotes nyaringnya pengeras suara adzan di samping rumahnya, menyulut diserangnya rumah ibadah umat Khonghucu dan umat Buddha.
Disebut untuk perdamaian karena fokus atau tujuan utamanya adalah perdamaian. Tidak semua dialog memiliki tujuan perdamaian secara langsung. Sebut saja, salah satu contohnya dialog teologis, seperti dialog antar ahli kitab suci agama-agama. Meskipun bisa juga mengarah pada perdamaian, dialog teologis bisa mengarah pada pengayaan teologis an sich dan tidak memiliki pengaruh langsung pada aspek sosial di masyarakat.
Jika kita mengikuti perkembangan wacana antar etnik pasca kerusuhan Tanjungbalai yang berkembang di media, terutama di media sosial, sangat jelas bahwa prasangka antar etnik berkembang luas dan mendalam. Diantara karakter prasangka adalah persepsi negatif dan generalisasi-berlebih (Suhadi & Rubi 2012, konsep tentang prasangka bisa dibaca dalam salah satu artikel buku Kajian Integratif Ilmu, Agama dan Budaya atas Bencana).
Persepsi negatif terhadap suatu kelompok etnik atau agama tertentu, apalagi jika mendapatkan dukungan dari praktik orang-orang dalam komunitas bersangkutan, pada gilirannya dapat berkembang menjadi legitimasi yang efektif untuk meminggirkan, menyerang atau menghancurkan kelompok yang dianggap memiliki perilaku negatif itu. Dukungan fakta praktik negatif tersebut bisa saja ditemukan hanya pada satu-dua orang, atau dalam jumlah lebih besar tetapi terbatas. Di sini terjadi proses transformasi dari identifikasi individu ke identifikasi kelompok.
Lebih-lebih karena bekerjanya prasangka juga bersifat generalisasi-berlebih, maka seringkali sasaran kekerasan yang mengandung unsur prasangka dapat mengenai anggota komunitas yang lebih luas. Bahkan, korban kekerasan bisa jadi adalah orang-orang yang tidak setuju atau menentang sikap negatif dari anggota komunitasnya.
Hal inilah yang persis terjadi di Tanjungbalai. Tindakan satu orang disambut dengan balasan kekerasan yang luas kepada komunitas etnik dan agama yang dianggap memiliki kesamaan identitas. Kekerasan seperti itu tentu tidak sekonyong-konyong terjadi. Sebelumnya berkembang prasangka yang mungkin telah meluas dan mendalam di masyarakat. Penting diingat bahwa pada tahun 2010 telah muncul keresahan terkait dengan upaya penurunan patung Buddha di Tanjung Balai. Peristiwa itu seharusnya sudah menjadi pengingat bahwa ada hubungan sosial yang harus diperbaiki di sana (lihat, misalnya tribunnews.com dan blasemarang.kemenag.go.id)
Agar tidak terulang kembali, kekerasan dan konflik seperti itu tidak bisa dipulihkan hanya dengan pendekatan keamanan. Dialog di tingkat masyarakat menjadi prasyarat penting proeksistensi yang berkelanjutan di Tanjungbalai.
Abu-Nimer (2000) dalam sebuah tulisannya dengan judul “The Miracle of Transformation through Interfaith Dialogue” menyebutkan dialog merupakan alat yang sangat menolong untuk memperdalam pemahaman individu mengenai berbagai cara pandang dan perspektif orang lain.
Dalam masyarakat yang menyimpan ketegangan relasional, mereka mesti membangun dulu sikap saling percaya (trust). Baru setelah itu masing-masing kelompok dapat membicarakan keberatan-keberatan yang dirasakan masing-masing dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka. Alih-alih merasa tidak ada masalah, lebih baik dalam dialog mengakui dengan jujur masalah-masalah yang ada selama ini menjadi prasangka.
Pada praktiknya tentu ini tidak mudah. Membangun sikap saling percaya untuk mengungkapkan masalah-masalah yang ada perlu proses panjang, lebih dari satu-dua kali pertemuan bersama. Namun jika hal itu dapat dilampaui, kesepakatan-kesepakatan relasional bisa mulai dirumuskan bersama.
Lebih dari itu, dialog dapat berkembang menjadi kerjasama kongkrit antar kelompok, menyangkut hal sehari-hari terkait, misalnya, masalah lingkungan, kesehatan, kepemudaan, penyelenggaraan festival bersama atau hal lain.
Untuk memperkuat bahwa dialog merupakan kebutuhan yang tumbuh dari komunitas antar kelompok di masyarakat lokal Tanjungbalai sendiri, nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh di mayarakat penting menjadi panduan bersama. Sejarah lokal di Tanjungbalai menunjukkan keberadaan etnik Batak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan yang lain telah hidup bersama dalam waktu sangat lama. Dalam pengalaman hidup bersama mereka pasti terdapat best practices nilai-nilai dan praktik-praktik kerjasama yang dapat dijadikan pelajaran, baik yang masih terus berlangsung maupun yang perlu digali untuk dihidupkan kembali.
Dialog dan kerjasama bisa jadi mendapat penentangan dari pihak tertentu di masyarakat. Sebab mungkin saja ada pihak-pihak dalam masyarakat yang berkepentingan dengan konflik.Untuk itu pemerintah dan aparat keamanan penting memberi jaminan rasa aman bagi proses berlangsungnya dialog dan kerjasama tersebut. Dialog yang lebih genuine sebaiknya melibatkan masyarakat akar rumput, meskipun keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Memulainya dengan kaum muda mungkin menjadi pilihan yang lebih mudah dan realistis.
__________________
Suhadi adalah dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di samping itu juga mengajar di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Suhadi adalah juga Southeast Asia KAICIID fellow untuk program dialog antaragama dan dialog antar budaya.
Maria Lichtmann | CRCS | Article
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”13″] “Women’s bodies can be very good when interpreted as fertility, mercy, and wisdom, but they can also be interpreted as objects attracting sexual desire or even worse as spiritually less than men. . . The narration of Hawa (Eve) and Sri (Javanese goddess figure) could be seen from any point of view, depending on our intention. Yet, perceiving that male is more spiritual than woman by nature is not only male centrist, but also discriminating over the other and shows how arrogant it is.”
-CRCS’ Student- [/perfectpullquote]
Teaching the course on “Religion, Women, and the Literatures of Religion” was one of the highlights of my teaching career. From the first day, when I stepped into the classroom and was greeted with smiles and welcomes, I knew I could feel comfortable bringing what I knew and wanted to teach to these students. This class of students had already been seasoned and prepared to be a community of learners by having studied the better part of the year in this unique program. I did not detect the kind of competitive edge that is so much a feature of classroom interaction in the United States, and I feel that has something to do with the culture here of long-standing collaboration and sharing. It was certainly evident in the way these students worked together, laughed together, and enjoyed time after class, such as in “buka puasa,” the opening of the fast that comes during Ramadhan. Coming from various parts of this vast country, from Medan on the island of Sumatra, from Aceh, from the small island of Lombok, as well as many cities around Java, they also represented diverse religious backgrounds, the majority Muslim, but also Protestant Christian and Catholic Christian (the one Catholic being a Sister of Notre Dame whom the students had come to see as “ibu,” Mother). About three-fourths of the students were male, and although that might have seemed an impediment to learning almost the entire semester only about women, these young men showed no signs of resistance, and in fact demonstrated an amazing openness and willingness to engage the issues confronting women in the Midldle Ages as well as today.
What was just as impressive to me was that they were reading and writing academic studies in English, a discourse that can be difficult even for native speakers! They stretched themselves in so many ways that it was truly admirable, and I know many of them struggled. Despite that, they produced response papers that were for the most part readable and intelligent, some brilliant. I heard so many new insights from their unique perspectives, and they helped me to look at these works by medieval and modern women with new eyes.
The content of the course consisted primarily of writings from Christian mystics and visionaries of the Middle Ages, as well as a thesis written on Sufi women mystics. We encountered the remarkable prison diary of St. Perpetua, martyred in 203 C.E., and marveled over the multi-talented abbess, musician, poet, prophet, mystic, Hildegard of Bingen, discussed food in the writings of the unique medieval women’s group, the Beguines, and then focused on the book, Showings, written by Julian of Norwich. I would like to include here some of the comments students made when reading her beautiful treatise, to give some idea of how open they were to learning across boundaries of time, gender, and theology:
“Her style of contemplating God is set in the fourteenth century, but the meaning is still alive and meaningful today and invites us to share in that same trustworthy love. “
“Showings reveals a woman who experienced God directly and as “our mother.”
“Her revelations of the feminine side of God are a very significant contribution to all of us now.”
“God’s grace and divine love through a feminine figure is such an empowerment and encouragement for all beings, not only women. Also men, because the feminine qualities show how simply love can comfort and heal, just like a mother’s love.”
“The dualism of feminine/ masculine no longer exists in Julian’s understanding of God. God is feminine, and at the same time also masculine. The human/body and the divine, the feminine and masculine, each of both is actually a union.”
I was very happy to have CRCS’ alumna, Najiyah Martiam’s Master’s Thesis on Sufi women, based on her interviews with three women connected to pesantrens, in order to balance what could have been an over-emphasis on the Christian tradition, the one I know best. We also had a chance to invite another CRCS alumna, Yulianti, a Buddhist scholar who happens to be a friend of mine. Yuli helped explain how the female lineage in Theravada Buddhism died out, and has not been restored because the line was broken.
Two of the most exciting, energizing classes were led Dewi Chandraningrum, the editor of Jurnal Perempuan (Indonesian Feminist Journal), who brought us readings from her edited volume, Body Memories. I was very happy to have Bu Dewi’s presence in the classroom, and to see the student’s immediate warm responses to her as she sometimes spoke in Bahasa Indonesia, the language most accessible for them. In her first class, she divided the students into three groups, in discussion of three topics relating to the female body: menstruation, sexual intercourse, and childbirth. What could have been a class of silence, embarrassment, or even giggles, became a serious, mature conversation among the students. I was awed by their willingness to discuss such sensitive topics together, with mixed genders. Bu Dewi’s second class introduced us to the women activists of Kartini Kendeng, and the opposition to the proposed cement factory that has already decimated villages and their way of life in northern Java.
I would like to say in conclusion, that based on the readings from the women mystics like Julian of Norwich, whose theology of the body is holistic, non-dualist, and healthy, and intensified in the sessions led by Bu Dewi, this class became almost a spirituality of the body. Sacred sexuality and the sacredness of the female body became an underlying theme. I will let one of the students have the last word by quoting from his final paper: “Women’s bodies can be very good when interpreted as fertility, mercy, and wisdom, but they can also be interpreted as objects attracting sexual desire or even worse as spiritually less than men. . . . The narration of Hawa (Eve) and Sri (Javanese goddess figure) could be seen from any point of view, depending on our intention. Yet, perceiving that male is more spiritual than woman by nature is not only male centrist, but also discriminating over the other and shows how arrogant it is.” This student and others showed me at what depth of understanding they were interpreting what they read and heard. They were a gift and joy to teach!
____________________________
Maria Lichtmann is a Fulbright fellow to Indonesia. She taught “Women, Religion, and Literatures” in intersession semester at CRCS from June to July, 2016. She is a former professor of Religious Studies at ASU and currently teaching at Widya Sasana, Malang.