Sembilan mahasiswa CRCS dari dua angkatan yang berbeda berhasil memeroleh gelar Master of Art dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya pada prosesi wisuda Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Selasa, 19 April 2016. Sebagian besar dari mereka mendapatkan penghargaan sebagai wisudawati-wisudawan berprestasi dengan predikat cum laude. Tema thesis mereka pun cukup beragam mulai dari etika, budaya lokal, kesehatan, media online, humanitarian, tato, aliran kepercayaan, lingkungan hingga gerakan keagamaan. Berikut nama-nama dan karya thesis mereka:
Berita Alumni
Endy Saputro* | Alumni News| CRCS
Sebagai salah satu alumni, saya merasa bangga pernah menganyam pendidikan di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Anyaman tersebut paling tidak telah ikut merajut dua pola kerangka berpikir ilmiah saya.
Pertama, karakter interdisiplin pembelajaran CRCS telah membentuk pola pikir sintesis-kritis-verifikatif saya. Hal ini saya rasakan ketika pindah-kerja di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Surakarta. Semula saya bingung dituntut mengajar matakuliah Metodologi Studi Islam (MSI) di sebuah lingkungan dengan ekonomi kuantitatif sebagai domain studi. Untunglah, CRCS telah mengajari saya bagaimana meramu satu disiplin dengan disiplin lain. Saya pun mulai meracik silabus dengan memposisikan Islam sebagai lokus dan ekonomi sebagai fokus. Silabus saya rancang dengan mengurai tiga kluster paradigma studi Islam: klasik, orientalis dan post-orientalis. Bagian kedua, dengan desain by-research, saya ajak mahasiswa melihat hubungan Islam dan ekonomi. Isu-isu terkini, kali ini terkait ekspresi kelas menengah muslim Indonesia, saya diskusikan dengan mahasiswa. Kemudian, saya minta mahasiswa untuk “turun” ke lapangan melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas. Mereka pun segera memadati BMT (Baitul Maal wal Tamwil), bank Islam, rumah zakat, bazar buku Islam, toko busana muslim, halal food expo, dan hotel syariah di kota Solo.
Masih dalam tarikan nafas yang sama, kesadaran mental interrelijius (inter-religious) telah memberi corak semangat-menghadirkan-yang-lain-sebagai-kawan dalam setiap perkuliahan saya. Menurut pengakuan beberapa mahasiswa, di kampus saya yang baru ini, sebagian minor dosen masih suka mengumbar kata “sesat” dan “menyimpang” di hadapan mahasiswanya. Sialnya, sebagian besar mahasiswa sekarang cerdas, dan mempertanyakan sikap dosen yang seperti itu. Kehadiran dosen yang inklusif, alhamdulillah, telah memberikan harapan bagi mahasiswa: masih ada dosen yang berpikiran berbhineka tunggal ika. Hal ini penting saya sampaikan di tengah gempuran reproduksi eksklusivisme di kalangan mahasiswa yang dilaksanakan dengan berbagai varian kontestasinya.
Dari pengalaman tersebut, saya merasa matakuliah-matakuliah yang diajarkan oleh CRCS sudah adaptif dalam membentuk manusia Indonesia yang kritis (nonesensialis) sekaligus inklusif (nondiskriminatif), tentunya dengan tidak tanpa catatan kritis.
Pertama, jika dua anyaman akademis saya di atas hanya dianggap sebagai soft-skills, CRCS perlu mentransformasikannya menjadi sebuah matakuliah. Matakuliah Teaching Religions in Diverse World perlu didesain sebagai matakuliah wajib; bahkan bisa dijadikan alternatif Sekolah Pengelolaan Keragaman, dengan subjek partisipan menyasar dosen-dosen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Kedua, saya kira semua alumni sepakat, CRCS telah sanggup menghadirkan atmosfer intelektualitas kelas dunia. Bagaimana kemudian menghadirkan atmosfer ini pada jejaring alumni di seluruh Indonesia. Bagaimana selanjutnya kapital sosial dan kapital budaya akademik CRCS didistribusikan di seluruh pelosok Nusantara. Bagaimana selanjutnya produk mesin-mesin intelektualitas CRCS bisa disebarkan di seluruh Indonesia.
Satu hal hampir terselip dalam ingatan, bagaimana CRCS mampu memberikan sentuhan everyday life dalam setiap matakuliahnya. Everyday religions sebagai subperkuliahan di matakuliah Academic Study of Religions telah menjadi pembuka bagi mahasiswa untuk sadar mencermati kehidupan sehari-hari. Kiranya akan lebih kuat apabila pendekatan-pendekatan budaya populer turut diperkenalkan kepada mahasiswa. Selain itu, riset kuantitatif perlu segera dianyamkan di CRCS agar dapat memperkuat basis kualitatif yang menjadi karakter ilmiah produksi pengetahuan CRCS.
Demikian, semoga dapat menjadi momen untuk mengenang alumni-alumni CRCS yang tersebar di seluruh dunia. Bravo CRCS !!
* Penulis adalah Alumni CRCS angkatan 2006, pernah menjadi koordinator divisi Riset di CRCS. Saat ini menjadi anggota Staf Pengajar Studi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta.
“Secara kultural relasi antar umat beragma di Indonesia masih sangat bagus, masalahnya ada pada aras politik, terutama ketika pemerintah tidak secara jelas menegaskan bahwa violence doesn’t have religion, kekerasan tidak memiliki agama,” demikian komentar Izak Lattu, salah satu alumni CRCS angkatan 2000 saat diwawancarai mengenai aktifitasnya setelah lulus dari CRCS, UGM.
Izak, demikian ia biasa dipanggil, merupakan Dosen Sosiologi Agama danTeologi di Universitas Kristen SatyaWacana (UKSW) dan kandidat doktor di Interdisciplinary Studies of Religion di Graduate Theological Union (GTU). Ia terpilih menjadi Indonesian Research Fellow di Harvard Kennedy School, Harvard University untuk periode 2013 – 2014, dan sekarang sedang menyelesaikan disertasinya mengenai Orality, Civic Engagement, and Interfaith Relationships dengan pendekatan Social Scientific Studies of Religion and Collective memory in Folklore Studies. Berikut petikan wawancaranya oleh mahasiswa CRCS, Franciscus Simamora (19/10/2013).
Bisa anda ceritakan tentang latar belakang pendidikan anda?
Saya lulus S1 dari Fakultas Teologi UKSW jurusan sosiologi agama tahun 1999. Pada tahun 2000 saya mulai belajar di CRCS sebagai angkatan pertama dan menjadi lulusan pertama dari CRCS di tahun 2002. Setelah lulus dari CRCS saya belajar di Institute of Advanced Studies in Asian Cultures and Theologies at Chung Chi College, the Chinese University of Hong Kong pada 2005. Tahun 2010 saya mendapat beasiswa Fulbright Presidential untuk melanjutkan program PhD di Graduate Theological Union, sekolah yang berafiliasi dengan the University of California, Berkeley. Setelah lulus ujian qualifying exam dan mendapat PhD candidate, saya mendapat beasiswa satu tahun untuk program Pre-Doctoral dari Harvard Kennedy School, untuk menulis disertasi saya di Harvard University.
Apa yang membuat anda tertarik untuk studi di bidang itu?
Sebenarnya ketertarikan pada bidang ini melanjutkan apa yang sudah dilakukan di S1 dan S2. Pada skripsi S1 saya membandingkan konsep civic participation, semacam partisipasi warga negara dan kesamaan hak, dalam masyarakat madani dan masyarakat Pancasila. Lalu, thesis S2 saya berbicara tentang bagaimana kontribusi teologi Kristen klasik dan Islam klasik terhadap hubungan agama dan negara. Kemudian, saya berpikir untuk meneruskan studi tentang civic engagement (hubungan warga negara), agama, dan negara yang sudah saya lakukan pada program S1 dan S2.
Selain itu, pengalaman mengajar mata kuliah seperti teologi agama-agama, sosiologi agama, agama, perdamaian dan rekonsiliasi memberikan motivasi lebih untuk menulis tema ini. Pada aras praksis, di Salatiga saya dan teman-teman mendirikan Forum Antar Iman Salatiga untuk Solidaritas Sosial (FAISSAL). Memang sejak awal saya mau ambil studi interreligious relationship di bawah religious studies, bukan di bawah teologi. Beruntung, karena Graduate Theological Union itu sekolahnya berafiliasi dengan UC Berkeley, sehingga pendekatan-pendekatan interdisipliner sangat mendukung studi saya ini. Kuliah-kuliah folklore studies, political science, oral tradition dan banyak lagi membuka ruang bagi saya untuk melihat civic engagement dari perspektif sosiologi agama dan collective memory di folklore studies.
Pembimbing saya dari UC Berkeley, Professor Sylvia Tiwon, kemudian mendorong saya untuk melihat apa yang ada di Indonesia. Para pembimbing yang lain, Professor Judith Berling, Professor Clare Fischer dan Professor Mariane Farina,menginspirasi saya untuk menulis disertasi tentang apa yang berhubungan dengan konteks kehidupan di Indonesia. Saya lalu memilih Maluku sebagai fokus penelitian saya. Akhirnya, saya tulis tentang Maluku dan saya lihat tradisi lisan dan interreligious relationship di sana. Jadi, bagaimana tradisi-tradisi lisan ini dipakai untuk membangun relasi antar agama. Ternyata wilayah itu masih sangat langka dalam studi relasi antar agama pada akademia di Amerika. Orang selama ini jika berbicara tentang dialog pasti berbicara tentang kitab-kitab suci atau kitab-kitab klasik. Sangat sedikit yang pernah berbicara tentang tradisi lisan. Padahal, sebenarnya dalam masyarakat lisan (strong oral community) relasi dibangun dalam konteks lisan bukan tulisan. Collective memory mereka ada di lagu, ritual dan symbol serta oral narratives. Bukan di tulisan. Tulisan itu sesuatu yang asing bagi mereka sebenarnya. Karena tulisan latin baru dikenal pada zaman kolonial. Sesuatu yang sebenarnya cukup baru. Saya hanya ingin mengapresi apa yang dilakukan oleh masyarakat dan membangun teori dari apa yang masyarakat telah lakukan dalam kehidupan Jadi, saya mencoba membangun teori dari “sarang semut.”Teori tidak hanya melulu datang dari “bintang-bintang di langit.”
Setelah lulus S1 dari UKSW kenapa waktu itu memutuskan untuk menempuh studi S2 di CRCS?
Waktu itu saya sempat menjadi wartawan di Solo sambil mengikuti prakuliah Program Magister Sosiologi Agama di UKSW, Salatiga. Waktu itu belum ada CRCS. Kemudian setelah mengikuti kuliah dua bulan di UKSW, Profesor John Titaley, salah satu pendiri CRCS, meminta saya untuk mengikuti seleksi masuk CRCS. Saya merasa beruntung sekali terseleksi bersama 23 mahasiswa angkatan pertama. Bagi saya, waktu itu, diajar oleh Mahmoud Ayoub, Ibrahim Abu Rabi, Paul Knitter, John Raines dan pengajar dalam negeri seperti Syafii Maarif, Asyumardi Azra, Amin Abdullah, John Titaley, Gerrit Singgih, Budi Subhanar dan lain-lain adalah hal yang sangat mewah sekali. Buat kita itu sudah luar biasa.
Bagaimana Bang Izak sendiri melihat relasi antaragama di Indonesia?
Menurut saya pada aras kultural tidak bermasalah karena sebenarnya relasi-relasi kultural kita sangat bagus. Tetapi, masalahnya ada pada aras politik. Terutama ketika pemerintah tidak bisa secara tegas mengatakan bahwa violence doesn’t have religion. Itu tulisanku di Jakarta Post tahun 2011. Jadi,ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap agama, apapun agamanya, tidak dihukum terlepas dari segala macam persoalan politik, ya Indonesia masih punya harapan.
Di Ambon dalam penelitian-penelitan, ada banyak orang yang bilang bahwa relasi-relasi kultural itu rusak, itu karena mereka melihatnya sebagai institusi, bukan sebagai narasi. Kalau mereka melihat itu sebagai narasi mereka akan tahu bahwa ada banyak pemuda Islam yang dieksekusi oleh Laskar Jihad karena menolak menyerang saudaranya di komunitas Kristen. Dan ada banyak pemuda Kristen yang ditodong pistol di kepala karena menolak menyerang saudaranya di komunitas Islam.
Di Jawa misalnya, di rumah mertua saya di Solo, ada eyang yang Muslim, ada om dan tante yang Muslim. Yang Kejawen, Muslim, Kristen tinggal dalam satu rumah tanpa ada masalah. Lalu, pada aras politik kita bermasalah. Menurut saya politik tidak merepresentasikan apa yang terjadi secara kultural di masyarakat. Karena politik selalu punya kepentingan. Bahkan, tidak ada kawan yang sejati dalam politik, kecuali kepentingan sejati. Jadi, kita harus mendorong supaya masyarakat sipil di luar negara terus berelasi. Karena itu, ini tanggung jawabnya gereja, pesantren, komunitas-komunitas Islam, Hindu, Buddha, dll. untuk mendorong proses-proses ini terjadi. Kalau negara masih seperti itu jangan berharap pada negara. Sebaiknya kita berelasi sendiri dan memperkuat inisiatif masyarakat sipil untuk membangun relasi antaragama.
Apakah ada kesan khusus selama studi di CRCS?
Bukan cuma soal menginternalisasi atau memahami relasi antaragama dalam konsep, tetapi juga dalam tindakan. Dengan teman-teman, kita begitu cair. Sampai-sampai kita bisa bercanda soal agama yang bagi orang lain sangat tidak sulit dilakukan. Joke soal agama itu biasa saja. Jadi, kita kemudian seperti melewati batas-batas dogmatik, atau batas-batas ketersinggungan kalau orang umum berbicara soal agama. Lalu, relasi-relasi pribadi itu sangat cair. Teman-teman main ke kos, mereka shalat disana. Kadang-kadang sewaktu puasa mereka ajak jalan temani saya makan siang, padahal mereka sedang puasa. Relasi-relasi seperti itu yang sangat membekas.
Jika ada yang mengatakan, mereka yang sudah berani menertawakan agama sendiri berarti sudah lebih cair dalam beragama, bagaimana menurut anda?
Menurut saya itu terjadi kalau kita tidak lagi melihat agama sebagai persoalan instituti, tetapi agama menjadi persoalan pribadi atau persoalan spiritualitas. Orang yang tersinggung karena agama karena bagi mereka agama adalah persoalan institusi yang harus dibela. Tidak akan menjadi masalah jika agama ditempatkan kepada persoalan-persoalan spiritualitas, relasional dengan Tuhan, relasi pribadi dengan Tuhan yah tidak masalah. Bagi saya dan teman-teman di CRCS persabahatan antaragama kita telah membuat kita melampaui batas agama sebagai institusi itu.
Apakah itu artinya secara tidak langsung CRCS berpengaruh terhadap cara pandang Bang Izak?
Kalau soal cara pandang, sejak kecil orang tua saya sudah memperkenalkan saya pada relasi pela dan gandong. Jadi, kita pernah tinggal di rumah om gandong yang Muslim. Sejak kecil saya sudah diajarkan oleh orang tua saya meskipun kita berbeda agama, mereka itu pela, mereka itu gandong. Hal ini sebenarnya sudah membentuk konstruksi berpikir pluralis. Kemudian, sewaktu kuliah di Satya Wacana juga mengambil jurusan sosiologi, bertemu dengan teologi agama-agama yang membuka perspektif. Saya juga aktif sebagai ketua badan perwakilan mahasiswa universitas, seperti senat universitas di Satya Wacana pada tahun 1998-1999. Pada zaman-zamannya krisis dengan teman-teman dari berbagai latar belakang agama. UKSW memiliki 30%-nya mahasiswa Muslim dan Salatiga itu sendiri sebenarnya kota yang sangat dewasa dengan pluralitas. Ini turut membangun perspektif pluralitas saya. Ketika sampai di CRCS, trajectory-nya itu diperkuat. Kuliah di CRCS itu menarik, kita mendapat orang-orang terbaik dalam bidang studi agama (religious studies) pada aras nasional dan internasional.
Sekembalinya ke Indonesia, adakah harapan yang ingin ditenun untuk Indonesia dengan ilmu dan pengalaman yang sudah didapatkan di Amerika?
Yang jelas, meskipun sudah mulai ada tawaran mengajar di Amerika dan Australia, tetapi pasti saya akan kembali ke Indonesia. Saya ingin kembali ke Indonesia untuk melakukan penelitian, pengajaran, dan publikasi. Saya ingin di Indonesia ada semacam American Academy of Religion dalam rangka pengembangan diskursus studi agama-agama di Indonesia. Jadi, ada konferensi besar tahunan yang berbicara soal agama pada aras akademik.
Ok, terima kasih atas waktunya, Bang Izak.
Yudith Listiandri is a graduate student of CRCS who has the opportunity to study at Florida International University, Miami, under Henry Luce exchange program 2011.
Studying in the United States was tough, but also a life-changing experience and one of the most rewarding things I have ever done.
First of all, it was a chance to familiarize me better to US academic atmosphere. And from my perspective, this means dealing a lot with the online system. I searched the classes online, I registered to courses online, the professors gave the course materials online, I turned the papers in through an online system called Moodle, I bought the books online, and even to view my grades or to pay the tuition fee, I can do it online. Sometimes it makes things easier, particularly because I can access the internet both from home and on campus anytime, but when something goes wrong and I do not know how to proceed or where to click, it could be frustrating because there is no one to ask.
Other than that, the academic atmosphere in class was pleasant. Students were very active and given the chance to ask or discuss their questions in mind. The readings were a lot, and for a non-native speaker like me, it was tough, especially when the text books are using a highly academic language. To cope with the problem, I used some internet sources as a bridge to understand them.
Studying in the US also enhanced the value of my degree. While abroad, I can take courses that I would never have had the opportunity to take on my home campus. For example, I take a course about Rastafarian, Voudou, and Santeria, a topic that is very far from my own cultural and religious backgrounds.
Studying in the US was the optimal way to learn English for me. Inside and outside campus, I always encounter the culture that speaks the language I am learning. I am surrounded by the language on a daily basis, and am seeing and hearing it in the proper cultural context. There is no better and more effective way to learn the language than under these circumstances. Furthermore, in Miami, I should be able to learn Spanish beside English because the enormous population of Hispanics here, but unfortunately, the burden of the academic credit would not allow me to do so.
Studying abroad also provided me the opportunity to travel. Weekends and academic break allowed me to explore my surroundings. In addition to that, during the break between spring and summer term, I managed to travel to Philadelphia and New York. I was able to learn more about both the historical and the pop-cultural things about the US. Until today, I still remember the beauty of the brick buildings in Philadelphia, and still wondering how I am able to see the Statue of Liberty with my own eyes. This could only happen because studying abroad put me closer to places I might not have had the opportunity to visit. Studying in the US also allowed me to get to know another culture first-hand. I can experience cultural differences personally, for example, the cultural background of my friends from India, Kuba, Panama, Haiti, and some friends from other cities in the US. On weekends, there are many times my friends invited me to visit their homes, or to explore the city. Together, we went also to a Thailand Buddhist temple to celebrate the Songkran festival and experience how the Buddhists pray, how they seek blessing from the monks and the elderly people for the coming new year. We were also fascinated in discovering the food, the meeting with the community, and the friendship that they have toward someone from different cultural and religious background like me (I wear headscarf, so it was obvious to them that I am a Moslem). Even the abbot welcomed me personally as any other guests. He shared his personal experience when first came to the US and even gave me a bracelet as a souvenir from the temple. The experience allowed me to feel the cultural differences that are more than just differences in language, food, appearances, and personal habits. The culture also reflects deep perceptions, beliefs, and values that cannot be experienced in a classroom setting. Encountering an entirely new cultural setting is sometimes scary at first, but also exciting. Being in a situation that is wholly unfamiliar is a good opportunity for me to learn to adapt and respond.
Being very far from home was a very difficult time, and there were some days where I just felt like giving up, however I somehow managed to pass my classes and live in a foreign country for nearly six months. However, it also enables me to have a dialogue with myself, a thing that sometime hard to do while I am among family. It also allowed me to make friends with other international students who are as far from home as myself. I feel like knowing myself better. I return home with new ideas and perspectives about myself and my own culture. Some experiences challenge me to reconsider my own beliefs and values. Some of them strengthen my values, and some of them made me abandon them and embrace new concepts. In encountering with other culture, I can see my own culture through new eyes. So this program also helps me to learn about myself, as well as it expands my worldviews. I return home with a less biased perspective toward other cultures and peoples.
Living in a country like United States has taught me so much. Not only have I improved my ability to speak and understand English, but also have discovered so much about myself and have gained so many perspectives of the world. Especially in Miami, where most of the inhabitants are Hispanics, I encountered and learned a lot about different cultures. Over all, I think my experience living and studying in the US makes me more self-motivated, independent, willing to embrace challenges, and able to cope with diverse problems and situations.
Pengembangan minat Sarah dalam dunia dialog antar-iman, sejak ia masih menuntut ilmu di CRCS, dapat diacungi jempol. Perempuan bernama lengkap Siti Sarah Muwahidah ini, alumni CRCS angkatan 2004, tidak ragu-ragu melenggangkan kakinya di dunia dialog, baik sebagai peneliti maupun pegiat dialog di masyarakat. “Yang jelas saya sudah mulai kenal isu interfaith sejak kecil, karena dulu lahir di lingkungan pesantren Pabelan, Magelang,” tutur Sarah.
Saat ini, Sarah sedang berada di Bangkok, Thailand, dan asyik menyelesaikan laporan penelitiannya yang didanai oleh Asian Public Intellectuals (API). Dialog antar-iman, Muslim-Kristen, di daerah yang dahulunya sangat sering diwarnai konflik antar-agama, kota Zamboanga, Mindanao, Filipina Selatan, menjadi pilihan kajian penelitiannya kali ini. Ia telah menyelesaikan penelitian lapangan di Filipina itu selama 5 bulan (Oktober 2009 –Maret 2010).
“Setelah dievaluasi oleh mereka, ternyata aku dinilai berpikir luas dan mengakar sewaktu aku menganalisis dalam maupun luar gereja,” jelas Cindy, alumni CRCS 2006, ketika ditanya mengenai keuntungan berkuliah di CRCS. Ia yang saat ini sedang menjadi pekerja penuh waktu di Gereja Kristen Indonesia(GKI) “Bromo,” Malang, Jawa Timur memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola pendidikan di gereja maupun di Yayasan Pendidikan Kristen Kamerdi.
Pemilik nama lengkap Cindy Quartyamina Koan ini mengakui bahwa ia menikmati pekerjaan yang ia geluti saat ini. Cindy yang melayani di GKI Bromo pada bidang pelayanan khusus, pendidikan, dan komisi anak, sejak bulan Mei 2009, juga ditempatkan sebagai manager pada sekolah Yayasan Pendidikan Kristen Kamerdi sejak awal Februari 2010 yang lalu.