• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • page. 5
Arsip:

Berita

Ensiklik Laudato Si dan Kasih untuk Alam

BeritaHeadlineNews Thursday, 20 April 2017

A.S. Sudjatna | CRCS | Berita

“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuapi dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan. Saudari ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.”

Begitulah Paus Fransiskus memulai bait-bait awal ensiklik keduanya. Didahului dengan ucapan “Laudato Si’, mi’ Signore,” “Terpujilah Engkau, Tuhanku,”  yang ia kutip dari ucapan Santo Fransiskus dari Asisi, pendahulunya ratusan tahun lalu, Paus Fransiskus memulai penegasan sikapnya yang lahir dari refleksi keimanan atas realitas dunia yang hadir saat ini. Dua ratus empat puluh enam paragraf dari keseluruhan ensiklik ini berbicara soal bagaimana seharusnya manusia beragama dan beriman bersikap atas alam dan lingkungannya.
Ensiklik Laudato Si ini sejatinya adalah seruan profetik pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang disandarkan pada ajaran keimanan Katolik. Sebuah ensiklik tak hanya merespons realitas sosial, namun juga mengungkapkan basis teologisnya, sehingga aksi-aksi implementatif terhadap ensiklik bukan hanya merupakan gerakan sosial melainkan juga gerakan keagamaan.
Membahas relevansi ensiklik ini dalam konteks Indonesia, Muda-Mudi Katolik (MUDIKA) Paroki Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta mengadakan diskusi dengan judul Memandang Petani Kendeng dengan Ensiklik Laudato Si pada Selasa, 4 april 2017, di GKS Widyamandala. Diskusi ini dilatarbelakangi antara lain oleh keprihatinan akan kurangnya perhatian kawan-kawan muda Katolik atas perlawanan para petani terhadap pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, padahal Gereja Katolik memiliki Ensiklik Laudato Si yang dapat menjadi basis gerakan untuk merespons persoalan semacam itu.
Dalam acara tersebut, pemantik diskusi Lilik Krismantoro memulai pembahasan dengan latar sejarah ensiklik. Ada banyak ensiklik yang sudah dikeluarkan gereja. Salah satu ensiklik yang cukup dikenal dan berpengaruh adalah Ensiklik Rerum Novarum yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII. Ensiklik ini merespons perkembangan komunisme di Eropa pada abad ke-18 dan memicu terbentuknya gerakan buruh Katolik. Ensiklik ini membahas dukungan gereja atas hak-hak buruh namun juga mengukuhkan hak milik pribadi dan menolak sosialisme.
Ensiklik Laudato Si merupakan salah satu dari dokumen-dokumen serupa yang lahir kemudian. Ensiklik ini dapat dibaca sebagai lanjutan dari ensiklik serupa sebelumnya, Populorum Progressio, yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967 yang hadir sebagai refleksi iman Katolik tentang pembangunan yang berpusat pada manusia. Di luar ensiklik ini, ada praksis-praksis teologis lain yang lahir dari Gereja Katolik, seperti teoologi pembebasan yang menemukan pengejawantahannya dalam perjuangan Uskup Agung San Salvador Mgr Oscar Arnulfo Romero—yang mengalami assasinasi dan belakangan telah ditahbiskan sebagai martir oleh Paus Fransiskus pada 2015.
Terkait persoalan lingkungan, menurut Lilik, Gereja Katolik di Indonesia sebenarnya sudah mulai terlibat aktif sejak lama. Ini tampak misalnya dari keterlibatan Gereja Ganjuran di Yogyakarta sebagai tuan rumah seminar pertanian se-Asia pada tahun 1990 yang diadakan oleh Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC). Dengan bekal beragam gerakan gereja dan ensiklik sebagai pijakan teologisnya, menghubungkan persoalan Kendeng dengan Katolik bukan hal yang sulit. Gereja dan umat Katolik memiliki modal dan alasan yang cukup untuk terlibat aktif dalam persoalan Kendeng.
Menegaskan hal ini, salah seorang peserta diskusi yang juga aktivis pertanian organik, Beni Pudyastanto, mengatakan bahwa secara khusus Ensiklik Laudato Si membahas persoalan air di bab pertama bagian kedua. Dikatakan dalam ensiklik itu bahwa air dapat menjadi sumber konflik. Dalam kasus Kendeng, isu seputar Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Kendeng adalah salah satu persoalan kunci yang mengemuka dalam polemik kehadiran pabrik semen di Kendeng. Air di CAT akan hilang atau menyusut sebab aktivitas penambangan, yang pada gilirannya merusak suplai air untuk wilayah Rembang, Kudus, Pati, Blora dan sekitarnya.
Beni juga mengingatkan peserta diskusi bahwa Laudato Si mengatakan bahwa keberlanjutan (sustainability) suplai dan ketersediaan air adalah anugerah bagi semua makhluk, dan di level ini manusia dengan makhluk lain berposisi sejarah di hadapan Tuhan. Akal budi yang dimiliki manusia tidak serta merta memberinya hak mutlak untuk mengeksploitasi alam.
Beni juga menegaskan bahwa membicarakan Kendeng dari kaca mata Laudato Si bukan semata-mata berbicara perihal lingkungan, namun juga soal adanya kelompok masyarakat yang butuh dibela di hadapan arogansi kekuasan. Dalam hal ini, ajaran Katolik tentang menolong sesama dan kaum tertindas seharusnya dapat menjadi landasan aksi. Maka, lanjut Beni, Ensiklik Laudato Si ini harus digaungkan sampai ke paroki-paroki hingga akar rumput. Untuk memulai semua itu, menurut Beni, hal pertama harus dilakukan adalah sebagaimana dibahas pada bab enam bagian tiga Ensiklik Laudato Si: pertaubatan ekologis. Setiap penganut Katolik harus bertaubat dari dosa-dosa ekologisnya.
Terkait kelompok miskin tertindas, Lilik menambahkan bahwa saat terjadi ketidakadilan ekonomi dan ekologi, korban terbanyak dan paling utama itu sama: masyarakat miskin. Merekalah kelompok yang paling rentan terdampak bencana akibat rusaknya lingkungan. Lilik mengingatkan peserta bahwa kini telah hadir jenis pengungsi baru, pengungsi lingkungan, yakni pengungsi yang lahir dari kerusakan lingkungan. Menyitir Laudato Si, Lilik mengingatkan bahwa konsep hutang semestinya tak hanya dipahami dalam kerangka finansial, tetapi juga ekologis, yakni hutang negara-negara maju karena mereka mengakses sumber daya alam dan mengorbankan masyarakat miskin dunia ketiga.
Menutup diskusi, Lilik mengajak peserta untuk merenungi iman masing-masing dengan pertanyaan retorisnya: “Harus disadari bahwa hati yang kaugunakan untuk mengasihi itu adalah hati yang sama dengan yang kaugunakan untuk merusak lingkungan. Itu bukan hati yang terpisah. Jadi, bagaimana kita bisa mengasihi jika pada saat yang sama kita merusak alam?!”
Penulis, A.S. Sudjatna, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015.   

BUKU TERBARU CRCS – Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta

BeritaHeadlineNews Thursday, 20 April 2017


Yogyakarta telah lama menjadi rumah yang aman bagi berbagai tradisi, keyakinan, dan paham pemikiran yang beragam. Tetapi Daerah Istimewa ini belakangan disorot karena banyaknya aksi vigilantisme yang dilakukan sejumlah kelompok massa baik yang berlatar belakang agama atau politik. Aksi-aksi vigilantisme yang menyasar kelompok-kelompok sosial dan keagamaan minoritas menimbulkan pertanyaan apakah Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota pendidikan dan pusat kebudayaan Jawa yang menekankan pada harmoni sosial, sudah berubah menjadi daerah yang intoleran? Laporan ini menunjukkan bahwa vigilantisme terhadap minoritas tidak cukup secara sederhana dipahami sebagai ekspresi konservatisme keagamaan dan intoleransi para pelaku terhadap minoritas, tetapi juga merupakan bagian dari proses perubahan sosial dan struktural yang diantaranya dipengaruhi oleh dinamika seputar status keistimewaan Yogyakarta. Tidak bisa dipungkiri, sektarianisme yang menguat belakangan ikut berpengaruh, tetapi seringkali kekerasan terhadap minoritas lebih tampak sebagai alat mobilisasi kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk mempertahankan basis sosial-politik yang menentukan kendali mereka atas ruang dan sumber daya.
_________________________

Judul: Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta
Penulis: Mohammad Iqbal Ahnaf & Hairus Salim
Penerbit: CRCS UGM
ISBN: 978-602-72686-7-8
Tebal: 134 halaman; 15×23 cm
Cetakan Pertama: April 2017
Harga: Rp60.000,00
__________________________

Narahubung untuk mendapatkan buku ini:
Divisi Marketing CRCS UGM
Gedung Lengkung Lantai 3
Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, Indonesia 55281
Telephone/Fax: 0274-544976
Atau melalui WA: 082141724150 (Bandri)
Lihat juga buku-buku publikasi CRCS yang lain di sini.

Religion, Evolutionary Science and Meaning-Making: Religious Studies visits the Faculty of Biology

BeritaHeadlineNews Friday, 24 March 2017

Anang G Alfian | CRCS | News

Universitas Gadjah Mada’s Faculty of Biology invited Whitney Bauman to present his on-going project at the Biology Hall on Monday, March 6th, 2017. Students and lecturers from various faculties came to hear his lecture. His specialization on the discourse of religion, science, and nature reflects his capacity as an associate professor at the Department of Religious Studies, Florida International University, as well as author of works including Theology, Creation, and Environmental Ethics (Routledge 2009) and Religion and Ecology: Developing a Planetary Ethics (2014). A longtime friend of CRCS who has taught intersession courses more than once, he is currently working to finish his third, single-authored book with a tentative title Truth, Beauty and Goodness: Ernst Haeckel and Religious Naturalism.
In his lecture, introduced by paleontology lecturer Donan Satria Yudha as the moderator, Bauman engaged religion and science in a contemporary discussion to look for a new way of understanding each through an evolutionary perspective. This perspective of religion-science relationship was inspired by the contemporary phenomenon in which religion has gained more spaces within science.
The emphasis Bauman made in the beginning of the lecture pointed out the direction of his topic of presentation. He started how historically the notion of religion has been discussed by different perspectives from dualism and reductionism to emergence theory. Along with the continuum of religion-science relationship, he challenged to look at the relation in a new way by focusing on the German scientist Ernst Haeckel (1834-1919) who formulated a new way of making sense out of the world through his studies of ecology and evolution. Bauman clearly stated his stance: “to place Haeckel’s Monism in continuity with this tradition of meaning-making.” He also emphasized that everything has undergone changes and the way we understand the relation between religion and science has always been a “relationship in constant flux.” He challenged the assumption of the previous models on religion-science relationship that views Religion and Science as two different traditions. “I argue that Religion and Science are always together, influencing one another,” Bauman continued, “there is no clear separation.”
As Bauman prefers to define “religion” through its meaning-making function, he observed that the way religion attains knowledge is also inseparable from the natural evolution perspective. Further, he explained that the relation involves not only human and nature as a traditional dichotomy but more as an interconnectedness of everything.  This view triggered questions from the audience.
One member of the audience asked a question on a human special status over the rest of nature which challenged the way certain traditions or religions view the status of humans in their scriptures. “I am not sure if humans have a special status in nature,” Bauman answered, “In fact, not only humans have culture and language; many other creatures might have them too.” Because knowledge is always in process and moves together with history and experiences, he argued that it is normal for many traditions to have different understandings of nature and the Truth.
Another question posed was about whether the first human walking on earth was the one as narrated in the scripture. Baumann referred to “Adam” as mentioned in the Genesis as its literal meaning, i.e. a creature on the earth which did not refer to any specific gender. In addition, Donan Satria Yudha said that  some Muslim scientists say that Homo sapiens may constitute the first human as mentioned in the scripture and it refers to the quality of being human in the evolution, and not to a specific figure.
The writer, Anang G Alfian, is CRCS student of the 2016 batch

Dari Diskusi di Kemenag: Memadukan Kebijakan dengan Riset

BeritaHeadlineNews Thursday, 9 March 2017

Subandri Simbolon | CRCS | Berita

Agar tak salah arah, kebijakan seharusnya berdasar pada riset. Kesenjangan antara kebijakan dengan pengetahuan acapkali berujung pada kebijakan yang tak menyelesaikan masalah. Termasuk di sini kebijakan yang berkenaan dengan umat beragama.
Untuk menjembatani pemerintah dengan akademisi, pada 14 Februari 2017 Balitbang Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina mengadakan diskusi dengan topik mengenai definisi agama dan penodaan agama sebagai rangkaian dari serial diskusi “Analisis Kebijakan: Riset dan Kebijakan Terkait Kehidupan Beragama di Indonesia”. Serial diskusi ini direncanakan akan menghasilkan buku terkait tema-tema seperti intoleransi, konflik agama, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kerukunan antarumat beragama. Forum diskusi itu dihadiri berbagai kalangan dari pihak Kemenag, termasuk Menteri Agama Lukman H. Saifuddin, para akademisi dan aktivis. Dua dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Dr Samsul Maarif dan Dr Zainal Abidin Bagir, menjadi pembicara dalam forum itu.
Definisi Agama
Samsul Maarif memaparkan ulasannya dengan tajuk “Meninjau Ulang Definisi Agama, Agama Dunia, dan Agama Leluhur”. Ia menyampaikan bahwa definisi agama saat ini cenderung diskriminatif karena menggunakan paradigma “agama dunia” (world religion) untuk menilai agama lokal. Paradigma ini dalam diskursus klasik Barat prototipenya adalah Kristen sedangkan dalam konteks Indonesia adalah Islam. Agama-agama lokal, dalam paradigma ini, cenderung menempati posisi yang lebih rendah. Penggunaan paradigma agama dunia itu bukan saja menyusup ke dalam cara pengambilan kebijakan oleh pemerintah, melainkan juga telah menghantui dunia akademik di Indonesia.
Berdasar pada kritik itu, Samsul menyampaikan bahwa pemahaman mengenai agama yang cenderung esensialis harus dihindari, karena agama mesti dipahami secara diskursif berdasarkan konteks waktu, tempat, dan sejarahnya. Yang sebenarnya lebih diperlukan adalah mempertimbangkan definisi dari segi efektifitasnya dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini, definisi yang dibuat seharusnya dapat membebaskan kelompok-kelompok tertentu, utamanya kalangan penganut agama leluhur, dari perlakukan diskriminatif.
Di samping itu, Samsul menegaskan bahwa kebijakan dan studi terhadap para penganut agama leluhur mesti dilakukan dalam konteks keragaman agama, yakni bahwa para penganut agama leluhur mendapat kebebasan untuk mendefenisikan agama mereka sendiri. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitiasi self-determinism warganya dan melihat mereka sebagai warga negara yang setara. Definisi yang baik adalah definisi yang mampu memberikan hak-hak yang setara pada semua penganut agama, baik agama-agama dunia maupun agama-agama leluhur dan kepercayaan, di Indonesia.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Dalam forum yang sama, Dr Zainal Abidin Bagir berbicara untuk tema “Kajian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Implikasinya untuk Kebijakan”.
Zainal memaparkan diskusi mutakhir tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) baik di tingkat internasional maupun nasional serta tema-tema yang menonjol. Ia menegaskan bahwa dalam diskursus di tingkat internasional KBB bukanlah konsep yang sudah fixed dan statis, namun mengalami perkembangan hingga saat ini. Di antara masalah yang masih kerap muncul hingga kini dalam diskusi KBB adalah pertentangan antara mereka yang mengklaim universalitas KBB, sebagai bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan negara-negara yang menggunakan sudut pandang partikularistik, yang merelatifkan KBB. 
Terlepas dari itu, perkembangan yang menarik adalah regionalisasi HAM, yaitu diadopsinya HAM oleh beberapa regional, termasuk Uni Eropa, ASEAN, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Lebih jauh, meskipun ada kecenderungan partikularistik itu, dalam perkembangannya HAM ASEAN dan OKI cenderung mengalami konvergensi ke HAM internasional.
Di Indonesia sendiri, Zainal melihat beberapa perkembangan penting HAM setelah 1998, termasuk ratifikasi beberapa kovenan, dan masuknya klausul khusus mengenai HAM dalam amandemen Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, terjadi pengarusutamaan KBB dalam berbagai UU. Perkembangan ini menurut Zainal menjadi sebuah nilai plus bagi Indonesia jika dibandingkan dengan perkembangan regional, khususnya jika dibandingkan dengan banyak negara ASEAN dan OKI. Di Indonesia pun, partikularisasi KBB terjadi, yakni dalam menghadapkan HAM dengan apa yang dianggap sebagai kultur Indonesia dan aspirasi keagamaan sebagian kelompok beragama, khususnya muslim. Salah satu bentuk partikularitas itu diekspresikan dalam konsep “kerukunan”, yang hingga tingkat tertentu menjadi pembatas kebebasan.
Di bagian akhir paparannya, Zainal mengajukan beberapa rekomendasi untuk pengembangan kajian dan perumusan kebijakan terkait KBB. Pertama, “membumikan” KBB dalam tradisi kultural atau keagaman untuk memperluas tingkat penerimaan publik. Kedua, perlunya ada kajian komparatif dengan praktik-praktik kebijakan KBB di negara-negara lain untuk memperkaya perspektif dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang menyumbang atau menghambat keberhasilan perumusan maupun implementasi kebijakan. Ketiga, perlunya ada perhatian pada best practices dari praktik-praktik yang sudah terjadi agar kajian kebijakan tak hanya melihat aspek legal secara abstrak namun juga situasi dan kondisi yang memungkinkan keberhasilan perumusan dan penerapan kebijakan.
Batas minimal? 
Dalam sesi tanya jawab, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajukan satu pertanyaan tentang batas minimal yang harus dilakukan negara dalam Perlindungan Umat Beragama (PUB). Andreas Harsono, dari Human Rights Watch, menjawab bahwa batas minimal adalah tidak terjadinya kekerasan kepada kelompok keagamaan manapun. Zainal melanjutkan dengan menyampaikan bahwa hak-hak administrasi kependudukan, kebebasan beribadah harus dipenuhi bagi semua pemeluk agama, terlepas dari bagaimana agama didefinisikan.
Kasus-kasus yang acapkali terjadi adalah sulitnya sebagian kalangan untuk mendapatkan hal-hak konstitusionalnya. Di beberapa daerah, hak-hak dasar pemeluk agama leluhur belum terlayani secara penuh. Misalnya, seorang anak tidak bisa dimasukkan dalam Kartu Keluarga orang tuanya hanya karena perkawinan mereka berdasarkan agama leluhur dan tak dapat dicatat dalam pencatatan sipil. Hal ini para gilirannya berakibat pada hilang atau berkurangnya akses-akses dalam bidang lain seperti pendidikan, kesehatan dan hak politik.
Di akhir diskusi, Menteri Agama menyampaikan bahwa Kementerian Agama terbuka untuk menerima masukan dari semua pihak, khususnya dalam upaya merumuskan RUU Perlindungan Umat Beragama yang sedang diproses.

Voice vs Noise: Technology-Mediated Sound in Interfaith Dialogue

BeritaHeadlineNewsWednesday Forum News Monday, 20 February 2017


Abstract:
Urban people are always exposed to soundscape, to sounds and noises in their everyday life. With the aid of technology, the soundscape of Yogyakarta has dramatically changed in the last 30-40 years. The sounds which once gave certain characteristics to the city have changed both quantitatively and qualitatively. For most people it does not bother them if they do not pay attention to them. However, people accept certain sounds as acceptable sounds while some other may reject them as disturbing noises. The result of such perceptions create spsychologically different responses, either positively or negatively. Therefore, exploring how people in the City of Tolerance responding to the religious soundscape of the place where they live is an effort to see an interfaith relationship from a different perspective, the auditory angle.
Speaker:
Jeanny Dhewayani, Ph.D. is the Associate Director of Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta.She got her Master degree from University of New Mexico and Ph.D. from Australian National University, both in Anthropology. Now, She is also a professor of anthropology at Duta Wacana Christian University.
 

Sounds of the Indigenous

BeritaHeadlineNews Tuesday, 14 February 2017

Anang G Alfian | CRCS | Event

Issues of environmental damage are becoming more pervasive recently. It was just a few months ago we hear the voices of Samin community, indigenous people in the slopes of Mount Kendheng advocating environmental justice against industrialization attack surrounding the mountain, the issue of which inspired Dian Adi M.R., one of CRCS students, to compose instrumental music and conceptualize arts performance at the event called “Sounds of The Indigenous”.
Through his experience in music performance, Dian initiated the event and collaborated with various musicians, environmental activists, and academia of religious and cultural studies. This innovative way of giving collaborative performance is purposively to raise an awareness among various professions to work together on preserving nature.
Held at Taman Budaya Yogyakarta, many visitors crowded the event on the eve of January 25th 2017 to see the performance, which was started by a documentary film about the semen factory against Samin people and other environmental issues happening recently. Some commentaries from local peoples, scholars, and villagers were narrating a number of environmental problems especially in dealing with actors of interests and exploitation of nature. There is a need of consolidation and urgent answer to avoid further consequence of human misconducts toward nature.
As the introduction to the theme was read, a theatrical performance began to tell narratives and stories, and the instrumental music slowly echoed and filled the air of the room. Visitors seemed to enjoy the mystical yet artistic nuances coming out of the cello playing. Throughout the performance, music and theatrical arts were integrated and made a harmonious blend.
Some instruments were used to represent different and rich sounds from different cultures and origins. Besides guitar, violin, and other common instruments, there were also Gambus, a Middle Eastern music instrument played in the end of the session with Arabic vocal. A Dayak instrument called Sape was also used to sing with a children song. It produced a nostalgic scene of happy life when children can play with nature before industrialization has polluted environment and water.
A theatrical narrative called “Hunger” was also enacted to convey indigenous voices demanding justice and prosperity. The story was meant to see how the man’s greed is always the cause of destruction.  “Those local cultures are indeed real guardians of the nature, while ironically many intellectuals go with the interests of those people to build their projects ignoring the locals and the environment,” said Dian commenting on the theme of the performance.
Music can be a means to harmonize the relation between human and nature and awaken the awareness of the shared duty to preserve nature. Justitias Jellita, the Cello player, reflected on music as being in a harmony as she said, “The harmony is not only for musical tunes, but also for the self and the universe. Without harmony, journey of life will lose its meaning, and those who can return to his home is the ones that know where they come from. This Sounds of the Indigenous event is a valuable message and important warning that human will return to his home “Earth” anyway. Therefore, while alive, we’re responsible for our home.”
Indigenous people of Dayak tribe have their own cosmology on their music as what Anang, the Sape player, said, “For Dayak people, they believe an old saying, ‘Sapeh Benutah tulaang to’awah,’ meaning Sape can crush the bones of evil ghosts.”
This event has given us a lesson on how to maintain the relation between man and nature as important elements in the harmony of life. And music is one of the languages the indigenous speak with. Now it is our turn whoever we might be; artists, scholars, or environmental practitioners; to know where we stand on and where we are going to return.
*Anang G Alfian is CRCS student of the 2016 batch

1…34567…16

Instagram

Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
K O S M O P O L I S Kosmo bermakna semesta, sement K O S M O P O L I S
Kosmo bermakna semesta, sementara polis itu mengacu pada kota yang seupil. Sungguh istilah oksimoron dengan daya khayal maksimal. Namun, nyatanya, yang kosmopolis itu sudah hadir sejak dulu dan Nusantara adalah salah satu persimpangan kosmopolis paling ramai sejagad. Salah satu jejaknya ialah keberadaan Makco di tanah air. Ia bukan sekadar dewa samudra, melainkan kakak perempuan yang mengayomi saudara-saudara jauhnya. Tak heran, ketika sang kakak berpesta, saudara-saudara jauh itu ikut melebur dan berdendang dalam irama kosmopolis. Seperti di Lasem beberapa waktu silam, Yalal Wathon dinyanyikan secara koor oleh masyarakat keturunan tionghoa dan para santri dengan iringan musik barongsai. Klop!

Simak ulasan @seratrefan tentang makco di situs web crcs!
At first glance, religious conversion seems like a At first glance, religious conversion seems like a one-way process: a person converts to a new religion, leaving his old religion. In fact, what changes is not only the person, but also the religion itself. The wider the spread of religion from its place of origin, the more diverse the face of religion becomes. In fact, it often gives birth to variants of local religious expressions or even "new" religions. On the other hand, the Puritan movement emerged that wanted to curb and eradicate this phenomenon. But everywhere there has been a reflux, when people became disaffected with Puritan preachers and tried to return to what they believed their religion was before.

Come and join the #wednesdayforum discussion  at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju