Shinta Mudrikah* | CRCS | Artikel
Pasca-Orde Baru, kebebasan berpendapat di Indonesia laiknya kuda liar lepas kandang, bergerak ke segala arah dan tak terkontrol. Tak jarang, kebebasan berpendapat ini menggiring segelintir orang untuk berani bersirobok dengan isu-isu sensitif seperti agama, keyakinan atau kepercayaan, etnis, gender dan sebagainya. Sayangnya, hal ini tidaklah berbanding lurus dengan kesiapan mental masyarakat Indonesia untuk hidup dalam keragaman, sehingga ekspresi kebebasan berpendapat ini tak jarang berakhir dengan konflik yang seolah tak berkesudahan. Belum lagi mengering luka sejarah yang ditorehkan konflik di Sampit, Ambon, kerusuhan Anti-Cina, dan kampaye anti-Ahmadiyah, kini nusantara kembali berguncang dengan terjadinya pembakaran rumah ibadah di wilayah timur, Tolikara, yang disusul aksi serupa di wilayah barat, Singkil. Daftar panjang konflik dan kerusuhan yang berlangsung sejak beberapa dekade lalu itu cukup menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia—dengan segenap kebhinekaannya—masih rentan terhadap provokasi terkait isu-isu sensitif tersebut.
Di dalam hal ini, media sosial ikut andil menjadi salah satu ladang semai kebencian nan provokatif, di mana aksi kebebasan berpendapat tanpa tanggung jawab subur menjamur. Agustus 2015 lalu, pemilik akun Facebook Arif Munandar mengunggah status yang membuat gerah para netizen. Pasalnya, ia memaki warga Indonesia keturunan tionghoa dalam status itu, serta mengaitkannya dengan ancaman krisis ekonomi. Kasus Arif merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan kebebasan berpendapat di media sosial yang dapat memicu konflik horisontal. Banyaknya ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum tertentu di media sosial ini merupakan sebuah gambaran semakin kaburnya batas-batas demokrasi di Indonesia. Karenanya, sebagai penyelenggara negara dan pemegang otoritas hukum, badan eksekutif negara merasa perlu membuat seperangkat aturan pelarangan ujaran kebencian melalui media sosial dengan berlandaskan pada garis-garis hukum yang dirumuskan oleh para wakil rakyat. Langkah ini diambil sebagai respons atas semakin maraknya ujaran kebencian di media sosial yang dianggap mengancam keutuhan negara.
Surat edaran tentang ujaran kebencian—hate speech—yang kini menimbulkan pro dan kontra sejatinya telah dirancang sejak dua tahun lalu. Surat edaran Kapolri Jenderal Badrodin Haiti itu diterbitkan atas usul Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang telah melakukan penelitian di beberapa kota di Indonesia yang terkait konflik. Surat edaran ini ditujukan untuk internal kepolisian dan berisi tentang cara penanganan kasus ujaran kebencian di media sosial. Dengan keluarnya surat edaran yang diteken pada 8 Oktober 2015 oleh Kapolri ini, seluruh anggota kepolisian di berbagai wilayah Indonesia diharapkan bisa menangani konflik di media sosial dengan tuntas. Selain itu, hal ini juga akan membuka wawasan anggota kepolisian akan bahayanya ujaran kebencian.
Surat edaran bernomor SE/06/X/2015 yang berisikan prosedur penanganan kasus penyebaran ujaran kebencian di media publik ini sudah disebarkan ke seluruh Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) kepolisian di Indonesia. Beberapa pihak setuju dan mendukung langkah Kapolri ini, namun sebagian lainnya menilai surat edaran ini perlu dikaji ulang dari berbagai perspektif. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafid Abbas, mengatakan bahwa dirinya mendukung surat edaran Kapolri tersebut apabila dapat menumbuhkan kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab. Karena, kebebasan berpendapat di Indonesia memang tidak bersifat absolut seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28J. Namun, ia juga berharap Polri harus bisa membedakan antara ujaran kebencian dengan penyampaian pendapat dan kritikan.
Beberapa kalangan mengkritik dimasukannya unsur pencemaran nama baik di dalam peraturan tersebut karena dianggap berpotensi menghambat kebebasan berpendapat. Roichatul Aswidar, salah seorang komisioner Komnas HAM, berpendapat bahwa jika pencemaran nama baik tetap dimasukan sebagai salah satu ujaran kebencian maka hal ini akan mengancam berbagai profesi, antara lain wartawan serta aktivis yang mengritik kebijakan pemerintah. Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Agus Rianto, beralasan dimasukkannya pencemaran nama baik sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian adalah karena hal itu menyangkut kepentingan orang lain. Namun, pada proses hukum nantinya, hal tersebut tetap akan ditinjau kembali. Ia berpendapat bahwa kebebasan itu bukanlah tanpa batas, namun tetap ada batasan yang mengatur kebebasan berpendapat terutama jika sampai merugikan orang lain. Hal ini sebagaimana termaklum di dalam UU No. 9 tahun 1998.
Di saat para aktivis terus mendesak Kapolri untuk merevisi edaran yang dianggap gagal membedakan ujaran kebencian dengan mengekspresikan pendapat, pakar hukum UI, Ganjar Laksmana, justru mendukung langkah Kapolri tersebut. Menurutnya, para aktivis terlalu fokus pada kemungkinan pelanggaran kebebasan berpendapat, bukan pada kemungkinan bagaimana aturan ini menguntungakan para aktivis. Berkaca pada kasus beberapa aktivis yang menghadapi tuntutan pencemaran nama baik karena laporan mereka di media, edaran Kapolri ini dibuat agar hukum pencemaran nama baik tidak mudah digunakan untuk membungkam kritik.
Pelarangan ujaran kebencian di media sosial sudah menjadi praktik umum di negara yang terkenal demokrasinya, seperti di Kanada dan Australia, untuk melindungi warganya dari provokasi terkait ras, etnis, atau isu sensitif lainnya. Uni Eropa juga menerbitkan manual untuk penanganan kasus ujaran kebencian: Manual of Hate Speech (Anne Weber, 2011). Selain di media sosial, ujaran kebencian ini juga dapat terjadi pada ceramah-ceramah keagamaan atau khutbah yang berisikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain. Apalagi, praktik ceramah di negara ini tak membutuhkan legalisasi seperti di negara-negara lain yang penduduknya sama-sama mayoritas muslim. Beberapa negara tersebut memang menerapkan izin memberikan ceramah dari lembaga resmi, tidak seperti di Indonesia yang memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk melakukan ceramah. Semoga aturan mengenai ujaran kebencian yang telah digulirkan ini tidak kontra produktif dan menjadi salah satu solusi bagi terjaminnya kerukunan di dalam keragaman di Indonesia.
Editor: A.S. Sudjatna
*Penulis adalah mahasiswa Antropologi UGM yang menjalani kerja magang di data center CRCS UGM
Headline
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Persepsi tentang Papua kerap diliputi dengan isu-isu konflik. Selain konflik ekonomi-politik, juga ada konflik saudara (suku) serta kekerasan yang mengatas namakan agama. Fenomena-fenomena tersebut menggoda orang untuk mengimajinasikan wajah Bumi Cendrawasih yang ‘murung’ dan ‘menyeramkan’. Persepsi yang demikian semestinya tak boleh menutup harapan dan mata kita untuk menilik bahwa ada kisah kedamaian di Tanah Papua. Dalam hal ini, buku Papua Mengelola Keragaman berupaya menunjukkannya.
Buku tersebut merupakan tulisan reflektif hasil kunjungan peserta program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ke-V ke Kampung Wonorejo, yang diselenggarakan oleh CRCS bekerjasama dengan STAIN Al-Fatah, STFT Fajar Timur, dan LSM Ilalang Jayapura. Buku ini memuat kisah pengalaman masyarakat Kampung Wonorejo, Kabupaten Keerom, Papua, dalam upaya merajut kedamaian di tengah-tengah keberagaman. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian; setiap bagian terdiri dari beberapa tulisan dan diakhiri dengan sebuah cerpen. Tulisan-tulisan di dalamnya berupaya memberi gambaran interaksi masyarakat Wonorejo dan bagaimana pemerintah setempat mengelola perbedaan antar warga Wonorejo.
Tulisan-tulisan pada bagian pertama menggambarkan konteks kehidupan dan interaksi masyarakat di Kampung Wonorejo, sebuah desa yang terletak di daerah tapal batas antara Papua dan Papua New Guinea. Banyak warga Desa Wonorejo yang merupakan para transmigran yang berasal dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di desa ini, mereka dengan latar belakang kebudayaan, adat-istiadat, dan agama berbeda hidup bersama. Memiliki sejarah perjuangan hidup yang sama membuat mereka hidup senasib sepenanggungan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat Wonorejo untuk membangun kehidupan yang toleran, seperti yang diceritakan oleh Yali dan Kleopas. Interaksi antaretnik yang terjadi di Wonorejo juga terwujud dalam proses transfer pengetahuan. Oktovina dalam tulisannya menjelaskan proses itu, yang terjadi di antara para perempuan transmigran dari Jawa dan para perempuan Papua dalam mengolah bahan makanan, seperti pengolahan singkong menjadi kue yang dipelajari perempuan Papua dari perempuan Jawa, dan pengolahan sayur pohon pisang yang dipelajari oleh perempuan Jawa dari perempuan Papua.
Bagian kedua buku ini, Praktik Pengelolaan Keragaman, memuat tulisan mengenai praktik konkret pengelolaan keragaman kultur dan agama yang ditransformasi oleh masyarakat dalam wujud toleransi dan kedamaian. Tulisan Roni Hamu, misalnya, menunjukkan praktek pengelolaan keragamaan melalui adaptasi dan transformasi dalam tradisi bakar batu, yang tidak menjadi tradisi ekslusif salah satu kelompok etnis, tapi melibatkan dan merangkul seluruh masyarakat yang ada di Desa Wonorejo. Praktik pengelolaan keragaman lainnya dapat dilihat adalah semangat gotong royong dalam membangun rumah ibadah, yang melibatkan seluruh warga, terlepas dari identitas keagamaan yang dianut. Selain itu, sikap toleran juga ditunjukkan melalui upacara atau perayaan keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal, dengan saling mengunjungi dan menyampaikan ucapan selamat. Dalam hal ini, keterlibatan para tokoh agama, pemangku adat dan pemerintah lokal memiliki peran penting dalam proses pengelolaan keragamaan. Mereka menjadi fasilitator dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi.
Meskipun secara umum Kampung Wonorejo dapat dinyatakan toleran, desa ini sempat mengalami ketegangan dan konflik. Pada bagian ketiga buku ini, Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya, para penulis memaparkan bagaimana ketegangan dan konflik diatasi oleh masyarakat Wonorejo. Melalui kisah-kisah dalam buku ini, diketahui bahwa konflik tidak hanya terjadi dari internal masyarakat setempat, namun karena adanya campurtangan pihak luar yang lebih bersifat politis. Selain itu, konflik yang terjadi tidak semata-mata berkaitan dengan masalah perbedaan etnik dan agama, tetapi juga masalah kesenjangan ekonomi. Namun demikian, dalam penyelesaiannya, masyarakat multietnik di Wonorejo menemukan pola-pola sederhana dalam penyelesaian konflik yang mereka hadapi. Misalnya dengan menetapkan balai kampung sebagai tempat pertemuan untuk melakukan dialog dalam upaya menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Dengan demikian, setiap warga dapat terlibat dan melihat langsung proses tersebut, sehingga menjadi pembelajaran bagi mereka. Mekanisme penyelesaian konflik lainnya misalnya, dengan membuat perjanjian dan penetapan sanksi terhadap mereka yang melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan konflik. Arfan menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan antisispasi yang baik dalam mengurangi risiko konflik di tengah masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa proses penyelesaian konflik yang dilakukan di Wonorejo bersifat internal dan lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan.
Ada banyak pengulangan narasi dalam setiap tulisan, terutama berkaitan dengan data informatif tentang Kampung Wonorejo. Selain itu, harus diakui bahwa para penulis tidak melakukan sebuah analisis yang mendalam terhadap kisah yang telah dituliskan. Namun demikian, kisah-kisah tersebut dapat menyadarkan kita bahwa sikap toleran dan damai masih ada di Bumi Cendrawasih. Dengan menjadikan masyarakat Wonorejo sebagai studi kasus, buku ini bisa menjadi cermin untuk membantu kita bagaimana cara menemukan nilai-nilai kultural di masyarakat dalam upaya mengelola keragaman.
Judul : Papua Mengelola Keragaman | Editor : M. Iqbal Ahnaf, dkk. | Tahun Terbit : 2015 | Penerbit: CRCS
Papua Mengelola Keragaman
A.S. Sudjatna | CRCS | News
Agar gelar “City of Tolerance” Yogyakarta tak sekadar slogan, warga Yogyakarta harus terlibat aktif dan berani mendorong pemerintah untuk melakukan langkah-langkah strategis. Itulah kesimpulan diskusi selama kurang lebih tiga jam pada “Refleksi Dinamika dan Tantangan Kemajemukan di Yogyakarta 2015-2016”, Senin, 11 Januari 2016. Bertempat di kantor Kementerian Agama Kota Yogyakarta, diskusi hasil kerjasama antara Institut DIAN/Interfidei, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) DIY ini menghadirkan tiga narasumber dari latar belakang berbeda, antara lain Prof. Noorhaidi Hasan MA., MPhil., PhD, dari akademisi; Agung Supriyono, SH., kepala Kepala Badan Kesbangpol DIY; dan Tomy Apriando dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Noorhaidi membeberkan penelitian Wahid Institute yang menyematkan Yogyakarta sebagai kota intoleran peringkat kedua di Indonesia. Menurut Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, sepanjang tahun 2014 dan 2015 terjadi lebih dari dua puluh satu kasus kekerasan agama di Yogyakarta. Di antaranya, penyerangan terhadap kantor LKiS saat menghelat diskusi bersama Irshad Manji, penyegelan kantor Ahmadiyah Yogyakarta, kampanye massif anti-Syiah, pembubaran aktivitas Yayasan Rausyan Fikr, perusakan dan penyegelan sejumlah gereja, penolakan perayaan Paskah bersama di Gunung Kidul, serta pembubaran kemah pelajar Kristen. Kasus-kasus semacam ini menjadi ironi bagi Yogyakarta yang digadang-gadang sebagai kota tempat bernaung beragam suku dan agama yang ada di Indonesia.
Yang menarik, Noorhaidi juga mencatat Yogyakarta sebagai tempat lahir dan besar organisasi keagamaan dan gerakan yang sering dianggap sebagai pemicu konfrontasi dan intoleransi . Semisal FUI yang sejak tahun 2000 getol memprotes pendirian gereja di Yogyakarta, seperti Gereja GIDI di Kalasan serta Kapel St. Antonius di Pondokrejo. Selain itu, organisasi ini juga lantang menentang eksistensi Ahmadiyah dan Syiah. Yogyakarta juga menjadi saksi lahirnya Laskar Jihad yang turut serta dalam pengiriman laskar Islam ke Poso dan Ambon. Di luar itu, masih ada organisasi lainnya yang juga lahir dan berkiprah di Yogyakarta, semisal MMI yang bertekad menegakkan syariah atau HTI yang senantiasa menyerukan khilafah. Pada kurun waktu yang sama, sekelompok anak-anak muda dari Gerakan Anti Maksiat (GAM), Front Jihad Islam (FJI), Laskar Mujahidin MMI, GPK, KOKAM, dan Al-Misbah juga aktif turun ke jalan menentang Syiah.
Menurut Noorhaidi, ada tiga alasan banyak organisasi keagamaan itu memilih Yogyakarta sebagai arena pergerakannya. Pertama, Yogyakarta adalah kota tujuan para pelajar dan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menuntut ilmu. Dengan begitu, Yogyakarta menjadi lokasi strategis untuk membangun tulang punggung organisasi dan titik sebar gerakan ke berbagai wilayah. Kedua, iklim budaya dan kemasyarakatan di Yogyakarta yang cukup permisif terhadap kelompok atau ajaran-ajaran baru yang muncul. Selain itu, struktur kesempatan politik yang diperankan oleh beberapa orang atau beberapa pihak membutuhkan kehadiran organisasi-organisasi tersebut demi menyokong kekuasaannya, dan begitu pula sebaliknya.
Sementara itu, Agus Supriyono menyebutkan Yogyakarta sebagai barometer dan miniature Indonesia dengan segala keragamannya. Karenanya, menurut Agus, wajar jika ada beberapa benturan yang terjadi sebagai sebuah dinamika kehidupan masyarakat majemuk. Namun, Agus menggarisbawahi, kelompok mana pun semestinya tak berusaha mengeliminasi identitas kelompok lainnya. Hal yang harus dilakukan adalah menempatkan identitas masing-maisng tersebut sesuai dengan porsi dan kesempatannya.
Pembicara dari kalangan aktivis media, Tommy, lebih banyak menyoroti persoalan media di dalam kasus-kasus kekerasan agama. Ia menyebutkan, media harus terlibat aktif dalam resolusi konflik dengan menampilkan fakta-fakta sekaligus membuka peluang untuk dialog. Menurt Tommy, media memiliki kemampuan untuk membangun opini publik atau “framing” peristiwa dengan sudut pandang tertentu. Akan tetapi, ia mengingatkan, tantangan awak media di lapangan juga cukup besar. Tak jarang para awak media ini menjadi sasaran kecurigaan pihak-pihak yang sedang berkonflik. Sehingga, kehadiran mereka di wilayah konflik terkadang mendapatkan penolakan. Ini tentu akan menghambat proses pengambilan data sebagai sumber berita secara utuh dan berimbang. Selain itu, tak jarang pula awak media menjadi korban kekerasan dalam sebuah konflik, baik disengaja maupun tidak.
Masalah lainnya yang kerap dihadapi media adalah persoalan keredaksian. Tak jarang , sebuah berita gagal terbit lantaran kebijakan redaksi yang tidak menginginkan memuat hasil liputan tentang konflik beragama sebab dirasa membahayakan maupun teknis penulisan berita yang membuat media menjadi seolah berpihak dan tendensius. Alih-alih dapat menjadi bagian dari solusi, justru media malah menjadi pihak yang ikut memprovokasi. Di dalam beberapa kasus bahkan reaksi publik atas suatu pemberitaan kekerasan agama kerap menjadi bumerang bagi media itu sendiri. Tak jarang kelompok-kelompok tertentu datang dan mengintimidasi kantor sebuah media akibat adanya pemberitaan yang dianggap merugikan pihak mereka.
Di dalam sesi tanya jawab pada acara yang dimoderatori oleh Siti Aminah dari Interfidei tersebut, terungkaplah beberapa pertanyaan dan fakta-fakta lain di lapangan yang dikemukakan oleh para peserta yang hadir. Masriyah, misalnya, menyebutkan Yogyakarta semakin intoleran terhadap minoritas. Bahkan, menurut aktivis Fatayat ini, pendidikan multikultural atau keragaman di wilayah dunia pendidikan formal hampir dapat dikatakan tidak ada. Di dalam hal ini, ia memberi contoh nyata yang dialaminya saat akan mendaftarkan anaknya sekolah ke salah satu SD negeri di Yogyakarta. Pada saat ia mendaftarkan anaknya, ia diwanti-wanti oleh pihak sekolah agar sang anak yang saat itu hanya menggunakan kaos dan celana panjang jeans untuk dipakaikan rok dan jilbab saat nanti sudah masuk sekolah, sebab ia seorang muslimah. Penyeragaman dan pembedaan yang dilakukan semacam ini sejak dini, menurutnya, memungkinkan seseorang bertindak intoleran di masa depan sebab ia tidak terbiasa dengan perbedaan dan keragaman. Selain itu, ia juga menyayangkan sebab hal tersebut terjadi di SD yang notabene berstatus sekolah negeri, bukan sekolah Islam. Padahal, seharusnya sekolah negeri bersikap lebih netral dan mampu menerima serta menanamkan sikap toleransi terhadap keragaman yang ada.
Di dalam kesempatan ini, Masriyah juga mempertanyakan sikap aparat yang menurutnya kerap bersikap lembek atau bahkan seolah melakukan pembiaran terhadap perilaku intoleransi. Pertanyaan senada juga diungkapkan oleh Isna dari Gusdurian Yogyakarta. Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga tersebut menyayangkan sikap aparat yang terkesan permisif terhadap aksi-aksi intoleran yang terjadi di Yogyakarta, padahal identitas para pelaku sangat mudah dikenali.
Sebagai tambahan komentar mengenai sikap aparat ini, Agnes dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika menyebutkan bahwa seharusnya aparat bersikap tegas dengan melakukan tindakan nyata di dalam menangani kasus-kasus intoleran ini. Ia mencontohkan bahwa pada tahun 2014 dan 2015, ada banyak spanduk provokatif yang merupakan syiar kebencian terhadap kelompok tertentu. Menurutnya, aparat semestinya menindak tegas para pelaku pemasang spanduk tersebut sebab meresahkan. Selain itu, Agnes juga mempertanyakan persoalan penutupan beberapa rumah ibadah secara paksa oleh ormas tertentu. Ia mempertanyakan apakah memang masyarakat umum berhak melakukan penutupan rumah ibadah atau tidak.
Menanggapi beberapa pertanyaan tersebut, Noorhaidi menjawab bahwa pendidikan multikultural sangat perlu dikembangkan, terutama di sekolah-sekolah. Hal itu dapat dimanifestasikan di dalam berbagai program yang sesuai dengan tingkatan pendidikan yang ada. Selain itu, ia mengatakan bahwa kegagalan melakukan sebuah sistem secara substantif oleh pemegang kebijakan hendaklah diatasi dengan cara mengurai masalahnya, bukan malah diatasi dengan cara penyeragaman. Mengenai peran aparat kepolisian, Noorhaidi mengatakan bahwa polisi memang seharusnya tidak usah takut untuk menindak para pelaku tindakan intoleran selama tak menggunakan cara-cara represif. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan mencoreng wibawa negara dan mengarah pada gejala privatisasi kekerasan, membiarkan kekerasan dilakukan oleh sekelompok orang sipil. Padahal, privatisasi kekerasan ini adalah sebuah sinyalemen akan lemahnya negara. Di dalam hal ini, Noorhaidi juga menyebutkan bahwa privatisasi kekerasan ini juga dapat menjadi indikasi akan adanya kepentingan politik dari pihak tertentu. Misalnya ada aktor politik yang sengaja melindungi kelompok-kelompok intoleran tertentu guna mendapatkan dukungan suara dan kekuasaan dari kelompok tersebut. Namun, di akhir penjelasannya, ia kembali menegaskan bahwa penegak hukum harus tetap bertindak sesuai proporsi dan kewenangannya. Polisi lebih kuat dari kelompok radikal, jadi seharusnya tidak boleh ada toleransi terhadap kelompok-kelompok pelaku intoleran.
Di lain pihak Agus menyebutkan bahwa kemungkinan penyebab tidak adanya tidakan dari polisi atas para pelaku intoleran itu adalah tidak adanya cukup bukti. Karenanya, ia menghimbau agar laporan akan adanya tindakan intoleran juga disertai bukti-bukti yang cukup, jangan hanya berbentuk laporan semata. Hal ini akan membantu aparat dalam menegakkan hukum yang seharusnya. Selain itu, ia juga meminta masyarakat memaklumi akan kinerja aparat yang mungkin terlihat agak lamban sebab banyaknya kasus yang harus diselesaikan sedangkan jumlah SDM yang dimiliki masih terbatas.
Pertemuan ini akhirnya ditutup oleh tanggapan dari pihak kepolisian, diwakili oleh beberapa anggota polisi yang hadir pada saat itu. Pihak polisi mengakui bahwa memang ada banyak kendala yang harus mereka hadapi di lapangan di dalam penuntasan kasus-kasus kekerasan agama dan tindakan intoleran lainnya. Namun, mereka senantiasa berusaha melakukan penanganan terbaik agar tidak kontraproduktif. Selain itu, polisi juga mengingatkan bahwa peran serta masyarakat di dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan agama ini sangatlah dibutuhkan. Karenanya, pihak kepolisian mengimbau agar masyarakat tidak segan-segan melaporkan atau membantu polisi di dalam menghadapi persoalan intoleransi yang hadir.
Hadirnya Babinsa dan Babinkamtibmas di setiap wilayah di Yogyakarta hendaklah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat untuk membantu kepolisian di dalam kasus-kasus tindakan intoleran. Sehingga, tindakan preventif dapat dilakukan secara bersama-sama oleh pihak kepolisan dan masyarakat. Sebab, menciptakan kehidupan yang rukun dan damai adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan Indonesia, bukan hanya tanggung jawab salah satu pihak saja.
Editor: Azis Anwar Fachrudin
Ali Jafar | CRCS | Wednesday Forum Report
Maurisa, a CRCS alumna from the batch of 2011, presented her award-winning paper in Wednesday forum of CRCS-ICRS in 11th November 2015. Her paper entitled “The Rupture of Brotherhood, Understanding JI-Affiliated Group Over ISIS”, was awarded as best paper in IACIS (International Conference on Islamic Studies) in Manado, September. Maurisa was glad to share her paper with her younger batch. To all the audiences, Maurisa told that winning as best paper was not her high expectation, and it makes her proud.
The presentation began with Maurisa’s statement that the issue of ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) are quite to understand in relation to modern terrorism, because we always misread them and sometime we cannot differentiate between ISIS and Al-Qaeda. Maurisa continues her explanation that there are many groups in Iraq and Syria struggling for their power, terrorism is not single but many. ISIS also has supporters in Indonesia such as Jemaah Islamiyyah (JI-Islamic Group) which is considered as a big terrorist organization in Southeast Asia. This group (JI) has disappears from public consciousness, but actually its members have been spreading out. The most fascinating thing that she found is that JI in Indonesia. JI was separated into two, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) and Jama’ah Anshar at-Tauhid (JAT), and surprisingly JAT itself has internal conflict and divided into two; JAT and JAS (Jama’ah Anshar as Syari’ah).
Maurisa’s paper focused on questions about how does the conflict in Syria resonates with Jihadists in Indonesia, and how does political struggle within MMI show belief in a master narrative. Maurisa used Juergensmeyer’s perspective about cosmic war and the logic of religious violence. In the Juergensmeyer perspective, an ordinary conflict could become religious conflict when it is raised into cosmic level. One of the ways is demonization or Satan-ization of the enemy. In the context of Syria, the demon is Shia group which is blamed for chaotic situation within Sunni community. The master narrative was also about the same language. It is about sadness, it is about the sad feeling of being discriminated and persecuted by Shia.
According to Maurisa, not all jihadist groups support ISIS, indeed MMI was supporting Jabhat an-Nusra. The rupture of this affiliation was based on their differences in the perspective of takfirism (Apostasy). JAT and MMI have different perspectives in defining what Takfir Am (general apostasy) and takfir Muayyan (specific apostasy) is.
In seeing terrorist movements, although Maurisa saw that Jihad-ism is not monolithic, she revelas that there are five elements which are related each other. There are ideological resonance, strategic calculus, terrorist patron, escalation of conflict and the last is charismatic leadership. Terrorists also use social media, such as Facebook, Youtube and so on, to promote their propaganda, and as soft approach to other Muslims. Based on Maurisa’s research there are 50000 social media accounts to spread ISIS propaganda, but only 2000 are used to spread out propaganda. The most popular social media is Twitter, because a message can be retwited..
In the discussion session, Nida, a CRCS student asked about the current issues in which governments have banning Shi’a celebration in Indonesia, and whether there is any relation with ISIS, and how an Indonesian can be involved in the terrorism. Maurisa answered the question by explaining that Indonesia is about to change. It can be seen in Islamization created room for Islam in the public sphere. Indonesia is vulnerable since Wahabis and Iran have their political goals here and both want to establish their domination to spread out their agenda. Cases in Sampang, Madura, Pakistan and so on cannot be separated from international case. There are long story for transformation of Saudi and Iran. Our country is like something too. In talking about the entrance gate, Turkey is good entrance from Indonesia to go to Syria. If we see Turkey’s position is also questionable. They deny Isis, but they also support Isis.
Subandri also asked about the ways we interpret jihad are accessible. Therefore there are many interpretations of Jihad. That is what looks like for young Muslim now. Along with Subandri, Ruby also asked about the genealogy of Indonesian Jihadist movement. Like the connection between Indonesia and middle east that coming and potential realignment and the effect of JAT over ISIS.
In seeing connection and global phenomena, a relation between Islam and Middle East, Maurisa explained that in the United State for instance, there is relation if you wear jilbab, you are Muslim, and when you are Muslim, you are ISIS. “Here we can see the idea about securitization is like Islamophobia”, said Maurisa with showing slide about relation between Indonesia and Middle East. As she explained again “If we look at voice of Islam, we can see that there are solidarities for Syria. It is reported that medical mission in Indonesia, they have collected 1.6 million. For Syria suggesting support for the movement of mujahidin”. Maurisa also explained that globalization is the most responsible for this case. For example many Indonesia Muslims have easy access to Saudi, Iranian, Jihadist web, because of technology and so on. Young Indonesian have a lot of curiosity and they don’t ask to other.
In responding the interpretation of jihad, Maurisa gives a feedback, how do we interpret this? What makes cosmic war happen? And how to deal with them?. Maurisa began her explanation that in Islam, although there are many verses for killing, but it not necessary to do in violence. We have many steps in interpretation. There are many reasons for what make Muhammad approve of killing and in what context he did so. There are many possibilities to interpret jihad and there are many verses of good thing about Jihad. In talking about cosmic war, she said that “as long as we consider our enemy as Satan, or evil, meaning it is cosmic war”. At the end of discussion session, Maurisa concluded that the factor of jihad is not monolithic; there are many factors, even in ISIS and Al-Qaeda have different perspectives about jihad.
(Editor: Gregory Vanderbilt)
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Article
As the Islamic State (IS) organization destroyed ancient statues aged thousands of years at the Mosul museum in Iraq last month, almost at the same time some Muslims demanded that the Jayandaru statues in the Sidoarjo town square in East Java should be torn down too. Their reasons were similar: They regarded the statues as idols being worshipped and idolatry is considered part of polytheism or shirk, the biggest and most unforgivable sin in Islam. Sadly, the demands in Sidoarjo were primarily supported by GP Ansor, the youth wing of the supposedly “moderate” Nahdlatul Ulama (NU).
NU is often associated with being against “purification” (a literal interpretation of Islam) and it usually would be in the forefront of safeguarding “holy graves” against the threat of destruction, particularly the graves where those considered Muslim saints are buried. The NU highly condemns IS, including its blasting of holy shrines like the tomb of the Prophet Jonah (Yunus) in Iraq, and the actions of al-Nusra, such as its destruction of the grave of the leading imam an-Nawawi in Syria.
In fact, the embryo of NU in the early 20th century was a movement protesting the destruction of tombs of respected Muslim figures and sites that had historic importance for Muslims in Saudi Arabia (named Hijaz at that time). The destruction was carried out under the convictions of Wahhabism that regarded those shrines as sources of shirk.
What we are now dealing with is here, however, are statues, which is different from the contentious status of holy tombs. Many Muslims still visit graves of the holy figures; there is no clear prohibition of such a practice in primary Islamic sources of teachings. Yet there are several explicit prohibitions based on hadiths or prophetic traditions (which are secondary sources) of making full-figured statues or images of living creatures, either human or animal.
IS justifies its actions with those hadiths, relying also on the narrated story that the Prophet Muhammad commanded the destruction of statues (or, to be precise, idols) surrounding the Ka’ba in the eighth year following his conquest of Mecca.
The same justification was employed also by Afghanistan’s Taliban when in 2001 they blew up the two giant statues of Buddha in Bamiyan made in the 6th century — without knowing that there is no concept of a personal God in Buddhism, which is a non-theistic religion, and the statues of Shakyamuni Buddha are not subject to worship in the sense understood by monotheists.
That is it. Without denying the possibility of the political or economic factors in the aforementioned cases, the question here is whether Islam promotes iconoclasm or the destruction of idols. Iconoclasm is not unique to Islam (or, to be exact, Muslims); Judaism and Christianity also share history or scriptural teachings of iconoclasm. The story of the golden statue of a calf in the time of Moses is shared by the three religions. Iconoclasm was commanded by Hezekiah, the king of Judah (Two Kings 18:4) and King Josiah (Two Kings 23:1-20).
It appears also in the rabbinical Midrash, the story of Abraham as the iconoclast destroying idols made by his father. In Christianity, disputes over iconoclasm occurred in the Byzantine and Protestant Reformation era.
That is what is narrated in the scripture or “history”. As for Islam, while the Prophet Abraham is reported in the Koran to be destroying idols (asnam) of his people (Koran 21:52-67), the holy book says of King Solomon, considered a prophet by Muslims, that “they [the jinns] made for him [i.e. Solomon] what he willed: synagogues and statues [tamathil], basins like wells and boilers built into the ground.”
The Koranic terminology appears to differentiate between a mere statue (timthal) and an idol or statue being worshipped (sanam).
Muslim scholars all agree that it is prohibited for Muslims to worship statues because it makes them idolatrous. But that distinction between timthal and sanam matters very much when it comes to the contentious status of statues that are not worshipped.
Some Muslim scholars, such as the leading reformer Muhammad Abdul, Jadul-Haq (a former Grandsheikh of al-Azhar), and Muhammad Imarah (a renowned Muslim thinker), argued that it is allowed to have statues as long as they are not worshipped.
And in the fundamentals of Islamic jurisprudence (usul al-fiqh), “rulings are based on their raison d’etre [‘illah al-hukm]; when the raison d’etre disappears, the rulings do not prevail.”
That argument is supported by historical evidence of the early Muslim generations. The companions of the Prophet (such as Amr ibn al-Ash in Egypt and Sa’d ibn Abi Waqqas in Iraq) led conquests in many places, but did not destroy the ancient statues they found, because those statues were no longer worshipped.
Sphinxes still exist in Egypt. Those Mesopotamian statues had been there for centuries before being demolished by IS. The Bamiyan Buddha statues were there before being attacked by the Taliban.
In fact, when the Taliban were under Mullah Mohammed Omar, he once issued a decree in favor of the preservation of the Bamiyan statues by arguing that, besides the fact that a Buddhist population no longer existed in Afghanistan, the statues could be a potential major source of tourism income for Afghanistan.
Statues in the Borobudur Buddhist temple are also still there, although nine stupas were damaged during the 1985 Borobudur bombing. In general, most Muslims, either as a minority like in India or as a majority like in Indonesia, have no problem with statues, unlike those who prefer a literal interpretation of the Prophet’s sayings, or hadiths. Scripturalism is the very problem of IS-like Muslims; it denies the imperative that scripture must be contextualized with surrounding circumstances and contrasted with historical evidence.
Furthermore, in the heart of the holiest site for Muslims — the Ka’ba — there is a black stone (al-hajar al-aswad), that was venerated in the pre-Islamic pagan era and is kissed by Muslims while doing pilgrimage. That stone is considered sacred by many Muslims; some of them touch it to get sort of blessing or expiation of sins. And in regard to this practice, the second caliph Umar ibn al-Khattab has frequently been quoted as saying, “I know that you are a stone and can neither harm nor benefit anyone. Had I not seen the Messenger kissing you, I would not have kissed you.” That is, it is not statues, images, or stones that matter; it is Muslim minds that do.
For some nahdliyin (NU members), then, can we regard those statues in Sidoarjo as merely statues or stones that are not worshipped?
CRCS offers following courses during the second semester of 2015/2016 academic year. Those courses are open for graduate students (S2/MA and S3/PhD) of humanities and social science, but subject to availability of seats. Non CRCS students interested to enroll for a course(s) should contact Lina Pary (lina_pary@yahoo.com). All courses will begin the first week of February 2016 and continue for 14 weeks.