Presented by Ronald Gilliam, Online Development Coordinator – Center for Southeast Asian Studies, University of Hawai′i at Mānoa.
In the past ten years, social networking sites have gained in popularity, but many users have yet to learn the efficacy behind strategic social networking. Surprisingly, few academics and educational administrators use free social networking sites despite that the majority of students have daily interaction in online social communities. This presentation aims to showcase various social networking technologies and how they may be applied in an academic setting. The Center for Southeast Asian Studies social networking strategies on Facebook, Twitter, LinkedIn, Instagram, Pinterest and Vimeo will be used as resources for our discussion and we will explore examples of how to create social networking strategies to maximize engagement.
Wednesday, August 19th 2015 @ 10- 12 AM, Room 407
4th floor of Graduate School Building, UGM
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta Telp. 0274 544 976
SPEAKER BIO
Ronald Gilliam is the Online Development Coordinator in the Center for Southeast Asian Studies and he is primarily responsible for the continual development of the Center’s online programming. Since joining the Center in 2009, Ronald has implemented strategic social networking standards in order to create a dynamic community on the CSEAS website. He freelances as a graphic designer and web development consultant through his company, Colordrop.
Download the presentation materials below:
Your-Sample-Social-Editorial-Calendar
Creating a Social Media Strategy -guide
Headline
Terima kasih kepada 13 peserta terpilih yang telah mengikuti kegiatan workshop penulisan esai selama satu bulan di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious Studies and Cross-cultural Studies/CRCS). Terima kasih dan selamat atas kerja keras dan waktu yang telah dicurahkan untuk lomba ini. Setelah melewati berbagai diskusi dan penilaian selam proses workshop, juri telah menetapkan tiga pemenang terbaik dan sepuluh pemenang harapan yang esai-esainya akan dipublikasikan dalam betuk buku. Seluruh ketentuan mengenai Lomba Esai Guru 2015 merupakan keputusan dewan juri yang bersifat mutlak yang tidak dapat diubah dan diganggu gugat.
Selamat kepada para pemenang!
Pemenang I Anis Farichatin SMA PIRI I Yogyakarta mendapatkan Rp 1.500.000
Pemenang II Arifah Suryaningsih SMK Negeri 2 Sewon mendapatkan Rp 1.250.000
Pemenang III Puji Handayani SMA N 1 Muntilan mendapatkan Rp 1.000.000
10 Pemenang Harapan masing-masing mendapatkan Rp 500.000
Ahmad Khotim Muzakka*
Penulis Buku: Budi Asyhari-Afwan
Penerbit : CRCS-UGM
Tahun terbit : Januari 2015
Halaman : 86
Harga : Rp. 25.000
Download Mutiara Terpendam Papua
Buku bertajuk Mutiara Terpendam Papua, Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua karya Budi Asyhari-Afwan ini mengajak pembaca untuk melihat persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat Papua. Staf peneliti di Divisi Riset dan Data Center CRCS UGM ini, dalam kata pengantarnya, memfokuskan kajiannya kali ini pada kekayaan budaya suku-suku bangsa di Papua. Satu hal yang, menurut penulis buku ini, jarang ditempuh oleh peneliti dalam konteks Papua karena, selama ini, Papua hanya dilihat dari kacamata politik, konflik, dan sumber daya alamanya semata.
Pendaftaran online masuk UGM diperpanjang hingga 6 Agustus 2015. Bagi yang berminat mendaftar ke Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), masih ada kesempatan.
Jadwal Kegiatan Ujian Masuk Program Pascasarjana Semester Gasal T.A. 2015/2016
Kegiatan | Waktu Mulai | Waktu Selesai |
Pembayaran biaya pendaftaran | 10 April 2015 (pukul 00.00 WIB) |
5 Agustus 2015 (pukul 23.59 WIB) |
Pendaftaran online dan unggah dokumen yang disyaratkan | 13 April 2015 (pukul 00.00 WIB) |
6 Agustus 2015 (pukul 23.59 WIB) |
Penerimaan dokumen pendaftaran syarat khusus selain yang diupload | 13 April 2015 (pada hari dan jam kerja) |
7 Agustus 2015 (pada hari dan jam kerja) |
Verifikasi dokumen pendaftaran dan pelaksanaan tes substansi (apabila ada) oleh prodi | 20 April 2015 (pada hari dan jam kerja) |
11 Agustus 2015 (pada hari dan jam kerja) |
Pengumuman hasil seleksi | 19 Agustus 2015 | |
Mulai kegiatan akademik | September 2015 |
Informasi lebih lanjut silakan buka www.um.ugm.ac.id dan untuk tes TPA bisa dilakukan di Sekolah Pascasarjana UGM tanggal 25 Juli 2015, klik Tes TPA Pascasarjana UGM untuk informasi lebih lanjut.
Untuk informasi syarat penerimaan mahasiswa CRCS silakan buka Admission CRCS atau hubungi Lina K. Pary via email: crcs@ugm.ac.id atau telpon: 0274 544976.
SPK VI/CRCS/Rifqi Fairuz
Mengkaji identitas menjadi hal yang penting dan menjadi titik tolak dalam Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK VI). Agama, sebagai bagian dari identitas juga perlu untuk dilacak akar sejarahnya, dan bagaimana agama dalam perkembangannya menjadi pembentuk identitas manusia. Banyak masyarakat yang masih bingung dalam mendefinisikan kosakata agama, karena berbagai macam persepsi dan definisi yang dikenalkan melalui berbagai disiplin pengetahuan dan institusi. Peserta SPK VI menyebutkan banyak definisi agama, antara lain sebagai sistem simbol, sistem nilai, hegemoni monotaistik, bahkan sumber diskriminasi terhadap sistem kepercayaan yang tidak dianggap sebagai agama.Sesi pertama Sekolah Pengelolaan Keragaman pentingnya mengetahui paradigma agama yang dibangun oleh pemerintah, dan perbedaan realitas yang ada di masyarakat. Paradigma tentang agama ini penting dalam mengetahui konstruksi pikiran masyarakat dalam mendefinisikan agama.
Fasilitator SPK VI, Dr. Samsul Maarif menjelaskan dalam konteks keindonesiaan, yang penting adalah bagaimana penggunaan definisi agama itu dibangun dan dikonstruksi, yang kemudian menjadi populer serta dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh masyarakat. Tidak lain, aktor pendefinisi dan pembangun konstruksi itu salah satunya adalah institusi Negara.
Dari sudut pandang sejarah, sebelum berdirinya Negara Indonesia, agama menjadi penanda identitas komunal dan penanda kelompok. Contohnya pengkategorian penduduk di masa kolonial. Snouck Horgronje, orientalis Belanda, melakukan studinya dalam mengkaji identitas masyarakat Aceh dan menemukan bahwa identitas agama sangat melekat di masyarakat. Kajian terhadap agama juga dianggap penting bagi pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari strategi menghadapi pemberontakan yang terjadi dari masyarakat pribumi.
Dalam konteks Negara, agama mulai dianggap penting dan diatur oleh Negara melalui UUD PNPS tahun 1965. Melalui UUD tersebut diaturlah pengakuan Negara terhadap agama, yaitu ada enam agama yang diakui Negara. Hal ini menimbulkan persoalan terhadap banyak agama lokal yang tidak diakui oleh Negara. Ada konstruksi pemisahan antara agama dan adat sebagai legitimasi identitas kewarganegaraan.
Lebih lanjut, Samsul Maarif mengungkapkan pada masa Orde Baru, kerangka berpikir agama yang terpisah dari adat menjadikan legitimasi untuk pembangunan, dan menjadi instrument untuk modernisasi. Demi kepentingan tersebut, agama menjadi alat nasionalisme-developmentalisme. Paradigma agama, oleh Negara, mewarisi prototype agama dunia/monoteis untuk mendefinisikan agama. Oleh karenanya, Hindu-Budha Indonesia beda dengan asalnya. Sama halnya tentang kepercayaan, yang dianggap berbeda dengan pakem agama.
Akibatnya, pengentalan makna agama itu menyisihkan budaya yang kemudian dimurnikan (purifikasi), budaya menjadi berbeda dan berjarak dengan agama. Di sisi lain, festival budaya, yang melibatkan agama dan masyarakat lokal, menjadi objek tourisme.
Meskipun dalam tourisme ini, banyak pro dan kontra dalam melestarikan dan mengeksploitasi adat budaya lokal. Banyak masyarakat penganut agama lokal di satu sisi dilarang atau dianggap sesat, dimana secara bersamaan mereka dituntut harus beragama (berafiliasi) kepada agama yang diakui negara secara ortodoks. Yang terjadi: budaya/praktik lokal boleh dikembangkan, selama tidak bertentangan terhadap agama seperti nyanyian, tarian, upacara, dll.
Definisi agama yang Negara konstruksi yang relatif baru. Sebelum masa kolonial, agama dan adat itu tidak menjadi dua entitas berbeda. Permasalahannya adalah bagaimana definisi itu dikonstruksi dan dilegitimasi oleh negara. Kmudian konsruksi itu sangat berpengaruh kepada masyarakat yang menerimanya, dan mempunyai dampak diskriminasi. Diskriminasi tersebut berupa terbatasnya layanan kewarganegaraan, seperti pengosongan kolom KTP, pelarangan mensahkan catatan pernikahan dengan adat pernikahan agama lokal, kesulitan kenaikan jabatan karena masalah sumpah jabatan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, penting untuk memperhatikan definisi agama sebagai konstruksi identitas kewarganegaraan. Pola pikir Negara dalam mengakui agama dunia, dan menyisihkan agama lokal, rentan menjadi ruang diskriminasi karena pada dasarnya warga Negara berhak untuk mendapatkan layanan yang sama oleh Negara.
SPK diselenggarakan oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross Cultural Study/CRCS) untuk mempertemukan akademisi dan praktisi dalam bidang pengelolaan keragaman. Kelas dan pelatihan penelitian dalam SPK berlangsung selama 10 hari, sejak 19 sampai 30 Mei 2015 di Disaster Oasis Training Center Sleman Yogykarta. Peserta berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai Padang, Bengkulu, Kalimantan, Gorontalo, Makasar, Maluku, Lombok dan Jawa. Diharapkan setelah mengikuti kegiatan SPK, peserta mampu meningkatkan kemampuan advokasi melalui riset dan belajar dari pengalaman peserta lain dalam jaringan SPK di seluruh Indonesia.