A.S. Sudjatna | CRCS | News
“Boleh mengambil apa pun dari alam, asal sesuai haknya. Jangan berlebih. Ada hak Allah yang harus dipenuhi di sana, yakni keseimbangan. Namun jika berlebih, maka namanya mencuri, menzalimi hak Allah, mengambil lebih dari haknya.”
Itulah sekelumit nasihat dari Iskandar Waworuntu terhadap para mahasiswa CRCS yang mengadakan kunjungan ke Bumi-Langit, Kamis 17 November 2015. Menempati tanah seluas kurang lebih tiga hektar di wilayah Imogiri, Yogyakarta, Bumi-Langit merupakan tempat tinggal keluarga Iskandar Woworuntu yang sekaligus difungsikan sebagai contoh implementasi dari permaculture. Lokasi ini terletak tak jauh dari Pemakaman Imogiri, tempat dimakamkannya raja-raja Kesultanan Mataram. Bahkan, dari pendopo warung Bumi-Langit, pengunjung dapat melihat secara jelas kompleks pemakaman raja-raja tersebut.
Permaculture sendiri merupakan istilah dari gabungan dua kata, yakni permanent dan agriculture yang kemudian mengalami pergeseran menjadi permanent culture. Permaculture sebagai sebuah sistem yang teratur dan dapat dipelajari serta dipraktikkan mulai dikenalkan oleh Bill Mollison dan David Holmgren pada tahun 1978. Dalam hal ini, Mollison mendefinisikan permaculture sebagai sebuah filosofi tentang kerjasama dengan alam, bukan menaklukannya; tentang pengamatan dan penelusuran dan bukan pemikiran penggarap; tentang memperhatikan terhadap semua fungsi tanaman serta binatang dan bukan pendekatan yang menjadikan sebuah area sebagai sistem produksi tunggal. Artinya, permaculture merupakan sebuah sistem yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan fungsi alam untuk keberlangsungan kehidupan tanpa harus merusak atau menyalahi kodrat alam itu sendiri. Iskandar menyebutkan bahwa permaculture adalah sebuah ilmu untuk mendesain hidup manusia sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah—penatalayan atau steward dalam istilah Kristen—di muka bumi, di mana manusia dapat memiliki kemampuan untuk mewujudkan kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan.
Dalam kunjungan kuliah lapangan ini, rombongan mahasiswa CRCS diajak berkeliling melihat pertanian, peternakan, dan hunian keluarga Iskandar dalam kompleks Bumi-Langit yang terintegrasi dalam sebuah sistem terpadu, di mana seluruh bagian yang ada di Bumi-Langit—semisal peternakan sapi, ayam, dan kelinci, serta ladang dan hunian tempat tinggal manusia—memiliki keterkaitan hubungan yang saling menguntungkan. Sistem pembuangan kotoran manusia dan hewan, misalnya, ditampung di dalam sebuah tempat khusus untuk kemudian diolah menjadi biogas yang digunakan untuk memasak dan keperluan lainnya. Begitu pula, sisa jerami pakan sapi digunakan sebagai pupuk kompos dan lahan pembiakan cacing, di mana cacing-cacing ini dapat digunakan sebagai pakan ternak lainnya serta alat penggembur tanah. Sistem permaculture yang diterapkan di Bumi-Langit memang sangat menekankan akan ketiadaan unsur limbah berlebih yang disebut sebagai fasad oleh Iskandar. Fasad berarti suatu kerusakan yang diakibatkan oleh ulah buruk atau kezaliman manusia, dan salah satu bentuknya adalah limbah.
Menurut Iskandar, limbah dalam kadar kewajarannya bukanlah masalah atau sebuah fasad. Sebab, secara alamiah limbah itu akan terurai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, jika limbah itu berada di luar kewajaran akibat adanya campur tangan tindakan buruk manusia—misalnya tindakan eksesif saat menggunakan suatu benda atau sumber daya alam, sehingga limbah yang dihasilkan tidak dapat diurai secara alami atau membutuhkan waktu yang sangat panjang—maka itulah fasad yang harus dihindari. Menurut Iskandar, bumi tempat tinggal manusia, alam dan segala makhluk yang ada ini diciptakan oleh Tuhan dengan ukuran atau kadarnya masing-masing. Ukuran-ukuran itulah yang membuat alam ini berada dalam kondisi yang stabil dan harmoni. Namun, jika ukuran ini diganggu atau diambil tanpa perhitungan yang jelas, kestabilan ini akan terusik dan dapat memicu kerugian yang signifikan bagi kehidupan di bumi ini. Contoh nyata dalam hal ini misalnya bencana longsor atau banjir yang diakibatkan adanya penebangan hutan secara liar dan massif. Secara alami, alam memang memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan kembali ukuran-ukuraan yang telah diambil tersebut, namun eksploitasi dan cara-cara eksesif yang dilakukan manusia kerap membuat alam membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses penyeimbangan tersebut, atau bahkan membuat alam sama sekali tidak dapat memperbaikinya sebab kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen.
Menurut Iskandar, hal pertama yang harus dipelajari dan senantiasa dijadikan landasan dalam segala bentuk praktik permaculture adalah etika. Di dalam Islam, etika ini dikenal dengan istilah adab. Di dalam penerapan permaculture ini, Iskandar memang lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dianutnya. Menurut iskandar, adab adalah titik awal untuk melakukan apa pun di dunia ini. Tanpa adab, seseorang akan selalu mendapat masalah saat melakukan apa pun. Adab permaculture, menurut Iskandar, ada tiga. Pertama, care for the Earth; kedua, care for humanity; dan ketiga, fair share, baik terhadap manusia maupun ciptaan Tuhan yang lainnya. Bumi berada di urutan pertama sebab ia mewakili alam secara keseluruhan. Dalam hal ini, Iskandar menjelaskan bahwa seseorang tidak akan mungkin memiliki hubungan kemanusiaan yang baik atau sanggup membangun peradaban manusia yang baik jika tidak memiliki etika yang baik terhadap alam. Bahkan, menurutnya, manusia sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari alam ini. Manusia yang terdiri dari sistem pencernaan, saraf, napas, atau darah—termasuk pula sistem transenden yang belum dipahami manusia—adalah sebuah internal ekosistem. Sedangkan bumi dan seluruh makhluk lainnya adalah eksternal ekosistem. “Jadi, jika kita tidak memiliki hubungan yang baik dengan internal maupun eksternal ekosistem, tidak mungkin kita memiliki hubungan baik dengan manusia apalagi membangun peradaban,” ucap Iskandar saat ditanya mengapa manusia tidak berada dalam urutan pertama. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan pemahaman umum yang cenderung bersifat antroposentrisme, di mana manusia menjadi pusat bagi kehidupan di dunia ini.
Iskandar menjelaskan bahwa yang dilakukan oleh permaculture adalah sebuah pendekatan holistik bagi keberlangsungan kehidupan bumi dan peradaban manusia. Dengan adanya pendekatan holistik ini, maka manusia tidak keluar dari kodratnya sebagai khalifah di muka bumi, yakni pihak yang bertanggung jawab untuk mengatur, mengurus dan menjamin keberlangsungan kehidupan di dunia ini dengan harmoni, bukan mengeksploitasi semua kekayaan alam demi kepuasan pribadinya. Karenanya, menurut Iskandar, maksud dari holistik di sini dapat bermakna menyeluruh maupun suci atau agung. Artinya, sistem yang digunakan mestinya tidak keluar dari garis-garis ketentuan Tuhan dan senantiasa bertujuan demi menjalankan perintah-Nya. Dengan begitu, segala perilaku manusia yang hadir di bawah kontrol sistem tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk ibadah yang memiliki kontinuitas, sebab nilai-nilai kebaikan yang dibangunnya tidak terhenti pada satu generasi semata. Di dalam bahasa Islam, menurut Iskandar, hal ini disebut dengan amal jariyah, yakni amal perbuatan yang pahalanya senantiasa mengalir terus walau pelaku perbuatan tersebut telah tiada.
Permaculture dengan segala prinsip, metode, dan praksisnya terbukti dapat menjamin keberlangsungan nilai-nilai kebaikan itu. Keterjaminan kontinuitas nilai-nilai kebaikan inilah yang dibutuhkan bagi hadirnya kontinuitas kehidupan atau peradaban di muka bumi. Oleh sebab itu permaculture ini, di dalam pandangan Iskandar, amatlah penting untuk dipelajari dan implemetasikan di dalam kehidupan manusia. “Karena,” ucap lelaki blasteran Indonesia-Inggris ini, “saat kebaikan itu terputus, terancamlah peradaban tersebut. Dan ini sesuatu yang bukan hanya menjadi keterancaman dunia, bahkan menjadi keterancaman akhirat. Sebab sebetulnya garis amal jariyah, garis amal kebaikan, diturunkan dari satu generasi ke generasi lain sebagai bagian dari keberkahan manusia. Pada saat terjadi gangguan-gangguan terhadap keberkahan tersebut, kita jadi kehilangan doa dari masa lalu.”
Permaculture selalu meniru prinsip alam di dalam cara kerjanya. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek negatif yang kemungkinan akan ditimbulkan dan dapat merusak ekosistem. Hal tersebut dapat dilihat di dalam dua belas prinsip desain permaculture, yaitu mengamati dan berinteraksi, menangkap dan menyimpan energi, mendapatkan hasil, menerapkan didiplin atas kebijakan yang diberlakukan namun mampu pula menerima masukan, menggunakan sumber daya terbarukan dan anugerah dari alam, tanpa menghasilkan limbah, desain dari pola hingga detail garapan, lebih mengintegrasikan daripada memisahkan, gunakan solusi kecil dan lambat, menggunakan dan menghargai keanekaragaman, gunakan tepi dan menghargai marginal, serta menggunakan secara kreatif dan merespon perubahan. Dengan menggunakan prinsip-prinsip tersebut, manusia dapat memenuhi kebutuhan pokoknya untuk hidup dan berkembang tanpa harus merusak alam dan masa depan kehidupan bumi.
Kunjungan siang itu ditutup dengan acara makan siang dan diskusi ringan di pendopo yang difungsikan sebagai warung Bumi-Langit. Pada kesempatan itu, Iskandar banyak memberikan “sentilan” terhadap pola hidup manusia modern di perkotaan yang menurutnya telah jauh menyimpang dari kodrat manusia sebagai khalifah di muka Bumi. Ia menyebutkan bahwa pada masa poskolonialisme, negara-negara jajahan—termasuk Indonesia—memang telah diberi kebebasan dan memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi kebebasan mereka harus mengacu kepada hukum-hukum Barat, sistem Barat; sistem kesehatan Barat, sistem pendidikan Barat dan sebagainya. Sehingga, kian hari kian miriplah masyarakat yang dulu terjajah itu dengan orang Barat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mereka semakin terkungkung di dalam kehidupan ini, terutama secara spiritual. Imbasnya, masyarakat dunia ini semakin jauh dari fungsi utamanya, yakni sebagai pemakmur atau pengelola bumi—khalifah. Alih-alih jadi pemakmur, justru kebanyakan masyarakat saat ini berubah menjadi perusak bumi dan kehidupannya. Di akhir obrolan, Iskandar mengungkapkan harapannya. Ia ingin menjadikan Bumi-Langit dengan permaculture-nya yang telah ia rintis sejak 2006 itu sebagai tempat lahirnya para khalifah itu. Karenanya, ia juga mendirikan yayasan Bumi-Langit Institute yang menaungi segala bentuk kegiatan pembelajaran dan sarana berbagi ilmu mengenai permaculture. Dengan begitu, ia berharap anak-anak desa akan mendapatkan kepercayaan diri dan meyakini bahwa ada kemuliaan di desa, sehingga mereka tidak terpukau dan pergi ke kota. Selain itu, ia juga ingin menunjukkan bahwa ada banyak nilai kearifan di alam kepada anak-anak kota. Melalui Bumi-langit Institute ini, Iskandar telah menunjukkan bahwa agama dengan segala doktrinnya tidaklah terpisahkan dari kehidupan dunia ini. Bahkan, agama dapat menjadi salah satu solusi bagi permasalahan ekologis dan keterjaminan keberlangsungan kehidupan di Bumi ini.
(Editor: Azis A. Fachrudin)
News
Farihatul Qamariyah | CRCS | News
Representatives of the Center for Religious and Cross – cultural Studies (CRCS) Gadjah Mada University took part in the international conference on the topic of Making Southeast Asia and beyond sponsored by the Faculty of Liberal Arts, Thammasat University, and held at Tha Phrachan Center, Bangkok, Thailand on 15- 16 January 2016. The event which was held by Southeast Asian Studies Program and International Studies (ASEAN – China) International Program at Thammasat University brought various issues dealing with the fields of history, politics, culture, business, and religion into academic discussion.
“New players in Southeast Asia” was the first topic of the seminar in this international conference. Suhadi, the lecturer of CRCS program who was invited to be the speaker in the seminar, delivered a presentation entitled “Religious Studies and the Emergence of Academic New Players in Southeast Asia”. His main concern was the participation of religion in scholarly discourse in relation to its strategic position in the political, economic, and social life of Southeast Asian countries. Expressing the paradoxical assumption in the modern era that religion was predicted to disappear from the public arena but has in fact has experienced a resurgence leads to a significant standing point for considering the role of religion as identity in the awareness of society in the broader context.
In Suhadi’s presentation, Southeast Asia is the potential space to engage with the discourse of religions and traditions. This is a timely issue because of the launching of the Association of South-East Asian Nations (ASEAN) including the ASEAN Economic Community in January 2016 and also the ASEAN Human Rights Declaration which concerns with the civil, political, cultural, and people rights of peace, but Suhadi argued that this kind of declaration has paid little attention to religious rights. By starting this point of view, Suhadi raised a number of questions about inter- and intra- religious issues, including: Who are the initiator to open this discussion? Importantly, what is the role of the public (non – theological, non – religious vocational) university in dealing with the issue of religion? Especially in the context of Asian countries?
Answering these questions, Suhadi took a look at the conditions in Southeast Asian countries in recent years. There have been emerged some public universities that open a department or center of academic study of religion or religious studies. He gives some examples of the establishment of religious studies centers in various Asian locations, such as the College of Religious Studies in Mahidol University Thailand that was established in 1999, Center of Religious and Cross- cultural Studies Gadjah Mada University that was established in 2000, and Studies in Inter- Religious Relations in Plural Societies in Nanyang Technological University Singapore which was established in 2014.
In line with the religion in the academic side, Suhadi suggested a context of differentiation on the position of religious study and the study of theology which are different in the actualization. In line with these concerns, these institutions are set up in order to strengthen inter-religious perspectives and to understand religious diversity as social context rather than to preach one religion. Hence, Suhadi emphasized the notion of taking religious studies as an alternative approach in dealing with social significance in Southeast Asia political, economic, and social life. Bringing up the absence of religious discourse in ASEAN, he argued briefly that the existence and establishment of centers or departments of religious studies in Southeast Asian Universities would be the new players in relation to the religious diversity management in the public life of Southeast Asia society and beyond.
Two current CRCS students—Farihatul Qamariyah and Abdul Mujib from the batch 2014—joined the delegation and were presenters in the Religion and Identity panel session of this international conference. Qamariyah presented her paper entitled “Eco–Pesantren: An Ecological Religious Movement Facing the Environmental Crisis”, while Mujib’s presentation title was “The Relevance of Inter – Religious Relation in Shaping of Experience in Diversity and Pluralistic Attitude”.
Qamariyah made the context of her presentation the issue of environmental degradation in the circle of ecological crisis. The meeting point of religion and ecology served as the general framework for her paper. She addressed the questions by profiling the a new Islamic movement for environmental change, the eco – pesantren, and by showing how this kind of movement is implemented in the real actualization by the study case, and how it could contribute to the problem of environment including the impacts and its challenge. She argued that Pesantren as the Islamic traditional institution with the classical type of education, offers an alternative design to face the environmental problem called as Eco – pesantren which has a substantial religious mission within practice to the environmental conservation.
Abdul Mujib took up an issue of inter – religious or interfaith relations through the social life interaction. His content of presentation is on preliminary research taking a setting in Banguntapan, Yogyakarta. He argued that this region is an area which has a good inter- religious relations due to the diversity of society’s background of religions such as Hindu, Islam, Catholic, and Kejawen. By this kind of situation, the sense of tolerance and awareness of diversity should be seized up by the society. Therefore, to examine the experience of living together with the different kind of religious identity, he proposed a framework of pluralist attitude covering the inclusive and exclusive factor in observing this case. There are some important key questions that will be addressed that are the function of religion in the society’s daily activity, how the society enable to correlate their experiences of diversity to the pluralist attitude, and the position interreligious relation in the experience of diversity and pluralism. In relation to the research focus, Mujib will examine the level and conditions of contact and tolerance within the social space of Banguntapan.
Participating in such International Conference which lifts up the diverse issues in the Southeast Asian context clearly contributes to the development of academic communication and enrichment at the international level, in Southeast Asia and beyond. (Editor: Greg Vanderbilt)
Farihatul Qamariyah | CRCS | News
New work in exploring new directions in re-contextualizing and re-conceptualizing Southeast Asia and Southeast Asian Studies was the main feature of the international conference hosted by Southeast Asian Studies Program and International Studies (ASEAN – China) International Program, Thammasat University, Bangkok, Thailand. This program was conducted in the Faculty of Liberal Arts, Thammasat University Tha Phrachan center in Bangkok on 15 – 16 January 2016. It was the second event held by the center of Southeast Asian Studies, Thammasat University in collaboration with University of Gadjah Mada Research Center. The first was held on 2 – 3 May 2014 at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
As shown in its title “Making Southeast Asia and Beyond,” this conference had three important objectives. First, it was a space to encourage the exchange of views, experiences, and findings among senior scholars, young researchers and students. The second objective was to offer a platform for students to present their research and findings. The last, this event becomes the medium to promote academic and research collaboration between universities in ASEAN Community. The conference welcomed a variety of papers dealing with historical, cultural, political, social, religious, or multidisciplinary researches as the stage to share and engage issues concerning Southeast Asia.
This conference was attended by many scholars, graduate students, and researchers coming from several universities in Thailand and Indonesia. During two days, there were three seminar sessions and five panel discussions. The topics of the seminars were “New players in Southeast Asia,” “Southeast Asia and East Asia: Interconnections,” and “Indonesia and Muslim Studies: a New Perspective.” The panel discussions were focused on “Media and Business in Southeast Asia,” “Religion and Identity,” “Tourism and Management,” “Cultural Politics in Asia,” and “Memory and Modernity.”
The heart of motivation for this program could be summed up through some words delivered by the keynote speaker, Emeritus Professor Charnvit Kasetsiri from Thammasat University. In the opening session of his speech topic “From Southeast Asian Studies to ASEAN: Back to the Future?” he said that the opportunities are good for Southeast Asia and for ASEAN, but the region also needs integration –the possibility of a dream of one vision, one identity, and one community. Consequently, our efforts to reach this future, should be in line with the blueprints for political security, and all economic, and socio – cultural aspects in the ASEAN charter.
The Center of Religion and Cross – cultural Studies (CRCS), University of Gadjah Mada, was also invited to participate in this conference. Suhadi, as one of the lecturers, was a speaker in the first session of the seminar entitled “New Players in Southeast Asia” from the perspective of religious studies. Two students, Farihatul Qamariyah and Abdul Mujib from the batch 2014, presented their papers in the panel discussion on “Religion and Identity.” (Editor: Greg Vanderbilt)
Protecting the Sacred: An Analysis of Local Perspectives on Holy Site Protection in Four Areas in Indonesia | Author: Dr. Suhadi Cholil | Pages: IX+94 Pages| Size: 16 x 23,5 cm | ISBN: 978-602-72686-4-7| Year Publishing: Januari 2016
Indonesia is home to communities of believers in the world’s major religions and traditions, in addition to various indigenous religions and other smaller world religions. Holy sites, varying from mosques to temples to churches to tombs, can be found in all corners of the archipelago. Despite this abundance of holy sites, there is a general lack of knowledge, understanding, and respect for these sacred spaces. Holy sites, particularly houses of worship and other sacred places, are often the target of violence during conflicts in Indonesia. That is why there is an urgent need to promote the significance of public understanding of houses of worship and holy sites.
This book investigates three key questions: (a) To what extent can the Universal Code of Conduct on Holy Sites be used to campaign for respect and protection towards houses of worship and holy sites in Indonesia? (b) What are the public’s perceptions and public knowledge about houses of worship and holy sites as well as its attitude towards the recognition and respect for them? (c) How does social change affect the relationship between religions and the protection of houses of worship and holy sites in certain areas of Indonesia? The investigation took place in four areas of Indonesia: Manado, Pontianak, Bali, and Bekasi.
Shinta Mudrikah* | CRCS | Artikel
Pasca-Orde Baru, kebebasan berpendapat di Indonesia laiknya kuda liar lepas kandang, bergerak ke segala arah dan tak terkontrol. Tak jarang, kebebasan berpendapat ini menggiring segelintir orang untuk berani bersirobok dengan isu-isu sensitif seperti agama, keyakinan atau kepercayaan, etnis, gender dan sebagainya. Sayangnya, hal ini tidaklah berbanding lurus dengan kesiapan mental masyarakat Indonesia untuk hidup dalam keragaman, sehingga ekspresi kebebasan berpendapat ini tak jarang berakhir dengan konflik yang seolah tak berkesudahan. Belum lagi mengering luka sejarah yang ditorehkan konflik di Sampit, Ambon, kerusuhan Anti-Cina, dan kampaye anti-Ahmadiyah, kini nusantara kembali berguncang dengan terjadinya pembakaran rumah ibadah di wilayah timur, Tolikara, yang disusul aksi serupa di wilayah barat, Singkil. Daftar panjang konflik dan kerusuhan yang berlangsung sejak beberapa dekade lalu itu cukup menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia—dengan segenap kebhinekaannya—masih rentan terhadap provokasi terkait isu-isu sensitif tersebut.
Di dalam hal ini, media sosial ikut andil menjadi salah satu ladang semai kebencian nan provokatif, di mana aksi kebebasan berpendapat tanpa tanggung jawab subur menjamur. Agustus 2015 lalu, pemilik akun Facebook Arif Munandar mengunggah status yang membuat gerah para netizen. Pasalnya, ia memaki warga Indonesia keturunan tionghoa dalam status itu, serta mengaitkannya dengan ancaman krisis ekonomi. Kasus Arif merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan kebebasan berpendapat di media sosial yang dapat memicu konflik horisontal. Banyaknya ujaran kebencian yang dilakukan oleh oknum tertentu di media sosial ini merupakan sebuah gambaran semakin kaburnya batas-batas demokrasi di Indonesia. Karenanya, sebagai penyelenggara negara dan pemegang otoritas hukum, badan eksekutif negara merasa perlu membuat seperangkat aturan pelarangan ujaran kebencian melalui media sosial dengan berlandaskan pada garis-garis hukum yang dirumuskan oleh para wakil rakyat. Langkah ini diambil sebagai respons atas semakin maraknya ujaran kebencian di media sosial yang dianggap mengancam keutuhan negara.
Surat edaran tentang ujaran kebencian—hate speech—yang kini menimbulkan pro dan kontra sejatinya telah dirancang sejak dua tahun lalu. Surat edaran Kapolri Jenderal Badrodin Haiti itu diterbitkan atas usul Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang telah melakukan penelitian di beberapa kota di Indonesia yang terkait konflik. Surat edaran ini ditujukan untuk internal kepolisian dan berisi tentang cara penanganan kasus ujaran kebencian di media sosial. Dengan keluarnya surat edaran yang diteken pada 8 Oktober 2015 oleh Kapolri ini, seluruh anggota kepolisian di berbagai wilayah Indonesia diharapkan bisa menangani konflik di media sosial dengan tuntas. Selain itu, hal ini juga akan membuka wawasan anggota kepolisian akan bahayanya ujaran kebencian.
Surat edaran bernomor SE/06/X/2015 yang berisikan prosedur penanganan kasus penyebaran ujaran kebencian di media publik ini sudah disebarkan ke seluruh Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) kepolisian di Indonesia. Beberapa pihak setuju dan mendukung langkah Kapolri ini, namun sebagian lainnya menilai surat edaran ini perlu dikaji ulang dari berbagai perspektif. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafid Abbas, mengatakan bahwa dirinya mendukung surat edaran Kapolri tersebut apabila dapat menumbuhkan kebebasan berpendapat secara bertanggung jawab. Karena, kebebasan berpendapat di Indonesia memang tidak bersifat absolut seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28J. Namun, ia juga berharap Polri harus bisa membedakan antara ujaran kebencian dengan penyampaian pendapat dan kritikan.
Beberapa kalangan mengkritik dimasukannya unsur pencemaran nama baik di dalam peraturan tersebut karena dianggap berpotensi menghambat kebebasan berpendapat. Roichatul Aswidar, salah seorang komisioner Komnas HAM, berpendapat bahwa jika pencemaran nama baik tetap dimasukan sebagai salah satu ujaran kebencian maka hal ini akan mengancam berbagai profesi, antara lain wartawan serta aktivis yang mengritik kebijakan pemerintah. Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Agus Rianto, beralasan dimasukkannya pencemaran nama baik sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian adalah karena hal itu menyangkut kepentingan orang lain. Namun, pada proses hukum nantinya, hal tersebut tetap akan ditinjau kembali. Ia berpendapat bahwa kebebasan itu bukanlah tanpa batas, namun tetap ada batasan yang mengatur kebebasan berpendapat terutama jika sampai merugikan orang lain. Hal ini sebagaimana termaklum di dalam UU No. 9 tahun 1998.
Di saat para aktivis terus mendesak Kapolri untuk merevisi edaran yang dianggap gagal membedakan ujaran kebencian dengan mengekspresikan pendapat, pakar hukum UI, Ganjar Laksmana, justru mendukung langkah Kapolri tersebut. Menurutnya, para aktivis terlalu fokus pada kemungkinan pelanggaran kebebasan berpendapat, bukan pada kemungkinan bagaimana aturan ini menguntungakan para aktivis. Berkaca pada kasus beberapa aktivis yang menghadapi tuntutan pencemaran nama baik karena laporan mereka di media, edaran Kapolri ini dibuat agar hukum pencemaran nama baik tidak mudah digunakan untuk membungkam kritik.
Pelarangan ujaran kebencian di media sosial sudah menjadi praktik umum di negara yang terkenal demokrasinya, seperti di Kanada dan Australia, untuk melindungi warganya dari provokasi terkait ras, etnis, atau isu sensitif lainnya. Uni Eropa juga menerbitkan manual untuk penanganan kasus ujaran kebencian: Manual of Hate Speech (Anne Weber, 2011). Selain di media sosial, ujaran kebencian ini juga dapat terjadi pada ceramah-ceramah keagamaan atau khutbah yang berisikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain. Apalagi, praktik ceramah di negara ini tak membutuhkan legalisasi seperti di negara-negara lain yang penduduknya sama-sama mayoritas muslim. Beberapa negara tersebut memang menerapkan izin memberikan ceramah dari lembaga resmi, tidak seperti di Indonesia yang memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk melakukan ceramah. Semoga aturan mengenai ujaran kebencian yang telah digulirkan ini tidak kontra produktif dan menjadi salah satu solusi bagi terjaminnya kerukunan di dalam keragaman di Indonesia.
Editor: A.S. Sudjatna
*Penulis adalah mahasiswa Antropologi UGM yang menjalani kerja magang di data center CRCS UGM
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Persepsi tentang Papua kerap diliputi dengan isu-isu konflik. Selain konflik ekonomi-politik, juga ada konflik saudara (suku) serta kekerasan yang mengatas namakan agama. Fenomena-fenomena tersebut menggoda orang untuk mengimajinasikan wajah Bumi Cendrawasih yang ‘murung’ dan ‘menyeramkan’. Persepsi yang demikian semestinya tak boleh menutup harapan dan mata kita untuk menilik bahwa ada kisah kedamaian di Tanah Papua. Dalam hal ini, buku Papua Mengelola Keragaman berupaya menunjukkannya.
Buku tersebut merupakan tulisan reflektif hasil kunjungan peserta program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) ke-V ke Kampung Wonorejo, yang diselenggarakan oleh CRCS bekerjasama dengan STAIN Al-Fatah, STFT Fajar Timur, dan LSM Ilalang Jayapura. Buku ini memuat kisah pengalaman masyarakat Kampung Wonorejo, Kabupaten Keerom, Papua, dalam upaya merajut kedamaian di tengah-tengah keberagaman. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian; setiap bagian terdiri dari beberapa tulisan dan diakhiri dengan sebuah cerpen. Tulisan-tulisan di dalamnya berupaya memberi gambaran interaksi masyarakat Wonorejo dan bagaimana pemerintah setempat mengelola perbedaan antar warga Wonorejo.
Tulisan-tulisan pada bagian pertama menggambarkan konteks kehidupan dan interaksi masyarakat di Kampung Wonorejo, sebuah desa yang terletak di daerah tapal batas antara Papua dan Papua New Guinea. Banyak warga Desa Wonorejo yang merupakan para transmigran yang berasal dari Pulau Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di desa ini, mereka dengan latar belakang kebudayaan, adat-istiadat, dan agama berbeda hidup bersama. Memiliki sejarah perjuangan hidup yang sama membuat mereka hidup senasib sepenanggungan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi masyarakat Wonorejo untuk membangun kehidupan yang toleran, seperti yang diceritakan oleh Yali dan Kleopas. Interaksi antaretnik yang terjadi di Wonorejo juga terwujud dalam proses transfer pengetahuan. Oktovina dalam tulisannya menjelaskan proses itu, yang terjadi di antara para perempuan transmigran dari Jawa dan para perempuan Papua dalam mengolah bahan makanan, seperti pengolahan singkong menjadi kue yang dipelajari perempuan Papua dari perempuan Jawa, dan pengolahan sayur pohon pisang yang dipelajari oleh perempuan Jawa dari perempuan Papua.
Bagian kedua buku ini, Praktik Pengelolaan Keragaman, memuat tulisan mengenai praktik konkret pengelolaan keragaman kultur dan agama yang ditransformasi oleh masyarakat dalam wujud toleransi dan kedamaian. Tulisan Roni Hamu, misalnya, menunjukkan praktek pengelolaan keragamaan melalui adaptasi dan transformasi dalam tradisi bakar batu, yang tidak menjadi tradisi ekslusif salah satu kelompok etnis, tapi melibatkan dan merangkul seluruh masyarakat yang ada di Desa Wonorejo. Praktik pengelolaan keragaman lainnya dapat dilihat adalah semangat gotong royong dalam membangun rumah ibadah, yang melibatkan seluruh warga, terlepas dari identitas keagamaan yang dianut. Selain itu, sikap toleran juga ditunjukkan melalui upacara atau perayaan keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal, dengan saling mengunjungi dan menyampaikan ucapan selamat. Dalam hal ini, keterlibatan para tokoh agama, pemangku adat dan pemerintah lokal memiliki peran penting dalam proses pengelolaan keragamaan. Mereka menjadi fasilitator dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi.
Meskipun secara umum Kampung Wonorejo dapat dinyatakan toleran, desa ini sempat mengalami ketegangan dan konflik. Pada bagian ketiga buku ini, Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya, para penulis memaparkan bagaimana ketegangan dan konflik diatasi oleh masyarakat Wonorejo. Melalui kisah-kisah dalam buku ini, diketahui bahwa konflik tidak hanya terjadi dari internal masyarakat setempat, namun karena adanya campurtangan pihak luar yang lebih bersifat politis. Selain itu, konflik yang terjadi tidak semata-mata berkaitan dengan masalah perbedaan etnik dan agama, tetapi juga masalah kesenjangan ekonomi. Namun demikian, dalam penyelesaiannya, masyarakat multietnik di Wonorejo menemukan pola-pola sederhana dalam penyelesaian konflik yang mereka hadapi. Misalnya dengan menetapkan balai kampung sebagai tempat pertemuan untuk melakukan dialog dalam upaya menyelesaikan setiap konflik yang terjadi. Dengan demikian, setiap warga dapat terlibat dan melihat langsung proses tersebut, sehingga menjadi pembelajaran bagi mereka. Mekanisme penyelesaian konflik lainnya misalnya, dengan membuat perjanjian dan penetapan sanksi terhadap mereka yang melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan konflik. Arfan menjelaskan bahwa upaya tersebut merupakan antisispasi yang baik dalam mengurangi risiko konflik di tengah masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa proses penyelesaian konflik yang dilakukan di Wonorejo bersifat internal dan lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan.
Ada banyak pengulangan narasi dalam setiap tulisan, terutama berkaitan dengan data informatif tentang Kampung Wonorejo. Selain itu, harus diakui bahwa para penulis tidak melakukan sebuah analisis yang mendalam terhadap kisah yang telah dituliskan. Namun demikian, kisah-kisah tersebut dapat menyadarkan kita bahwa sikap toleran dan damai masih ada di Bumi Cendrawasih. Dengan menjadikan masyarakat Wonorejo sebagai studi kasus, buku ini bisa menjadi cermin untuk membantu kita bagaimana cara menemukan nilai-nilai kultural di masyarakat dalam upaya mengelola keragaman.
Judul : Papua Mengelola Keragaman | Editor : M. Iqbal Ahnaf, dkk. | Tahun Terbit : 2015 | Penerbit: CRCS