Kemunculan diskursus indigenous religion atau ‘agama leluhur’ dalam studi agama dan antropologi tak lepas dari kesadaran untuk melepaskan berbagai asumsi peyorasi—seperti animisme dan primitif—pada tradisi dan praktik masyarakat adat. Akan tetapi, penggunaan “indigenous” untuk merepresentasikan tradisi dan praktik adat ini juga tidak absen dari masalah.
Perspective
“Honor killing” merupakan praktik yang mengakar pada banyak tradisi di dunia. Akan tetapi, isu kesetaraan gender dan perlindungan perempuan yang datang bersama dengan modernitas mengusik keberadaan tradisi tersebut. Salah satunya melalui CEDAW.
Meski mengundang kontroversi dan diskriminasi, masyarakat Hindu di India mempertahankan keberadaan kasta atas nama agama. Di sisi lain, konsep kasta yang nonegaliter tampak bertentangan dengan doktrin ajaran Hindu vasudaiva katumbhakam 'seisi bumi adalah saudara'. Lalu dari mana muasal kepercayaan kasta yang hierarkis itu?
The Marapu people who have been deprived from their lands have to deal with a coalition of corporations, the government, and the people who support the sugar plantation project. The Marapu people's religious worldview of land is being clashed with the perspective of a secularized society, which sees land to the extent that it provides financial benefits.
Monoteisme sering dianggap sebagai puncak dari pengalaman keagamaan manusia. Tak heran, dalam studi antropologi agama, monoteisme sering disandingkan dengan gerak evolusi peradaban manusia. Karenanya, keberadaaan temuan monoteisme pada masyarakat purba menjadi antitesis dalam teori evolusi agama. Akan tetapi, ada yang alpa dalam hiruk-pikuk perdebatan tersebut.
Sejak dua dekade terakhir, perjuangan dan pertarungan umat Baha'i melawan stigma kian tampak: mulai dari upaya mendapatkan hak-hak administrasi yang memadai hingga menegaskan eksistensi mereka sebagai agama independen, bukan aliran sempalan dari agama tertentu.