Monoteisme sering dianggap sebagai puncak dari pengalaman keagamaan manusia. Tak heran, dalam studi antropologi agama, monoteisme sering disandingkan dengan gerak evolusi peradaban manusia. Karenanya, keberadaaan temuan monoteisme pada masyarakat purba menjadi antitesis dalam teori evolusi agama. Akan tetapi, ada yang alpa dalam hiruk-pikuk perdebatan tersebut.
Perspective
Sejak dua dekade terakhir, perjuangan dan pertarungan umat Baha'i melawan stigma kian tampak: mulai dari upaya mendapatkan hak-hak administrasi yang memadai hingga menegaskan eksistensi mereka sebagai agama independen, bukan aliran sempalan dari agama tertentu.
Tersebarnya agama-agama besar dunia dan terkucilnya agama-agama lokal bukanlah perkara agama lokal itu primitif sehingga perlu berevolusi menjadi agama modern atau monoteisme.
Masyarakat Marapu yang telah dicerabut hubungannya dengan tanah mereka harus berhadapan dengan koalisi korporasi dan pemerintah sekaligus masyarakat yang mendukung proyek perkebunan tersebut. Pandangan dunia religius masyarakat Marapu tentang tanah dibenturkan dengan perspektif masyarakat yang sudah tersekularisasi, yang melihat tanah sejauh itu memberikan keuntungan finansial.
Menurut Eliade, agama tidak bisa direduksi sebagai fenomena sampingan semata, yang mengandaikan agama sebagai variabel yang dependen atau akibat dari struktur sosial tertentu. Baginya, agama merupakan sesuatu yang 'sui generis': ia memiliki aspek-aspek esensial yang otonom, dan karena itu harus didekati dengan fenomenologi.
Bila melihat bahwa tujuan dari dialog antaragama bukan saja menyangkut isu teologis melainkan juga pemecahan masalah bersama terkait isu sosial, ekonomi, politik dan isu ekologis, eksklusi terhadap agama lokal dalam dialog antaragama berarti pengabaian terhadap mitra dialog yang amat berharga.