Centang Perenang “Indigenous” dalam Studi Agama
Tarmizi Abbas – 30 Oktober 2021
Kemunculan diskursus indigenous religion atau ‘agama leluhur’ dalam studi agama dan antropologi tak lepas dari kesadaran untuk melepaskan berbagai asumsi peyorasi—seperti animisme dan primitif—pada tradisi dan praktik masyarakat adat. Akan tetapi, penggunaan “indigenous” untuk merepresentasikan tradisi dan praktik adat ini juga tidak absen dari masalah.
Pada dekade 90-an, agama leluhur—sebagai kategori agama di luar agama-agama dunia (world religions)—mulai menjadi bagian dari kurikulum akademik di beberapa universitas dengan nama “traditional religion” atau “primal religion”. Sesuai nama yang disandangnya, agama leluhur ditempatkan sebagai kepercayaan dan tradisi awal yang muncul sebelum agama-agama dunia. Perubahan nomenklatur menjadi “indigenous religion” datang belakangan ketika istilah “primal religion” dianggap berkonotasi dengan istilah “primitif” yang merendahkan. Setidaknya ada dua hal yang hendak dicapai dari perubahan nama dan paradigma ini: pertama, menyitir ulang makna agama (religion) sebagai sesuatu yang terbuka dan cair alih-alih statis; dan kedua, memeriksa kembali implikasi-implikasi dari proses religionisasi terhadap peminggiran hak-hak (kewarganegaraan) yang dialami oleh masyarakat adat.
Penerbitan From Primitive to Indigenous (2007), karya James Cox, menjadi salah satu tonggak penting dalam perkembangan studi akademis agama leluhur. Karya ini menginisiasi beberapa universitas kenamaan dunia seperti University of Edinburgh, UiT The Artic University of Norway, dan University of Colorado untuk membuka kelas, dan bahkan program studi, mengenai agama leluhur. Di Indonesia, dinamika ini juga ditangkap oleh CRCS UGM yang mengubah nomenklatur mata kuliah “religion and local culture” menjadi “indigenous religion” pada 2010. Kegairahan di berbagai belahan dunia ini memantik maraknya publikasi tentang studi agama leluhur, di antaranya yang mutakhir adalah Key Concepts in Indigenous Studies (2017), Brill Handbook of Indigenous Religions (2017), dan “Indigenous Religion Paradigm” (2019).
Akan tetapi, penting untuk digarisbawahi, pemaknaan “indigenous” untuk merepresentasikan tradisi dan praktik lokal/adat ini juga tidak absen dari masalah. Kata ini lebih sering digunakan oleh orang luar (outsider) daripada masyarakat lokal sendiri. Lebih lanjut, beberapa pertanyaan terkait hal ini pun muncul. Misalnya, apa yang sebenarnya mau dirujuk oleh kata “indigenous”: kebudayaan, tempat, etnis, identitas, ataukah praktik keagamaan? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “indigenous” di dalam studi agama leluhur? Bagaimana memosisikan kata “indigenous” yang sebenarnya merupakan kategori distingtif sematan Barat untuk merujuk pada kebudayaan non-Barat seturut kolonialisme Eropa?
Dengan meminjam analisis permainan bahasa (language games) ala Wittgenistein, tulisan ini ditujukan untuk memahami konteks penggunaan kata “indigenous” yang multivokal, tidak selevel, kadang saling mendukung, tetapi tak jarang mengalienasi satu sama lain. Bahasa memengaruhi cara manusia berpikir dan bertindak dalam kehidupan manusia dan lingkungannya. Namun, bahasa juga bisa menjadi alat untuk menundukkan. Dalam kaitannya dengan praktik dan tradisi masyarakat adat, hal ini mewujud ketika di bawah payung kolonialisme, tradisi dan praktik masyarakat adat disebut primitif, arkaik, estetik. Di sisi lain, dalam diskursus pascakolonial, keberadaannya lebih merujuk sebagai diskursus untuk membebaskan pengetahuan masyarakat lokal dari pengaruh pengetahuan kolonial melalui pembacaan alternatif dan relasinya terhadap hak kewarganegaraan.
Muasal dan Perkembangan Diskursus “Indigenous”
Tasalsul kata “indigenous” dapat ditelisik dari bahasa Latin, yakni indigena yang berarti ‘orang lokal’ dan bahasa Hindu purba, yakni indu yang bermakna ‘di dalam’ atau ‘akar’. Kata ini merujuk pada orang-orang yang tinggal di suatu tempat tertentu dan di dalamnya memiliki praktik dan tradisi masing-masing. Sayangnya, kata ini tidak lazim digunakan oleh orang-orang lokal sendiri dalam memaknai identitas, tradisi, dan praktik mereka. Hal ini ditegaskan oleh Charles H. Long dalam “A Postcolonial Meaning of Religion: Some Reflections from the Indigenous World” (2004). Long menggarisbawahi bahwa secara umum kata “indigenous” merujuk pada sesuatu hal yang kita anggap sebagai rumah, baik itu secara geografis, etnis, maupun keagamaan. Masalahnya, para peneliti Barat seringkali menjustifikasi indigenositas suatu masyarakat, padahal mereka bukanlah masyarakat yang hidup dan bertempat tinggal di “rumah tersebut”. Dalam perjumpaan dengan masyarakat adat, para kolonialis Barat menghadirkan imajinasi bahwa orang-orang non-Barat adalah primitif dan barbar. Menurut Long, alih-alih relasi konkrit yang menjelma melalui observasi dan pengalaman bersama, yang kemudian muncul adalah insting fetisisme terhadap ”liyan” dan semangat penaklukan.
Pengaruh kekristenan yang kuat pada lingkaran intelektualisme Eropa—yang dimulai pada ada Abad Renaisans hingga abad ke-18—turut berkontribusi dalam mendefinisikan kata “indigenous”. Kata “indigenous” menjadi antitesis dari masyarakat Kristen Eropa yang dianggap sebagai satu-satunya masyarakat berperadaban. Dogma teologis Kristen menjadi acuan bukan hanya di dalam diskursus teologis, melainkan juga ilmu-ilmu sosial humaniora. Kecenderungan ini digambarkan dengan baik oleh Arthur Lovejoy dan George Boas dalam risalahnya A Documentary History of Primitivism and Related Ideas (1930). Kedua profesor filsafat dari John Hopkins tersebut menggarisbawahi “kekhawatiran” masyarakat Kristen Eropa terhadap awal mula peradaban mereka sendiri yang lantas direpresentasikan pada praktik dan tradisi masyarakat non-Eropa. Alhasil, makna kata “indigenous” menjadi semakin rigid, kaku, bahkan menakutkan.
Pada akhir abad ke-18, ketika semangat romantisme melanda Eropa, muncul gerakan untuk merekonstruksi konsepsi “indigenous” yang terlanjur dipahami sebagai masyarakat primitif, salah satunya lewat seni rupa. “Indigenous” dihadirkan kembali sebagai sebuah konsep estetik: sesuatu yang indah yang hanya dimiliki oleh tradisi dan praktik masyarakat lokal. Beberapa pionirnya adalah Paul Gaugin (1848-1903) dan Pablo Picasso (1903-1950) yang mengambil praktik dan tradisi masyarakat koloni Eropa sebagai inspirasi dan subyek lukisan. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi neo-primitivisme sebagai cara untuk mengkritik kemapanan modernisme Barat. Akan tetapi, gerakan “indigenous” yang lahir dari rahim kolonialisme ini tidak mampu berbicara banyak karena masih terjebak pada semangat etnosentrisme dan melanggengkan pola pikir kolonial.
Membaca “Indigenous Religion”
Dinamika wacana “indigenous” tersebut turut memengaruhi interpretasi keberadaan agama leluhur sebagai sebuah kritik terhadap paradigma agama-agama dunia yang misrepresentatif. Akan tetapi, seturut sejarah perkembangannya, pemahaman ini tentu saja tidak tunggal. Setidaknya ada empat konsep lain terkait “indigenous religion” yang perlu untuk dicermati.
Pertama, “indigenous religion” sebagai salah satu di antara berbagai taksonomi agama. Kathryn Rountree dalam Contemporary Pagan and Native Faith Movement in Europe (2015) menggarisbawahi setidaknya ada empat taksonomi agama: agama dunia, agama kuno, agama leluhur, dan agama baru. Pembagian ini untuk memberi demarkasi yang jelas antara corak keagamaan di luar klasifikasi agama-agama dunia dan yang dipraktikkan langsung oleh masyarakat lokal di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan wilayah utara Eropa. Klasifikasi ini tentu saja menuntut pendefinisian yang lebih ketat terhadap konsep agama lokal/leluhur. James Cox adalah salah satu figur yang terlibat. Bagi Cox, agama lokal itu memiliki karakteristik utama yang merujuk pada lokasi, pengikut, tradisi dan praktik lokal di suatu tempat yang mereka tinggali. Karakteristik ini berbasis pada pandangan dunia kekerabatan tidak hanya pada manusia, tetapi juga entitas nonmanusia seperti arwah para leluhur. Sayangnya, definisi ini turut mengesensialisasi agama leluhur dan tampak abai terhadap konsep identitas, praktik, lebih-lebih terhadap pandangan dunia masyarakat adat yang sebenarnya terus berkembang—alih-alih statis—seturut perjumpaan dengan tradisi atau agama lainnya.
Kedua, “indigenous religion” sebagai konsep teologis. Konsep ini hendak melembagakan tradisi dan praktik masyarakat lokal sebagai bentuk ekspresi paling awal dari agama dunia. Akan tetapi, pemahaman ini kerap terjebak untuk menggunakan teologi agama dunia sebagai alat analisis untuk memahami tradisi dan praktik masyarakat lokal. Misalnya, ketika para teolog Kristen membicarakan tentang agama leluhur, mereka menganggapnya sebagai “agama Kristen yang belum sempurna”. Beberapa intelektual yang menyokong hal ini adalah Edward Tylor dengan teori evolusi agama dan Andrew Lang dengan konsep monoteisme purba.
Ketiga, “indigenous religion” sebagai konsep etnopolitik. Pemaknaan ini tumbuh seiring merebaknya isu keberlangsungan penduduk pribumi (native) di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kolombia, dan Maori. Sayangnya, isu agama di dalam konsep ini menjadi sekunder lantaran konsepsi ini menitikberatkan pada hak atas tanah, identitas, dan bahasa. Misalnya, ketika hendak membendung misionaris Kristen, masyarakat lokal baru menggunakan narasi bahwa mereka telah memiliki agama leluhur. Karena ditempatkan sebagai agenda politik, konsep ini juga rentan untuk dimanipulasi secara politis, terutama oleh para elite politik.
Keempat, “indigenous religion” sebagai agama yang hidup. Konsep ini menjauhi esensialisasi karena berjangkar pada argumen bahwa praktik dan tradisi masyarakat lokal itu terbentuk secara diskursif. Hal ini memungkinkan agama leluhur menjadi cair dan terbuka terhadap berbagai perubahan, termasuk resistensi, akulturasi, atau bahkan konversi. Beberapa figur kontemporer yang mengamini konsep ini di antaranya Graham Harvery, Arkotong Langkumer, dan Nurit Bird-David. Ketiga figur ini mendaraskan argumentasinya pada kosmologi masyarakat adat yang merekognisi entitas nonmanusia lewat relasi intersubjektif. Relasi-relasi ini dimanifestasikan lewat dalam tindakan di dalam maupun di luar ritual untuk menjamin koeksistensi. Sayangnya, upaya ini kerap berhenti pada upaya tawaran pandangan alternatif terhadap bangunan kosmologi agama leluhur, dan cenderung luput dari konteks etnopolitik masyarakat lokal terhadap tanah dan rekognisi kewargaan.
Berbagai pemaknaan “indigenous religion” yang berbeda, kadang kala ambigu, bahkan saling mengeksklusi ini menunjukkan bahwa kata tersebut tidak lahir dari ruang vakum sejarah, wabilkhusus sejarah kolonialisme. Terlebih lagi, para sarjana, meskipun merujuk pada praktik dan tradisi masyarakat adat yang sama, punya pemaknaan yang berbeda. Penting untuk digarisbawahi, kata “indigenous religion” pada dasarnya bersifat multivokal: ia bisa ditautkan atau bahkan dilepaskan dengan atau dari sebutan ‘agama asli’ (genuine religion), ‘agama utama’ (primal religion), ‘agama leluhur’ (ancestral religion), atau bahkan ‘agama tradisional’ (traditional religion).
Beberapa Catatan Tambahan: Kasus Indonesia
Dalam konteks Indonesia, pemaknaan dan penerjemahan “indigenous” juga tak dapat dilepaskan dari konteks kolonialisme. Pada era kolonialisme Belanda, kata “indigenous” diterjemahkan sebagai ‘inlander’ untuk merujuk entitas masyarakat “pribumi”. Menurut catatan Fasseur dalam “Colonial Dilemma: Van Vollenhoven and the Struggle between Adat Law and Western Law in Indonesia” (2007), frasa “inlander” ini bahkan terlembaga ke dalam Undang-Undang Kolonial tahun 1854 tentang Klasifikasi Penduduk Hindia Belanda. Di dalam UU tersebut, masyarakat dipecah menjadi tiga tingkatan: orang-orang Eropa, orang Timur Asing, yaitu orang Cina, Arab, India;, dan inlander, atau masyarakat koloni tanpa privilese yang diidentifikasi sebagai pribumi.
Lebih mengerucut lagi, istilah inlander lebih dekat diterjemahkan sebagai orang-orang Islam karena mayoritas masyarakat “pribumi” kelas bawah waktu itu adalah muslim. Azyumardi Azra dalam Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim (2007) menyebut bahwa pengategorian inlander kepada khusus orang Islam merupakan kegagalan kolonial dalam memahami identitas masyarakat lokal yang pada waktu itu tak sedikit yang beragama Kristen, Hindu, dan Buddha. Hengkangnya Belanda dan kebangkitan gerakan antikolonialisme tidak menghilangkan warisan segregasi rasial. Misalnya, Undang-Undang 1945 tentang Hukum Kewarganegaraan Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 26 menyebutkan bahwa syarat menjadi Warga Negara Indonesia adalah “orang Indonesia asli”. Pertanyaannya lagi-lagi: siapa orang Indonesia asli?
Dalam konteks studi agama di Indonesia, kata ‘agama leluhur’ berusaha dibakukan menjadi terjemah dari indigenous religion, alih-alih menggunakan kata ancestral religion yang secara bahasa lebih dekat. Istilah ancestral religion dianggap peyorasi dan menyesatkan karena konotasi yang disandang adalah agama pemujaan terhadap leluhur. Secara konseptual, kata “indigenous religion” lebih mengakomodasi karakteristik agama leluhur sebagai sebuah praktik dan tradisi diskursif yang terus-menerus mengalami perkembangan seturut perjumpaan dengan tradisi agama dunia. Agama leluhur dan agama dunia bukanlah dua entitas eksklusif yang keduanya senantiasa bertentangan (mutually exclusive). Pada realitasnya, keduanya saling memengaruhi, berbagi, tak jarang saling menundukkan. Misalnya pada kasus tradisi Abangan di Jawa yang diskursif; atau sebaliknya agama Marapu di Sumba yang defensif terhadap misi atau dakwah, maupun agamaisasi oleh pemerintah.
Pada saat yang sama, kompleksitas agama leluhur di Indonesia ini juga merembesi wilayah-wilayah etno-politik seperti pada pengakuan identitas dan hak atas tanah ulayat. Dalam wilayah identitas, penganut agama leluhur di Indonesia hingga saat ini belum mendapat pengakuan secara utuh dari negara. Buntut panjang dari pengakuan setengah hati ini adalah macetnya pengakuan hak atas tanah ulayat masyarakat adat. Di banyak tempat, tanah adat menjadi ruang terakhir yang dimiliki oleh penganut agama leluhur di Indonesia. Bagi mereka, tanah merupakan sesuatu yang sakral yang tidak hanya menunjang kebutuhan hidup masyarakat, tetapi juga ruang di mana relasi-relasi intersubjektif terhadap entitas manusia dan nonmanusia mewujud. Memisahkan tanah dari masyarakat adat, dengan demikian, adalah memisahkan mereka dengan kehidupan dan keberagamaannya.
Dari berbagai pelacakan ini, studi “indigenous”—khususnya di Indonesia—tidak bisa sekadar dilihat sebagai upaya untuk memberikan pandangan alternatif terhadap bangunan kosmologi mereka. Keberadaannya juga sebagai jembatan untuk mengukuhkan rekognisi masyarakat adat di ruang publik sekaligus pemenuhan hak-hak kewargaan masyarakat adat, dua hal yang memang tidak terpisah satu sama lain. Dengan kata lain, pemaknaan “indigenous” sebagai sebuah paradigma selalu terikat oleh konteks dan beban sejarah yang melatarbelakanginya, baik di lingkaran akademia, para pembuat kepentingan, publik masyarakat, atau bahkan pandangan masyarakat lokal yang mempraktikkan tradisi leluhur mereka. Ketika pemaknaan “indigenous” dilepaskan dari konteks masyarakat yang menghidupinya, pada akhirnya ia akan jatuh pada romantisisasi dan esensialisasi yang baru.
____________________
Tarmizi “Arief” Abbas adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Arief lainnya di sini.
Artikel yang sangat bagus, mengenai pemahaman indigenous sekarang saya menjadi tau tenyata indigeous adalah agama leluhur yang diyakini oleh sebagian orang yang masih menganut tradisi tersebut. Terima Kasih atas informasinya.
Website
Terimakasih telah berbagi, jadi tau cerita tentang indigenous deh! jangan ragu ragu untuk visit website kami ya