Dhamma Yudha: Bunyi Genderang Perang Buddhisme Militan
Candra Dvi Jayanti – 1 Februari 2024
Bertolak belakang dengan citra agama Buddha yang penuh kedamaian dan nirkekerasan, negara-negara dengan mayoritas buddhis justru terlibat dalam kekerasan komunal—dan promotor kekerasan itu ialah para biksu.
Demikianlah Peter Lehr membuka pembahasan terkait Buddhisme dan kekerasan dalam bukunya Buddhisme Militan: Bangkitnya Kekerasan Agama di Sri Lanka, Myanmar, dan Thailand. Melalui penelusurannya di tiga negara dengan mayoritas buddhis, Lehr berupaya mencari jawaban atas pertanyaan: bagaimana sebuah agama yang bercorak nonkekerasan menjelaskan, membenarkan, bahkan mempromosikan jalan kekerasan? Yang menarik, ketiga negara yang menjadi representasi kasus tersebut berbasis Theravada, aliran yang berusaha memegang teguh ajaran awal Buddhisme terutama pada aturan kebiksuan (vinaya).
Di tiap negara, Lehr menelisik dinamika tarik-ulur di antara para komunitas biksu sampai akhirnya mereka memutuskan untuk terjun langsung ke medan perang. Agama Buddha kerap disebut sebagai individualisme agama karena berfokus pada pencapaian spiritual diri sendiri dan tidak bergantung pada entitas adikodrati. Para biksu Theravada umumnya lebih memilih sebagai panutan pasif ketimbang sebagai teladan yang aktif memberikan saran. Namun, geliat politik yang dibarengi dengan pergerakan Buddhisme reformis tampaknya menarik minat sebagian biksu untuk terlibat. Aktivitas ini mendorong para biksu untuk memilih jalur-jalur kekerasan sebagai reaksi atas permasalahan (setidaknya di mata mereka) dengan kelompok “liyan” yaitu muslim di Myanmar dan Thailand, serta dengan sebagian kecil Hindu dan Kristen di Sri Lanka. Para biksu menyebut aksi kekerasan ini sebagai dhamma yudha, sebuah perang keadilan atas nama dhamma. Tak heran, meminjam pendapat Selengut, Lahr menyandingkan sekaligus membandingkan gerakan militan Buddhisme dengan konsepsi “perang suci” ala agama monoteisme.
Kumandang Dhamma Yudha Biksu Militan
Pada dasarnya kekerasan tak mengenal ruang dan waktu. Akan tetapi, untuk melihat dinamika posisi Buddhisme terhadap praktik kekerasan tersebut, Lehr membagi rentang waktu agama Buddha menjadi tiga masa yaitu kehidupan Buddha, masa Ashoka hingga lahirnya Buddha modernis/reformis, dan Buddha modernis/reformis dari akhir abad ke-19 hingga sekarang. Sosok Ashoka menjadi salah satu figur penting yang merepresentasikan wajah kekerasan dan kedamaian Buddhisme sekaligus. Sebelum dikenal sebagai raja termasyur dalam sejarah Buddhisme yang terkenal dengan sikap toleransi tinggi dan pilar-pilar kedamaiannya, Ashoka ialah seorang penguasa yang telah menghabisi ribuan nyawa. Buddhisme berkontribusi besar dalam “pertobatan” Ashoka yang pada akhir sisa hidupnya mengusung ajaran ahimsa (pasifisme atau penolakan terhadap kekerasan). Namun, ini bukan berarti Buddhisme sepenuhnya menjadi obat bagi Ashoka atau raja-raja lain yang mengusung kekerasan. Buddha sendiri secara diplomatis tidak dengan tegas menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh raja atau tentara tersebut salah. Menurut Buddha, suatu keburukan (pembunuhan atau kekerasan) akan membawa kita pada keburukan lainnya (pembalasan). Dalam konteks ini, doktrin tanpa kekerasan pun pada akhirnya punya pengecualian, misalnya kekerasan ofensif dilarang tetapi kekerasan defensif oleh tentara dan raja diperbolehkan. Interpretasi inilah yang kemudian memberikan dasar atas aksi kekerasan di negara-negara mayoritas buddhis: agama Buddha tengah terancam oleh kepungan oleh musuh non-Buddhanya. Lantas, bagaimana dengan para biksu yang mengangkat senjata di masa Buddhisme modern ini?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Lehr mengurai lanskap sejarah politik dan sosial-budaya terkait Buddhisme di ketiga negara. Sri Lanka memiliki legenda Vijaya (Pendiri Sri Lanka) menarasikan bahwa Buddha sendirilah yang memilih negara tersebut sebagai “tempat suci khusus untuk agama Buddha.” Narasi ini membentuk hubungan erat antara orang Sinhala (etnis mayoritas di Sri Lanka), Buddhisme, dan Sri Lanka sebagai identitas nasional mereka. Di samping itu, terdapat narasi sejarah pertempuran antara Pangeran Dutugamunu (Buddhis Sinhala) dan Raja Ellalan (Tamil) tahun 161 SM. Dalam perspektif masyarakat Sri Lanka, kerajaan Tamil datang untuk menjajah dan mendirikan kerajaan. Dua narasi tersebut terpatri kuat dalam masyarakat dan membangun imajinasi bahwa mereka sedang terkepung oleh musuh—walaupun secara demografis perbandingan jumlah Buddhis Sinhala dengan agama lain (Islam, Hindu, dan Kristen) adalah 4:1. Menurut mereka, misionaris kristen barat serta keberadaan kelompok muslim dan Hindu Tamil yang meningkat di Sri Lanka seolah sedang menginvasi daerahnya. Dinamika ini membentuk ketakutan atas kepunahan ras dan budaya Sinhala di masa depan. Hal inilah yang kemudian memicu para biksu seperti Anagarika Dharmapala, Walpola Rahula, dan Jathika Chintanaya memilih jalur ekstremis dengan berpolitik dan menggerakkan massa untuk angkat senjata.
Sama halnya Burma atau Myanmar yang terdesak oleh perubahan di masa kolonial. Keterdesakan ini melahirkan gerakan ekstrem “Myanmarisasi” yang memiliki slogan “menjadi orang Burma berarti menjadi Buddhis”. Salah satu eksesnya ialah konflik Burma dengan etnis Rohingya yang menjadi perhatian dunia dan paling terekspos di antara kasus konflik di dua negara lainnya. Secara administratif, etnis Rohingya tidak terdaftar dalam undang-undang kewarganegaraan Burma tahun 1982 karena dianggap oleh pemerintah Myanmar sebagai imigran gelap—kendati warga etnis Rohingya pernah menjadi menteri dalam pemerintahan Myanmar di tahun 1940–1950. Lehr menunjukkan setidaknya empat alasan utama serangan terhadap Rohingya. Pertama, mereka merepresentasikan sebagian besar muslim di Burma. Kedua, keberadaan mereka yang terkonsentrasi di wilayah Rakhine (perbatasan Myanmar dan Bangladesh) menantang dominasi politik di wilayah tersebut sebesar 42,7%. Ketiga, warga Rohingya memiliki akses ke Darul Islam sehingga dianggap sebagai garda terdepan jihad Islam yang bertekad menghancurkan Myanmar. Selain itu, isu terkait pernikahan Burma-muslim, penghinaan terhadap Buddhisme, kekerasan kepada perempuan Buddhis, dan lainnya turut mewarnai geliat militansi di kalangan biksu Burma.
Perasaan terkepung oleh musuh ini juga terjadi di Thailand yang mendorong kebangkitan Buddhisme ekstremis. Namun, bukannya berlangsung merata di semua wilayah negara, kasus di Thailand ini hanya terjadi di bagian Ujung Selatan—tempat muslim menjadi mayoritas. Kedua, Thailand terbebas dari kolonialisme sehingga gerakan kekerasan terhadap non-Buddhis tersebut bukan merupakan warisan kolonialisme dan sudah menjadi sikap yang menyejarah. Walaupun demikian, gerakan Buddhisme militan ini bangkit karena adanya pemberontakan muslim-Melayu yang menewaskan ribuan orang termasuk para biksu di tahun 1940-an. Trauma konflik internal ini kian ketika pada tahun 1970-an terjadi kepungan kelompok komunis di Thailand. Dengan demikian, aktivitas biksu di dalam politik dan ekstremisme tidak hanya memerangi muslim tetapi juga komunis.
Berkaca dari kasus di ketiga negara tersebut, Buddhisme tidaklah terbatas pada konsepsi-konsepsi spiritual atau tradisi keagamaan, tetapi juga menyangkut sejarah, politik, tata negara, serta praktik kehidupan masyarakat.
Legitimasi dan Demiliterisasi Biksu Militan
Seperti yang Lehr gelisahkan, imajinasi (terutama Barat) akan Buddhisme yang penuh kedamaian dan kebijaksanaan menutup pemberitaan global akan kekerasan-kekerasan yang nyata terjadi. Buku ini secara lengkap dan runtut menjawab kegelisahan tersebut dengan mengemukakan secara faktual berbagai kasus, menelisik alasan di baliknya, dan menunjukkan pada dunia bahwa gerakan ini nyata dan masih terjadi hingga kini. Tentu, alih-alih bermaksud menyudutkan Buddhisme, sebaliknya Lehr ingin berkontribusi secara akademis atas upaya damai.
Perlu digarisbawahi, para biksu yang bergabung dalam aktivitas politik dan gerakan militansi merupakan kelompok minoritas. Tak sedikit kalangan biksu yang terang-terangan menentang aksi ekstremisme tersebut. Para biksu Theravada penentang aksi ekstremisme ini meletakkan landasan moral kebiksuan mereka untuk menampik desakan bahwa bukan waktunya lagi bermeditasi di tengah berbagai ancaman. Para biksu sendiri memiliki empat parajika yaitu pelanggaran paling berat dalam peraturan monastik yaitu berhubungan seksual, mengambil barang yang tidak diberikan (mencuri), secara sengaja menyebabkan kematian manusia, dan terang-terangan berbohong bahwa dirinya telah mencapai tingkat spiritual. Konsekuensi dari pelanggaran tersebut adalah penanggalan jubah dan pelarangan memasuki Sangha untuk selamanya. Dalam konteks ini saja sudah jelas bahwasanya para biksu tidak berpeluang sama sekali untuk terlibat dalam kekerasan maupun upaya kekerasan. Menurut Gravers, sebagaimana dikutip oleh Lehr, Buddhisme itu sendiri bukan kekerasan, tetapi interpretasi atas sikap Buddha atau suatu teks lah yang menjadi pembenaran untuk aksi tersebut. Dalam konteks yang sama, Lehr juga menyimpulkan bahwa gerakan ekstrimis yang terjadi merupakan gerakan fundamentalisme sinkretis yang dipengaruhi oleh aspek etno-kultural, etno-nasional, dan teritorial yang tidak dapat dipisahkan dari agama.
Melalui penjelasannya yang runtut dan detail, akhirnya Lehr berusaha menawarkan sebuah upaya demiliterisasi para biksu militan—walaupun terlihat sangat pesimistik dalam penyampaiannya. Yang pertama adalah penanggalan jubah dan proses hukum melalui proses monastik dan negara. Kendati pelanggaran parajika secara otomatis berujung pada pelepasan kebiksuan, keberadaan biksu militan justru dianggap oleh masyarakat pendukungnya sebagai “keuntungan” untuk menunjukkan taring komunitas Buddha. Inilah yang seringkali luput dalam amatan. Dengan cermat, Lehr mengutip pepatah Thai untuk menjelaskan situasi tersebut bahwa “masyarakat menghormati jubah tetapi belum tentu individu yang mengenakannya.” Yang kedua, para biksu militan perlu dijauhkan dari “oksigen publisitas”, yaitu media-media yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan kebencian. Yang ketiga, reformasi untuk kembali pada pengabdian karismatik yang berfokus pada spiritualitas dan ordo biksu konservatif. Yang terakhir, ajakan untuk kembali menaruh perhatian para posisi dan peran agama dalam hubungan internasional karena fundamentalis hingga ekstrimis semakin menjadi tidak hanya dalam konteks Buddhisme Theravada, tetapi juga agama-agama lain.
Buddhisme Militan : Bangkitnya Kekerasan Agama di Sri Lanka, Myanmar, dan Thailand (2022) | Peter Lehr ; Penerjemah Tim LIKE Indonesia | Yogyakarta: Gading Publishing,
______________________
Candra Dvi Jayanti adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Candra lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini bersumber dari AFP Photo/bangkokpost.com