Di Balik Jilbabmu: Pergulatan Ekspresi, Represi, dan Otoritas Diri
Linda Zuarnum – 06 Oktober 2022
September 2022 lalu, media dihebohkan dengan aksi bakar jilbab perempuan Iran sebagai bentuk protes terhadap tindakan polisi moralitas di Iran yang mengakibatkan Mahsa Amini meninggal. Amini, yang juga dikenal dengan Zhina Amini (ژینا امینی), sedang berlibur ke Tehran saat ditangkap dan dianiaya oleh polisi moral. Perempuan asal Saqez, Khurdistan, itu dianggap tidak menggunakan jilbab sebagaimana mestinya karena sedikit dari rambutnya terlihat. Dalam aksi protes tersebut, perempuan di Iran membakar jilbabnya dan memotong rambut sebagai ekspresi kebebasan. Sambil menari dan berteriak “azaadi”, yang artinya kebebasan, perempuan di Iran menuntut penghapusan hukum wajib jilbab dan keberadaan polisi moral. Lambat laun, gerakan ini makin meluas ke berbagai daerah. Hingga pekan ketiga, sebanyak 92 orang meninggal dunia dalam gelombang aksi protes tersebut.
Aksi kekerasan polisi moral ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Kontrol polisi moral terhadap tubuh perempuan—yang seringkali berujung pada penghinaan dan penganiayaan—memunculkan perlawanan dari perempuan di Iran. Pada tahun 2014, Masih Alinejad, seorang feminis progresif asal Iran membentuk gerakan yang dikenal dengan My Stealthy Freedom (Kebebasanku yang Tersembunyi). Ini adalah gerakan perlawanan terhadap aturan wajib jilbab di Iran melalui media sosial. Para aktivis perempuan ini akan berjalan di tempat umum kemudian melepas dan mengibarkan jilbab mereka. Aksi ini mereka rekam lalu diunggah di akun Facebook My Stealthy Freedom. Bagi mereka, gerakan melalui media sosial adalah jalan teraman untuk melindungi diri dari penangkapan dan penyiksaan polisi moral.
Namun, kematian Mehsa Amini menjadi momentum revolusi perempuan di Iran. Tragedi itu ibarat percikan api yang mendarat di atas jerami kering. Kemarahan akibat tekanan dan penganiayaan yang panjang dilimpahkan ke jalan sebagai pengantar kepergian Mehsa Amini. Unjuk rasa juga dilakukan di tanah kelahiran Mehsa Amini. Mereka mengusung kembali slogan “women, life and solidarity” yang digunakan para perempuan Suriah ketika melawan ISIS. Akan tetapi, kali ini slogan yang sama menjadi tajuk aksi solidaritas bersama perempuan Iran di Kurdishtan.
Sementara itu, beberapa bulan sebelumnya, pada Februari 2022, aksi sebaliknya terjadi di India. Sebuah institusi pendidikan di Kota Udupi, Karnataka, mengeluarkan aturan pelarangan berjilbab bagi siswi muslim di lingkungan sekolah. Sebanyak enam siswi dituntut untuk melepas jilbab di lingkungan sekolah dan bahkan dipaksa pulang karena mereka menolak melepas jilbab ketika akan memasuki kelas. Pelarangan ini memicu aksi protes dari keenam siswi tersebut. Aksi mereka kemudian mendapatkan perlawanan dari kelompok Hindu sayap kanan yang mendukung aturan melarang penggunaan jilbab di India. Kelompok ini meneriakkan ujaran kebencian dan meminta muslim yang tidak mau patuh untuk pergi dari India. Posisi muslim di India, terutama di negara bagian Karnataka, semakin dipersulit dengan dikeluarkannya aturan pelarangan penggunaan simbol agama di India yang sekuler. Aturan itu dianggap bias karena pelarangan tegas hanya diberikan pada kelompok penganut agama tertentu. Apalagi, terdapat ancaman hilangnya hak untuk mendapatkan pendidikan yang merupakan penentu kualitas masa depan mereka.
Kesalehan Perempuan dan Otoritas Keagamaan
Jilbab dan otoritas atas tubuh perempuan tampaknya masih menjadi perdebatan tidak berujung di kehidupan sosial keberagamaan kita. Leila Ahmad dalam tulisannya “Veil of Ignorance” (2022) menyajikan dua perspektif terhadap praktik berjilbab: jilbab sebagai alat penindasan, seperti yang terjadi di Iran baru-baru ini, dan juga sebaliknya, simbol pembebasan, seperti yang terjadi di India.
Perlu dicermati, aturan wajib berjilbab di Iran baru dimulai pada masa Revolusi Islam tahun 1979. Sebelumnya, perempuan di Iran malah dipaksa untuk melepas jilbabnya oleh rezim Reza Shah Pahlevi. Kehadiran Revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Khomeini melahirkan aturan wajib berjilbab bagi perempuan Iran. Bahkan, hingga tahun 1985, perempuan yang tidak berjilbab dipersekusi secara masif. Kini, jilbab di Iran tidak lagi dianggap sebagai simbol kebebasan seperti masa Revolusi Islam 1979. Jilbab bukan pula pembebas dan penjaga integritas perempuan, melainkan alat dari aturan represif yang diterapkan rezim patriarkis untuk mengontrol dan membatasi ruang gerak perempuan.
Dinamika fungsi jilbab dalam masyarakat—dari simbol kebebasan kemudian menjadi alat untuk represi—merupakan refleksi sistem perubahan masyarakat yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya Al Muqaddima. Laiknya dinamika transformasi masyarakat tribal dan perkotaan, dinamisasi penerapan aturan berjilbab juga mengalami perputaran yang sama. Ketat tidaknya aturan penggunaan jilbab dalam suatu negara ditentukan oleh arah politik pemerintah yang berkuasa—yang seringkali dilakukan oleh sistem teokrasi, meski tidak menutup kemungkinan terjadi di sistem yang lain. Fetima Mernissi dalam bukunya Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (1987) melihat aturan teokrasi di negara-negara Islam merupakan cerminan dari teori ghazalian yang secara langsung mengaitkan kesejahteraan sosial dengan kebaikan moral perempuan. Menurutnya, kesejahteraan sosial tercipta ketika perempuan membatasi dirinya hanya untuk suami dan menghindari fitnah.
Dengan kata lain, hal mendasar dan penting dari persoalan jilbab ini adalah penerapan sistem nilai patriarkis yang menggunakan simbol agama untuk mengontrol kebebasan ekspresi diri dan kontrol tubuh perempuan. Di berbagai tempat, tekanan akan ekspresi simbol keagamaan seringkali dibebankan pada tubuh perempuan. Di AS, pascatragedi 9/11, serangan terhadap perempuan berjilbab lebih tinggi daripada muslim laki-laki. Semenjak rezim Taliban menguasai Afganistan, setelah lama mengalami invasi dari rusia Rusia hingga jatuhnya pemerintah demokratis baru-baru ini, hukum yang mengontrol tubuh perempuan secara ekstrim diterapkan sebagai simbol penegakan atas hukum agama. Para perempuan Afganistan harus menggunakan burka, mereka tidak dibolehkan mengenyam pendidikan bahkan tidak boleh keluar rumah tanpa didampingi laki-laki dari lingkungan keluarga. Dalam konteks ini, jilbab, diterima atau tidak, adalah alat represi pemerintah untuk mengontrol tidak hanya tubuh dan kebebasan perempuan, tetapi juga simbol otoritas kepemimpinan mereka.
Dinamika Norma dan Aturan Jilbab di Indonesia
Di Indonesia, penggunaan jilbab di ruang publik mengalami dinamika transformasi yang luar biasa selama dua dekade terakhir. Meski belum melahirkan gerakan protes besar seperti yang terjadi di Timur Tengah, Eropa, Iran, ataupun India, persoalan jilbab sebagai simbol agama berperan signifikan terhadap munculnya kontroversi dan kontestasi dalam kehidupan sosial keberagamaan di Indonesia. Jilbab pada masa Orde Baru merupakan simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Soeharto. Pemerintah Orde Baru menerapkan larangan penggunaan jilbab di instansi pemerintahan dan membiarkan stigma buruk terhadap perempuan berjilbab berkembang (Brenner, 1996). Perempuan berjilbab sering diasosiasikan dengan kelompok radikal, tidak trendi, dan kuno. Karenanya, terinspirasi dari revolusi Islam di Iran, penggunaan simbol keislaman di Indonesia saat itu merepresentasikan kebebasan terhadap pemerintah yang opresif.
Namun, sekarang justru sebaliknya, jilbab seolah menjadi standar baru identitas perempuan Muslim di Indonesia. Jilbab merupakan lambang fesyen yang dianggap mewakili kriteria perempuan muslim ideal. Pada awal dekade 2000-an, penerapan syariat Islam melalui berbagai regulasi mulai marak di beberapa tempat di Indonesia. Salah satunya adalah kewajiban bagi muslimah untuk mengenakan jilbab di sekolah negeri dan kantor pemerintahan, seperti yang terjadi di Lombok, Gorontalo dan Aceh. Berbekal UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001, Aceh melangkah lebih jauh dengan menerapkan hukum syariat sepenuhnya untuk kabupaten. Mengenakan jilbab adalah kewajiban bagi wanita muslim di Aceh—tidak hanya ketika pergi ke lembaga pemerintahan atau kaegamaan , tetapi juga saat di ruang publik lain. Pelanggaran atas aturan ini mendapat konsekuensi tegas dari Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariah di Aceh, seperti hukuman cambuk dan dipermalukan di depan publik. Mengikuti Aceh, di Lombok Timur aturan wajib jilbab juga diterapkan pemerintah daerah bagi muslim yang bekerja di institusi pemerintahan.
Permasalahan kemudian muncul ketika jilbab tidak lagi menjadi pilihan bebas perempuan di Indonesia. Jilbab mulai dijadikan alat kontrol otoritas tubuh perempuan. Seperti pemaksaan penggunaan jilbab di lingkungan sekolah yang terjadi belum lama ini, di antaranya SMPN 5, 7,dan 11 Yogyakarta; SMPN 3 Genteng, Banyuwangi; dan SMAN 2 Rambah Hilir, Rokan. Bahkan, seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan Bantul mengalami depresi akibat perundungan guru di sekolahnya karena tidak mau dipaksa memakai jilbab.
Dalam konteks yang demikian, esensi jilbab sebagai simbol pembebasan memudar seiring dengan tekanan yang diberikan kepada perempuan. Tubuh perempuan lagi-lagi menjadi obyek atas otoritas keagamaan dan standar moralitas. Pada era Orde Baru, masyarakat digiring dengan pemikiran bahwa perempuan harus dijinakkan agar mereka menjadi ibu rumah tangga yang baik dan istri yang suportif. Lalu, ketika Orde Baru runtuh dan pemakaian jilbab menjadi lebih leluasa, perempuan kembali dijadikan standar moralitas untuk kebangkitan nilai-nilai Islam, salah satunya dengan pemaksaan pemakaian jilbab. Di kalangan akar rumput, efek dari upaya ini begitu terasa. Persoalan artis menanggalkan jilbab saja bisa menjadi pembicaraan publik yang panjang. Padahal, jilbab dalam konteks Indonesia tidak hanya persoalan ekspresi kebebasan beragama. Di balik jilbab berkelindan lapisan permasalahan yang kompleks, dari konsumerisme, budaya populer, tuntutan sosial, nilai tubuh perempuan, tekanan otoritas agama, hingga politik identitas. Seiring dengan kompleksitas itu, tanpa disadari polisi moral mulai bermunculan di Indonesia. Keberadaan mereka mungkin tidak terstruktur, gamblang dan otoritatif seperti di Iran, tetapi lebih samar dan memberikan efek psikis yang dalam terhadap perempuan muslim di Indonesia. Ini seperti melompat dari puncak gunung berapi yang sedang meletus ke lautan yang penuh dengan ubur-ubur beracun.
Jilbab dan Subjektivitas Tubuh Perempuan
Berbicara tentang tubuh perempuan, dalam konteks penerapan simbol agama dalam sistem sosial dan bernegara, sangat erat kaitannya dengan diskursus resistensi dan subjektivitas tubuh perempuan. Dua hal ini saling berkaitan. Sebuah perlawanan tentu saja muncul ketika tekanan terjadi terus-menerus dan dalam rentang waktu cukup lama. Aksi perempuan di Iran dengan membakar jilbab adalah salah satu bentuk resistensi itu. Alih-alih melihat aksi tersebut sebagai dorongan pihak luar yang berkepentingan, resistensi tersebut terlahir kesadaran perempuan sendiri, atau memijam istilah Saba Mahmood, sebuah women agency. Mahmood dalam Politics of Piety (2011) menghadirkan etnografi gerakan perempuan akar rumput yang berkembang pesat pada masjid-masjid di Kairo sebagai bagian dari kebangkitan Islam. Women agency atau ‘agensi perempuan’ menjadi kunci dari gerakan moral tersebut. Menurut Mahmood (2011:8),
“Agensi dipahami sebagai kapasitas untuk mewujudkan kepentingan diri melawan beban adat, tradisi, kehendak transcendental, atau hambatan lain (baik individu atau kolektif. Dengan demikian keinginan kaum humanis untuk otonomi dan ekpresi diri merupakan substrat, bara yang tertidur yang suatu saat dapat menyala dalam bentuk tindakan perlawanan ketika kondisi memungkinkan” ).
Dalam konteks demikian, tindakan melepas jilbab dan memotong rambut para perempuan Iran itu adalah perwujudan subyektivitas diri, sebuah bentuk penegasan akan otoritas perempuan terhadap tubuhnya sendiri. Perempuan muslim yang terepresi ini sudah lelah dengan kategorisasi homogen dalam wujud pakaian yang disematkan pada mereka. Revolusi Perempuan di Iran menunjukan bahwa representasi perempuan muslim bukan hanya mereka yang berjilbab. Temuan Mahmood di Kairo juga beresonansi dengan yang terjadi di Iran: bagi perempuan muslim, memakai jilbab bukan satu-satunya jalan untuk mencapai kesalehan.
Karenanya, gagasan kesalehan dengan menganalogikan tubuh perempuan dengan benda adalah dangkal dan banal. Ini adalah bentuk objektifikasi terhadap perempuan yang tentu saja mengesampingkan subjektivitas perempuan itu sendiri. Jurnalis asal Mesir, Mona Eltahawy dalam Headscarves and Hymens: Why the Middle East Needs a Sexual Revolution (2016) menggambarkan analogi ini sebagai berikut:
“Permen dalam bungkus, cincin berlian dalam kotak—analogi ini biasa digunakan di Mesir dan negara-negara lain untuk mencoba meyakinkan perempuan tentang nilai berjilbab. Mereka membandingkan perempuan dengan benda-benda yang berharga tetapi diremehkan oleh eksposur, benda-benda yang perlu disembunyikan, dilindungi, dan diamankan. Ketika sampai pada apa yang digambarkan sebagai larangan Islam pada pakaian perempuan, saat itu perempuan tidak pernah hanya perempuan”.
Menurut saya, kesalehan adalah kesadaran diri yang diwujudkan pada perbuatan atau tindakan yang tidak merugikan orang lain. Jadi, muslim yang tidak berjilbab dan yang menanggalkan jilbabnya tetap merupakan bagian dari umat islam yang hak ekspresi keagamaannya setara.
______________________
Linda Zuarnum adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2015. Baca tulisan Linda lainnya di sini.