• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Articles
  • Dialog Multikultural untuk Perdamaian: Refleksi Paska Kerusuhan Tanjungbalai

Dialog Multikultural untuk Perdamaian: Refleksi Paska Kerusuhan Tanjungbalai

  • Articles, Headline, News
  • 29 August 2016, 16.00
  • Oleh:
  • 0

Suhadi | CRCS | Artikel
IMG_1429Akhir Juli 2016 lalu terjadi kekerasan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Sebagian sumber menyebutkan tidak kurang dari tiga vihara, delapan kelenteng, satu bangunan yayasan sosial dan tiga bangunan lain dirusak oleh massa. Terdapat enam mobil juga dirusak atau dibakar oleh massa.
Kekerasan tersebut sangat patut disayangkan, meskipun demikian apresiasi kepada masyarakat Tanjungbalai dan aparat keamanan penting dikemukakan. Sebab, setidaknya kekerasan yang terjadi tidak meluas menjadi kekerasan horizontal lebih besar dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun sudah terjadi agak lama, refleksi terhadap peristiwa kerusuhan tersebut tetap penting untuk meminimalisir kemungkinan berulangnya kekerasan sejenis, baik di Tanjungbalai ataupun di tempat lain.
Pendekatan Keamanan
Pada satu sisi, terjadinya pergerakan massa sampai merusak cukup banyak bangunan menunjukkan terlambatnya aparat keamanan bergerak melindungi warga dan patut menjadi catatan penting. Polisi seharusnya sudah bertindak cepat pada hari Jumat (29 Juli) malam itu, ketika massa dimobilisasi.
Di sisi lain, tindakan polisi, setelah kerusuhan terjadi, untuk melokalisir kerusuhan secara cepat, misalnya dengan menjaga keamanan wilayah dan memperketat keluar-masuk orang ke wilayah tersebut, patut diapresiasi. Dalam kasus-kasus kekerasan yang lain, tidak jarang aparat keamanan menjadi bagian dari masalah, atau setidaknya ragu-ragu, untuk dengan cepat mengambil keputusan bahwa kekerasan harus segera dihentikan.  Pernyataan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Rina Sari Ginting, tidak lama setelah kerusuhan terjadi bahwa pelaku kekerasan melanggar pidana merupakan statemen yang jelas dan tegas bagaimana negara seharusnya hadir ditengah situasi yang genting.
Kerja bakti membersihkan puing-puing dan bekas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ratusan warga masyarakat Tanjungbalai sehari setelah kerusuhan terjadi dapat dimaknai sebagai isyarat publik bahwa situasi keamanan di Tanjungbalai dapat kembali normal dengan cepat. Ini penting disampaikan, karena dalam beberapa kejadian lain, ketika ketegasan aparat tidak tampak, apalagi jika ada upaya memanfaatkan situasi konflik untuk tujuan politik, situasi di suatu wilayah sulit untuk kembali normal.
Pendekatan Dialog untuk Perdamaian  
Kerusuhan Tanjungbalai bukan pertama kali terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, kerusuhan serupa pernah terjadi pada tahun 1979, 1989, dan 1998 (Komnas HAM 2016). Artinya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari berlangsung praktik koeksistensi di masyarakat, potensi konflik bisa berkembang dan pada momen-momen tertentu meledak menjadi kekerasan massa.
Oleh sebab itu, pendekatan keamanan saja tidak akan memadai. Dialog antar kelompok di masyarakat menjadi niscaya dibutuhkan. Dalam konteks masyarakat Tanjungbalai, dialog tersebut mungkin bisa kita sebut dialog multikultural untuk perdamaian.
Disebut dialog multikultural sebab tidak saja menyangkut agama, tetapi juga etnik. Seperti ditunjukkan kasus Tanjungbalai, seorang warga berketurunan Tionghoa, berusia 41 tahun, yang memprotes nyaringnya pengeras suara adzan di samping rumahnya, menyulut diserangnya rumah ibadah umat Khonghucu dan umat Buddha.
Disebut untuk perdamaian karena fokus atau tujuan utamanya adalah perdamaian. Tidak semua dialog memiliki tujuan perdamaian secara langsung. Sebut saja, salah satu contohnya dialog teologis, seperti dialog antar ahli kitab suci agama-agama. Meskipun bisa juga mengarah pada perdamaian, dialog teologis bisa mengarah pada pengayaan teologis an sich dan tidak memiliki pengaruh langsung pada aspek sosial di masyarakat.
Jika kita mengikuti perkembangan wacana antar etnik pasca kerusuhan Tanjungbalai yang berkembang di media, terutama di media sosial, sangat jelas bahwa prasangka antar etnik berkembang luas dan mendalam. Diantara karakter prasangka adalah persepsi negatif dan generalisasi-berlebih (Suhadi & Rubi 2012, konsep tentang prasangka bisa dibaca dalam salah satu artikel buku Kajian Integratif Ilmu, Agama dan Budaya atas Bencana).
Persepsi negatif terhadap suatu kelompok etnik atau agama tertentu, apalagi jika mendapatkan dukungan dari praktik orang-orang dalam komunitas bersangkutan, pada gilirannya dapat berkembang menjadi legitimasi yang efektif untuk meminggirkan, menyerang atau menghancurkan kelompok yang dianggap memiliki perilaku negatif itu. Dukungan fakta praktik negatif tersebut bisa saja ditemukan hanya pada satu-dua orang, atau dalam jumlah lebih besar tetapi terbatas. Di sini terjadi proses transformasi dari identifikasi individu ke identifikasi kelompok.
Lebih-lebih karena bekerjanya prasangka juga bersifat generalisasi-berlebih, maka seringkali sasaran kekerasan yang mengandung unsur prasangka dapat mengenai anggota komunitas yang lebih luas. Bahkan, korban kekerasan bisa jadi adalah orang-orang yang tidak setuju atau menentang sikap negatif dari anggota komunitasnya.
Hal inilah yang persis terjadi di Tanjungbalai. Tindakan satu orang disambut dengan balasan kekerasan yang luas kepada komunitas etnik dan agama yang dianggap memiliki kesamaan identitas. Kekerasan seperti itu tentu tidak sekonyong-konyong terjadi. Sebelumnya berkembang prasangka yang mungkin telah meluas dan mendalam di masyarakat. Penting diingat bahwa pada tahun 2010 telah muncul keresahan terkait dengan upaya penurunan patung Buddha di Tanjung Balai. Peristiwa itu seharusnya sudah menjadi pengingat bahwa ada hubungan sosial yang harus diperbaiki di sana (lihat, misalnya tribunnews.com  dan blasemarang.kemenag.go.id)
Agar tidak terulang kembali, kekerasan dan konflik seperti itu tidak bisa dipulihkan hanya dengan pendekatan keamanan. Dialog di tingkat masyarakat menjadi prasyarat penting proeksistensi yang berkelanjutan di Tanjungbalai.
Abu-Nimer (2000) dalam sebuah tulisannya dengan judul “The Miracle of Transformation through Interfaith Dialogue” menyebutkan dialog merupakan alat yang sangat menolong untuk memperdalam pemahaman individu mengenai berbagai cara pandang dan perspektif orang lain.
Dalam masyarakat yang menyimpan ketegangan relasional, mereka mesti membangun dulu sikap saling percaya (trust). Baru setelah itu masing-masing kelompok dapat membicarakan keberatan-keberatan yang dirasakan masing-masing dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka. Alih-alih merasa tidak ada masalah, lebih baik dalam dialog mengakui dengan jujur masalah-masalah yang ada selama ini menjadi prasangka.
Pada praktiknya tentu ini tidak mudah. Membangun sikap saling percaya untuk mengungkapkan masalah-masalah yang ada perlu proses panjang, lebih dari satu-dua kali pertemuan bersama. Namun jika hal itu dapat dilampaui, kesepakatan-kesepakatan relasional bisa mulai dirumuskan bersama.
Lebih dari itu, dialog dapat berkembang menjadi kerjasama kongkrit antar kelompok, menyangkut hal sehari-hari terkait, misalnya, masalah lingkungan, kesehatan, kepemudaan, penyelenggaraan festival bersama atau hal lain.
Untuk memperkuat bahwa dialog merupakan kebutuhan yang tumbuh dari komunitas antar kelompok di masyarakat lokal Tanjungbalai sendiri, nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh di mayarakat penting menjadi panduan bersama. Sejarah lokal di Tanjungbalai menunjukkan keberadaan etnik Batak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan yang lain telah hidup bersama dalam waktu sangat lama. Dalam pengalaman hidup bersama mereka pasti terdapat best practices nilai-nilai dan praktik-praktik kerjasama yang dapat dijadikan pelajaran, baik yang masih terus berlangsung maupun yang perlu digali untuk dihidupkan kembali.
Dialog dan kerjasama bisa jadi mendapat penentangan dari pihak tertentu di masyarakat. Sebab mungkin saja ada pihak-pihak dalam masyarakat yang berkepentingan dengan konflik.Untuk itu pemerintah dan aparat keamanan penting memberi jaminan rasa aman bagi proses berlangsungnya dialog dan kerjasama tersebut. Dialog yang lebih genuine sebaiknya melibatkan masyarakat akar rumput, meskipun keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Memulainya dengan kaum muda mungkin menjadi pilihan yang lebih mudah dan realistis.
__________________
Suhadi adalah dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di samping itu juga mengajar di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Suhadi adalah juga Southeast Asia KAICIID fellow untuk program dialog antaragama dan dialog antar budaya.

Tags: an sich CRCS Dialog Multikultural dialog teologis Kerusuhan Tanjungbalai Khonghucu multikultural Perdamaian Suhadi Tanjungbalai Tionghoa umat Buddha

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Dialog Multikultural untuk Perdamaian: Refleksi Paska Kerusuhan Tanjungbalai

  • Artikel, Berita, Berita SPK, Berita Utama
  • 29 August 2016, 10.51
  • Oleh:
  • 0

Suhadi | CRCS | Artikel
IMG_1429Akhir Juli 2016 lalu terjadi kekerasan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Sebagian sumber menyebutkan tidak kurang dari tiga vihara, delapan kelenteng, satu bangunan yayasan sosial dan tiga bangunan lain dirusak oleh massa. Terdapat enam mobil juga dirusak atau dibakar oleh massa.
Kekerasan tersebut sangat patut disayangkan, meskipun demikian apresiasi kepada masyarakat Tanjungbalai dan aparat keamanan penting dikemukakan. Sebab, setidaknya kekerasan yang terjadi tidak meluas menjadi kekerasan horizontal lebih besar dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun sudah terjadi agak lama, refleksi terhadap peristiwa kerusuhan tersebut tetap penting untuk meminimalisir kemungkinan berulangnya kekerasan sejenis, baik di Tanjungbalai ataupun di tempat lain.
Pendekatan Keamanan
Pada satu sisi, terjadinya pergerakan massa sampai merusak cukup banyak bangunan menunjukkan terlambatnya aparat keamanan bergerak melindungi warga dan patut menjadi catatan penting. Polisi seharusnya sudah bertindak cepat pada hari Jumat (29 Juli) malam itu, ketika massa dimobilisasi.
Di sisi lain, tindakan polisi, setelah kerusuhan terjadi, untuk melokalisir kerusuhan secara cepat, misalnya dengan menjaga keamanan wilayah dan memperketat keluar-masuk orang ke wilayah tersebut, patut diapresiasi. Dalam kasus-kasus kekerasan yang lain, tidak jarang aparat keamanan menjadi bagian dari masalah, atau setidaknya ragu-ragu, untuk dengan cepat mengambil keputusan bahwa kekerasan harus segera dihentikan.  Pernyataan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Rina Sari Ginting, tidak lama setelah kerusuhan terjadi bahwa pelaku kekerasan melanggar pidana merupakan statemen yang jelas dan tegas bagaimana negara seharusnya hadir ditengah situasi yang genting.
Kerja bakti membersihkan puing-puing dan bekas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ratusan warga masyarakat Tanjungbalai sehari setelah kerusuhan terjadi dapat dimaknai sebagai isyarat publik bahwa situasi keamanan di Tanjungbalai dapat kembali normal dengan cepat. Ini penting disampaikan, karena dalam beberapa kejadian lain, ketika ketegasan aparat tidak tampak, apalagi jika ada upaya memanfaatkan situasi konflik untuk tujuan politik, situasi di suatu wilayah sulit untuk kembali normal.
Pendekatan Dialog untuk Perdamaian  
Kerusuhan Tanjungbalai bukan pertama kali terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, kerusuhan serupa pernah terjadi pada tahun 1979, 1989, dan 1998 (Komnas HAM 2016). Artinya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari berlangsung praktik koeksistensi di masyarakat, potensi konflik bisa berkembang dan pada momen-momen tertentu meledak menjadi kekerasan massa.
Oleh sebab itu, pendekatan keamanan saja tidak akan memadai. Dialog antar kelompok di masyarakat menjadi niscaya dibutuhkan. Dalam konteks masyarakat Tanjungbalai, dialog tersebut mungkin bisa kita sebut dialog multikultural untuk perdamaian.
Disebut dialog multikultural sebab tidak saja menyangkut agama, tetapi juga etnik. Seperti ditunjukkan kasus Tanjungbalai, seorang warga berketurunan Tionghoa, berusia 41 tahun, yang memprotes nyaringnya pengeras suara adzan di samping rumahnya, menyulut diserangnya rumah ibadah umat Khonghucu dan umat Buddha.
Disebut untuk perdamaian karena fokus atau tujuan utamanya adalah perdamaian. Tidak semua dialog memiliki tujuan perdamaian secara langsung. Sebut saja, salah satu contohnya dialog teologis, seperti dialog antar ahli kitab suci agama-agama. Meskipun bisa juga mengarah pada perdamaian, dialog teologis bisa mengarah pada pengayaan teologis an sich dan tidak memiliki pengaruh langsung pada aspek sosial di masyarakat.
Jika kita mengikuti perkembangan wacana antar etnik pasca kerusuhan Tanjungbalai yang berkembang di media, terutama di media sosial, sangat jelas bahwa prasangka antar etnik berkembang luas dan mendalam. Diantara karakter prasangka adalah persepsi negatif dan generalisasi-berlebih (Suhadi & Rubi 2012, konsep tentang prasangka bisa dibaca dalam salah satu artikel buku Kajian Integratif Ilmu, Agama dan Budaya atas Bencana).
Persepsi negatif terhadap suatu kelompok etnik atau agama tertentu, apalagi jika mendapatkan dukungan dari praktik orang-orang dalam komunitas bersangkutan, pada gilirannya dapat berkembang menjadi legitimasi yang efektif untuk meminggirkan, menyerang atau menghancurkan kelompok yang dianggap memiliki perilaku negatif itu. Dukungan fakta praktik negatif tersebut bisa saja ditemukan hanya pada satu-dua orang, atau dalam jumlah lebih besar tetapi terbatas. Di sini terjadi proses transformasi dari identifikasi individu ke identifikasi kelompok.
Lebih-lebih karena bekerjanya prasangka juga bersifat generalisasi-berlebih, maka seringkali sasaran kekerasan yang mengandung unsur prasangka dapat mengenai anggota komunitas yang lebih luas. Bahkan, korban kekerasan bisa jadi adalah orang-orang yang tidak setuju atau menentang sikap negatif dari anggota komunitasnya.
Hal inilah yang persis terjadi di Tanjungbalai. Tindakan satu orang disambut dengan balasan kekerasan yang luas kepada komunitas etnik dan agama yang dianggap memiliki kesamaan identitas. Kekerasan seperti itu tentu tidak sekonyong-konyong terjadi. Sebelumnya berkembang prasangka yang mungkin telah meluas dan mendalam di masyarakat. Penting diingat bahwa pada tahun 2010 telah muncul keresahan terkait dengan upaya penurunan patung Buddha di Tanjung Balai. Peristiwa itu seharusnya sudah menjadi pengingat bahwa ada hubungan sosial yang harus diperbaiki di sana (lihat, misalnya tribunnews.com  dan blasemarang.kemenag.go.id)
Agar tidak terulang kembali, kekerasan dan konflik seperti itu tidak bisa dipulihkan hanya dengan pendekatan keamanan. Dialog di tingkat masyarakat menjadi prasyarat penting proeksistensi yang berkelanjutan di Tanjungbalai.
Abu-Nimer (2000) dalam sebuah tulisannya dengan judul “The Miracle of Transformation through Interfaith Dialogue” menyebutkan dialog merupakan alat yang sangat menolong untuk memperdalam pemahaman individu mengenai berbagai cara pandang dan perspektif orang lain.
Dalam masyarakat yang menyimpan ketegangan relasional, mereka mesti membangun dulu sikap saling percaya (trust). Baru setelah itu masing-masing kelompok dapat membicarakan keberatan-keberatan yang dirasakan masing-masing dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka. Alih-alih merasa tidak ada masalah, lebih baik dalam dialog mengakui dengan jujur masalah-masalah yang ada selama ini menjadi prasangka.
Pada praktiknya tentu ini tidak mudah. Membangun sikap saling percaya untuk mengungkapkan masalah-masalah yang ada perlu proses panjang, lebih dari satu-dua kali pertemuan bersama. Namun jika hal itu dapat dilampaui, kesepakatan-kesepakatan relasional bisa mulai dirumuskan bersama.
Lebih dari itu, dialog dapat berkembang menjadi kerjasama kongkrit antar kelompok, menyangkut hal sehari-hari terkait, misalnya, masalah lingkungan, kesehatan, kepemudaan, penyelenggaraan festival bersama atau hal lain.
Untuk memperkuat bahwa dialog merupakan kebutuhan yang tumbuh dari komunitas antar kelompok di masyarakat lokal Tanjungbalai sendiri, nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh di mayarakat penting menjadi panduan bersama. Sejarah lokal di Tanjungbalai menunjukkan keberadaan etnik Batak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan yang lain telah hidup bersama dalam waktu sangat lama. Dalam pengalaman hidup bersama mereka pasti terdapat best practices nilai-nilai dan praktik-praktik kerjasama yang dapat dijadikan pelajaran, baik yang masih terus berlangsung maupun yang perlu digali untuk dihidupkan kembali.
Dialog dan kerjasama bisa jadi mendapat penentangan dari pihak tertentu di masyarakat. Sebab mungkin saja ada pihak-pihak dalam masyarakat yang berkepentingan dengan konflik.Untuk itu pemerintah dan aparat keamanan penting memberi jaminan rasa aman bagi proses berlangsungnya dialog dan kerjasama tersebut. Dialog yang lebih genuine sebaiknya melibatkan masyarakat akar rumput, meskipun keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Memulainya dengan kaum muda mungkin menjadi pilihan yang lebih mudah dan realistis.
__________________
Suhadi adalah dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di samping itu juga mengajar di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Suhadi adalah juga Southeast Asia KAICIID fellow untuk program dialog antaragama dan dialog antar budaya.

Tags: an sich CRCS Dialog Multikultural dialog teologis Kerusuhan Tanjungbalai Khonghucu multikultural Perdamaian Suhadi Tanjungbalai Tionghoa umat Buddha

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju