Dilema Multikulturalisme dan Keadilan Gender
Afifurrochman Sya’rani – 6 Juli 2018
Kebangkitan agama di ruang publik telah menghantaarkan pada tuntutan untuk mengakomodasi beragam praktik kegamaan. Dalam konteks Barat, seiring dengan makin banyaknya para imigran, tuntutan ini kian menguat. Upaya akomodasi ini dilakukan antara lain atas nama multikulturalisme.
Yang menjadi persoalan: tuntutan akomodasi beragam praktik keagamaan ini tak jarang berbenturan dengan isu lain seperti keadilan dan kesetaraan gender. Sebagian ekspresi atau praktik keagamaan masih memuat cara pandang patriakis dan mendiskriminasi perempuan. Di antara contohnya ialah praktik sunat perempuan (female genital mutilation/FGM) dan perkawinan paksa (forced marriage). Bisakah praktik semacam ini diakomodasi dalam kerangka multikulturalisme?
Susan Moller Okin dalam Is Multiculturalism Bad for Women? (1999) dan Ayelet Shachar (2000) menyebut masalah ini sebagai dilema, juga konflik, antara feminisme dan multikulturalisme: perempuan akan menjadi pihak yang paling rentan mengalami diskriminasi dari tuntutan untuk mengakomodasi sebagian tradisi keagamaan.
Dalam konteks perdebatan antara multikulturalisme dan keadilan gender ini, buku yang ditulis oleh Sarah Song, Justice, Gender, and the Politics of Multiculturalism (New York: Cambridge University Press, 2007) menawarkan upaya pemecahan atas dilema akomodasi multikultural dan keadilan gender. Menurut Song, dua tuntutan ini sebenarnya bisa direkonsiliasi, tanpa menegasikan salah satunya, dengan satu kerangka yang ia tawarkan. Berikut uraian ringkasnya.
Pendekatan konstruktivis atas budaya
Bagi Song, wacana umum yang berkembang dalam merespons dilema multikulturalisme-feminisme cenderung menyederhanakan permasalahan, yakni bahwa ketimpangan gender dalam suatu kelompok minoritas acapkali dipandang sebagai praktik yang tidak demokratis dan illiberal, sehingga persinggungan antara multikulturalisme dan keadilan gender dibingkai dalam narasi “feminisme versus multikulturalisme”; “hak kelompok versus hak perempuan”; atau “budaya versus gender”.
Menurut Song, narasi semacam ini mengasumsikan seolah-olah kelompok minoritas adalah sumber patriarki dan ketidakadilan gender. Hal ini pada gilirannya melahirkan kerangka oposisi biner: kelompok mayoritas yang egaliter versus kelompok minoritas yang diskriminatif. Okin misalnya berpendapat bahwa budaya kelompok minoritas cenderung patriarkis dibandingkan dengan budaya-budaya Barat.
Song berargumen bahwa narasi tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman tentang konsep budaya. Yakni, bahwa budaya dipahami sebagai sesuatu yang “terintegrasi, jelas batasannya, dan muncul dengan sendirinya”, sehingga seseorang dapat dengan mudah membedakan antara suatu budaya dengan budaya lainnya. Konsepsi semacam ini menafikan sifat budaya yang cair, evolutif, dan dinamis.
Oleh karena itu, Song menawarkan pendekatan konstruktivis dalam memahami budaya. Baginya, suatu budaya tidak hanya terbentuk melalui sejarah yang kompleks, tetapi juga melalui kontestasi dan interaksinya dengan budaya yang lain. Dengan kata lain, suatu budaya tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dan berkelindan dengan budaya lain. Dengan demikian, dalam konteks multikulturalisme, ketimpangan gender bisa saja dibentuk tidak hanya oleh budaya minoritas, tetapi juga dari interaksinya dengan budaya mayoritas.
Menurut Song, setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari mengapa pendekatan konstruktivis atas budaya penting dalam rangka merespons dilema antara akomodasi multikultural dan keadilan gender. Pertama, congruence effect: ketimpangan gender dalam kelompok minoritas bisa saja dipengaruhi dan didukung oleh norma-norma patriarkis yang berasal dari kelompok mayoritas.
Kedua, boomerang effect, yang berasal dari pengaruh kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas. Merekognisi klaim-klaim kelompok minoritas yang diskriminatif terhadap perempuan akan berimplikasi pada justifikasi kelompok mayoritas atas ketidakadilan gender pada spektrum yang lebih luas.
Ketiga, diversionary effect, yakni adanya relasi kuasa-pengetahuan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Atas nama pembebasan perempuan, kelompok mayoritas memaksakan versinya tentang keadilan gender terhadap kelompok minoritas, padahal tujuannya ialah untuk mendominasi kelompok minoritas. Poin penting yang ditekankan disini ialah bagaimana kita tidak terjebak dalam superioritas budaya dalam merespons isu keadilan gender, karena ketimpangan gender bisa saja ditemukan baik dalam budaya mayoritas maupun budaya minoritas.
Menurut Song, pendekatan konstruktivis terhadap budaya mempunyai satu implikasi normatif dalam merespons dilema antara akomodasi multikultural dan keadilan gender. Yaitu bahwa yang seharusnya menjadi lokus perdebatan bukanlah “fitur inheren dari suatu kelompok”, melainkan apa dampak sosial-politis yang ditimbulkan dari akomodasi terhadap praktik kegamaan atau kebudayaan. Yang menjadi masalah bukanlah apakah suatu budaya itu patriarkis atau tidak, melainkan praktik manakah yang bertentangan dengan keadilan gender, dengan tetap menyadari akan adanya interaksi antarbudaya yang membentuk wacana dan praktik itu.
Right-respecting accommodationism
Song berargumen bahwa keadilan dan kesetaraan tidak berarti memperlakukan warga negara secara sama (uniform treatment). Keadilan dan kesetaraan memungkinkan adanya perlakuan terhadap mereka secara berbeda. Yang penting ialah bagaimana prinsip keadilan dapat terpenuhi. Dalam istilah Song, ini dapat dilakukan melalui pendekatan normatif untuk menjembatani tuntutan akomodasi multikultural dan keadilan gender, yang ia sebut dengan “right-respecting accommodationism”.
Pertanyaanya: dalam konteks apa akomodasi terhadap klaim-klaim kultural kelompok minoritas dapat diterima? Menurut Song, akomodasi multikultural dapat dilakukan dalam tiga situasi berikut. Pertama, adanya diskriminasi baik secara simbolis maupun struktural terhadap kelompok minoritas. Dalam konteks Amerika, beberapa kelompok etnis minoritas, khususnya orang-orang lokal (indigenous people), terdiskriminasi karena negara tidak merekognisi hak-hak kelompok mereka.
Kedua, diskriminasi yang dialami kelompok minoritas tersebut merupakan refleksi dari diskriminasi yang terjadi pada masa lalu. Misalnya, diskriminasi yang berakar dari kolonialisme dan penaklukan tanah mereka. Setelah munculnya negara bangsa (nation-state), mereka dipaksa mengikuti norma-norma atau aturan-aturan ala negara bangsa modern yang terkadang bertentangan dengan adat/tradisi mereka.
Ketiga, adanya favoritisme negara terhadap agama atau budaya tertentu, yang tercerminkan melalui hak istimewa atau privilese yang diberikan negara terhadap kultur dominan yang dipraktikkan kelompok mayoritas.
Dalam tiga konteks tersebut, akomodasi terhadap klaim-klaim kultural kelompok minoritas dapat dilakukan, antara lain dengan cara negara harus memberikan remedi dan perlakuan berbeda dalam rangka merekognisi kelompok minoritas. Dalam hal ini, Song sepandangan dengan Rajeev Bhargava dan Alfred Stephan, bahwa demokrasi memungkinkan untuk mengakomodasi klaim-klaim keagamaan dan memperlakukan masing-masing kelompok secara berbeda (differential treatment) karena, sekali lagi, yang terpenting ialah bagaimana prinsip keadilan dan kesetaraan dapat terpenuhi.
Meskipun demikian, Song memberikan pembatasan jelas: akomodasi atas nama multikulturalisme itu harus tidak menciderai hak-hak dasar individu dalam suatu kelompok.
Deliberasi publik
Song lebih lanjut menyatakan bahwa akomodasi multikultural harus dilakukan melalui deliberasi publik yang setara. Deliberasi menyediakan ruang bagi terciptanya dialog antarbudaya. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas memiliki kesempatan untuk menyampaikan alasan dan argumen mereka tanpa diposisikan sebagai yang inferior di hadapan kelompok mayoritas. Deliberasi ini tak harus dilakukan dalam bentuk formal. Dalam tahapan tertentu, deliberasi informal bisa jadi harus dilakukan karena masih terbatasnya akses politik yang setara.
Dalam proses deliberasi, setiap pihak harus berusaha memberikan alasan yang dapat diterima oleh pihak yang lain (mutually acceptable reason). Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa setiap pihak harus menyetujui apa cara menyampaikan alasan (reasoning), sebab bisa jadi kelompok-kelompok memiliki cara dan bahasa yang beragam dalam menyampaikan alasan. Misalnya, klaim kelompok minoritas bisa saja disampaikan dalam bahasa yang berbeda dengan bahasa konstitusi. Song memang tidak banyak mengelaborasi poin ini. Menurutnya, “apa yang disebut sebagai alasan yang dapat diterima bisa saja berbeda tergantung partikularitas konteks.” Prinsipnya ialah bagaimana deliberasi bisa dilakukan seinklusif mungkin.
Pendekatan Song dalam merespons dilema multikulturalisme dan keadilan gender membantu kita memahami persoalan ini dan menghindari simplifikasi masalah, sehingga kita tidak terjebak dalam narasi oposisi biner yang abai terhadap relasi kuasa yang mengonstruksi hubungan minoritas-mayoritas dalam diskursus ketimpangan gender.
Namun demikian, sebagai suatu pendekatan normatif, tawaran Song perlu diuji di tataran praktisnya, terlebih dalam konteks non-Barat, dengan komposisi kelompok yang berbeda—seperti di Indonesia: Bagaimana memperbincangkan multikulturalisme jika yang mempromosikan ketidakadilan gender justru adalah kelompok yang berasal dari kultur yang dominan? Apakah mutikulturalisme, yang diskursusnya di Barat kental dengan akomodasi terhadap praktik kebudayaan minoritas, di sini tepat menjadi bahasa perjuangan keadilan dan kesetaraan—atau justru feminismelah yang memerlukan penguatan lebih? Ini pertanyaan-pertanyaan yang belum mendapat eksplorasi sejauh seperti yang sudah terjadi dalam diskursus di Barat.
____________
Afifurrochman Sya’rani adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017. Kredit: gambar header diambil dari sampul buku Sarah Song, “Justice, Gender, and the Politics of Multiculturalism”.