• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Book Review
  • Dilema Multikulturalisme dan Keadilan Gender

Dilema Multikulturalisme dan Keadilan Gender

  • Book Review
  • 6 July 2018, 15.01
  • Oleh: Admin Jr
  • 0

Dilema Multikulturalisme dan Keadilan Gender

Afifurrochman Sya’rani – 6 Juli 2018

Kebangkitan agama di ruang publik telah menghantaarkan pada tuntutan untuk mengakomodasi beragam praktik kegamaan. Dalam konteks Barat, seiring dengan makin banyaknya para imigran, tuntutan ini kian menguat. Upaya akomodasi ini dilakukan antara lain atas nama multikulturalisme.

Yang menjadi persoalan: tuntutan akomodasi beragam praktik keagamaan ini tak jarang berbenturan dengan isu lain seperti keadilan dan kesetaraan gender. Sebagian ekspresi atau praktik keagamaan masih memuat cara pandang patriakis dan mendiskriminasi perempuan. Di antara contohnya ialah praktik sunat perempuan (female genital mutilation/FGM) dan perkawinan paksa (forced marriage). Bisakah praktik semacam ini diakomodasi dalam kerangka multikulturalisme?

Susan Moller Okin dalam Is Multiculturalism Bad for Women? (1999) dan Ayelet Shachar (2000) menyebut masalah ini sebagai dilema, juga konflik, antara feminisme dan multikulturalisme: perempuan akan menjadi pihak yang paling rentan mengalami diskriminasi dari tuntutan untuk mengakomodasi sebagian tradisi keagamaan.

Dalam konteks perdebatan antara multikulturalisme dan keadilan gender ini, buku yang ditulis oleh Sarah Song, Justice, Gender, and the Politics of Multiculturalism (New York: Cambridge University Press, 2007) menawarkan upaya pemecahan atas dilema akomodasi multikultural dan keadilan gender. Menurut Song, dua tuntutan ini sebenarnya bisa direkonsiliasi, tanpa menegasikan salah satunya, dengan satu kerangka yang ia tawarkan. Berikut uraian ringkasnya.

Pendekatan konstruktivis atas budaya

Bagi Song, wacana umum yang berkembang dalam merespons dilema multikulturalisme-feminisme cenderung menyederhanakan permasalahan, yakni bahwa ketimpangan gender dalam suatu kelompok minoritas acapkali dipandang sebagai praktik yang tidak demokratis dan illiberal, sehingga persinggungan antara multikulturalisme dan keadilan gender dibingkai dalam narasi “feminisme versus multikulturalisme”; “hak kelompok versus hak perempuan”; atau “budaya versus gender”.

Menurut Song, narasi semacam ini mengasumsikan seolah-olah kelompok minoritas adalah sumber patriarki dan ketidakadilan gender. Hal ini pada gilirannya melahirkan kerangka oposisi biner: kelompok mayoritas yang egaliter versus kelompok minoritas yang diskriminatif. Okin misalnya berpendapat bahwa budaya kelompok minoritas cenderung patriarkis dibandingkan dengan budaya-budaya Barat.

Song berargumen bahwa narasi tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman tentang konsep budaya. Yakni, bahwa budaya dipahami sebagai sesuatu yang “terintegrasi, jelas batasannya, dan muncul dengan sendirinya”, sehingga seseorang dapat dengan mudah membedakan antara suatu budaya dengan budaya lainnya. Konsepsi semacam ini menafikan sifat budaya yang cair, evolutif, dan dinamis.

Oleh karena itu, Song menawarkan pendekatan konstruktivis dalam memahami budaya. Baginya, suatu budaya tidak hanya terbentuk melalui sejarah yang kompleks, tetapi juga melalui kontestasi dan interaksinya dengan budaya yang lain. Dengan kata lain, suatu budaya tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dan berkelindan dengan budaya lain. Dengan demikian, dalam konteks multikulturalisme, ketimpangan gender bisa saja dibentuk tidak hanya oleh budaya minoritas, tetapi juga dari interaksinya dengan budaya mayoritas.

Menurut Song, setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari mengapa pendekatan konstruktivis atas budaya penting dalam rangka merespons dilema antara akomodasi multikultural dan keadilan gender. Pertama, congruence effect: ketimpangan gender dalam kelompok minoritas bisa saja dipengaruhi dan didukung oleh norma-norma patriarkis yang berasal dari kelompok mayoritas.

Kedua, boomerang effect, yang berasal dari pengaruh kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas. Merekognisi klaim-klaim kelompok minoritas yang diskriminatif terhadap perempuan akan berimplikasi pada justifikasi kelompok mayoritas atas ketidakadilan gender pada spektrum yang lebih luas.

Ketiga, diversionary effect, yakni adanya relasi kuasa-pengetahuan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Atas nama pembebasan perempuan, kelompok mayoritas memaksakan versinya tentang keadilan gender terhadap kelompok minoritas, padahal tujuannya ialah untuk mendominasi kelompok minoritas. Poin penting yang ditekankan disini ialah bagaimana kita tidak terjebak dalam superioritas budaya dalam merespons isu keadilan gender, karena ketimpangan gender bisa saja ditemukan baik dalam budaya mayoritas maupun budaya minoritas.

Menurut Song, pendekatan konstruktivis terhadap budaya mempunyai satu implikasi normatif dalam merespons dilema antara akomodasi multikultural dan keadilan gender. Yaitu bahwa yang seharusnya menjadi lokus perdebatan bukanlah “fitur inheren dari suatu kelompok”, melainkan apa dampak sosial-politis yang ditimbulkan dari akomodasi terhadap praktik kegamaan atau kebudayaan. Yang menjadi masalah bukanlah apakah suatu budaya itu patriarkis atau tidak, melainkan praktik manakah yang bertentangan dengan keadilan gender, dengan tetap menyadari akan adanya interaksi antarbudaya yang membentuk wacana dan praktik itu.

Right-respecting accommodationism

Song berargumen bahwa keadilan dan kesetaraan tidak berarti memperlakukan warga negara secara sama (uniform treatment). Keadilan dan kesetaraan memungkinkan adanya perlakuan terhadap mereka secara berbeda. Yang penting ialah bagaimana prinsip keadilan dapat terpenuhi. Dalam istilah Song, ini dapat dilakukan melalui pendekatan normatif untuk menjembatani tuntutan akomodasi multikultural dan keadilan gender, yang ia sebut dengan “right-respecting accommodationism”.

Pertanyaanya: dalam konteks apa akomodasi terhadap klaim-klaim kultural kelompok minoritas dapat diterima? Menurut Song, akomodasi multikultural dapat dilakukan dalam tiga situasi berikut. Pertama, adanya diskriminasi baik secara simbolis maupun struktural terhadap kelompok minoritas. Dalam konteks Amerika, beberapa kelompok etnis minoritas, khususnya orang-orang lokal (indigenous people), terdiskriminasi karena negara tidak merekognisi hak-hak kelompok mereka.

Kedua, diskriminasi yang dialami kelompok minoritas tersebut merupakan refleksi dari diskriminasi yang terjadi pada masa lalu. Misalnya, diskriminasi yang berakar dari kolonialisme dan penaklukan tanah mereka. Setelah munculnya negara bangsa (nation-state), mereka dipaksa mengikuti norma-norma atau aturan-aturan ala negara bangsa modern yang terkadang bertentangan dengan adat/tradisi mereka.

Ketiga, adanya favoritisme negara terhadap agama atau budaya tertentu, yang tercerminkan melalui hak istimewa atau privilese yang diberikan negara terhadap kultur dominan yang dipraktikkan kelompok mayoritas.

Dalam tiga konteks tersebut, akomodasi terhadap klaim-klaim kultural kelompok minoritas dapat dilakukan, antara lain dengan cara negara harus memberikan remedi dan perlakuan berbeda dalam rangka merekognisi kelompok minoritas. Dalam hal ini, Song sepandangan dengan Rajeev Bhargava dan Alfred Stephan, bahwa demokrasi memungkinkan untuk mengakomodasi klaim-klaim keagamaan dan memperlakukan masing-masing kelompok secara berbeda (differential treatment) karena, sekali lagi, yang terpenting ialah bagaimana prinsip keadilan dan kesetaraan dapat terpenuhi.

Meskipun demikian, Song memberikan pembatasan jelas: akomodasi atas nama multikulturalisme itu harus tidak menciderai hak-hak dasar individu dalam suatu kelompok.

Deliberasi publik

Song lebih lanjut menyatakan bahwa akomodasi multikultural harus dilakukan melalui deliberasi publik yang setara. Deliberasi menyediakan ruang bagi terciptanya dialog antarbudaya. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas memiliki kesempatan untuk menyampaikan alasan dan argumen mereka tanpa diposisikan sebagai yang inferior di hadapan kelompok mayoritas. Deliberasi ini tak harus dilakukan dalam bentuk formal. Dalam tahapan tertentu, deliberasi informal bisa jadi harus dilakukan karena masih terbatasnya akses politik yang setara.

Dalam proses deliberasi, setiap pihak harus berusaha memberikan alasan yang dapat diterima oleh pihak yang lain (mutually acceptable reason). Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa setiap pihak harus menyetujui apa cara menyampaikan alasan (reasoning), sebab bisa jadi kelompok-kelompok memiliki cara dan bahasa yang beragam dalam menyampaikan alasan. Misalnya, klaim kelompok minoritas bisa saja disampaikan dalam bahasa yang berbeda dengan bahasa konstitusi. Song memang tidak banyak mengelaborasi poin ini. Menurutnya, “apa yang disebut sebagai alasan yang dapat diterima bisa saja berbeda tergantung partikularitas konteks.” Prinsipnya ialah bagaimana deliberasi bisa dilakukan seinklusif mungkin.

Pendekatan Song dalam merespons dilema multikulturalisme dan keadilan gender membantu kita memahami persoalan ini dan menghindari simplifikasi masalah, sehingga kita tidak terjebak dalam narasi oposisi biner yang abai terhadap relasi kuasa yang mengonstruksi hubungan minoritas-mayoritas dalam diskursus ketimpangan gender.

Namun demikian, sebagai suatu pendekatan normatif, tawaran Song perlu diuji di tataran praktisnya, terlebih dalam konteks non-Barat, dengan komposisi kelompok yang berbeda—seperti di Indonesia: Bagaimana memperbincangkan multikulturalisme jika yang mempromosikan ketidakadilan gender justru adalah kelompok yang berasal dari kultur yang dominan? Apakah mutikulturalisme, yang diskursusnya di Barat kental dengan akomodasi terhadap praktik kebudayaan minoritas, di sini tepat menjadi bahasa perjuangan keadilan dan kesetaraan—atau justru feminismelah yang memerlukan penguatan lebih? Ini pertanyaan-pertanyaan yang belum mendapat eksplorasi sejauh seperti yang sudah terjadi dalam diskursus di Barat.

____________

Afifurrochman Sya’rani adalah mahasiswa CRCS angkatan 2017. Kredit: gambar header diambil dari sampul buku Sarah Song, “Justice, Gender, and the Politics of Multiculturalism”.

Tags: afifurrochman syarani Gender

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Beberapa waktu silam, kami berkunjung ke Lasem unt Beberapa waktu silam, kami berkunjung ke Lasem untuk studi lapangan. Kota kecamatan ini memang terkenal dengan toleransi dan harmoni masyarakatnya yang berlatar belakang Jawa, Cina, dan Arab. 

Namun, selama perjalanan kami di sana, ada yang mengganjal. Kami tak banyak menemui orang-orang keturunan Tionghoa di ruang publik secara aktif. 

Simak catatan reflektif dari @astridsyifa tentang eksistensi masyarakat keturunan Tionghoa di daerah yang pernah berjuluk "Little Tiongkok" ini di situs web crcs ugm.
Bagi sebagian besar yang merayakan, tahun ini adal Bagi sebagian besar yang merayakan, tahun ini adalah tahun kelinci air. Namun, di Vietnam, ini adalah tahun kucing. 

Sementara itu, sebagian komunitas keturunan Tionghoa di Tanah Melayu merayakannya sebagai tahun kancil. Iya betul, si kancil yang kerap dituduh mencuri timun oleh pak tani. Padahal, kancil mencuri timun karena hutannya habis dibabat oleh manusia. 

Apa pun hewan yang mewakili tahun ini, semoga damai bagi semesta sepanjang masa. 

xin nian kuaile, gongxi facai
Bagaimana jika ajaran agama saya memerintahkan say Bagaimana jika ajaran agama saya memerintahkan saya untuk membunuh manusia lain, sementara perbuatan itu dianggap melanggar hukum oleh negara? Apakah artinya kebebasan beragama saya sedang dikekang?

Apakah kebebasan beragama berarti juga bebas berganti-ganti agama? 

Kebebasan beragama ternyata tidak sesederhana soal seseorang bebas memilih dan menjalankan agama yang ia yakini. 

Dalam bukunya 𝘗𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮𝘢𝘵𝘪𝘻𝘪𝘯𝘨 𝘙𝘦𝘭𝘪𝘨𝘪𝘰𝘶𝘴 𝘍𝘳𝘦𝘦𝘥𝘰𝘮 (2012), Arvind Sharma mengupas tuntas berbagai problematika Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Bung @vikry_reinaldo mengulasnya dengan apik.

Ulasan lengkapnya bisa dibaca di situs web crcs ugm.
Secarik oleh-oleh dari Seminar Agama-Agama (SAA) P Secarik oleh-oleh dari Seminar Agama-Agama (SAA) Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sekaligus refleksi Natal dan Tahun Baru untuk Indonesia yang beragam dan inklusif dari @ika.iku.aku 

Selengkapnya di situs web crcs ugm
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju