Saya pertama kali berkenalan dengan istilah “Two-Spirits” ketika Dédé Oetomo, seorang aktivis SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression, and Sex Characteristic – Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seksual) dan akademisi linguistik, membahas tentang komunitas 2SLGTQI+ di suatu kelas. Istilah ini merepresentasikan beragam identitas gender dan spiritual serta juga orientasi seksual yang berbasis dari perspektif kelompok masyarakat adat di Amerika Utara. Belajar dari berbagai komunitas maupun akademisi perihal istilah dari berbagai masyarakat adat di Indonesia yang berkaitan dengan gender, hal ini membuat saya penasaran apakah istilah-istilah ini juga dapat berkembang ke skala nasional maupun dikenal secara internasional. Oma Dédé (panggilan akrab saya untuk Dédé Oetomo) membantu saya menavigasi lebih lanjut perihal kompleksitas istilah identifikasi diri berbasis SOGIESC, masyarakat adat, dan pengaruh kontestasi intelektual dalam rekognisi komunitas SOGIESC maupun masyarakat adat di Indonesia.
Gender
Meskipun Indonesia telah merdeka secara fisik, konstruksi cisgender ala kolonial masih berkembang hingga saat ini. Ajaran keagamaan yang kian patriarkis turut merawatnya sampai kini.
Semasa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik agama dengan menjadikan ajaran di luar Kristen, Katolik, dan Islam sebagai geen goddienst atau nonagama (Yulianti, 2022). Politik agama tidak hanya memaksa masyarakat adat untuk mengikuti ajaran agama-agama yang diakui pemerintah, tetapi juga konstruksi gender yang dibawanya. Contohnya bisa kita lihat pada kasus komunitas bissu. Pemerintah kolonial menjadikan tradisi dan identitas seksual komunitas bissu sebagai “amoral”. Alhasil, komunitas tersebut menjadi objek utama konversi agama (Gouda, 1995).
Queer Nyantri, Ga Bahaya Ta?
Nanda Tsani – 27 Januari 2024
Queer muslim ngaji kitab, salat, zikir berjamaah, ziarah kubur, menabuh rebana, dan berselawat kepada Rasulullah. Namun, tetap saja muncul pertanyaan, apakah keberagamaan queer muslim ala Nusantara ini valid dalam Islam?
Jumat, 20 Oktober 2023. Waktu menunjukkan pukul 19:52 saat kereta kami berhenti di Stasiun Cirebon. Saya bersama rombongan santri kilat dari Yogyakarta akan menuju Kampus Transformatif Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina. Bersama kontingen lain dari berbagai kota di Indonesia, kami akan mengikuti Nyantri Kilat, sebuah program yang diinisiasi IQAMAH (Indonesian Queer Muslims and Allies), di pesantren ini selama 2 hari.
Yang Terpenting Apa yang Ada di dalam Jiwaku:
Waria dalam Himpitan Normativitas Agama
Nanda Tsani – 04 Oktober 2023
Mungkin kita cukup familiar dengan dokumentasi keseharian religiusitas waria di Pulau Jawa, misal dari buku-buku Masthuriyah Sa’dan dan liputan dokumenter beberapa media yang berlatar Pesantren Alfatah Yogyakarta. Namun, tidak banyak yang mengulas dinamika pengalaman keagamaan waria di luar Jawa, utamanya di Indonesia bagian timur. Khanis Suvianita, alumnus program doktoral Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, meneliti pengalaman keagamaan dari 57 waria di Gorontalo dan Maumere. Temuan tersebut ia diskusikan dalam Wednesday Forum, 13 September 2023, bertajuk “Lived Religion and Waria Religious Experiences in Eastern Indonesia”.
Menemukan Allah: Tantangan Menjadi Saint Queer di Tengah Arus Konservatisme Agama
Refan Aditya – 22 November 2022
Mengerasnya konservatisme agama di Sulawesi Selatan menjadi ancaman bagi komunitas Bissu sebagai pelestari dan pemimpin agama leluhur Bugis. Yang paling kentara adalah upaya untuk melucuti status gender nonbiner para Bissu. Namun, di tengah masifnya konservatisme tersebut, para Bissu tak berhenti mencari dan menggali ruang-ruang spiritualitas dalam dirinya dan tempatnya di masyarakat Bugis saat ini. Dinamika itu menjadi bahasan Wednesday Forum, 12 Oktober 2022 bertajuk “Queer Spiritual Space in Bissu Community South Sulawesi: In Search of Allah”. Diskusi ini disajikan oleh Petsy Jessy Ismoyo yang merupakan mahasiswa ICRS dan pengampu program studi Hubungan Internasional di Universitas Kristen Satya Wacana.
Premis dasar pascakolonialisme: produksi pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan produsennya. Catatan dari kelas 'Religion, Gender, and Postcolonialism' di CRCS semester ganjil 2019.