PEMBICARA
Dr. Ammar Fauzi
Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, Jakarta
“Esoterisme Islam: Aspek Kesejarahan dan Keperadaban dari Relasi Esoterisitas dan Rasionalitas”
Salah satu isu yang, kendati klasik, terus manjadi sorotan penelitian dalam filsafat agama ialah relasi esoterisitas dan rasionalitas. Banyak dimensi yang mungkin disoroti, entah dalam dimensi ontologis, dimensi epistemologis, dan dimensi teologis. Dimensi lain yang kiranya patut mendapatkan porsi perhatian yang sama ialah aspek kesejarahan dan keperadaban. Seperti juga isu komparatif lainnya, esoterisitas dan rasionalitas ditelaah hingga kerap mengawali polarisasi dua kutub ekstrem: ifrath dan tafrith.
Bagi masyarakat beragama, isu ini dengan seperangkat dimensinya tampak krusial, terutama tatkala mempengaruhi iman sebagai elemen dasar keberagamaan. Keberadaan dan sikap seorang beriman di dunia juga terdefinisikan secara lebih ketat oleh pola penanganannya terhadap relasi antara rasionalitas dan esoterisitas. Keseimbangan dua kutub relasi ini kiranya perlu diangkat sebagai bagian dari upaya menegaskan kehadiran iman keagamaan dalam pembangunan peradaban dan pembinaan sosial.
Herman Sinung Janutomo
Praktisi/Budayawan Jawa
“Jagad in Jeroning Manusia Jawa” dari Kitab Atassadur Adammakna, Serat KPH Cakraningrat
Esoterisme dalam agama Islam di Jawa memiliki kekhasan yang unik. Islam model timur tengah memiliki esoterisme yg berbasis Jagad Agung atau alam makrokosmos. Islam Jawa berbasis Jagad Alit atau alam mikrokosmos. Alam mikro dimaksud bukan merujuk kepada ukuran partikelnya sebagaimana dalam Fisika Atom yg mengerucut kepada plasma nuklir. Tetapi merujuk kepada pandangan tradisional mengenai Sapta Pratala Suksma. Sapta Pratala Langit menyangkut eksistensi alam-alam besar eksternal atau eksoteris. Sementara Sapta Pratala Suksma menyangkut fakta-fakta dan realitas di alam-alam esoteris manusia.
Sebagai diskripsinya secara umum Sapta Pratala Langit mengerucut pada keberadaan Arsy. Yakni mahligai singgasana Gusti Kang Murbeng Dumadi. Demikian halnya Sapta Pratala Suksma juga mengerucut pada singgasana yang sama Arsy. Yang mana jika ditulis dengan aksara Hanacaraka menjadi ha-ra- sa… atau ra-sa. Yakni tempat Hyang Maha Suksma bersemayam di singgasana rasa. Hal ini yg dimaksud dengan ungkapan esoterik jawi OLAH RASA. Atau yg terkenal menjadi sasanti jawi Demak Bintara: MULAT SARIRA HANGRASA WANI. Mulat sarira artinya olah rasa. Sarira artinya jiwa. Wani artinya berani. Secara umum berarti diperlukan keberanian untuk mengolah jiwa dan mengolah rasa demi capaian spiritual di singgasana Hyang Suksma. Tuhan Yang Maha Ruh, dalam khasanah Jawa disebut sebagai Sang Hyang Suksma Kawekas. Sedangkan ruh makhluk ataupun manusia disebut sebagai Suksma Sasangka. Secara umum esoterisme Islam di Jawa mengemukakan pandangan mengenai similaritas dan keserempakan antara jagad agung-jagad alit. Semacam keserempakan Shiwaka-Budhaka dalam gelang jagad.
Dr. Samsul Ma’arif
Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadja Mada
“Relasi Interpersonal sebagai basis Keseimbangan Kosmos: Perspektif Esoterisme Agama Lokal”
Satu wujud, saat mengenali dirinya, mengenali diri wujud lain. Pengenalan diri dan diri lain terjadi melalui relasi. Prinsip eksistensi wujud berdasarkan pada “saya berelasi, maka saya ada…!” (bandingkan dengan cogito ergo sum). Diri, diri lain, dan relasi tersebut di atas adalah elemen utama bagi kosmos. Kosmos dihuni oleh berbagi macam wujud (manusia dan non-manusia). Setiap wujud (baik manusia maupun non-manusia) memiliki potensi untuk menjadi “person,” dan hanya akan dipahami sebagai “person” apabila ia berelasi dengan wujud (person) lain. Dengan kata lain, hanya dengan melibatkan diri dalam relasi, sang wujud menjadi person. Demikian arti dari relasi interpersonal. Ke-person- an adalah aktualisasi wujud yang dikenali dan dialami oleh wujud lain, sebagaimana wujud lain mengenali dan mengalaminya. Ia adalah tempaan melalui relasi, dan ke-person- an wujud bergantung pada tempaan dalam relasi. Semakin ditempa (engaged in relationship), ke-person– an semakin dikenali dan dialami. Ke-person- an dapat berupa “hero” atau “monster”. Wujud monster adalah perusak, tetapi ke-monsterannya adalah respon terhadap kemonsteran wujud lain. Sementara wujud “hero” adalah penyelaras, dan ke-hero- annya juga merupakan respon terhadap ke-hero- an wujud lain. Hero dan monsternya suatu wujud, sekali lagi, bergantung pada tempaan dalam relasi (interpersonal).
Ke-person- an sang wujud menjadi hero apabila ia melibatkan diri dalam relasi interpersonal secara etis (sadar akan efek perilakunya terhadap ke-person- an wujud lain), bertanggung jawab (sadar akan konsekuensi perilakunya terhadap ke-personannya), dan resiprokal (komitmen berbagi). Etika, tanggung-jawab, dan resiprositas adalah prinsip ke-hero- an, dan prinsip tersebut merupakan syarat bagi keseimbangan kosmos. Seorang manusia (penganut agama lokal) mengenali dan mengalami bahwa tanah (adat), misalnya, telah berkontribusi besar pada hidup dan kehidupannya, sebagaimana ia (manusia) mengenali dan mengalami bahwa ia (manusia) telah berkontribusi besar pada hidup dan kehidupan tanah (adat). Pengenalan dan pengalaman (kedua wujud tersebut) perlu terus ditempa dalam relasi interpersonal yang heroik agar keduanya tetap dan semakin kontributif. Sekali lagi, hanya dengan demikian keseimbangan kosmos berkelanjutan.
Ke-hero- an (yang ditempa melalui pengenalan dan pengalaman dalam relasi interpersonal sifatnya subyektif dan personal. Ia adalah pengetahuan dan pengalaman esoterik. Dua wujud (manusia) atau lebih misalnya dapat mengenali dan mengalami ke-person- an satu wujud yang sama (batu misalnya) secara berbeda, sekalipun pengenalan dan pengalaman masing-masing wujud dapat dikomunikasikan dan dieksternalisasi misalnya melalui “adat” (eksoterik). Sekalipun terkesan berbeda dalam perspektif agama lokal ini, esoterik pada dasarnya memproduksi dan sekaligus diproduksi oleh eksoterik.