• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Ensiklik Laudato Si dan Kasih untuk Alam

Ensiklik Laudato Si dan Kasih untuk Alam

  • Berita, Headline, News
  • 20 April 2017, 14.03
  • Oleh:
  • 0

A.S. Sudjatna | CRCS | Berita

“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuapi dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan. Saudari ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.”

Begitulah Paus Fransiskus memulai bait-bait awal ensiklik keduanya. Didahului dengan ucapan “Laudato Si’, mi’ Signore,” “Terpujilah Engkau, Tuhanku,”  yang ia kutip dari ucapan Santo Fransiskus dari Asisi, pendahulunya ratusan tahun lalu, Paus Fransiskus memulai penegasan sikapnya yang lahir dari refleksi keimanan atas realitas dunia yang hadir saat ini. Dua ratus empat puluh enam paragraf dari keseluruhan ensiklik ini berbicara soal bagaimana seharusnya manusia beragama dan beriman bersikap atas alam dan lingkungannya.
Ensiklik Laudato Si ini sejatinya adalah seruan profetik pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang disandarkan pada ajaran keimanan Katolik. Sebuah ensiklik tak hanya merespons realitas sosial, namun juga mengungkapkan basis teologisnya, sehingga aksi-aksi implementatif terhadap ensiklik bukan hanya merupakan gerakan sosial melainkan juga gerakan keagamaan.
Membahas relevansi ensiklik ini dalam konteks Indonesia, Muda-Mudi Katolik (MUDIKA) Paroki Santo Antonius Kotabaru Yogyakarta mengadakan diskusi dengan judul Memandang Petani Kendeng dengan Ensiklik Laudato Si pada Selasa, 4 april 2017, di GKS Widyamandala. Diskusi ini dilatarbelakangi antara lain oleh keprihatinan akan kurangnya perhatian kawan-kawan muda Katolik atas perlawanan para petani terhadap pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, padahal Gereja Katolik memiliki Ensiklik Laudato Si yang dapat menjadi basis gerakan untuk merespons persoalan semacam itu.
Dalam acara tersebut, pemantik diskusi Lilik Krismantoro memulai pembahasan dengan latar sejarah ensiklik. Ada banyak ensiklik yang sudah dikeluarkan gereja. Salah satu ensiklik yang cukup dikenal dan berpengaruh adalah Ensiklik Rerum Novarum yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII. Ensiklik ini merespons perkembangan komunisme di Eropa pada abad ke-18 dan memicu terbentuknya gerakan buruh Katolik. Ensiklik ini membahas dukungan gereja atas hak-hak buruh namun juga mengukuhkan hak milik pribadi dan menolak sosialisme.
Ensiklik Laudato Si merupakan salah satu dari dokumen-dokumen serupa yang lahir kemudian. Ensiklik ini dapat dibaca sebagai lanjutan dari ensiklik serupa sebelumnya, Populorum Progressio, yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967 yang hadir sebagai refleksi iman Katolik tentang pembangunan yang berpusat pada manusia. Di luar ensiklik ini, ada praksis-praksis teologis lain yang lahir dari Gereja Katolik, seperti teoologi pembebasan yang menemukan pengejawantahannya dalam perjuangan Uskup Agung San Salvador Mgr Oscar Arnulfo Romero—yang mengalami assasinasi dan belakangan telah ditahbiskan sebagai martir oleh Paus Fransiskus pada 2015.
Terkait persoalan lingkungan, menurut Lilik, Gereja Katolik di Indonesia sebenarnya sudah mulai terlibat aktif sejak lama. Ini tampak misalnya dari keterlibatan Gereja Ganjuran di Yogyakarta sebagai tuan rumah seminar pertanian se-Asia pada tahun 1990 yang diadakan oleh Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC). Dengan bekal beragam gerakan gereja dan ensiklik sebagai pijakan teologisnya, menghubungkan persoalan Kendeng dengan Katolik bukan hal yang sulit. Gereja dan umat Katolik memiliki modal dan alasan yang cukup untuk terlibat aktif dalam persoalan Kendeng.
Menegaskan hal ini, salah seorang peserta diskusi yang juga aktivis pertanian organik, Beni Pudyastanto, mengatakan bahwa secara khusus Ensiklik Laudato Si membahas persoalan air di bab pertama bagian kedua. Dikatakan dalam ensiklik itu bahwa air dapat menjadi sumber konflik. Dalam kasus Kendeng, isu seputar Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Kendeng adalah salah satu persoalan kunci yang mengemuka dalam polemik kehadiran pabrik semen di Kendeng. Air di CAT akan hilang atau menyusut sebab aktivitas penambangan, yang pada gilirannya merusak suplai air untuk wilayah Rembang, Kudus, Pati, Blora dan sekitarnya.
Beni juga mengingatkan peserta diskusi bahwa Laudato Si mengatakan bahwa keberlanjutan (sustainability) suplai dan ketersediaan air adalah anugerah bagi semua makhluk, dan di level ini manusia dengan makhluk lain berposisi sejarah di hadapan Tuhan. Akal budi yang dimiliki manusia tidak serta merta memberinya hak mutlak untuk mengeksploitasi alam.
Beni juga menegaskan bahwa membicarakan Kendeng dari kaca mata Laudato Si bukan semata-mata berbicara perihal lingkungan, namun juga soal adanya kelompok masyarakat yang butuh dibela di hadapan arogansi kekuasan. Dalam hal ini, ajaran Katolik tentang menolong sesama dan kaum tertindas seharusnya dapat menjadi landasan aksi. Maka, lanjut Beni, Ensiklik Laudato Si ini harus digaungkan sampai ke paroki-paroki hingga akar rumput. Untuk memulai semua itu, menurut Beni, hal pertama harus dilakukan adalah sebagaimana dibahas pada bab enam bagian tiga Ensiklik Laudato Si: pertaubatan ekologis. Setiap penganut Katolik harus bertaubat dari dosa-dosa ekologisnya.
Terkait kelompok miskin tertindas, Lilik menambahkan bahwa saat terjadi ketidakadilan ekonomi dan ekologi, korban terbanyak dan paling utama itu sama: masyarakat miskin. Merekalah kelompok yang paling rentan terdampak bencana akibat rusaknya lingkungan. Lilik mengingatkan peserta bahwa kini telah hadir jenis pengungsi baru, pengungsi lingkungan, yakni pengungsi yang lahir dari kerusakan lingkungan. Menyitir Laudato Si, Lilik mengingatkan bahwa konsep hutang semestinya tak hanya dipahami dalam kerangka finansial, tetapi juga ekologis, yakni hutang negara-negara maju karena mereka mengakses sumber daya alam dan mengorbankan masyarakat miskin dunia ketiga.
Menutup diskusi, Lilik mengajak peserta untuk merenungi iman masing-masing dengan pertanyaan retorisnya: “Harus disadari bahwa hati yang kaugunakan untuk mengasihi itu adalah hati yang sama dengan yang kaugunakan untuk merusak lingkungan. Itu bukan hati yang terpisah. Jadi, bagaimana kita bisa mengasihi jika pada saat yang sama kita merusak alam?!”
Penulis, A.S. Sudjatna, adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015.   

Tags: Ekologi ensiklik laudato si mudika kotabaru paus fransiskus semen kendeng

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

L A B E L Seberapa penting sebuah label? Bagi makh L A B E L
Seberapa penting sebuah label? Bagi makhluk modern, label itu penting walau bukan yang paling penting. Ia menjadi jendela informasi sekaligus penanda diri. Dalam kacamata masyarakat legalis, label juga berarti penerimaan dan perlindungan. Namun, seringkali label itu disematkan oleh entitas di luar diri, terlepas ada persetujuan atau tidak. Karenanya, tak jarang label juga menjadi penghakiman. Dalam silang sengkarut semacam ini, perebutan kuasa bahasa atas label menjadi vital, terutama bagi kelompok rentan yang dimarjinalkan. Kalau kata teman yang alumni dusun Inggris , "label is rebel!"

Simak bincang @astridsyifa bersama @dedeoetomo tentang lokalitas dan ekspresi identitas gender di situs web crcs
Waktu Hampir Habis 😱 HARI INI TERAKHIR PENDAFTA Waktu Hampir Habis 😱
HARI INI TERAKHIR PENDAFTARAN MASUK CRCS UGM 🫣

Jangan sampai lewatin kesempatan terakhir ini !! 
#crcs #ugm #s2 #sekolahpascasarjanaugm
Kupas Tuntas masuk CRCS UGM (Live Recap) #crcsugm Kupas Tuntas masuk CRCS UGM
(Live Recap)

#crcsugm #pendaftarancrcsugm #sekolahpascasarjanaugm #s2 #ugm #live
Beli kerupuk di pasar baru Nih loh ada info terbar Beli kerupuk di pasar baru
Nih loh ada info terbaruuu

Penasaran gimana rasanya jadi bagian dari CRCS UGM? 🧐 Yuk, intip live streaming kita hari Senin, 30 Juni jam 15.00-17.00 WIB yang akan mengupas tuntas seputar pendaftaran, kehidupan kampus CRCS UGM dan banyak lagi!
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY