Fellowship KBB 2023: Merajut Kolaborasi untuk Advokasi
Hanny Nadhirah – 30 Oktober 2023
“Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan adalah ilmu (dan upaya) yang tiada habisnya. Harapannya, teman-teman bisa terlibat dalam gerakan ini,” ungkap Asfinawati, advokat hak asasi manusia dan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang menjadi fasilitator program Fellowship Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) 2023.
Sejak diinisiasi pada 2019, Fellowship KBB merupakan wadah bagi para dosen lintas studi untuk mengembangkan pengajaran dan penelitian mengenai KBB. Program kolaborasi CRCS UGM; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration, Universitas Jember; Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham); dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini melibatkan para akademisi dan praktisi sebagai fasilitator. Dalam fellowship ini para peserta mengeksplorasi berbagai dimensi isu KBB melalui beragam studi kasus di Indonesia secara lintas disiplin.
Dr. Zainal Abidin Bagir, fasilitator dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), mengungkapkan bahwa penelitian-penelitian tersebut merangkum isu-isu besar dalam studi KBB. Beberapa isu besar itu ialah KBB dan agama leluhur; pertemuan antara norma universal KBB dan norma-norma lokal; justifikasi KBB (norma keagamaan, filosofis, kultural); pelanggaran KBB; tinjauan kritis KBB dengan beragam perspektif (sejarah, antropologi, gender, filosofis, dan lain sebagainya); KBB dan hak-hak lain; serta korelasi KBB dengan isu-isu lain seperti kemiskinan, kekerasan, perdamaian, pendidikan, dan lainnya. Tema-tema besar tersebut seringkali terhubung satu sama lain dan dapat menciptakan gambaran yang lebih komprehensif tentang kompleksitas dimensi dalam isu KBB. Bagir menyebut kumpulan tema-tema penting penelitian itu sebagai “Katalog KBB”. Menurutnya, keragaman isu-isu ini diharapkan tidak hanya berhenti pada penciptaan karya ilmiah, tetapi juga menjadi inisiasi untuk mengadvokasi KBB secara lebih luas.
Urgensi Pendidikan Klinis
Seiring keragaman dimensi KBB, dalam praktiknya, seorang advokat KBB tidak selalu harus berasal dari lulusan hukum. Melalui pelibatan aspek lintas disiplin, pada akademisi dan peneliti dapat memberikan kontribusi sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Salah satu upaya pelibatan ini ialah melalui pengajaran KBB di perguruan tinggi melalui pendidikan klinis yang memadukan antara teori dan praktik lapangan. Menurut Asfinawati, pendidikan klinis merupakan sebuah pendekatan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan anggota civitas academica—terutama mahasiswa—dalam mengadvokasikan KBB. Melalui pendidikan klinis ini, para dosen dari berbagai bidang studi yang menjadi peserta utama fellowship KBB dapat mengeksplorasi dan memberikan kontribusi untuk mendukung perjuangan KBB.
Awalnya, para peserta dikelompokkan berdasarkan kedekatan dan relevansi bidang studi terhadap kasus. Kemudian, mereka mendiskusikan pendekatan pendidikan klinis KBB yang dapat diterapkan dalam disiplin ilmu masing-masing. Hasil diskusi tersebut mencakup berbagai strategi yang dapat diimplementasikan dalam setiap disiplin ilmu. Di antaranya, integrasi materi KBB ke dalam kurikulum perkuliahan, mengundang para ahli atau aktivis yang terlibat dalam isu KBB sebagai dosen tamu, meningkatan publikasi penelitian terkait KBB, pengembangan kerja sama dengan pusat studi dan lembaga non-pemerintah yang berfokus pada isu-isu KBB, membuka ruang perjumpaan dengan kelompok dari berbagai macam latar belakang, melaksanakan kegiatan praktik yang terkait langsung dengan advokasi KBB. Melalui berbagai strategi ini, civitas academica dan praktisi dapat berkolaborasi untuk mencari solusi, meningkatkan kesadaran, dan membantu kelompok masyarakat rentan.
Menilik Persoalan KBB di Yogyakarta
Selepas 3 hari berkegiatan di Disaster Oasis, Yogyakarta, para peserta Fellowship KBB 2023 berkunjung ke komunitas Nandur Banyu dan Gereja Pantekosta Jemaat “Eben-Haezar” di Gunungkidul. Kegiatan ini merupakan upaya untuk mendekatkan para peserta dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Komunitas Nandur Banyu merupakan bagian dari Komunitas Resan, sebuah kelompok pelestarian lingkungan yang menekankan pada prinsip-prinsip budaya lokal. Nandur Banyu melihat bahwa pohon merupakan warisan turun-temurun yang harus dijaga dan dihormati (simak “Menjadi Wong Gunung Kidul Bersama Komunitas Resan”). Secara simbolis, penghormatan ini salah satunya dilakukan dengan melingkari batang utama pohon dengan kain putih. Namun, banyak orang abai terhadap hal tersebut dan menganggapnya sebagai sesat sehingga malah menjustifikasi aktivitas penebangan pohon yang justru merugikan lingkungan.
Berefleksi dari hal tersebut, Dr. Samsul Maarif, fasilitator dari CRCS UGM, menggarisbawahi persoalan yang dihadapi komunitas Nandur Banyu tersebut dengan diskursus KBB. Menurutnya, selama ini praktik-praktik yang dianggap sebagai tradisi dan budaya lokal sering kali tidak dimasukkan dalam isu KBB. Hal tersebut terjadi karena masih adanya pembedaan antara “agama” dengan “budaya” atau “tradisi.” Padahal, dalam praktik di lapangan, agama dan budaya merupakan kelindan yang menjadi keseharian tak terpisahkan, terutama pada masyarakat adat dan penghayat. Alhasil, ketimpangan ini menjadi urgensi untuk mulai mengkaji ulang KBB guna menciptakan diskursus yang lebih inklusif.
Pada kunjungan kedua, para peserta fellowship mendatangi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPiD) “Eben-Haezar” di Semanu. Gereja ini merupakan salah satu saksi dari ribuan kasus pelanggaran KBB di Indonesia. Pada tahun 2011, pendeta dan jemaat GPiD Semanu diusir dari gereja mereka oleh kelompok masyarakat intoleran. Padahal, gereja tersebut telah lama memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sah (Simak liputan “Intoleransi di Kota Toleran Yogyakarta”). Selama empat tahun, mereka berjuang untuk mendapatkan hak-hak KBB mereka melalui berbagai cara. Ironisnya, meskipun mereka menang dalam pengadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pemerintah daerah tidak langsung menerbitkan surat izin. Ini mencerminkan bahwa perjuangan KBB di Indonesia masih jauh dari selesai. Kasus GPiD Semanu merupakan satu dari ribuan kasus KBB yang masih terus terjadi dan bertambah setiap tahunnya. Banyak umat beragama di Indonesia yang mengalami penolakan, pelarangan, bahkan pengusiran ketika menjalankan aktivitas keagamaan mereka.
***
KBB merupakan hak universal yang melibatkan seluruh aspek kemanusiaan. Ini bukan isu hukum semata, melainkan juga persoalan moral, budaya, sosial, serta dimensi lain yang tidak kalah pentingnya. “Kebebasan Bergama atau Berkeyakinan merupakan hak setiap manusia. Tidak boleh ada yang merasa paling benar dan mempersekusi orang lain,” ungkap Mahaarum Kusuma Pertiwi, dosen Fakultas Hukum UGM yang juga menjadi fasilitator. Ia berharap kegiatan ini dapat mempersiapkan para peserta sebagai agen perubahan di kampus, yang aktif mengadvokasikan KBB sesuai dengan keahlian masing-masing. “Sebagai seorang dosen, sangat penting untuk mengajarkan perspektif hak asasi manusia dan menggunakan perspektif KBB dalam pembelajaran,” ujar Djunawir Syafar, dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo yang menjadi peserta Fellowship KBB 2023. Beragam perspektif isu KBB dan berbagai pengetahuan serta keterampilan baru yang didapat selama kegiatan menjadi bekal dalam melakukan advokasi di daerah masing-masing. Di samping itu, “Fellowship KBB 2023 telah memberikan kesempatan untuk berjejaring dengan akademisi dan praktisi dari berbagai daerah” tambahnya.
______________________
Hanny Nadhirah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Hanny lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari Martha Hesty Susilowati (2023)