Kemunculan kredit pada film bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah ajakan bagi kita, yang ada di seberang layar, untuk menyambung apa yang film itu perjuangkan.
Film dapat menjadi media efektif dalam menyampaikan sebuah pesan dan pengetahuan. Melalui film, isu “agama” dan pluralitas dapat lebih dikenal dan dipahami oleh khalayak luas. Bermula dari gagasan tersebut, proyek Indonesian Pluralities lahir, digawangi oleh CRCS UGM WatchDoc Documentary, dan Boston University’s Pardee School serta didanai oleh Henry Luce Foundation. Indonesian Pluralities telah memproduksi 7 film panjang dan 6 film pendek yang mengeksplorasi potensi dan tantangan pluralitas agama dan etnis di Indonesia. Kesemua pengalaman, cerita di balik layar, dan catatan kritis dari peneliti dan penggarap film tersebut kemudian dihimpun dalam kompilasi refleksi berjudul Bangsa yang Bergerak: Sebuah Pengantar Seri Indonesian Pluralities.
Lantas, Selanjutnya Bagaimana?
Diah Kusumaningrum, Dosen HI Fisipol UGM, membuka dengan menekankan pertanyaan penting mengenai keberlanjutan aksi atau pengaruh film dan buku ini. “Filmnya sudah jadi, bukunya sudah jadi, tapi bisakah untuk menghadirkan afeksi di kalangan warga bagian mendasar?” Sejak Reformasi 1998, masyarakat akar rumput sudah tidak asing dengan cerita dari berbagai media dan laporan tentang mereka yang dibungkam. Namun, perubahan tidak banyak terjadi, salah satunya karena kurang afeksi dari masyarakat.
Menurut Diah, afeksi bukan hanya soal merasa menanggung perasaan tidak nyaman, melainkan juga co-bearing—ikut memikul perasaan tidak nyaman itu karena sadar kita memiliki privilege. Perasaan ini membuat kita bertanya kembali, “Di mana posisi kita dalam film?” Pertanyaan tersebut menjadikan refleksi, “Apakah kita selalu ada dalam kehidupan sehari-hari narasumber, seperti mereka selalu ada jika kita meminta mereka untuk memberikan pengetahuan mereka?” Hal yang juga tidak kalah penting, lanjut Diah, ialah soal rehumanisasi. Terkadang kita hanya mengingat mereka sebagai penyintas atau korban, tetapi secara tidak sadar kita juga mengunci dimensi kemanusiaan mereka sebagai korban. Padahal, para penyintas adalah manusia dengan lapis identitas dan peran yang terus melanjutkan hidup mereka.
Made Supriatna, peneliti ISEAS/Yushof Ishak Institute, berefleksi bahwa buku dan seri film Indonesian Pluralities menggambarkan realitas dinamika kehidupan yang ia alami. Menurutnya, permasalahan yang ada saat ini adalah bagaimana mengelola kemajemukan. Selama ini konsep masyarakat majemuk (plural societies) yang kita miliki itu konsep kolonial yang bertujuan agar negara dapat mengatur semua masyarakat berdasarkan kelompok-kelompok tertentu. “Kita ini nation-state, lagi-lagi dalam nation-state mana yang lebih dominan? Nation-nya atau state-nya?” ujar Made. Kondisi keberagaman dan kemajemukan Indonesia memang semakin hari kian dikerucutkan oleh dominasi birokrasi negara. Akibatnya, kemajemukan yang ada sekadar menjadi pelengkap administrasi. “Apakah kita ada dalam persatuan atau persatean?” tambah Made.
Sementara itu, Andhy Panca Kurniawan dari WatchDoc Documentary menggarisbawahi keberjarakan antara dunia penelitian dan pendidikan masyarakat. “Sebagus apa pun hasil sebuah penelitian, jika tidak bisa menyampaikan pesan dengan efektif, akan susah untuk dipahami,” ujarnya. Ia pun berbagi kisah tentang proses pembuatan film-film Indonesian Pluralities bersama tim CRCS UGM dan Boston University. Menurutnya, ada perbedaan dalam cara kerja antara peneliti dan tim media. Para peneliti datang dengan tangan terbuka atas suatu masalah, mengambil data, dan menyimpulkan. Sementara, tim media seringkali bekerja dengan alur terbalik: “menuduh” atau menyampaikan premis terlebih dahulu. Di sisi lain, di tengah gempuran tayangan instan yang berlangsung dalam hitungan menit, membuat film panjang merupakan sebuah anomali. Oleh karena itu, inovasi luaran saat pascaproduksi menjadi strategi krusial. “Maka kami memecah film menjadi beberapa bagian agar bisa masuk menjadi pembelajaran di ruang sekolah,” jelas Panca. Lebih lanjut, situs web Indonesian Pluralities diubah menjadi tidak sekadar info tentang film, tetapi menjadi ruang belajar yang dilengkapi dengan referensi, bahan bacaan, dan cara penggunaan film ini sebagai bahan belajar.
Bedah buku ini mengingatkan kita selalu bahwa persoalan tidak selesai ketika film selesai dibuat bahkan ketika selesai disebarluaskan dan ditonton. Masih ada hidup sebelum dan sesudah film yang tidak tertangkap oleh layar. Sebuah film dan buku ialah pemantik untuk menumbuhkan afeksi dan menghadirkan refleksi. Begitu juga dengan seri Indonesian Pluralities. Selepas menonton film atau menandaskan buku, waktunya kita menindaki pesan yang sudah kita dapatkan. Film yang “sebenarnya” tidak pernah berakhir dan tidak ada buku yang dapat menampung semua pengetahuan. Saatnya kita melanjutkan apa yang disuguhkan dari media tersebut secara langsung dengan pengalaman kita sendiri.
______________________
Raden Safinatul Aula Wiji Kinasih adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2025. Baca tulisan Ola lainnya di sini.
- Semua film dan series Indonesian Pluralities juga tersedia di halaman situs web indonesianpluralities.org dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang dapat diakses secara cuma-cuma