Gerakan Lintas Iman di Sri Lanka Merespons Terorisme
Suhadi Cholil – 30 April 2019
Kita semestinya tidak gegabah melihat kasus pengeboman di tiga gereja dan tiga hotel di Sri Lanka yang menelan tidak kurang dari 250 orang meninggal dan ratusan korban lainnya terluka pada perayaan Minggu Paskah 21 April 2019 lalu. Menuntut munculnya tanggapan publik lokal yang sama dengan respons terhadap peristiwa penembakan di Christchurch, Selandia Baru, saya kira merupakan hal yang kurang adil, terutama jika kita menelaah konteks dari dua peristiwa tersebut yang sangat berbeda.
Kohesivitas sosial yang kokoh dan absennya politik identitas di Selandia Baru, setidaknya dalam beberapa dekade belakangan, membantu lahirnya solidaritas kemanusiaan pascapenembakan di masjid dan Islamic Center di Selandia Baru dalam skala yang besar. Namun situasinya tidak demikian dalam konteks sosial-politik Sri Lanka, yang mengalami konflik-konflik bernuansa identitas keagamaan dalam waktu yang lama.
Upaya hati-hati dari kelompok antariman di Sri Lanka karena itu patut kita hargai. Jika isunya tidak dikelola dengan baik, prasangka, konflik, atau bahkan kekerasan baru bisa melebar setelah aksi teror tersebut.
Politik Identitas di Sri Lanka
Konflik berkepanjangan, lebih dari 25 tahun, antara etnik Sinhala (yang bertaut dengan agama Buddha) dan etnik Tamil (yang berkait dengan agama Hindu) setelah hengkangnya pemerintah kolonial Inggris pada 1948 menunjukkan betapa rentannya Sri Lanka terhadap konflik bernuansa identitas keagamaan.
Yang belum lama terjadi, misalnya pada 2014, adalah penyerangan kelompok ultra-nasionalis Bodu Bala Sena (BBS) terhadap kaum Muslim di distrik Aluthgama. Meski pada akhirnya bisa dibilang cukup berhasil, upaya rekonsiliasi pascakonflik berjalan tidak mudah. Kebetulan pada April 2017 saya sempat berkunjung ke Aluthgama untuk belajar tentang proses rekonsiliasi yang dimotori para pemimpin muda Buddha dan Muslim di sana.
Sayangnya situasi kemasyarakatan di Sri Lanka masih rentan. Konflik serupa berulang lagi beberapa kali setelah itu; terakhir terjadi pada awal Maret 2017 ketika masjid dan pertokoan milik warga Muslim di distrik Kandy, Sri Lanka bagian tengah, diserang dan dibakar.
Sri Lanka hampir tak pernah dihitung dalam statistik warga dunia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Padahal pada November 2016, Menteri Kehakiman Sri Lanka saat itu, Wijeyadasa Rajapakshe, membuat pernyataan bahwa 32 orang Muslim dari kelas ekonomi elit dan kaum terdidik bergabung ke ISIS. Satu hal yang acapkali luput dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah ialah, sebagaimana ditunjukkan banyak kajian akademik, tekanan terhadap kelompok minoritas Muslim justru menjadi legitimasi bagi para ekstremis.
Setelah peristiwa bom bunuh diri yang menghentak dunia pada Minggu Paskah itu, pemerintah dan polisi Sri Lanka menangkap puluhan orang—jumlahnya bisa ratusan bila ditambah dengan yang sedang dalam buruan. Mungkin ini merupakan upaya terlambat, tetapi tetap harus dihargai. Ketelitian agar tidak salah tangkap penting untuk meminimalisasi sentimen antipemerintah dari kelompok Muslim. Dalam konteks Sri Lanka, keberadaan kelompok ultra-nasionalis (Buddha) yang membangun perseteruan dengan umat Muslim juga memperunyam penanganan terorisme di Sri Lanka.
Solidaritas Lintas Iman
Media dalam dan luar negeri belakangan memberitakan keputusan Gereja Katolik di Sri Lanka untuk menghentikan sementara semua Misa hari Minggu sampai ada jaminan keamanan dari pemerintah dan polisi Sri Lanka. Lemahnya antisipasi kasus bom bunuh diri di Sri Lanka, padahal sebelumnya telah ada peringatan intelijen akan hal itu, menunjukkan rumitnya kontestasi elit politik dalam negeri mengenai peristiwa pengeboman itu.
Di Selandia Baru, pidato publik Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, tak lama setelah peristiwa penembakan, sangat jelas dan bersih dari anasir politik identitas, dan mendapat dukungan dari parlemen. Di Sri Lanka, dengan politik identitas yang masih berurat akar di ruang-ruang publik, politisi di sana tak seleluasa Ardern untuk membela kaum Muslim.
Di samping itu, pelaku penembakan di Selandia Baru, meski dalam manifestonya terinspirasi oleh gerakan supremasi kulit putih di negara lain, tidaklah beraksi dalam bentuk jejaring. Sementara itu, pelaku bom bunuh diri di Sri Lanka merupakan bagian dari jaringan ISIS. Meskipun ISIS kini kian rapuh, jaringannya di Sri Lanka masih kuat dan dapat melakukan tindakan teror yang tak terduga. Kaum Muslim moderat maupun umat agama lain tidak berani berkumpul dalam keramaian besar karena ancaman terror masih terus mengintai.
Kendati berada dalam situasi yang demikian sulit, gerakan antariman pascapengeboman di Sri Lanka tidaklah absen untuk menebar perdamaian. Saya mengikuti perkembangan sebagian dari aksi tersebut dari jendela media sosial teman-teman jaringan antariman di Colombo, kota terbesar di Sri Lanka. Untuk menyebut sebagiannya saja, dengan situasi keamanan yang belum menentu, jaringan Interfaith Colombo mengadakan gerakan tatap muka online untuk membicarakan perkembangan situasi mutakhir dan saling menguatkan satu sama lain.
Dengan keterbatasan dan situasi yang sulit, kelompok antariman di Sri Lanka dalam waktu singkat juga memproduksi video bertajuk We are Sri Lanka, We Stand Together. Video kelompok antariman berlatar Kristen, Hindu, Islam, Buddha dan berbagai varian iman lain ini mendapatkan respons publik yang luas dan positif. Saat artikel ini ditulis, video tersebut telah dilihat tidak kurang dari 200 ribu warganet di Facebook. Dari jendela media sosial aktivis gerakan antariman di Colombo, warga biasa lintas iman juga tampak saling mengokohkan. Ada vihara Buddha yang dipakai untuk misa umat Katolik. Pengurus masjid juga mempersilahkan umat Kristiani untuk berdoa di dalam masjid sementara umat Muslim menjaganya di luar. Sejumlah warga Kristiani menjadi sukarelawan menjaga masjid ketika kaum Muslim sedang beribadah salat Jumat.
Di tengah-tengah adanya sebagian umat beragama yang mereproduksi ajaran agama untuk mengampenyekan kekerasan, gerakan solidaritas antariman itu menunjukkan masih adanya harapan di Sri Lanka dan karena itu sudah semestinya kita dukung.
___________________
Penulis, Suhadi Cholil, adalah dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Kredit gambar header: Roar LK