• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Gerakan Lintas Iman di Sri Lanka Merespons Terorisme

Gerakan Lintas Iman di Sri Lanka Merespons Terorisme

  • Perspective
  • 30 April 2019, 15.14
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Gerakan Lintas Iman di Sri Lanka Merespons Terorisme

Suhadi Cholil – 30 April 2019

Kita semestinya tidak gegabah melihat kasus pengeboman di tiga gereja dan tiga hotel di Sri Lanka yang menelan tidak kurang dari 250 orang meninggal dan ratusan korban lainnya terluka pada perayaan Minggu Paskah 21 April 2019 lalu. Menuntut munculnya tanggapan publik lokal yang sama dengan respons terhadap peristiwa penembakan di Christchurch, Selandia Baru, saya kira merupakan hal yang kurang adil, terutama jika kita menelaah konteks dari dua peristiwa tersebut yang sangat berbeda.

Kohesivitas sosial yang kokoh dan absennya politik identitas di Selandia Baru, setidaknya dalam beberapa dekade belakangan, membantu lahirnya solidaritas kemanusiaan pascapenembakan di masjid dan Islamic Center di Selandia Baru dalam skala yang besar. Namun situasinya tidak demikian dalam konteks sosial-politik Sri Lanka, yang mengalami konflik-konflik bernuansa identitas keagamaan dalam waktu yang lama.

Upaya hati-hati dari kelompok antariman di Sri Lanka karena itu patut kita hargai. Jika isunya tidak dikelola dengan baik, prasangka, konflik, atau bahkan kekerasan baru bisa melebar setelah aksi teror tersebut.

Politik Identitas di Sri Lanka

Konflik berkepanjangan, lebih dari 25 tahun, antara etnik Sinhala (yang bertaut dengan agama Buddha) dan etnik Tamil (yang berkait dengan agama Hindu) setelah hengkangnya pemerintah kolonial Inggris pada 1948 menunjukkan betapa rentannya Sri Lanka terhadap konflik bernuansa identitas keagamaan.

Yang belum lama terjadi, misalnya pada 2014, adalah penyerangan kelompok ultra-nasionalis Bodu Bala Sena (BBS) terhadap kaum Muslim di distrik Aluthgama. Meski pada akhirnya bisa dibilang cukup berhasil, upaya rekonsiliasi pascakonflik berjalan tidak mudah. Kebetulan pada April 2017 saya sempat berkunjung ke Aluthgama untuk belajar tentang proses rekonsiliasi yang dimotori para pemimpin muda Buddha dan Muslim di sana.

Sayangnya situasi kemasyarakatan di Sri Lanka masih rentan. Konflik serupa berulang lagi beberapa kali setelah itu; terakhir terjadi pada awal Maret 2017 ketika masjid dan pertokoan milik warga Muslim di distrik Kandy, Sri Lanka bagian tengah, diserang dan dibakar.

Sri Lanka hampir tak pernah dihitung dalam statistik warga dunia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Padahal pada November 2016, Menteri Kehakiman Sri Lanka saat itu, Wijeyadasa Rajapakshe, membuat pernyataan bahwa 32 orang Muslim dari kelas ekonomi elit  dan kaum terdidik bergabung ke ISIS. Satu hal yang acapkali luput dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah ialah, sebagaimana ditunjukkan banyak kajian akademik, tekanan terhadap kelompok minoritas Muslim justru menjadi legitimasi bagi para ekstremis.

Setelah peristiwa bom bunuh diri yang menghentak dunia pada Minggu Paskah itu, pemerintah dan polisi Sri Lanka menangkap puluhan orang—jumlahnya bisa ratusan bila ditambah dengan yang sedang dalam buruan. Mungkin ini merupakan upaya terlambat, tetapi tetap harus dihargai. Ketelitian agar tidak salah tangkap penting untuk meminimalisasi sentimen antipemerintah dari kelompok Muslim. Dalam konteks Sri Lanka, keberadaan kelompok ultra-nasionalis (Buddha) yang membangun perseteruan dengan umat Muslim juga memperunyam penanganan terorisme di Sri Lanka.        

Solidaritas Lintas Iman

Media dalam dan luar negeri belakangan memberitakan keputusan Gereja Katolik di Sri Lanka untuk menghentikan sementara semua Misa hari Minggu sampai ada jaminan keamanan dari pemerintah dan polisi Sri Lanka. Lemahnya antisipasi kasus bom bunuh diri di Sri Lanka, padahal sebelumnya telah ada peringatan intelijen akan hal itu, menunjukkan rumitnya kontestasi elit politik dalam negeri mengenai peristiwa pengeboman itu.

Di Selandia Baru, pidato publik Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, tak lama setelah peristiwa penembakan, sangat jelas dan bersih dari anasir politik identitas, dan mendapat dukungan dari parlemen. Di Sri Lanka, dengan politik identitas yang masih berurat akar di ruang-ruang publik, politisi di sana tak seleluasa Ardern untuk membela kaum Muslim.

Di samping itu, pelaku penembakan di Selandia Baru, meski dalam manifestonya terinspirasi oleh gerakan supremasi kulit putih di negara lain, tidaklah beraksi dalam bentuk jejaring. Sementara itu, pelaku bom bunuh diri di Sri Lanka merupakan bagian dari jaringan ISIS.  Meskipun ISIS kini kian rapuh, jaringannya di Sri Lanka masih kuat dan dapat melakukan tindakan teror yang tak terduga. Kaum Muslim moderat maupun umat agama lain tidak berani berkumpul dalam keramaian besar karena ancaman terror masih terus mengintai.  

Kendati berada dalam situasi yang demikian sulit, gerakan antariman pascapengeboman di Sri Lanka tidaklah absen untuk menebar perdamaian. Saya mengikuti perkembangan sebagian dari aksi tersebut dari jendela media sosial teman-teman jaringan antariman di Colombo, kota terbesar di Sri Lanka. Untuk menyebut sebagiannya saja, dengan situasi keamanan yang belum menentu, jaringan Interfaith Colombo mengadakan gerakan tatap muka online untuk membicarakan perkembangan situasi mutakhir dan saling menguatkan satu sama lain.

Dengan keterbatasan dan situasi yang sulit, kelompok antariman di Sri Lanka dalam waktu singkat juga memproduksi video bertajuk We are Sri Lanka, We Stand Together. Video kelompok antariman berlatar Kristen, Hindu, Islam, Buddha dan berbagai varian iman lain ini mendapatkan respons publik yang luas dan positif. Saat artikel ini ditulis, video tersebut telah dilihat tidak kurang dari 200 ribu warganet di Facebook. Dari jendela media sosial aktivis gerakan antariman di Colombo, warga biasa lintas iman juga tampak saling mengokohkan. Ada vihara Buddha yang dipakai untuk misa umat Katolik. Pengurus masjid juga mempersilahkan umat Kristiani untuk berdoa di dalam masjid sementara umat Muslim menjaganya di luar. Sejumlah warga Kristiani menjadi sukarelawan menjaga masjid ketika kaum Muslim sedang beribadah salat Jumat.

Di tengah-tengah adanya sebagian umat beragama yang mereproduksi ajaran agama untuk mengampenyekan kekerasan, gerakan solidaritas antariman itu menunjukkan masih adanya harapan di Sri Lanka dan karena itu sudah semestinya kita dukung.

___________________

Penulis, Suhadi Cholil, adalah dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Kredit gambar header: Roar LK

Tags: pengeboman gereja sri lanka Suhadi Cholil

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju