• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Gereja dan Perdamaian Lintas Agama di Yogyakarta

Gereja dan Perdamaian Lintas Agama di Yogyakarta

  • Berita, Headline, News
  • 29 May 2017, 11.53
  • Oleh:
  • 0

Meta Ginting | CRCS | Liputan

Gambar sekadar ilustrasi. Diambil dari jogjasiana.net.

“Gereja-gereja memahami perdamaian secara sempit, sekadar sebagai negative peace. Perdamaian dianggap tercapai apabila tidak ada konflik.” Itulah salah satu poin yang disampaikan Paulus Sugeng Widjaja, Ph.D dalam Seminar Teologi dan Isu-isu Aktual (SETIA) dengan topik “Upaya Gereja-gereja di Kotamadya Yogykarta dalam Pembangunan Perdamaian Lintas Agama: Tantangan dan Harapan” di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta pada 22 Mei 2017.
Melalui lima gereja yang ditelitinya, Widjaja ingin menunjukan kesiapan gereja dalam memulai usaha pembangunan perdamaian lintas agama di Yogyakarta. Ia mengukur kesiapan itu dengan membagi ranah penelitiannya ke dalam tiga kategori: (1) HAM dan demokrasi; (2) prakarsa mandiri; (3) dan jejaring akar rumput.
Dalam ranah HAM dan Demokrasi, Widjaja menjelaskan bahwa secara umum gereja-gereja sudah memahami dan menghargai praktik demokrasi dan HAM, namun memiliki kesulitan ketika harus memberi afirmasi positif terhadap tiga hal. Pertama, saling menghargai atau mutual respect. Gereja sulit memberi penghargaan kepada komunitas yang berbeda di sekitarnya. Begitu pula sebaliknya, hampir semua gereja merasa bahwa masyarakat tidak selalu bersifat postif dalam menerima gereja.
Kedua, dalam hubungan internal gereja, relasi jemaat yang berbeda suku pun merupakan tantangan tersendiri. Untuk memikirkan membangun hubungan ke luar gereja merupakan pekerjaan rumit sebab warga gereja sendiri merasa belum sejahtera dalam gereja. Yang ketiga, memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Gereja kurang menyampaikan tema mengenai perdamaian dan keadilan dalam khotbah maupun programnya.
Dalam bagian ini, Widjaja juga menambahkan penemuan yang menarik. Ia menjelaskan bahwa gereja-gereja berlatar Tionghoa mengalami masalah terkait penegakan keadilan dan perdamaian. Menurut Widjaja, tidak seperti gereja indigenous, gereja berlatar belakang Tionghoa memiliki dua penghalang untuk ‘loncat’ ke masyarakat. Selain agama, mereka merasa memiliki permasalahan kesukuan untuk bisa menjumpai masyarakat di luar kelompok mereka. Sedangkan gereja berlatar belakang Pentakosta lebih menekankan kepada kesalehan pribadi, kedamaian batin dan rohani daripada hubungan antar kelompok, bahkan hubungan antar jemaatnya.
Dalam aspek prakarsa mandiri, secara umum gereja dianggap mampu dan bersedia mengambil inisiatif dan tidak pasif menunggu terutama jika hal tersebut berkaitan dengan berbagi sembako, tanggap bencana atau dana kemanusiaan. Tetapi, hal ini berbeda ketika gereja diajak untuk menjumpai kelompok di luar mereka dalam dimensi yang lain.
Di sinilah paham negative peace terasa sangat kuat: gereja takut untuk memulai sebuah hubungan dengan kelompok di luar gereja karena potensi gesekan yang dapat ditimbulkan dari hubungan tersebut. Ketika gereja tidak mengalami konflik, maka gereja tidak merasa perlu untuk menjalin relasi yang intim kepada masyarakat selayaknya yang terjadi dalam positive peace.
Bila dalam konsep atau pemahaman atas HAM dan demokrasi dan prakarsa mandiri gereja-gereja di Yogya terlihat siap, gereja-gereja itu tampak buruk performanya dalam aksi konkret berjejaring lintas agama. Widjaja menegaskan bahwa sikap gereja jelas mendukung minoritas akar rumput lintas agama, tetapi tidak mau menjadi salah satunya. Sebagai contoh, gereja mungkin memiliki komisi yang mengurus hubungan lintas agama, tetapi gereja kemudian lepas tangan dan memberi tanggung jawab seutuhnya hanya pada komisi tersebut.
Maka dari itu Widjaja menegaskan bahwa gereja-gereja terlalu banyak menghabiskan energinya untuk menyempurnakan program-program ke dalam dan memperhatikan kebutuhan jemaat dalam pemenuhan teologi dan kesejahteraan rohaninya.
Salah satu tantangan bagi gereja untuk memberlakukan positive peace ada pada lokus komunitas gereja. Gereja kesulitan untuk bergerak sebagai sebuah komunitas. Gereja seringkali kehilangan kesempatan untuk menjalin relasi yang intim dengan masyarakat di sekitarnya, karena warga gereja tidak berdomisili di sekitar gereja.
Widjaja lebih jauh menjelaskan bahwa konflik sosial senantiasa berakar pada struktur kognitif yang dihidupi oleh suatu kelompok masyarakat. Menurutnya, usaha untuk menyemai nilai-nilai perdamaian harus dibangun melalui narasi keseharian dalam kehidupan bergereja, dalam khotbah Minggu, dalam perbincangan tetangga, dan lain-lain, dan bukan dengan program insidentil.
Widjaja menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa gereja perlu memikirkan ulang konsep misi yang mereka hidupi. Misi ini tentu bukan usaha Kristenisasi, melainkan rekonsiliasi antarumat manusia.

Tags: gereja lintas agama paulus widjaja Yogyakarta

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju