
Sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) selalu terhubung dengan hak-hak yang lain. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap KBB seringkali berdampak pada pelanggaran hak-hak yang lain.
Salah satu kasus yang sering terjadi ialah ketika seorang penghayat atau penganut agama leluhur kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena negara tidak mengakui kepercayaan yang ia anut. Ketiadaan KTP tersebut membuatnya tidak dapat mengurus Kartu Keluarga (KK) dan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ketiadaan KK juga membuat pernikahannya tidak dapat diakui oleh negara. Nantinya, anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak dapat mendaftar sekolah karena tidak memiliki dokumen-dokumen pendukung seperti KK dan akta lahir. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak kesehatan, pendidikan, dan hak-hak sipil lainnya.
Pelanggaran hak kewargaan ini dapat kita lihat dengan kacamata interseksionalitas. Istilah “interseksionalitas” merujuk pada fakta dan cara pandang dalam melihat persilangan ragam bentuk diskriminasi atau pelanggaran hak atas nama ragam bentuk identitas. Paradigma interseksionalitas lahir dan berkembang dari gerakan feminisme perempuan kulit hitam di Amerika Serikat yang beranggapan bahwa teori-teori feminis sebelumnya sangat berorientasi pada perempuan kulit putih (Cossins, 2003: 144-156; Ritzer dan Goodman, 2005: 443-448; dan Tong, 1998: 315- 330).
Melalui artikelnya yang terbit pada 1989, Kimberlé Crenshaw pertama kali mengemukakan konsep interseksionalitas ini ke publik luas. Ia mengangkat tiga kasus hukum yang berurusan dengan diskriminasi ras dan gender sekaligus, yaitu DeGraffenreid melawan General Motors; Moore melawan Hughes Helicopter, Inc.; dan Payne melawan Travenol. Menurutnya, dengan memperlakukan seorang perempuan kulit hitam sebagai murni perempuan atau seorang kulit hitam justru mengabaikan tantangan spesifik yang dihadapi oleh perempuan kulit hitam di komunitasnya. Diskriminasi gender yang dialami perempuan kulit putih dan perempuan kulit hitam sangat berbeda. Kegagalan melihat kondisi ini membuat hukum akan selalu diselimuti bias dan gagal mencapai keadilan. Konsep interseksionalitas ini kemudian berkembang di luar gerakan feminisme dan menjadi salah satu paradigma untuk memahami ragam relasi identitas dan diskriminasi.
Interseksionalitas dan KBB
Paradigma Interseksionalitas telah mengubah cara pandang tentang HAM. Pendekatan ini menawarkan pendekatan yang kompleks, komprehensif, dan lebih memberikan manfaat bagi para korban pelanggaran HAM. Pendekatan ini memungkinkan para korban untuk mengartikulasikan berbagai bentuk subordinasi yang berkelindan dan berdampak negatif pada kehidupan mereka. Interseksionalitas menolak pendekatan yang terisolasi terhadap hak asasi manusia yang kerap gagap, bahkan gagal, untuk merespons pelanggaran yang kompleks.
Dalam konteks KBB, paradigma interseksionalitas setidaknya membantu kita untuk memahami pengaruh ragam aspek identitas terhadap pemenuhan atau pelanggaran hak warga negara, bentuk diskriminasi yang terjadi, serta cara kerja sistem kuasa mereproduksi pelanggaran tersebut. Dengan demikian, advokasi KBB berbasis interseksionalitas mensyaratkan literasi lintas isu—dan sebagaimana yang terjadi di lapangan, kasus KBB memang seringkali bertaut dengan hak-hak lain.
Beberapa potensi kasus terkait KBB dalam KUHP 2023 penting untuk dipahami dalam paradigma interseksionalitas, salah satunya terkait terkait hak perempuan dan anak. Pasal 302 KUHP 2023, misalnya, mengatur pemaksaan terhadap seseorang untuk menganut agama atau kepercayaan tertentu. Lantas, bagaimana dengan orang tua yang melarang anak untuk beribadah karena tidak sesuai dengan agama atau keyaikan orang tuanya? Bagaimana kita melihat kebebasan beragama atau berkeyakinan anak dalam konteks ini?
Contoh kasus lain ialah terkait pasal “santet” dalam KUHP 2023. Pasal 252 mengatur bahwa:
(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
Kendati tidak berada dalam delik terkait keagamaan atau kepercayaan, pasal ini berkelindan dengan praktik keagamaan atau kepercayaan. Unsur “setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib …” kerap merujuk pada profesi dukun dan/atau pemuka agama tertentu. Penekanan pidana pada pasal ini bukan pada berhasil atau tidaknya perbuatan melukai orang lain, melainkan pada pernyataan diri. Dengan kata lain, pasal ini ialah delik formil yang menitikberatkan pada pemenuhan perbuatan (yaitu mengakui), alih-alih akibat dari perbuatan tersebut.
Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, dukun atau pemuka agama yang dianggap tidak selaras dengan keyakinan mayoritas masyarakat sering dilabeli sesat dan menjadi sasaran stigma. Sekitar tiga dekade belakangan, sejarah Indonesia juga pernah mencatat aksi kekerasan terhadap orang-orang yang secara sepihak dianggap sebagai dukun santet. Berkaca dari situasi politik agama di Indonesia, kelompok minoritas keagamaan dan masyarakat adat rentan terkena pasal “santet” ini. Oleh karena itu, pemahaman interseksionalitas dalam KUHP 2023 ini mutlak dilakukan agar diskriminasi yang terjadi di ranah sosial tidak berulang dan berlipat di ranah legal.
Di sisi lain, pendekatan interseksionalitas ini juga punya tantangan. Pertama, diskriminasi dan pelanggaran hak yang berlapis ini juga rentan melemahkan isu KBB sendiri. Salah satu contohnya ialah kasus-kasus KBB yang berkelindan dengan kasus ekonomi. Ketika hak ekonomi terpenuhi, sangat mungkin korban memilih untuk mengalah dengan tidak lagi menuntut hak KBB-nya sebagai negosiasi. Tantangan selanjutnya ialah adanya egosektoral dalam penyelesaian suatu kasus. Kasus-kasus terkait KBB kerap diisolasi sebagai isu tunggal, pun sebaliknya kasus yang lain. Meskipun hak-hak dalam HAM setara, tidak menutup kemungkinan manifestasi hak-hak tersebut bertentangan antara satu jenis hak dan jenis hak yang lain. Jika ini yang terjadi, tentu saja jalan yang bisa ditempuh ialah mengembalikan pertentangan itu pada prinsip HAM sebagai penghormatan terhadap martabat manusia tanpa diskriminasi.
______________________
m rizal abdi adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2015. Baca tulisan abdi lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.