• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Interseksionalitas KBB dalam KUHP 2023

Interseksionalitas KBB dalam KUHP 2023

  • Perspective
  • 20 March 2025, 14.13
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) selalu terhubung dengan hak-hak yang lain. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap KBB seringkali berdampak pada pelanggaran hak-hak yang lain.

Salah satu kasus yang sering terjadi ialah ketika seorang penghayat atau penganut agama leluhur kesulitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena negara tidak mengakui kepercayaan yang ia anut. Ketiadaan KTP tersebut membuatnya tidak dapat mengurus Kartu Keluarga (KK) dan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ketiadaan KK juga membuat pernikahannya tidak dapat diakui oleh negara. Nantinya, anak yang lahir dari pernikahan tersebut tidak dapat mendaftar sekolah karena tidak memiliki dokumen-dokumen pendukung seperti KK dan akta lahir. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak kesehatan, pendidikan, dan hak-hak sipil lainnya.

Pelanggaran hak kewargaan ini dapat kita lihat dengan kacamata interseksionalitas. Istilah “interseksionalitas” merujuk pada fakta dan cara pandang dalam melihat persilangan ragam bentuk diskriminasi atau pelanggaran hak atas nama ragam bentuk identitas. Paradigma interseksionalitas lahir dan berkembang dari gerakan feminisme perempuan kulit hitam di Amerika Serikat yang beranggapan bahwa teori-teori feminis sebelumnya sangat berorientasi pada perempuan kulit putih (Cossins, 2003: 144-156; Ritzer dan Goodman, 2005: 443-448; dan Tong, 1998: 315- 330).

Melalui artikelnya yang terbit pada 1989, Kimberlé Crenshaw pertama kali mengemukakan konsep interseksionalitas ini ke publik luas. Ia mengangkat tiga kasus hukum yang berurusan dengan diskriminasi ras dan gender sekaligus, yaitu DeGraffenreid melawan General Motors; Moore melawan Hughes Helicopter, Inc.; dan Payne melawan Travenol. Menurutnya, dengan memperlakukan seorang perempuan kulit hitam sebagai murni perempuan atau seorang kulit hitam justru mengabaikan tantangan spesifik yang dihadapi oleh perempuan kulit hitam di komunitasnya. Diskriminasi gender yang dialami perempuan kulit putih dan perempuan kulit hitam sangat berbeda. Kegagalan melihat kondisi ini membuat hukum akan selalu diselimuti bias dan gagal mencapai keadilan. Konsep interseksionalitas ini kemudian berkembang di luar gerakan feminisme dan menjadi salah satu paradigma untuk memahami ragam relasi identitas dan diskriminasi.

Interseksionalitas dan KBB

Paradigma Interseksionalitas telah mengubah cara pandang tentang HAM. Pendekatan ini menawarkan pendekatan yang kompleks, komprehensif, dan lebih memberikan manfaat bagi para korban pelanggaran HAM. Pendekatan ini memungkinkan para korban untuk mengartikulasikan berbagai bentuk subordinasi yang berkelindan dan berdampak negatif pada kehidupan mereka. Interseksionalitas menolak pendekatan yang terisolasi terhadap hak asasi manusia yang kerap gagap, bahkan gagal, untuk merespons pelanggaran yang kompleks.

Dalam konteks KBB, paradigma interseksionalitas setidaknya membantu kita untuk memahami pengaruh ragam aspek identitas terhadap pemenuhan atau pelanggaran hak warga negara, bentuk diskriminasi yang terjadi, serta cara kerja sistem kuasa mereproduksi pelanggaran tersebut. Dengan demikian, advokasi KBB berbasis interseksionalitas mensyaratkan literasi lintas isu—dan sebagaimana yang terjadi di lapangan, kasus KBB memang seringkali bertaut dengan hak-hak lain.

Beberapa potensi kasus terkait KBB dalam KUHP 2023 penting untuk dipahami dalam paradigma interseksionalitas, salah satunya terkait terkait hak perempuan dan anak. Pasal 302 KUHP 2023, misalnya, mengatur pemaksaan terhadap seseorang untuk menganut agama atau kepercayaan tertentu. Lantas, bagaimana dengan orang tua yang melarang anak untuk beribadah karena tidak sesuai dengan agama atau keyaikan orang tuanya? Bagaimana kita melihat kebebasan beragama atau berkeyakinan anak dalam konteks ini?

Contoh kasus lain ialah terkait pasal “santet” dalam KUHP 2023. Pasal 252 mengatur bahwa:

(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Kendati tidak berada dalam delik terkait keagamaan atau kepercayaan, pasal ini berkelindan dengan praktik keagamaan atau kepercayaan. Unsur “setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib …” kerap merujuk pada profesi dukun dan/atau pemuka agama tertentu. Penekanan pidana pada pasal ini bukan pada berhasil atau tidaknya perbuatan melukai orang lain, melainkan pada pernyataan diri. Dengan kata lain, pasal ini ialah delik formil yang menitikberatkan pada pemenuhan perbuatan (yaitu mengakui), alih-alih akibat dari perbuatan tersebut.

Dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini, dukun atau pemuka agama yang dianggap tidak selaras dengan keyakinan mayoritas masyarakat sering dilabeli sesat dan menjadi sasaran stigma. Sekitar tiga dekade belakangan, sejarah Indonesia juga pernah mencatat aksi kekerasan terhadap orang-orang yang secara sepihak dianggap sebagai dukun santet. Berkaca dari situasi politik agama di Indonesia, kelompok minoritas keagamaan dan masyarakat adat rentan terkena pasal “santet” ini. Oleh karena itu, pemahaman interseksionalitas dalam KUHP 2023 ini mutlak dilakukan agar diskriminasi yang terjadi di ranah sosial tidak berulang dan berlipat di ranah legal.

Di sisi lain, pendekatan interseksionalitas ini juga punya tantangan. Pertama, diskriminasi dan pelanggaran hak yang berlapis ini juga rentan melemahkan isu KBB sendiri. Salah satu contohnya ialah kasus-kasus KBB yang berkelindan dengan kasus ekonomi. Ketika hak ekonomi terpenuhi, sangat mungkin korban memilih untuk mengalah dengan tidak lagi menuntut hak KBB-nya sebagai negosiasi. Tantangan selanjutnya ialah adanya egosektoral dalam penyelesaian suatu kasus. Kasus-kasus terkait KBB kerap diisolasi sebagai isu tunggal, pun sebaliknya kasus yang lain. Meskipun hak-hak dalam HAM setara,  tidak menutup kemungkinan manifestasi hak-hak tersebut bertentangan antara satu jenis hak dan jenis hak yang lain. Jika ini yang terjadi, tentu saja jalan yang bisa ditempuh ialah mengembalikan pertentangan itu pada prinsip HAM sebagai penghormatan terhadap martabat manusia tanpa diskriminasi.

______________________

m rizal abdi adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2015. Baca tulisan abdi lainnya di sini.

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor  4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.

Tags: Interseksionalitas KBB KUHP 2023 m rizal abdi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju