Islamisasi Demokrasi ala Madura
Rozi Ahdar – 28 November 2021
Hubungan antara negara, Islam, dan politik memiliki corak yang sangat variatif di Indonesia, tidak terkecuali Madura. Dalam presentasinya pada Wednesday Forum 6 Oktober 2021 lalu yang bertajuk “Islam and Local Politics in Madura”, Yanwar Pribadi mengelaborasi dinamika Islam dan politik lokal di Madura era Orde Baru (1990-1998) dan pasca-Orde Baru (1998-2010). Beberapa penulis memandang bahwa wajah Islam di Madura itu homogen (Koentjaningrat, 1972; Mansurnoor, 1990; Moesa; 1999). Namun, hasil temuan Yanwar menunjukkan sebaliknya. Menurut Yanwar, ada tiga fondasi utama Islam Madura yaitu, kiai, pesantren, dan Nahdlatul Ulama (NU). Relasi ketiganya sangat dipengaruhi oleh kehadiran negara dan politik lokal yang terus berkembang dan turut membentuk wajah Islam yang heterogen di Madura. Di luar ketiga aktor tersebut, Yanwar juga menyoroti peran sentral Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) dalam konstelasi isu maupun pergerakan Islam dan politik di Madura. Setidaknya ada dua fasad yang bisa dipakai untuk melihat heterogenitas ini: politik praktis dan industrialisasi.
Islam dan Politik Praktis
Islam dan politik praktis di Madura menemukan gejolaknya pada tahun-tahun akhir Orde Baru. Pada pemilu 1997, Golkar secara mengejutkan keluar sebagai pemenang di Sampang, Madura. Sontak saja Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki basis kuat di Madura menolak hasil tersebut dan berujung pada kerusuhan. Pasalnya, PPP selalu menang di Sampang pada tiga pemilu sebelumnya. PPP menuduh Golkar melakukan kecurangan dan meminta pemilu ulang. Akhirnya, pemilu ulang dilakukan di beberapa area dan hasilnya sama, PPP tetap kalah. Hasil tersebut membuat kiai lokal yang terafiliasi dengan PPP kebingungan. Mereka takut jamaah terpecah dan mengikuti partai sekuler.
Setahun kemudian, pendulum politik berubah seiring kejatuhan Orde Baru. Para ulama di Madura kembali menggalang kekuatan melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir di era Reformasi dari rahim NU. Hal tersebut menyebabkan migrasi besar-besaran kader PPP ke PKB. Bahkan, Kiai Fuad Amin Imron yang juga Bupati Bangkalan periode 2003-2013 meminta para fungsionaris PPP untuk pindah ke PKB. Sejak itulah PKB mendominasi tidak hanya di Bangkalan tapi juga seantero Madura.
Pasca-Orde Baru, relasi Islam dan politik di Madura tampil dengan wajah sedikit berbeda. Otonomi daerah memberikan ruang yang lebih luas bagi kiai untuk berkiprah di politik praktis. Beberapa tokoh agama tampil menjadi anggota dewan maupun kepala daerah. Salah satu yang menonjol adalah K.H. Nuruddin Rahman, juru bicara Bassra, yang mulanya enggan terjun ke dunia politik, tetapi kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2004-2009 mewakili Jawa Timur. Sebagian besar kiai tidak turun langsung sebagai kontestan, tetapi menjadi simpatisan atau menunjukkan dukungan kepada salah satu calon.
Preferensi kiai dalam ajang pemilihan kepala daerah memang sangat menentukan pilihan masyarakat sekitarnya. Akan tetapi, menurut Yanwar, ini bukan berarti orang Madura akan menurut apa pun yang dipilih oleh kiai saat pemilihan umum. Pemilihan di Madura—baik itu pilkada maupun pemilu—merupakan arena kontestasi antara kekuatan kelompok agama dan budaya. Masing-masing pihak yang berkompetisi memainkan secara ekstensif simbol-simbol Islam maupun kultural untuk meraih suara. Dengan demikian, kiai bukanlah satu-satunya agen penarik massa. Jika di suatu daerah peran kiai tidak begitu kuat, posisi ini diambil alih oleh blater (jagoan lokal) dan klebun (kepala desa) yang juga memiliki pengaruh kuat dalam karakterisasi Islam dan politik lokal. Dalam beberapa kasus, Yanwar menunjukkan seorang calon kepala desa yang didukung oleh blater bisa memenangkan pemilihan walaupun lawannya adalah pegawai pemerintah tingkat lokal yang didukung oleh pusat.
Tantangan Industrialisasi
Signifikansi para pemuka agama di Madura juga terlihat pada gejolak industrialisasi di Madura yang terjadi di akhir era Orde baru dan tahun-tahun awal Reformasi. Sebagai organisasi para kiai pesantren, Bassra memainkan peran penting dalam dinamika tersebut. Pada tahun 90-an, B.J. Habibie—yang saat itu menjadi Menteri Riset dan Teknologi—berencana membangun jembatan penghubung antara Madura dan Jawa Timur dengan syarat Bangkalan akan dijadikan kawasan industri. Rencana ini ditolak mentah-mentah oleh para kiai di Bassra. Sebenarnya, para kiai menyetujui pembangunan jembatan tersebut tetapi menolak industrialisasi. Mereka khawatir industrialisasi tersebut akan mendorong pertumbuhan dunia hiburan dan prostitusi di Madura.
Pada masa-masa inilah muncul sebutan Madura sebagai Serambi Madinah untuk menegaskan identitas keislaman masyarakat Madura. Para kiai di Bassra melihat kemiripan antara Madura dan Aceh—yang lebih dulu terkenal sebagai Serambi Mekkah—dalam hal identitas keislaman yang kuat. Di Aceh dan Madura, Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga cara hidup yang mewarnai budaya dan aktivitas sehari-hari. Gagasan ini dipopulerkan oleh para kiai di Bassra setelah mereka kembali dari kunjungan ke Aceh dan Batam.
Menariknya, kunjungan studi banding para kiai tersebut disponsori oleh pemerintah pusat sebagai upaya sosialisasi agenda industrialisasi di Madura. Aceh dipilih sebagai obyek percontohan bagaimana Islam diimplementasikan secara politik dan kehidupan sehari-hari, sementara Batam menjadi studi percontohan bagaimana kemajuan kawasan industri. Ketika di Batam, para kiai tersebut justru menemui berbagai efek negatif dari industrialisasi. Di antaranya, banyak orang lokal yang tersingkir dan tidak mendapatkan tempat di berbagai perusahaan. Sebagian besar yang bekerja di Batam adalah orang asing dan orang Jawa. Di sisi lain, banyak area prostitusi ilegal yang tumbuh di kawasan industri Batam. Akhirnya, kunjungan tersebut semakin mengukuhkan penolakan industrialisasi di Madura. Pencanangan Madura sebagai Serambi Madinah menjadi simbol penolakan tersebut. Akan tetapi, gaungnya perlahan menghilang seiring surutnya rencana industrialisasi Madura. Bahkan, selepas Jembatan Suramadu diresmikan pada 2009, julukan Serambi Madinah ini sudah tak lagi terdengar.
Berbagai temuan Yanwar tersebut menunjukkan bagaimana relasi Islam dan politik di Madura bertransformasi dalam kurun dua dekade peralihan tersebut. Dinamika di Madura sekaligus menghadirkan salah satu corak lain dalam demokrasi di Indonesia yaitu demokrasi yang diislamisasi. Akan tetapi, islamisasi demokrasi di Madura berbeda dengan daerah lain di Indonesia yang juga kental dengan tradisi Islam, seperti Aceh, Minang, Banten, dan Sulawesi Selatan. Islamisasi demokrasi di Madura tidak hadir secara langsung dalam bentuk hukum syariah, tetapi memengaruhi secara signifikan relasi masyarakat dan kehidupan politiknya.
Bagi Yanwar, hal lain yang membuat corak keislaman Madura berbeda dengan daerah lainnya adalah eksistensi jagoan lokal sebagai kekuatan penyeimbang. Dalam hal ini, Banten memiliki tradisi yang tak jauh beda dengan Madura. Banten memiliki kiai, jawara, dan jaro yang dapat disejajarkan dengan relasi kiai, blater, dan klebun di Madura. Akan tetapi, saat ini pengaruh jaro sebagai kepala desa dalam dinamika keislaman dan perpolitikan di Banten tidak sekuat posisi klebun di Madura.
Sebagai penutup diskusi, Yanwar menggarisbawahi bahwa Madura tidak hanya tentang Islam, tetapi juga tentang kesalehan, tradisi, dan kekerasan. Tradisi kekerasan ini juga mengejawantah dalam praktik budaya, seperti sabung ayam, karapan sapi, dan carok. Orang Madura sangat memegang prinsip atembang pote’ mata, ango’an pote tolang ‘daripada kehilangan harga diri, lebih baik kehilangan nyawa’. Relasi keislaman dan karakter lokal ini pada akhirnya membentuk wajah Islam dan politik di suatu daerah. Dalam konteks ini, Yanwar menyimpulkan bahwa Madura merupakan mikrokosmos bagaimana Islam dan politik berbaur, berbentur, sekaligus berusaha membentuk hubungan yang saling menguntungkan. Madura bisa menjadi contoh kecil tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga banyak negara berkembang yang menuju proses demokratisasi.
_______________________
Rozi Ahdar adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Rozi lainnya di sini.
Rekaman Wednesday Forum “Islam and Politics in Madura” oleh Yanwar Pribadi