• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Jejaring Spiritualitas dan Gelembung Agama

Jejaring Spiritualitas dan Gelembung Agama

  • Event report, News, Wednesday Forum Report
  • 18 March 2024, 12.02
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Jejaring Spiritualitas dan Gelembung Agama

Rezza Prasetyo Setiawan – 17 Maret 2024

Agama dan spiritualitas seolah menjadi dua entitas yang berbeda. Di tengah zaman yang kian berpacu dan berkelindan, dinamika interaksi keduanya menjadi kunci untuk memahami hubungan antaragama di masa depan.

Agama senantiasa berperan ganda. Sebagai realitas individu, ia menjadi pedoman hidup. Di sisi lain, sebagai realitas sosial, ia menjadi jalinan yang menghubungkan pengalaman-pengalaman individu dalam bentuk pengalaman kolektif yang baru. Dengan kesadaran ini, tersirat tantangan dalam memahami hubungan antaragama.

Demikian penelusuran Prof. Martin Rötting, kepala program studi agama-agama di Centre for Intercultural Theology and Study of Religions, Paris-Lodron University of Salzburg. Penelitiannya itu disampaikan dalam diskusi Wednesday Forum 21 Februari 2024 bertajuk “Spirituality in Plural Societies”. 

Agama dan Spiritualitas

Rötting melakukan observasi dan mewawancarai 25 orang yang tinggal di Munich, Vilnius, Seoul, dan New York. Keempat kota itu dipilih untuk menyoroti perkembangan spiritualitas dan keagamaan dalam dunia yang semakin terhubung oleh globalisasi. Berdasarkan observasinya, masing-masing kota memiliki karakter pluralitas yang beragam. Keragaman Munich kiwari dibentuk oleh kekristenan, buddhisme, dan yoga sementara ateisme dan kekatolikan menjadi corak yang dominan di Vilnius. Sementara itu, menurut Rötting, karakter Seoul berakar dari konfusianisme dan buddhisme yang berpapasan dengan kekristenan. Sedikit berbeda, wajah New York merupakan kelindan antara politik Trump dan ekspresi keagamaan warganya. 

Sebelum mengelaborasi temuan di empat kota besar tersebut, Rötting menunjukkan berbagai anomali yang ia saksikan sebagai kontradiksi antara tuntutan moral-normatif dalam ruang keagamaan dan kenyataan penyalahgunaan kuasa otoritas keagamaan—di antaranya kasus pelecehan seksual anak di bawah umur oleh pemuka agama. Para responden Rötting pun mengalami situasi yang tak jauh berbeda terkait tuntutan bagi jemaat untuk berbuat baik dan kenyataan pemimpin agama yang bejat. Wajah institusi agama menjadi berkebalikan dengan pengalaman spiritual mereka yang serba baik dan adiluhung. Dari fenomena tersebut, Rötting menarik garis pembeda antara agama dengan spiritualitas. Di sini, ia merujuk pada The Spiritual Revolution: Why Religion is Giving Way to Spirituality (2005) karya Heelas, Woodhead, dan rekan-rekan yang memperlihatkan munculnya bentuk-bentuk spiritualitas baru sebagai respons terhadap tradisi keagamaan yang lebih mapan. Dalam nuansa pembedaan ini, Rötting berupaya menelisik lebih dalam pemahaman tentang spiritualitas. 

Spiritualitas sebagai Alat Navigasi

Rötting mengibaratkan spiritualitas laiknya peta yang menjadi alat manusia untuk menavigasi kehidupan. Seperti peta, spiritualitas juga dapat berubah dan diperbarui. Setiap kali seseorang berjumpa dengan pengalaman yang mengubah pandangan dan pedomannya tentang cara menavigasi kehidupan, di titik itu pula spiritualitas berubah dan diperbarui.

Oleh karena itu, spiritualitas merupakan pengalaman individu yang saling bertemu satu sama lain. Spiritualitas seseorang dapat bertemu dengan spiritualitas orang lain dan saling memperbarui dalam interaksi yang terus-menerus. Dengan begitu, keagamaan dapat dilihat seperti jalinan antara berbagai bentuk spiritualitas. 

Di sisi lain, sebagai alat navigasi, spiritualitas juga menjadi perangkat untuk memahami dunia. Rötting menggunakan istilah spiritual anamorphosis untuk menunjukkan bahwa pengalaman tertentu hanya dapat dipahami melalui sudut pandang tertentu. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa orang baik mati lebih cepat?”, “mengapa ada orang yang rela mengorbankan diri bagi kepentingan orang lain?”, kadangkala hanya dapat dipahami melalui sudut pandang spiritualitas. Di sini spiritualitas memberi jalan bagi anamorfosis: sebuah situasi ketika bentuk yang tidak dapat terkenali dapat dipahami kembali dengan mengambil sebuah sudut pandang tertentu.

Jaring-Jaring Spiritualitas dan Gelembung Ortodoksi Baru

Berpijak dari pemahamannya tersebut, Rötting melihat ada empat macam hubungan yang dapat muncul antara spiritualitas dan keagamaan. Pertama, tipe bastion yang menganggap agama satu-satunya jalan untuk meraih spiritualitas. Sebaliknya, tipe SBNR (spiritual but not religious) justru memandang agama sebagai penghambat dalam mencapai spiritualitas. Di antara tegangan tipe unison dan SNBR ini terdapat tipe freestyle—yang menganggap spiritualitas terlepas dari praktik agama seseorang—dan tipe unison—yang melihat bahwa praktik keagamaan dapat menolong seseorang untuk mencapai spiritualitas. Tipe unison dan freestyle menjadi karakter dominan di antara responden di empat kota. Sementara tipe SBNR dan bastion, secara berurutan, adalah yang paling sedikit. 

Tipe bastion mendapatkan perhatian khusus dari Rötting. Spiritualitas bertipe bastion melihat spiritualitas hanya dapat dicapai melalui praktik agama yang tetap dan kaku. Karakter spiritualitas ini akan membentuk keagamaan dengan pola gelembung yang saling mengisolasi. Ia memisahkan satu komunitas dengan komunitas lainnya karena ikatan yang terbentuk di dalam kelompok memberikan jaminan dan kenyamanan secara psikologis bagi para penganutnya. Keterbukaan terhadap bentuk spiritualitas yang lain tidak dipandang sebagai kesempatan untuk memperbarui alat navigasi spiritualitasnya menjadi lebih baik, tetapi justru sebagai ancaman yang dapat merusak alat navigasi spiritualnya. Prof. Rötting menyebutnya ortodoksi baru (neo-orthodoxy).

Sementara itu, hubungan antaragama yang saling mendukung dan terbuka akan membuat pola keagamaan yang berbentuk jejaring. Hal ini dimungkinkan melalui pemisahan antara spiritualitas dan agama yang tecermin secara halus dalam tipe freestyle dan unison, maupun yang mutlak pada tipe SBNR. Tipe jejaring ini memudahkan transfer berbagai bentuk pesan spiritualitas di antara kelompok antaragama karena masing-masing akan saling memperbarui alat navigasi mereka. Contohnya, dalam ungkapan “semua agama mengajarkan kedamaian”, kedamaian menjadi sebuah titik navigasi yang dibagi bersama dan dapat diterapkan dalam berbagai pedoman navigasi spiritualitas. Kasih, pengorbanan, kesabaran, dan nilai-nilai luhur lainnya dapat juga menjadi titik-titik navigasi yang dimiliki bersama. Dengan kata lain, dalam jejaring ini, tiap kelompok akan memiliki pedoman navigasi yang saling beririsan. 

Dua pola ini—jejaring dan gelembung—dapat muncul dalam berbagai tingkatan. Rötting menengarai setidaknya ada tiga tingkatan yaitu mikro/personal, meso/keluarga, dan tingkat universal/masyarakat. Pola jejaring akan lebih mudah terbentuk dalam tingkat masyarakat yang lebih luas, sedangkan pola gelembung akan dominan terbentuk dalam tingkatan personal. Dalam tingkat menengah, pola-pola jejaring maupun gelembung dapat terbentuk sesuai dengan narasi-narasi yang memengaruhi pembentukannya.

Pola Keagamaan di Masa Depan: Jejaring atau Gelembung?

Di penghujung paparan, Rötting menggarisbawahi bahwa keberagamaan yang “menggelembung” perlu dicegah melalui promosi praktik keberagamaan yang “berjejaring”. Oleh karena itu, tambahnya, setiap perjumpaan dan pengalaman keberagamaan yang hadir dalam konteks keberagaman perlu mendorong hadirnya keterbukaan agar tidak terjebak pada gelembung-gelembung yang saling mengisolasi.

Dalam sesi diskusi, muncul pertanyaan, “Apakah pola gelembung itu mengakibatkan demonisasi, pelabelan negatif terhadap kelompok-kelompok di luar ‘gelembungnya’?” Pertanyaan ini berangkat dari pengalaman keagamaan di Indonesia yang terpolarisasi dan rentan konflik. Rötting kembali menekankan bahwa sebagai alat navigasi, spiritualitas yang merusak hubungan-hubungan antarindividu atau kelompok tidak dapat dikatakan sebagai alat navigasi yang baik. 

Dalam bayangan Rötting, pola keagamaan masa depan merupakan jejaring yang dimulai dari individu akar rumput. Berbagai permasalahan yang dihadapi bersama seperti pemiskinan secara ekonomi, peminggiran, demonisasi sosial, dan perusakan keseimbangan alam dapat menjadi titik-titik navigasi yang menjadi pedoman bersama. Dengan pola jejaring ini, nilai-nilai moral yang diterima secara universal dapat dialihbahasakan melalui beragam narasi keagamaan, sehingga spiritualitas dapat saling terhubung dan saling memperbarui. Keterhubungan spiritualitas inilah yang dapat menjadi pedoman untuk menavigasi realitas permasalahan yang sedang dihadapi bersama. Dengan begitu, perwujudan spiritualitas dapat melampaui kepentingan individu dan keberagamaan juga dapat melampaui egoisme eksklusif kelompok.

______________________

Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.

Tags: rezza prasetyo setiawan Spiritualitas

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju