Jejaring Spiritualitas dan Gelembung Agama
Rezza Prasetyo Setiawan – 17 Maret 2024
Agama dan spiritualitas seolah menjadi dua entitas yang berbeda. Di tengah zaman yang kian berpacu dan berkelindan, dinamika interaksi keduanya menjadi kunci untuk memahami hubungan antaragama di masa depan.
Agama senantiasa berperan ganda. Sebagai realitas individu, ia menjadi pedoman hidup. Di sisi lain, sebagai realitas sosial, ia menjadi jalinan yang menghubungkan pengalaman-pengalaman individu dalam bentuk pengalaman kolektif yang baru. Dengan kesadaran ini, tersirat tantangan dalam memahami hubungan antaragama.
Demikian penelusuran Prof. Martin Rötting, kepala program studi agama-agama di Centre for Intercultural Theology and Study of Religions, Paris-Lodron University of Salzburg. Penelitiannya itu disampaikan dalam diskusi Wednesday Forum 21 Februari 2024 bertajuk “Spirituality in Plural Societies”.
Agama dan Spiritualitas
Rötting melakukan observasi dan mewawancarai 25 orang yang tinggal di Munich, Vilnius, Seoul, dan New York. Keempat kota itu dipilih untuk menyoroti perkembangan spiritualitas dan keagamaan dalam dunia yang semakin terhubung oleh globalisasi. Berdasarkan observasinya, masing-masing kota memiliki karakter pluralitas yang beragam. Keragaman Munich kiwari dibentuk oleh kekristenan, buddhisme, dan yoga sementara ateisme dan kekatolikan menjadi corak yang dominan di Vilnius. Sementara itu, menurut Rötting, karakter Seoul berakar dari konfusianisme dan buddhisme yang berpapasan dengan kekristenan. Sedikit berbeda, wajah New York merupakan kelindan antara politik Trump dan ekspresi keagamaan warganya.
Sebelum mengelaborasi temuan di empat kota besar tersebut, Rötting menunjukkan berbagai anomali yang ia saksikan sebagai kontradiksi antara tuntutan moral-normatif dalam ruang keagamaan dan kenyataan penyalahgunaan kuasa otoritas keagamaan—di antaranya kasus pelecehan seksual anak di bawah umur oleh pemuka agama. Para responden Rötting pun mengalami situasi yang tak jauh berbeda terkait tuntutan bagi jemaat untuk berbuat baik dan kenyataan pemimpin agama yang bejat. Wajah institusi agama menjadi berkebalikan dengan pengalaman spiritual mereka yang serba baik dan adiluhung. Dari fenomena tersebut, Rötting menarik garis pembeda antara agama dengan spiritualitas. Di sini, ia merujuk pada The Spiritual Revolution: Why Religion is Giving Way to Spirituality (2005) karya Heelas, Woodhead, dan rekan-rekan yang memperlihatkan munculnya bentuk-bentuk spiritualitas baru sebagai respons terhadap tradisi keagamaan yang lebih mapan. Dalam nuansa pembedaan ini, Rötting berupaya menelisik lebih dalam pemahaman tentang spiritualitas.
Spiritualitas sebagai Alat Navigasi
Rötting mengibaratkan spiritualitas laiknya peta yang menjadi alat manusia untuk menavigasi kehidupan. Seperti peta, spiritualitas juga dapat berubah dan diperbarui. Setiap kali seseorang berjumpa dengan pengalaman yang mengubah pandangan dan pedomannya tentang cara menavigasi kehidupan, di titik itu pula spiritualitas berubah dan diperbarui.
Oleh karena itu, spiritualitas merupakan pengalaman individu yang saling bertemu satu sama lain. Spiritualitas seseorang dapat bertemu dengan spiritualitas orang lain dan saling memperbarui dalam interaksi yang terus-menerus. Dengan begitu, keagamaan dapat dilihat seperti jalinan antara berbagai bentuk spiritualitas.
Di sisi lain, sebagai alat navigasi, spiritualitas juga menjadi perangkat untuk memahami dunia. Rötting menggunakan istilah spiritual anamorphosis untuk menunjukkan bahwa pengalaman tertentu hanya dapat dipahami melalui sudut pandang tertentu. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa orang baik mati lebih cepat?”, “mengapa ada orang yang rela mengorbankan diri bagi kepentingan orang lain?”, kadangkala hanya dapat dipahami melalui sudut pandang spiritualitas. Di sini spiritualitas memberi jalan bagi anamorfosis: sebuah situasi ketika bentuk yang tidak dapat terkenali dapat dipahami kembali dengan mengambil sebuah sudut pandang tertentu.
Jaring-Jaring Spiritualitas dan Gelembung Ortodoksi Baru
Berpijak dari pemahamannya tersebut, Rötting melihat ada empat macam hubungan yang dapat muncul antara spiritualitas dan keagamaan. Pertama, tipe bastion yang menganggap agama satu-satunya jalan untuk meraih spiritualitas. Sebaliknya, tipe SBNR (spiritual but not religious) justru memandang agama sebagai penghambat dalam mencapai spiritualitas. Di antara tegangan tipe unison dan SNBR ini terdapat tipe freestyle—yang menganggap spiritualitas terlepas dari praktik agama seseorang—dan tipe unison—yang melihat bahwa praktik keagamaan dapat menolong seseorang untuk mencapai spiritualitas. Tipe unison dan freestyle menjadi karakter dominan di antara responden di empat kota. Sementara tipe SBNR dan bastion, secara berurutan, adalah yang paling sedikit.
Tipe bastion mendapatkan perhatian khusus dari Rötting. Spiritualitas bertipe bastion melihat spiritualitas hanya dapat dicapai melalui praktik agama yang tetap dan kaku. Karakter spiritualitas ini akan membentuk keagamaan dengan pola gelembung yang saling mengisolasi. Ia memisahkan satu komunitas dengan komunitas lainnya karena ikatan yang terbentuk di dalam kelompok memberikan jaminan dan kenyamanan secara psikologis bagi para penganutnya. Keterbukaan terhadap bentuk spiritualitas yang lain tidak dipandang sebagai kesempatan untuk memperbarui alat navigasi spiritualitasnya menjadi lebih baik, tetapi justru sebagai ancaman yang dapat merusak alat navigasi spiritualnya. Prof. Rötting menyebutnya ortodoksi baru (neo-orthodoxy).
Sementara itu, hubungan antaragama yang saling mendukung dan terbuka akan membuat pola keagamaan yang berbentuk jejaring. Hal ini dimungkinkan melalui pemisahan antara spiritualitas dan agama yang tecermin secara halus dalam tipe freestyle dan unison, maupun yang mutlak pada tipe SBNR. Tipe jejaring ini memudahkan transfer berbagai bentuk pesan spiritualitas di antara kelompok antaragama karena masing-masing akan saling memperbarui alat navigasi mereka. Contohnya, dalam ungkapan “semua agama mengajarkan kedamaian”, kedamaian menjadi sebuah titik navigasi yang dibagi bersama dan dapat diterapkan dalam berbagai pedoman navigasi spiritualitas. Kasih, pengorbanan, kesabaran, dan nilai-nilai luhur lainnya dapat juga menjadi titik-titik navigasi yang dimiliki bersama. Dengan kata lain, dalam jejaring ini, tiap kelompok akan memiliki pedoman navigasi yang saling beririsan.
Dua pola ini—jejaring dan gelembung—dapat muncul dalam berbagai tingkatan. Rötting menengarai setidaknya ada tiga tingkatan yaitu mikro/personal, meso/keluarga, dan tingkat universal/masyarakat. Pola jejaring akan lebih mudah terbentuk dalam tingkat masyarakat yang lebih luas, sedangkan pola gelembung akan dominan terbentuk dalam tingkatan personal. Dalam tingkat menengah, pola-pola jejaring maupun gelembung dapat terbentuk sesuai dengan narasi-narasi yang memengaruhi pembentukannya.
Pola Keagamaan di Masa Depan: Jejaring atau Gelembung?
Di penghujung paparan, Rötting menggarisbawahi bahwa keberagamaan yang “menggelembung” perlu dicegah melalui promosi praktik keberagamaan yang “berjejaring”. Oleh karena itu, tambahnya, setiap perjumpaan dan pengalaman keberagamaan yang hadir dalam konteks keberagaman perlu mendorong hadirnya keterbukaan agar tidak terjebak pada gelembung-gelembung yang saling mengisolasi.
Dalam sesi diskusi, muncul pertanyaan, “Apakah pola gelembung itu mengakibatkan demonisasi, pelabelan negatif terhadap kelompok-kelompok di luar ‘gelembungnya’?” Pertanyaan ini berangkat dari pengalaman keagamaan di Indonesia yang terpolarisasi dan rentan konflik. Rötting kembali menekankan bahwa sebagai alat navigasi, spiritualitas yang merusak hubungan-hubungan antarindividu atau kelompok tidak dapat dikatakan sebagai alat navigasi yang baik.
Dalam bayangan Rötting, pola keagamaan masa depan merupakan jejaring yang dimulai dari individu akar rumput. Berbagai permasalahan yang dihadapi bersama seperti pemiskinan secara ekonomi, peminggiran, demonisasi sosial, dan perusakan keseimbangan alam dapat menjadi titik-titik navigasi yang menjadi pedoman bersama. Dengan pola jejaring ini, nilai-nilai moral yang diterima secara universal dapat dialihbahasakan melalui beragam narasi keagamaan, sehingga spiritualitas dapat saling terhubung dan saling memperbarui. Keterhubungan spiritualitas inilah yang dapat menjadi pedoman untuk menavigasi realitas permasalahan yang sedang dihadapi bersama. Dengan begitu, perwujudan spiritualitas dapat melampaui kepentingan individu dan keberagamaan juga dapat melampaui egoisme eksklusif kelompok.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.