Joged Amerta, Mantra, dan Pasar Tradisional
Rezza Prasetyo Setiawan – 21 Agustus 2023
Joged Amerta menghayati gerak yang timbul dari tubuh kita sendiri, tidak terikat pada aturan-aturan kaku gerak tari yang selama ini kita kenal.
Matahari berada di titik paling terik ketika kain-kain hitam digelar pada pelataran pintu masuk utama Pasar Gedhe, Solo. Di sekitarnya, beberapa berkas lidi diikat bersama membentuk sebuah panggung sederhana. Di tengah lalu-lalang pasar, pada Kamis Legi 7 September 2023, Srawung Rukun resmi dibuka. Seperti yang tersurat dalam tajuk acara, kolaborasi antara CRCS UGM, Centre for Research Dance Coventry University, dan beberapa komunitas di Solo ini mengusung berbagai kegiatan terkait dialog keberagaman melalui olah tubuh. Yang menjadi sumber inspirasi ialah Joged Amerta karya Suprapto Suryodarmo (1945–2019)—maestro sekaligus guru meditasi gerak di Padepokan Lemah Putih.
Joged Amerta bukanlah sebuah tari atau sekadar olah gerak, melainkan sebuah pendekatan dan penghayatan untuk mengeksplorasi diri, alam, dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, riuh rendah keramaian di pasar justru menjadi bagian penting dari penghayatan para penampil Joged Amerta yang mengawali rangkaian acara yang berlangsung hingga 10 September tersebut.
Gerak, Mantra, dan Ruang Jumpa
Pada sesi diskusi, Agus Bima Prayitna—akademisi sekaligus praktisi dari Universitas Negeri Solo yang secara khusus menekuni tentang mantra-mantra Jawa—menceritakan kenangannya yang membekas bersama Suprapto Suryodarmo, yang akrab dipanggil Pak Prapto. Ia ingat betul ketika pertama kali menyatakan ketertarikannya untuk mengikuti Joged Amerta, Pak Prapto berpesan, “Kamu harus mentransformasikan mantra itu ke dalam gerak.” Pesan Pak Prapto itu lantas membuat saya ikut berpikir, “Bagaimana mungkin mantra yang adalah kata-kata itu diubah ke dalam gerakan?”
Di titik ini, terjadi tabrakan penting antara rasionalisme Barat dan pola pikir yang dibawa dalam Joged Amerta. Kegagapan rasionalisme ala Barat ini sudah ditengarai oleh banyak akademisi. Richard King (2001) menunjukkan bagaimana orientalisme, sebagai perpanjangan dari pola pikir rasionalisme Barat, mengonstruksi agama-agama di India, salah satunya dengan memaksakan salah satu sumber keagamaan tertulis sebagai patokan untuk menilai “kehinduan” suatu agama di India. Dalam tarikan yang serupa, Talal Asad (2003) memperhatikan bagaimana keberpusatan pola pikir Barat pada rasionalitas mengabaikan pemaknaan terhadap puisi-puisi dalam Al-Qur’an yang dinilai tidak rasional. Pesan Pak Prapto untuk menerjemahkan mantra-mantra Jawa ke dalam bentuk gerak tersebut menunjukkan keluwesan yang tidak dimiliki pola pikir rasionalitas Barat. Realitas, dalam pendekatan Pak Prapto, tidak hanya terkukung oleh kata-kata, tetapi juga dapat dipahami dalam berbagai bentuk—baik dalam mantra-mantra maupun dalam gerak tubuh. Dengan paradigma semacam ini, Agus memaknai transformasi mantra ke dalam gerak itu sebagai gerakan yang membebaskan. Menurutnya, istilah amerta berarti ‘tidak mati’, “A itu tidak, merta itu mati.” Pemahaman akan realita juga bisa dicapai melalui aktivitas dan laku, tidak statis dan terpenjara dalam rasionalitas terhadap hal-hal yang tertulis. Joged Amerta menghayati gerak yang timbul dari tubuh kita sendiri, tidak terikat pada aturan-aturan kaku gerak tari yang selama ini kita kenal.
Keluwesan ini pula yang menjadi jembatan untuk diskusi di sesi berikutnya terkait latar acara pasar tradisional. Abdullah Faishol, dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, memulai sesi dengan mengutip ramalan Jayabaya, “Kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange,” yang dalam bahasa Indonesia berarti, “Sungai hilang relungnya, pasar hilang ramainya.” Melalui kutipan tersebut, ia menyoroti peran pasar sebagai penyangga sekaligus penanda kebudayaan. Berkurangnya pilihan masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional saat ini merupakan sebuah pertanda buruk bagi masyarakat.
Berbeda dengan pasar modern seperti swalayan atau mal, pasar tradisional menekankan pengalaman masyarakat yang saling berhubungan satu sama lain sebagai manusia. Hal ini mengingatkan saya pada kejadian singkat beberapa jam sebelumnya di dalam pasar. Ketika hendak membeli kopi di sebuah lapak, teman saya tidak sengaja bertemu dengan seseorang dari daerah asalnya. Mereka pun berkenalan dan mengobrol cukup akrab walau sebentar. Pengalaman ini jauh berbeda dengan situasi di swalayan retail yang pelayan kasirnya dilatih untuk mengucapkan perkataan yang sama laiknya mesin, “Selamat datang di *********, selamat berbelanja.” Walaupun diucapkan berulang dengan susunan kata yang dibuat seramah mungkin, belum tentu kita mengetahui nama penjaga kasir tersebut. Pengalaman memasuki ruang swalayan yang dingin itu jauh berbeda dengan temu hangat nama bertemu nama di pasar tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Abdullah, ruang belanja juga merupakan ruang pertemuan yang menjadi penyangga kebudayaan masyarakat.
Kontras tajam pengalaman pertemuan di dua bentuk pasar tersebut senada dengan gegar pemaknaan antara rasionalitas Barat dan Joged Amerta terhadap realitas keseharian. Dinamika pasar tradisional dengan segala keluwesannya berbeda dari pasar-pasar modern. Para penjual di pasar tradisional seringkali saling mengenal sehingga ketika salah satu penjual tidak punya barang dicari oleh calon pembeli, penjual itu dapat bertanya tentang ketersediaan barang yang dicari kepada penjual lain. Dari peristiwa sederhana yang kerap terjadi dalam keseharian itu, tercipta hubungan-hubungan baru yang tidak dimungkinkan dalam pasar modern.
Seperti itulah Joged Amerta, meleburkan diri bersama lingkungan sekitar dan mengekspresikannya melaui gerak. Ketika lantunan lagu-lagu jawa mengiringi Joged Amerta saat pembukaan Srawung Rukun, ibu-ibu penjual spontan ikut menyanyi dari lapaknya masing-masing. Tanpa diorkestrasi, Joged Amerta telah melebur dengan rutinitas hiruk-pikuk pasar. Dalam tiap lekuk geraknya, Joged Amerta menekankan kembali keragaman dan keluwesan yang ada dalam hidup bermasyarakat, menyambung kembali hubungan-hubungan yang terputus di tengah statis dan matinya hidup modern. Karenanya, tak berlebihan jika Samsul Maarif, dosen sekaligus ketua program studi CRCS UGM, dalam sambutannya menyebut kolaborasi ini sebagai sebuah prasasti sosial dari masyarakat dengan berbagai macam latar.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.