• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Joget Amerta, Mantra, dan Pasar Tradisional

Joget Amerta, Mantra, dan Pasar Tradisional

  • Event report, Laporan
  • 15 September 2023, 12.42
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Joget Amerta, Mantra, dan Pasar Tradisional

Rezza Prasetyo Setiawan – 21 Agustus 2023

Joget Amerta menghayati gerak yang timbul dari tubuh kita sendiri, tidak terikat pada aturan-aturan kaku gerak tari yang selama ini kita kenal. 

Matahari berada di titik paling terik ketika kain-kain hitam digelar pada pelataran pintu masuk utama Pasar Gedhe, Solo. Di sekitarnya, beberapa berkas lidi diikat bersama membentuk sebuah panggung sederhana. Di tengah lalu-lalang pasar, pada Kamis Legi 7 September 2023, Srawung Rukun resmi dibuka. Seperti yang tersurat dalam tajuk acara,  kolaborasi antara CRCS UGM, Centre for Research Dance Coventry University, dan beberapa komunitas di Solo ini mengusung berbagai kegiatan terkait dialog keberagaman melalui olah tubuh. Yang menjadi sumber inspirasi ialah Joget Amerta karya Suprapto Suryodarmo (1945–2019)—maestro sekaligus guru meditasi gerak di Padepokan Lemah Putih. 

Joget Amerta bukanlah sebuah tari atau sekadar olah gerak, melainkan sebuah pendekatan dan penghayatan untuk mengeksplorasi diri, alam, dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, riuh rendah keramaian di pasar justru menjadi bagian penting dari penghayatan para penampil Joget Amerta yang mengawali rangkaian acara yang berlangsung hingga 10 September  tersebut. 

Gerak, Mantra, dan Ruang Jumpa

Pada sesi diskusi, Agus Bima Prayitna—akademisi sekaligus praktisi dari Universitas Negeri Solo yang secara khusus menekuni tentang mantra-mantra Jawa—menceritakan kenangannya yang membekas bersama Suprapto Suryodarmo, yang akrab dipanggil Pak Prapto. Ia ingat betul ketika pertama kali menyatakan ketertarikannya untuk mengikuti Joget Amerta, Pak Prapto berpesan, “Kamu harus mentransformasikan mantra itu ke dalam gerak.” Pesan Pak Prapto itu lantas membuat saya ikut berpikir, “Bagaimana mungkin mantra yang adalah kata-kata itu diubah ke dalam gerakan?”

Di titik ini, terjadi tabrakan penting antara rasionalisme Barat dan  pola pikir yang dibawa dalam Joget Amerta. Kegagapan rasionalisme ala Barat ini sudah ditengarai oleh banyak akademisi. Richard King (2001) menunjukkan bagaimana orientalisme, sebagai perpanjangan dari pola pikir rasionalisme Barat, mengonstruksi agama-agama di India, salah satunya dengan memaksakan salah satu sumber keagamaan tertulis sebagai patokan untuk menilai “kehinduan” suatu agama di India. Dalam tarikan yang serupa, Talal Asad (2003) memperhatikan bagaimana keberpusatan pola pikir Barat pada rasionalitas mengabaikan pemaknaan terhadap puisi-puisi dalam Al-Qur’an yang dinilai tidak rasional. Pesan Pak Prapto untuk menerjemahkan mantra-mantra Jawa ke dalam bentuk gerak tersebut menunjukkan keluwesan yang tidak dimiliki pola pikir rasionalitas Barat. Realitas, dalam pendekatan Pak Prapto, tidak hanya terkukung oleh kata-kata, tetapi juga dapat dipahami dalam berbagai bentuk—baik dalam mantra-mantra maupun dalam gerak tubuh. Dengan paradigma semacam ini, Agus memaknai transformasi mantra ke dalam gerak itu sebagai gerakan yang membebaskan. Menurutnya, istilah amerta berarti ‘tidak mati’, “A itu tidak, merta itu mati.” Pemahaman akan realita juga bisa dicapai melalui aktivitas dan laku, tidak statis dan terpenjara dalam rasionalitas terhadap hal-hal yang tertulis.  Joget Amerta menghayati gerak yang timbul dari tubuh kita sendiri, tidak terikat pada aturan-aturan kaku gerak tari yang selama ini kita kenal. 

Keluwesan ini pula yang menjadi jembatan untuk diskusi di sesi berikutnya terkait latar acara pasar tradisional. Abdullah Faishol, dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, memulai sesi dengan mengutip ramalan Jayabaya, “Kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange,” yang dalam bahasa Indonesia berarti, “Sungai hilang relungnya, pasar hilang ramainya.” Melalui kutipan tersebut, ia menyoroti peran pasar sebagai penyangga sekaligus penanda kebudayaan. Berkurangnya pilihan masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional saat ini merupakan sebuah pertanda buruk bagi masyarakat. 

Berbeda dengan pasar modern seperti swalayan atau mal, pasar tradisional menekankan pengalaman masyarakat yang saling berhubungan satu sama lain sebagai manusia. Hal ini mengingatkan saya pada kejadian singkat beberapa jam sebelumnya di dalam pasar. Ketika hendak membeli kopi di sebuah lapak, teman saya tidak sengaja bertemu dengan seseorang dari daerah asalnya. Mereka pun berkenalan dan mengobrol cukup akrab walau sebentar. Pengalaman ini jauh berbeda dengan situasi di swalayan retail yang pelayan kasirnya dilatih untuk mengucapkan perkataan yang sama laiknya mesin, “Selamat datang di *********, selamat berbelanja.” Walaupun diucapkan berulang dengan susunan kata yang dibuat seramah mungkin, belum tentu kita mengetahui nama penjaga kasir tersebut. Pengalaman memasuki ruang swalayan yang dingin itu jauh berbeda dengan temu hangat nama bertemu nama di pasar tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Abdullah, ruang belanja juga merupakan ruang pertemuan yang menjadi penyangga kebudayaan masyarakat.

Kontras tajam pengalaman pertemuan di dua bentuk pasar tersebut senada dengan gegar pemaknaan antara rasionalitas Barat dan Joget Amerta terhadap realitas keseharian. Dinamika pasar tradisional dengan segala keluwesannya berbeda dari pasar-pasar modern. Para penjual di pasar tradisional seringkali saling mengenal sehingga ketika salah satu penjual tidak punya barang dicari oleh calon pembeli, penjual itu dapat bertanya tentang ketersediaan barang yang dicari kepada penjual lain. Dari peristiwa sederhana yang kerap terjadi dalam keseharian itu, tercipta hubungan-hubungan baru yang tidak dimungkinkan dalam pasar modern. 

Seperti itulah Joget Amerta, meleburkan diri bersama lingkungan sekitar dan mengekspresikannya melaui gerak. Ketika lantunan lagu-lagu jawa mengiringi Joget Amerta saat pembukaan Srawung Rukun, ibu-ibu penjual spontan ikut menyanyi dari lapaknya masing-masing. Tanpa diorkestrasi, Joget Amerta telah melebur dengan rutinitas hiruk-pikuk pasar. Dalam tiap lekuk geraknya, Joget Amerta menekankan kembali keragaman dan keluwesan yang ada dalam hidup bermasyarakat, menyambung kembali hubungan-hubungan yang terputus di tengah statis dan matinya hidup modern. Karenanya, tak berlebihan jika Samsul Maarif, dosen sekaligus ketua program studi CRCS UGM, dalam sambutannya menyebut kolaborasi ini sebagai sebuah prasasti sosial dari masyarakat dengan berbagai macam latar.

______________________

Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.

Tags: joged amerta rezza prasetyo setiawan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju