• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Perspective
  • Kampung Ilawe: Beda Agama Membangun Masjid dan Gereja

Kampung Ilawe: Beda Agama Membangun Masjid dan Gereja

  • Perspective
  • 8 November 2019, 09.08
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Kampung Ilawe: Beda Agama Membangun Masjid dan Gereja

Merlin Tiran – 8 Nov 2019

Di tengah hiruk pikuk politik identitas dan narasi kebencian yang marak belakangan, kehidupan di sebuah kampung kecil di pelosok Nusa Tenggara Timur tidak terusik. Di kampung ini Muslim dan Kristen hidup berdampingan begitu dekat. Saat para pemeluk agama di banyak tempat mempermasalahkan keberadaan rumah ibadah umat agama lain serta melarang simbol dan kunjungan ke komunitas agama lain, para nelayan dan petani dengan keyakinan berbeda di kampung ini biasa saja melakukan gotong royong dalam pembangunan gereja dan masjid serta kepanitiaan perayaan agama.

Kampung ini bernama Ilawe, terletak sekitar satu jam perjalanan darat dari kota Kalabahi, Kabupaten Alor. Suasana damai dan tenteram langsung terasa begitu masuk kampung ini, tidak hanya karena kultur toleransi agama yang terjaga, tetapi juga karena pemandangan alamnya. Terletak di lereng bukit tepi pantai, jalan menuju kampung Ilawe melewati bukit berbatu yang kering yang dibelah oleh aspal yang sudah rusak bercampur batu. Namun begitu masuk kampung Ilawe, rumah-rumah tampak berjajar rapi dihiasi pohon-pohon rimbun dengan penanda pohon kelor di depan setiap rumah yang menjadi sayur pokok sehari-hari warga. 

Apa yang membuat kultur toleransi di kampung Ilawe terjaga?

Sumpah adat

Sebagaimana masyarakat NTT pada umumnya, kultur toleransi di Ilawe mengakar pada budaya lokal yang mewariskan sistem kekerabatan. Penduduk  Ilawe terdiri dari pemeluk Islam (178 keluarga) dan pemeluk Kristen (53 keluarga). Pada tahun 2017 ketika Kabupaten Alor mendapat Harmony Award dari Kementerian Agama, kampung Ilawe menjadi kampung contoh kerukunan antarumat beragama.

Basis kultur damai di Ilawe bisa dilacak ke narasi tantang asal-usul masyarakat Ilawe. Para tetua mengisahkan cerita rakyat Ilawe yang bermuasal dari belut air dan ikan laut, yang sama-sama menjelma menjadi manusia dan kemudian menikah. Dari pernikahan ini muncul keturunan yang menjadi orang-orang Ilawe, yang pada saat ini sudah merupakan generasi ke-50. Sejarah bahwa masyarakat di Ilawe berasal dari nenek moyang yang sama ini kemudian dipererat dengan adanya sumpah adat yang disebut “bela” yang berbunyi, “Kakak-adik, bapa-anak tidak boleh baku marah sampai dunia kiamat; kalau tidak, mati.” Sumpah adat ini sudah ada jauh sebelum agama Islam dan Kristen masuk, dan ditandai dengan penanaman batu asah.

Diceritakan bahwa masyarakat Ilawe sebelumnya tinggal di 4 kampung lama yang terletak di gunung. Menurut para tetua kampung, agama Islam dan Kristen mulai masuk pada tahun 1950-an. Karena kampung lama terletak di gunung dan air sangat susah dijangkau, sementara pemeluk Islam untuk keperluan ibadah memerlukan air, penduduk 4 kampung itu kemudian pindah ke kampung Ilawe. Tanah di Ilawe merupakan milik dua nenek yang memiliki hubungan kakak-adik, yaitu Nenek Maro Lobang yang menganut Islam dan Nenek Lobang Ena yang menganut Kristen. Sumpah adat bela pun kemudian dikontekstualisasikan dan dipahami sebagai perjanjian kesedarahan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama dan karena itu tidak boleh terjadi perpecahan antara Islam dan Kristen. Sumpah adat ini hingga kini masih kerap disampaikan para tetua di acara-acara komunal seperti pernikahan dan peringatan hari raya keagamaan.

Saat pindah ke Ilawe pada 1950-an, rumah ibadah dibangun. Masjid Darul Falah didirikan, dan pembangunannya dibantu oleh pemeluk Kristen. Gereja Ismail juga didirikan, dan pembangunannya dibantu oleh pemeluk Islam. Gereja ini bernama “Ismail” karena bantuan adik dari imam Masjid Darul Falah yang bernama Ismail Lobang. Di samping Darul Falah, di Ilawe ada satu masjid lagi, yang bernama Masjid Nurul Ikhlas Tinahi. Di Alor, masjid yang terakhir ini lebih dikenal dengan nama Masjid Ishak. Nama “Ishak” untuk masjid dan “Ismail” untuk gereja mengingatkan pada dua putra Ibrahim dalam cerita kitab suci dan sekaligus menjadi penanda persaudaraan pemeluk Islam dan Kristen di Ilawe.

Hubungan persaudaraan Islam-Kriten di Ilawe ini mengejawantah bukan saja dalam soal pendirian rumah ibadah. Saat natal, pemeluk Islam turut berpartisipasi menjadi panitia dan menjaga keamanan umat Kristen beribadah di gereja. Saat ada acara di gereja, tak jarang grup kasidah Muslim ikut meramaikan. Ketika akan ada pernikahan beda agama, yang sudah biasa terjadi, upacara ala agama mana yang akan dipakai diserahkan pada keputusan pasangan yang hendak menikah.

Yang menarik dari model kerukunan antaragama yang dibangun di Ilawe ialah bahwa ia bukan sekadar mencerminkan bentuk ko-eksitensi, melainkan juga pro-eksitensi, yang ditandai bukan hanya dengan saling bertenggang rasa terhadap keyakinan yang berbeda, melainkan juga gotong royong dalam mendukung kegiatan ibadah satu sama lain. Hal-hal ini dimungkinkan oleh ikatan persaudaraan lintas agama di Ilawe yang diikat melalui satu kearifan lokal berbentuk sumpah adat bela.

Basis toleransi

Cerita dari Ilawe itu memberikan pelajaran tentang pentingnya dua hal dalam membangun basis toleransi dan perdamaian lintas agama.

Pertama adalah pentingnya sistem nilai (adat atau agama) yang bersifat inklusif. Dalam kasus Ilawe, sistem nilai ini mewujud dalam narasi tentang asal-usul yang membuat warga dengan agama yang berbeda disatukan oleh identitas bersama. Nilai tentang asal-usul bersama seperti di Ilawe ini bisa jadi tidak ditemukan sama persis di tempat lain, tetapi ia bisa mengambil bentuk yang berbeda dengan tetap mewariskan nilai-nilai inklusif.

Kedua adalah mekanisme kultural sebagai pranata penyelesai masalah. Mekanisme kultural, seperti sumpah adat bela di Ilawe, berperan penting dalam merespons perubahan sosial yang menjadi tantangan perdamaian. Ketika proses hukum tidak selalu ideal bagi upaya bina damai, reproduksi nilai dan pranata adat yang mendorong resolusi konflik bisa menjadi pilar penting perdamaian.

Sebagaimana banyak budaya lain di Indonesia, Ilawe adalah contoh bagaimana mekanisme lokal dapat memupuk toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Ini tak berarti bahwa Ilawe sepi sama sekali dari konflik. Kasus-kasus seperti pertikaian anak muda dan perebutan sumber daya sesekali terjadi dan menuntut reproduksi nilai-nilai kearifan lokal terus menerus. Kendati demikian, selama kearifan lokal itu masih lestari, kultur toleransi dan perdamaian lintas agama akan langgeng di Ilawe.

______________

Merlin M.L. Tiran adalah calon pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Cerita dalam tulisan ini adalah bagian dari penelitian bertajuk “Kewarganegaan Demokatis dan Ko-eksistensi dalam Konteks Keragaman Etnis dan Agama di Indonesia”, yang didukung oleh Kemenristekdikti.

Kisah kampung Ilawe ini diceritakan ulang oleh Dr M Iqbal Ahnaf dalam Podcast Teman Ngopi #9 yang dapat disimak di sini.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Almost all countries in the world have Chinatowns, Almost all countries in the world have Chinatowns, Indonesia is no exception. 

In fact, the relationship between the people of China and the Indonesian Archipelago has been going on for two millennia. It is only natural that Chinese culture strongly influences Indonesian culture today.

However, the character of Chinatowns on the Archipelago is as diverse as their history and relations with local communities.

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan id Jika sebelumnya kita mengulas tentang kegagalan ideologi pembangunan yang mengesampingkan pengetahuan adat, kali ini @ichuslucky berbagi cerita tentang bagaimana penduduk di Perbukitan Menoreh menggunakan pengetahuan adatnya untuk merawat mata air yang tersisa.

Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs.
Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan pe Tak selamanya pembangunan itu bersinonim dengan perbaikan dan kemajuan. Yang kerap terjadi justru sebaliknya, pemaksaan dan peminggiran mereka yang dianggap obyek pemeradaban. 

Simak ulasan lengkap menohok nan reflektif dari @andialfianx ini di situs web crcs ugm.
God save the king! Around 500 years ago, King Hen God save the king!

Around 500 years ago, King Henry VIII was awarded by Pope Leo X the title Fidei Defensor or "Defender of Faith" for his defense of the Catholic Church. He subsequently broke away and then declared independence from Catholic Rome, thus becoming the first head of the Church of England. 

Now, the title is inherited by Charles III who lead a kingdom that has seen both significant secularization and growth in non-Christian minorities over the last twenty years.

What the monarchy’s long relationship with religious plurality may look like under the new sovereign?

Come and join the discussion at Room 306, Graduate School Building, Universitas Gadjah Mada.

#wednesdayforum is free and open to the public.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju