• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Student Service
    • Survey
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Perspective
  • Kampung Ilawe: Beda Agama Membangun Masjid dan Gereja

Kampung Ilawe: Beda Agama Membangun Masjid dan Gereja

  • Perspective
  • 8 November 2019, 09.08
  • Oleh: CRCS UGM
  • 0

Kampung Ilawe: Beda Agama Membangun Masjid dan Gereja

Merlin Tiran – 8 Nov 2019

Di tengah hiruk pikuk politik identitas dan narasi kebencian yang marak belakangan, kehidupan di sebuah kampung kecil di pelosok Nusa Tenggara Timur tidak terusik. Di kampung ini Muslim dan Kristen hidup berdampingan begitu dekat. Saat para pemeluk agama di banyak tempat mempermasalahkan keberadaan rumah ibadah umat agama lain serta melarang simbol dan kunjungan ke komunitas agama lain, para nelayan dan petani dengan keyakinan berbeda di kampung ini biasa saja melakukan gotong royong dalam pembangunan gereja dan masjid serta kepanitiaan perayaan agama.

Kampung ini bernama Ilawe, terletak sekitar satu jam perjalanan darat dari kota Kalabahi, Kabupaten Alor. Suasana damai dan tenteram langsung terasa begitu masuk kampung ini, tidak hanya karena kultur toleransi agama yang terjaga, tetapi juga karena pemandangan alamnya. Terletak di lereng bukit tepi pantai, jalan menuju kampung Ilawe melewati bukit berbatu yang kering yang dibelah oleh aspal yang sudah rusak bercampur batu. Namun begitu masuk kampung Ilawe, rumah-rumah tampak berjajar rapi dihiasi pohon-pohon rimbun dengan penanda pohon kelor di depan setiap rumah yang menjadi sayur pokok sehari-hari warga. 

Apa yang membuat kultur toleransi di kampung Ilawe terjaga?

Sumpah adat

Sebagaimana masyarakat NTT pada umumnya, kultur toleransi di Ilawe mengakar pada budaya lokal yang mewariskan sistem kekerabatan. Penduduk  Ilawe terdiri dari pemeluk Islam (178 keluarga) dan pemeluk Kristen (53 keluarga). Pada tahun 2017 ketika Kabupaten Alor mendapat Harmony Award dari Kementerian Agama, kampung Ilawe menjadi kampung contoh kerukunan antarumat beragama.

Basis kultur damai di Ilawe bisa dilacak ke narasi tantang asal-usul masyarakat Ilawe. Para tetua mengisahkan cerita rakyat Ilawe yang bermuasal dari belut air dan ikan laut, yang sama-sama menjelma menjadi manusia dan kemudian menikah. Dari pernikahan ini muncul keturunan yang menjadi orang-orang Ilawe, yang pada saat ini sudah merupakan generasi ke-50. Sejarah bahwa masyarakat di Ilawe berasal dari nenek moyang yang sama ini kemudian dipererat dengan adanya sumpah adat yang disebut “bela” yang berbunyi, “Kakak-adik, bapa-anak tidak boleh baku marah sampai dunia kiamat; kalau tidak, mati.” Sumpah adat ini sudah ada jauh sebelum agama Islam dan Kristen masuk, dan ditandai dengan penanaman batu asah.

Diceritakan bahwa masyarakat Ilawe sebelumnya tinggal di 4 kampung lama yang terletak di gunung. Menurut para tetua kampung, agama Islam dan Kristen mulai masuk pada tahun 1950-an. Karena kampung lama terletak di gunung dan air sangat susah dijangkau, sementara pemeluk Islam untuk keperluan ibadah memerlukan air, penduduk 4 kampung itu kemudian pindah ke kampung Ilawe. Tanah di Ilawe merupakan milik dua nenek yang memiliki hubungan kakak-adik, yaitu Nenek Maro Lobang yang menganut Islam dan Nenek Lobang Ena yang menganut Kristen. Sumpah adat bela pun kemudian dikontekstualisasikan dan dipahami sebagai perjanjian kesedarahan bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama dan karena itu tidak boleh terjadi perpecahan antara Islam dan Kristen. Sumpah adat ini hingga kini masih kerap disampaikan para tetua di acara-acara komunal seperti pernikahan dan peringatan hari raya keagamaan.

Saat pindah ke Ilawe pada 1950-an, rumah ibadah dibangun. Masjid Darul Falah didirikan, dan pembangunannya dibantu oleh pemeluk Kristen. Gereja Ismail juga didirikan, dan pembangunannya dibantu oleh pemeluk Islam. Gereja ini bernama “Ismail” karena bantuan adik dari imam Masjid Darul Falah yang bernama Ismail Lobang. Di samping Darul Falah, di Ilawe ada satu masjid lagi, yang bernama Masjid Nurul Ikhlas Tinahi. Di Alor, masjid yang terakhir ini lebih dikenal dengan nama Masjid Ishak. Nama “Ishak” untuk masjid dan “Ismail” untuk gereja mengingatkan pada dua putra Ibrahim dalam cerita kitab suci dan sekaligus menjadi penanda persaudaraan pemeluk Islam dan Kristen di Ilawe.

Hubungan persaudaraan Islam-Kriten di Ilawe ini mengejawantah bukan saja dalam soal pendirian rumah ibadah. Saat natal, pemeluk Islam turut berpartisipasi menjadi panitia dan menjaga keamanan umat Kristen beribadah di gereja. Saat ada acara di gereja, tak jarang grup kasidah Muslim ikut meramaikan. Ketika akan ada pernikahan beda agama, yang sudah biasa terjadi, upacara ala agama mana yang akan dipakai diserahkan pada keputusan pasangan yang hendak menikah.

Yang menarik dari model kerukunan antaragama yang dibangun di Ilawe ialah bahwa ia bukan sekadar mencerminkan bentuk ko-eksitensi, melainkan juga pro-eksitensi, yang ditandai bukan hanya dengan saling bertenggang rasa terhadap keyakinan yang berbeda, melainkan juga gotong royong dalam mendukung kegiatan ibadah satu sama lain. Hal-hal ini dimungkinkan oleh ikatan persaudaraan lintas agama di Ilawe yang diikat melalui satu kearifan lokal berbentuk sumpah adat bela.

Basis toleransi

Cerita dari Ilawe itu memberikan pelajaran tentang pentingnya dua hal dalam membangun basis toleransi dan perdamaian lintas agama.

Pertama adalah pentingnya sistem nilai (adat atau agama) yang bersifat inklusif. Dalam kasus Ilawe, sistem nilai ini mewujud dalam narasi tentang asal-usul yang membuat warga dengan agama yang berbeda disatukan oleh identitas bersama. Nilai tentang asal-usul bersama seperti di Ilawe ini bisa jadi tidak ditemukan sama persis di tempat lain, tetapi ia bisa mengambil bentuk yang berbeda dengan tetap mewariskan nilai-nilai inklusif.

Kedua adalah mekanisme kultural sebagai pranata penyelesai masalah. Mekanisme kultural, seperti sumpah adat bela di Ilawe, berperan penting dalam merespons perubahan sosial yang menjadi tantangan perdamaian. Ketika proses hukum tidak selalu ideal bagi upaya bina damai, reproduksi nilai dan pranata adat yang mendorong resolusi konflik bisa menjadi pilar penting perdamaian.

Sebagaimana banyak budaya lain di Indonesia, Ilawe adalah contoh bagaimana mekanisme lokal dapat memupuk toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Ini tak berarti bahwa Ilawe sepi sama sekali dari konflik. Kasus-kasus seperti pertikaian anak muda dan perebutan sumber daya sesekali terjadi dan menuntut reproduksi nilai-nilai kearifan lokal terus menerus. Kendati demikian, selama kearifan lokal itu masih lestari, kultur toleransi dan perdamaian lintas agama akan langgeng di Ilawe.

______________

Merlin M.L. Tiran adalah calon pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Cerita dalam tulisan ini adalah bagian dari penelitian bertajuk “Kewarganegaan Demokatis dan Ko-eksistensi dalam Konteks Keragaman Etnis dan Agama di Indonesia”, yang didukung oleh Kemenristekdikti.

Kisah kampung Ilawe ini diceritakan ulang oleh Dr M Iqbal Ahnaf dalam Podcast Teman Ngopi #9 yang dapat disimak di sini.

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di p Seperti kematian yang seolah datang tiba-tiba di penghujung kehidupan, tak terasa #fkd2002 Juni spesial edisi kematian telah sampai di edisi keempat.

Sebagai pemungkas, mari kita merayakan kematian bersama rekan dari Mamasan dan Toraja. Malam Jumat, malamnya penghayat dan masyarakat adat.
Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"? Bagi saya Pernah dengar lagu "Nderek Dewi Maria"?

Bagi saya, lagu ini begitu menggetarkan kalbu. Sampai-sampai saya kadang lupa bahwa tembang Jawa ini adalah lagu Nasrani tentang sosok yang lahir ratusan tahun lalu di belahan Bumi lain nan jauh di sana.

Karenanya, jika hanya mengenal kekristenan lewat tembang tersebut, agak sukar dipercaya jikalau relasi antara gereja dan agama leluhur di Nusantara ternyata penuh pergumulan dan gejolak. Pergumulan yang pada akhirnya melahirkan teologi kontekstual atau inkulturasi.

Simak tilikan yang sekaligus menjadi renungan kritis tentang relasi gereja dan agama leluhur oleh teolog muda @vikry_reinaldo di situs web crcs ugm.
Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Masih ingat perdebatan seru nan kocak antara Amber Heard dan pengacara Camille Vasquez di persidangan Johnny Depp?

Dari situ kita melihat betapa dahsyatnya efek dari pemilihan kata yang tepat. Pun dengan pemberitaan di media massa kita. 

Kata bukanlah sekadar susunan huruf dengan makna ala kadarnya. Di sana, tersimpan rapi sebuah ideologi yang mapan dan tidak bebas nilai. Ia punya kuasa untuk menundukkan objek, ataupun menyanjung subjek hingga ke langit. 

Simak tulisan apik @harisfatwa_ tentang narasi pemberitaan di media siber lokal tentang isu keagamaan kita hari ini. Hanya di situs web crcs ugm.
Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agam Apakah Islam mengakui adanya pemisahan antara agama dan negara? Bagaimana hubungan Islam dan negara telah bertransformasi sejak dulu hingga saat ini? 

Dalam menjawab wawancara ini, Kuru mengacu kepada buku terbarunya, 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢, 𝙊𝙩𝙤𝙧𝙞𝙩𝙖𝙧𝙞𝙖𝙣𝙞𝙨𝙢𝙚, 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙚𝙩𝙚𝙧𝙩𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙖𝙣: 𝙋𝙚𝙧𝙗𝙖𝙣𝙙𝙞𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙇𝙞𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙅𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣 𝙆𝙖𝙬𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝘿𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢 (KPG, 2020) sekaligus lima judul buku yang menjadi rujukan utama tentang topik “Islam dan negara”.

Simak wawancara lengkap @dr_ahmettkuru bersama @isofyanabbas di situs web crcs ugm.
load more... @crcs_ugm

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY