Tahun 2005 di suatu siang yang terik. Seseorang datang bertamu ke rumah kami di Pamekasan, Madura. Temannya kakak dari tetangga desa. Namanya Hasan Basri. Nanti, dia akan menjadi kakak kelas saya di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS). Mereka bercengkerama dan mengobrol asik di teras rumah. Seru sekali. Percakapan yang disatukan oleh cerita kota penuh romansa bernama Jogja. Kakak saya kuliah S-2 di UIN Sunan Kalijaga, sementara Hasan sedang kuliah di Universitas Gadjah Mada. Waktu itu saya baru beberapa minggu pulang dari Kairo, setelah merampungkan studi S-1 di Universitas Al-Azhar.
Kakak memperkenalkan Hasan sebagai mahasiswa CRCS-UGM. Kata CRCS menjadi kunci. Saya memang sedang mencari kampus untuk melanjutkan studi S-2. Hasan bercerita banyak tentang CRCS. Gaya bicaranya kalem, tapi penjelasannya sangat informatif. Salah satu yang menjadi daya tarik CRCS, bagi saya waktu itu, adalah perkuliahannya menggunakan bahasa Inggris. Saya pikir ini kesempatan menantang. Saya sudah kuliah di negeri Arab, belajar bahasa Arab, pasti menarik untuk kuliah lanjutan di program yang berbahasa Inggris. Saya sadar tidak punya bekal bahasa Inggris memadai; hanya lulusan pesantren salaf (yang santrinya sering mengejek bahasa Inggris sebagai bahasa munafik, sebab bacaan dan tulisannya sering tidak sama, haha) dan tak pernah kursus bahasa Inggris secara intensif.
“Syarat TOEFL-nya minimal 475,” kata Hasan. Wah, tidak mudah, pikir saya.
Namun, saya sudah bertekad. Saya pun pergi ke Pare, Kediri. Menuju Kampung Inggris. Mengikuti kursus TOEFL secara intensif selama sebulan. Saya ambil program khusus pre-TOEFL dan TOEFL. Setelah sebulan di Pare, saya ke UGM. Ikut tes AcEPT. Alhamdulillah, dapat skor 477. Masih ingat betul angka itu, karena hanya dua poin di atas batas minimal syarat masuk ke CRCS: 475.
Berbekal hasil tes AcEPT, saya urus berkas pendaftaran. Datanglah undangan wawancara. Langkah mengarah ke Gedung Lengkung. Sesi wawancara berbahasa Inggris menunggu. Ini wawancara pertama saya menggunakan bahasa Inggris. Sudah lupa di ruangan mana dan lantai berapa. Sepertinya lantai tiga. Deg-degan. Seingat saya, ada Pak Irwan Abdullah, Pak Mursidi, dan Nathaniel (Biasa dipanggil Net, pendamping Academic English CRCS saat itu, yang setelah lama di Indonesia memilih nama Notonegoro).
Hasilnya? Lulus!
Di bulan-bulan awal belajar di CRCS, saya harus berjibaku dengan problem kemampuan bahasa. Saya yang tidak biasa (untuk tidak mengatakan jarang sekali) membaca buku-buku berbahasa Inggris, harus membuka-buka referensi dalam bahasa Inggris. Memahami pemikiran, teori, dan sejarah dalam bahasa Inggris. Mendengarkan penjelasan dosen berbahasa Inggris. Menulis tugas kuliah dengan bahasa Inggris. Saat itu dunia belum akrab dengan Google Translate, belum ada ChatGPT atau DeepL. Modalnya adalah kamus sejuta umat karya John M Echols (Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris) yang berwarna kuning-hijau-merah dan merah-kuning-ungu. Setiap membaca satu paragraf, bisa lima hingga sepuluh kali saya membuka kamus. Sungguh masa-masa sulit yang menyenangkan!
Di CRCS saya menemukan ruang belajar yang baru. Perkuliahan dengan metode diskusi dan dialog yang inklusif menjadi pembeda. Relasi dosen-mahasiswa lebih egaliter. Jika sebelumnya saya merasa, sebagai mahasiswa, lebih diposisikan sebagai pendengar dan dosen memberikan ceramah, di CRCS ruang diskusi dua arah lebih terbuka. Di CRCS saya dikenalkan dengan tugas-tugas lapangan dan diajari melakukan riset. Saya masih ingat, di semester pertama, kami sudah diajak ke Jatinom, menapaktilasi penelitian the Muslim Businessmen of Jatinom-nya Prof. Irwan Abdullah. Melakukan praktik wawancara, observasi singkat, dan menyusun laporan field-research berbentuk esai. Bagi saya, yang berlatar belakang studi Islam dan pesantren, semua itu adalah hal baru yang istimewa.
Saya menyebut fase akademik saya di CRCS sebagai “kelahiran ketiga”. Mendapatkan pencerahan tentang teori-teori ilmu sosial, studi agama-agama (tidak hanya Islam), dan tentu perjumpaan dengan komunitas agama lain di luar Islam. Sebagai seorang muslim yang tumbuh di pesantren, yang kemudian melanjutkan kuliah di Al-Azhar, pergaulan saya sebelumnya sangat terbatas: pada keluarga dan masyarakat santri, pelajar dan mahasiswa muslim, serta dosen-dosen yang semuanya beragama Islam. Sementara di CRCS, saya bisa duduk bersebelahan dengan teman kelas yang beragama Buddha, Kristen, dan Katolik. CRCS menjadi pintu gerbang menuju petualangan baru: secara akademik dan di luar akademik. CRCS juga yang mengenalkan saya pada jejaring akademik internasional. Memberi kesempatan ikut short course di National University of Singapore selama 3 bulan, dan kemudian ke Temple University selama satu semester.
CRCS juga mengasah kemampuan menulis (terutama dalam bahasa Inggris) mahasiswanya. Tugas-tugas perkuliahan yang dibebankan bermuara pada peningkatan skill kepenulisan: mulai dari tugas book review mingguan yang ditulis dalam bentuk esai-esai pendek, hingga makalah/artikel di akhir semester.
“Kelahiran kedua” saya adalah fase kuliah di Al-Azhar Kairo. Ketika sebelumnya bacaan dan kajian yang saya geluti di pesantren berkutat pada kitab kuning (Safinah, Sullam, Taqrib, Iqna’, I’anah, Tafsir Jalalayn, dan lainnya), bersinggungan dengan nama-nama imam klasik (al-Sayuthi, al-Baihaqi, Ibn Hajar, al-Nawawi, dan lainnya), di Al-Azhar saya berkenalan dengan nama-nama seperti Abdul Halim Mahmud, Mutawalli Sya’rawi, Rifa’ah Tahtawi, Jamal al-Banna, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri, Arkoun, Husain Mu’nis, dan sebagainya. Saya bisa membaca buku-buku semisal Naqd al-Khitab al-Dini, al-Haqiqah al-Ghaibah, Min al-Turats ila al-Tsaurah, al-Islam wa Ushul al-Hukm, dan lainnya, yang tidak saya temukan di pesantren. Buku-buku yang ditulis dengan bahasa yang sama, tetapi memuat perspektif dan pemikiran inklusif yang jauh berbeda. Al-Azhar membuka cakrawala pemikiran Islam modern yang lebih terbuka, kritis, dan progresif.
Apa yang saya pelajari di CRCS terus tumbuh dan berlanjut. Saat ini saya mendapat anugerah tugas mengajar di Program Studi Agama-Agama UIN Sunan Ampel Surabaya dan menekuni wilayah kajian yang tak pernah terpikirkan sebelumnya: agama Kristen! Saya juga mengakrabi hal ihwal hubungan antaragama. Sesekali saya menemani mahasiswa berkunjung ke gereja dan menyemangati mereka untuk juga mengenal ajaran agama, pemeluk, dan tempat ibadah selain Islam: vihara, pura, atau kelenteng. Tak jarang, kami mendiskusikan kembali nama-nama dan teori-teori yang dulu pernah dipelajari di ruang kelas CRCS. Terkadang saya tersenyum sendiri, bahwa CRCS telah mengantarkan saya “berjalan sangat jauh” dalam menekuni area studi ini: menjumpai beragam komunitas beda agama, menyelami sejarah dan ajaran agama lain, bahkan menulis buku Mengenal Tema-Tema Pokok Agama Kristen (2022) dan Kristen Madura: Agama, Identitas, dan Pergulatan Sosial (2023).
Perjumpaan dan jejaring pembelajaran dan pertemanan selama belajar di CRCS masih terus saya rawat. Bahkan, ketika saya punya keinginan melanjutkan studi doktoral, pilihan saya tidak jauh dari CRCS. Saya berlabuh di ICRS. Tetangga dekat. Satu kantor. Di Gedung Lengkung. Mulai 2015 hingga 2019. Selama lebih dari tiga tahun itu, saya merasa kembali ke rumah. Tempat kelahiran ketiga.
______________________
Akhmad Siddiq adalah alumni Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2006. Saai ini ia menjadi salah satu staf pengajar di Program Studi Agama-Agama UIN Sunan Ampel Surabaya.