Kontestasi Produksi Data di Dunia Pascakolonial
Rezza P. Setiawan – 2 November 2023
Di tahun 2003 terjadi baku rebut klaim pengetahuan atas fosil manusia yang dilabeli sebagai Homo Floresiensis antara peneliti di Indonesia dan peneliti dari Australia. Pihak peneliti Australia mengumumkan temuan fosil di Liang Bua itu sebagai hal menggemparkan, sedangkan pihak peneliti Indonesia mengatakan temuan tersebut hanyalah tulang Homo Sapiens yang disalahpahami. Di tengah sengkarut tersebut, sebuah artikel dari Paige Madison, ilmuwan di bidang evolusi manusia dari Institute of Human Origin, telah menengarai dinamika produksi pengetahuan prasejarah dalam konteks Indonesia yang bergandeng erat dengan kolonialisme dan rasisme. Singkatnya, data tidak pernah lepas dari kelindan politik dan perebutan kuasa.
Senada dengan itu, Prof. Sonja van Wichelen, dosen Fakultas Sosial Politik, University of Sydney, pada sesi kedua diskusi pleno The 6th Conference on Human Rights (25/10) membahas tarik-menarik paradigma sains dalam konteks pascakolonial. Bertajuk “Global Bioethics in the Pursuit of Open Science”, paparan van Wichelen tersebut memantik refleksi terkait produksi dan politik pengetahuan di negeri ini.
Yang Timpang di Balik Keterbukaan
Profesor sosiologi yang berfokus pada “biolegality” ini memulai presentasinya dengan mengetengahkan inisiasi UNESCO dalam gerakan Sains Terbuka (Open Science). Gerakan ini mendorong para ilmuwan dan akademisi agar saling membuka dan berbagi data secara gratis sebagai bentuk kerja sama demi kemajuan pengetahuan. Sekilas, gerakan Sains Terbuka terkesan positif karena tujuannya ialah kepentingan bersama. Namun, van Wichelen mengutarakan tanggapan kritis terhadap gerakan tersebut dengan meletakkannya pada konteks pascakolonial.
Sains dalam bingkai neoliberalisme meletakkan data seperti sebuah komoditas yang netral dan apolitis. Oleh karena itu, jelas van Wichelen, negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat menawarkan gerakan Sains Terbuka sebagai solusi untuk kemajuan sains global. Dengan kata lain, jika negara-negara di dunia ingin bersama-sama maju, cara terbaik ialah dengan saling membuka akses data. Akan tetapi, yang luput dalam pemikiran deterministik tersebut adalah data tidak pernah apolitis. Data selalu politis! Demikian juga produksi ilmu pengetahuan melalui berbagai kanalnya tidak pernah lepas dari politik. Monopoli data oleh platform-platform raksasa media sosial hari ini juga menjadi pertanda jelas akan ketimpangan kuasa dalam politik data global.
Sonja menyinggung kembali kasus pada tahun 2008 ketika Indonesia menolak untuk membagikan data sampel virus flu burung pada WHO. Penolakan Indonesia merupakan kulminasi dari pengabaian WHO terhadap pelanggaran kode etik oleh para ilmuwan dan laboratorium terkait sampel data yang diperoleh bersama. Indonesia juga secara tegas menyatakan bahwa sistem berbagi data global yang ada saat ini tidak setara. Di sini, wacana kedaulatan Indonesia sebagai negara berkembang tengah berhadapan dengan tuntutan lembaga-lembaga dunia untuk berbagi data di bawah bendera Sains Terbuka.
Dalam bingkai pascakolonial, van Wichelen berargumen bahwa Sains Terbuka sebenarnya ialah proyek politis. Mengasumsikan data sebagai komoditas apolitis dan berbagi data dengan keterbukaan penuh ala Sains Terbuka pada praktiknya hanya akan memberi akses lebih besar bagi negara-negara yang telah diuntungkan oleh ketimpangan global. Ini sama saja dengan kolonialisme model baru. Sayangnya, asumsi sains yang neoliberal semacam ini telah menjadi hegemonik di dunia produksi ilmu pengetahuan sehingga perlu dilihat secara kritis.
Ia pun menunjukkan ketimpangan tersebut melalui kasus pada bidang bioetika yang banyak terjadi di Indonesia. Sebagai wilayah kepulauan dengan beragam vegetasi, Indonesia amat kaya dengan keanekaragaman hayati. Para ilmuwan konservasi global pendukung proyek Sains Terbuka meminta Indonesia untuk membuka ruang bagi peneliti luar negeri yang akan mengambil data dari Indonesia. Akan tetapi, dengan skema keterbukaan ala pasar bebas ini, agensi dan peran aktif peneliti dalam negeri ikut terancam. Apalagi, yang kerap terjadi ialah model “penelitian helikopter”. Istilah ini merujuk pada kegiatan penelitian oleh negara maju ke sebuah daerah di negara berkembang untuk mengambil data, lalu mereka terbang kembali ke negaranya untuk menghasilkan publikasi ilmiah tanpa kontribusi ataupun rekognisi kepada para peneliti lokal. Ini laiknya helikopter yang sekadar turun untuk menaikkan penumpang lalu terbang kembali dan menghilang.
Dengan agensi yang dipangkas oleh proyek Sains Terbuka, peneliti lokal tidak lagi memegang kendali atas narasi publikasi yang dihasilkan. Padahal, data publikasi tersebut diambil dari daerah mereka—dan tak jarang dilakukan oleh peneliti lokal sendiri. Hasilnya, peneliti lokal menundukkan kedaulatan dan memasrahkan representasi politiknya dalam proses produksi ilmu pengetahuan global kepada para peneliti helikopter dari luar negeri.
Tiga Prinsip Bioetika Global
“Kita tidak bisa memilih di antara kedaulatan dan Sains Terbuka”, jelas van Wichelen. Untuk menengahi dua kutub yang bersitegang itu, ia menawarkan tiga prinsip bioetika global sebagai pedoman produksi ilmu pengetahuan dalam konteks pascakolonial.
Pertama, merekognisi hak kolektif untuk mendorong diseminasi prinsip-prinsip komunitarian. Dorongan ini menempatkan prinsip-prinsip komunitarian sebagai pedoman agar produksi ilmu pengetahuan tidak abai terhadap ketidakseimbangan relasi kuasa yang telah terpatri sejak masa kolonial. Dengan demikian, produksi ilmu pengetahuan didapat melalui partisipasi aktif dan diarahkan menuju kepentingan bersama.
Kedua, menggunakan kerangka moral transkultural sebagai alternatif terhadap kerangka moral Barat. Melalui kerangka transkultural ini, jalinan kerja sama antarilmuwan dari berbagai konteks kebudayaan akan diperkuat dengan menampik superioritas dan dominasi sepihak.
Ketiga, mendorong para ilmuwan untuk secara eksplisit menentang norma yang mengistimewakan korporasi dalam aktivitas produksi ilmu pengetahuan. Bersambungan dengan kedua prinsip sebelumnya, prinsip ketiga ini kian menegaskan bahwa sains tidak boleh didominasi oleh satu atau beberapa pihak tertentu saja—seperti yang sekarang terjadi dalam monopoli data oleh raksasa korporasi digital seperti Google LLC dan Meta Platforms. Para ilmuwan perlu menentang praktik tersebut dan menggeser agensi dalam produksi ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas.
Membangun Dunia Melalui Data
Data tidak diproduksi dalam ruang hampa. Setiap data diproduksi, disusun, dan diolah di dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Penggunaan data pun juga tidak netral karena ia turut aktif membentuk realita sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, data membentuk hubungan erat dengan politik maupun kehidupan masyarakat di dunia. Terlebih lagi di era mahadata (big data) seperti saat ini.
Lain dari dorongan Sains Terbuka yang mengabaikan relasi data dan manusia yang menghasilkannya, prinsip yang ditawarkan oleh van Wichelen menyadari kesalingterhubungan data dengan manusia dan segala konteks sosial dan politik yang menyertainya. Ia menyerukan daya kritis terhadap proyek Sains Terbuka yang, alih-alih membawa kesetaraan dan kemajuan bersama, justru membuka gerbang lebih luas bagi ketimpangan warisan masa kolonial. Mengikuti tiga prinsip bioetika global, prinsip komunitarian yang transkultural harus disemai demi menentang status quo politik monopoli data yang selama ini melanggengkan ketimpangan melalui paham sains yang neoliberal. Maka, proyek ketidakadilan berkedok Sains Terbuka harus ditangkis demi produksi data dan ilmu pengetahuan yang berkeadilan.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari PXhere.