• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Kontestasi Produksi Data di Dunia Pascakolonial

Kontestasi Produksi Data di Dunia Pascakolonial

  • Event report, Laporan, News
  • 2 November 2023, 07.48
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Kontestasi Produksi Data di Dunia Pascakolonial

Rezza P. Setiawan – 2 November 2023

Di tahun 2003 terjadi baku rebut klaim pengetahuan atas fosil manusia yang dilabeli sebagai Homo Floresiensis antara peneliti di Indonesia dan peneliti dari Australia. Pihak peneliti Australia mengumumkan temuan fosil di Liang Bua itu sebagai hal menggemparkan, sedangkan pihak peneliti Indonesia mengatakan temuan tersebut hanyalah tulang Homo Sapiens yang disalahpahami. Di tengah sengkarut tersebut, sebuah artikel dari Paige Madison, ilmuwan di bidang evolusi manusia dari Institute of Human Origin, telah menengarai dinamika produksi pengetahuan prasejarah dalam konteks Indonesia yang bergandeng erat dengan kolonialisme dan rasisme. Singkatnya, data tidak pernah lepas dari kelindan politik dan perebutan kuasa.

Senada dengan itu, Prof. Sonja van Wichelen, dosen Fakultas Sosial Politik, University of Sydney, pada sesi kedua diskusi pleno The 6th Conference on Human Rights (25/10) membahas tarik-menarik paradigma sains dalam konteks pascakolonial. Bertajuk “Global Bioethics in the Pursuit of Open Science”, paparan van Wichelen tersebut memantik refleksi terkait produksi dan politik pengetahuan di negeri ini.

Yang Timpang di Balik Keterbukaan

Profesor sosiologi yang berfokus pada “biolegality” ini memulai presentasinya dengan mengetengahkan inisiasi UNESCO dalam gerakan Sains Terbuka (Open Science). Gerakan ini mendorong para ilmuwan dan akademisi agar saling membuka dan berbagi data secara gratis sebagai bentuk kerja sama demi kemajuan pengetahuan. Sekilas, gerakan Sains Terbuka terkesan positif karena tujuannya ialah kepentingan bersama. Namun, van Wichelen mengutarakan tanggapan kritis terhadap gerakan tersebut dengan meletakkannya pada konteks pascakolonial.

Sains dalam bingkai neoliberalisme meletakkan data seperti sebuah komoditas yang netral dan apolitis. Oleh karena itu, jelas van Wichelen, negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat menawarkan gerakan Sains Terbuka sebagai solusi untuk kemajuan sains global. Dengan kata lain, jika negara-negara di dunia ingin bersama-sama maju, cara terbaik ialah dengan saling membuka akses data. Akan tetapi, yang luput dalam pemikiran deterministik tersebut adalah data tidak pernah apolitis. Data selalu politis! Demikian juga produksi ilmu pengetahuan melalui berbagai kanalnya tidak pernah lepas dari politik. Monopoli data oleh platform-platform raksasa media sosial hari ini juga menjadi pertanda jelas akan ketimpangan kuasa dalam politik data global.

Sonja menyinggung kembali kasus pada tahun 2008 ketika Indonesia menolak untuk membagikan data sampel virus flu burung pada WHO. Penolakan Indonesia merupakan kulminasi dari pengabaian WHO terhadap pelanggaran kode etik oleh para ilmuwan dan laboratorium terkait sampel data yang diperoleh bersama. Indonesia juga secara tegas menyatakan bahwa sistem berbagi data global yang ada saat ini tidak setara. Di sini, wacana kedaulatan Indonesia sebagai negara berkembang tengah berhadapan dengan tuntutan lembaga-lembaga dunia untuk berbagi data di bawah bendera Sains Terbuka. 

Dalam bingkai pascakolonial, van Wichelen berargumen bahwa Sains Terbuka sebenarnya ialah proyek politis. Mengasumsikan data sebagai komoditas apolitis dan berbagi data dengan keterbukaan penuh ala Sains Terbuka pada praktiknya hanya akan memberi akses lebih besar bagi negara-negara yang telah diuntungkan oleh ketimpangan global. Ini sama saja dengan kolonialisme model baru. Sayangnya, asumsi sains yang neoliberal semacam ini telah menjadi hegemonik di dunia produksi ilmu pengetahuan sehingga perlu dilihat secara kritis. 

Ia pun menunjukkan ketimpangan tersebut melalui kasus pada bidang bioetika yang banyak terjadi di Indonesia. Sebagai wilayah kepulauan dengan beragam vegetasi, Indonesia amat kaya dengan keanekaragaman hayati. Para ilmuwan konservasi global pendukung proyek Sains Terbuka meminta Indonesia untuk membuka ruang bagi peneliti luar negeri yang akan mengambil data dari Indonesia. Akan tetapi, dengan skema keterbukaan ala pasar bebas ini, agensi dan peran aktif peneliti dalam negeri ikut terancam. Apalagi, yang kerap terjadi ialah model “penelitian helikopter”. Istilah ini merujuk pada kegiatan penelitian oleh negara maju ke sebuah daerah di negara berkembang untuk mengambil data, lalu mereka terbang kembali ke negaranya untuk menghasilkan publikasi ilmiah tanpa kontribusi ataupun rekognisi kepada para peneliti lokal. Ini laiknya helikopter yang sekadar turun untuk menaikkan penumpang lalu terbang kembali dan menghilang.

Dengan agensi yang dipangkas oleh proyek Sains Terbuka, peneliti lokal tidak lagi memegang kendali atas narasi publikasi yang dihasilkan. Padahal, data publikasi tersebut diambil dari daerah mereka—dan tak jarang dilakukan oleh peneliti lokal sendiri. Hasilnya, peneliti lokal menundukkan kedaulatan dan memasrahkan representasi politiknya dalam proses produksi ilmu pengetahuan global kepada para peneliti helikopter dari luar negeri.

Tiga Prinsip Bioetika Global

“Kita tidak bisa memilih di antara kedaulatan dan Sains Terbuka”, jelas van Wichelen. Untuk menengahi dua kutub yang bersitegang itu, ia menawarkan tiga prinsip bioetika global sebagai pedoman produksi ilmu pengetahuan dalam konteks pascakolonial.

Pertama, merekognisi hak kolektif untuk mendorong diseminasi prinsip-prinsip komunitarian. Dorongan ini menempatkan prinsip-prinsip komunitarian sebagai pedoman agar produksi ilmu pengetahuan tidak abai terhadap ketidakseimbangan relasi kuasa yang telah terpatri sejak masa kolonial. Dengan demikian, produksi ilmu pengetahuan didapat melalui partisipasi aktif dan diarahkan menuju kepentingan bersama. 

Kedua, menggunakan kerangka moral transkultural sebagai alternatif terhadap kerangka moral Barat. Melalui kerangka transkultural ini, jalinan kerja sama antarilmuwan dari berbagai konteks kebudayaan akan diperkuat dengan menampik superioritas dan dominasi sepihak.

Ketiga, mendorong para ilmuwan untuk secara eksplisit menentang norma yang mengistimewakan korporasi dalam aktivitas produksi ilmu pengetahuan. Bersambungan dengan kedua prinsip sebelumnya, prinsip ketiga ini kian menegaskan bahwa sains tidak boleh didominasi oleh satu atau beberapa pihak tertentu saja—seperti yang sekarang terjadi dalam monopoli data oleh raksasa korporasi digital seperti Google LLC dan Meta Platforms. Para ilmuwan perlu menentang praktik tersebut dan menggeser agensi dalam produksi ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas.

Membangun Dunia Melalui Data

Data tidak diproduksi dalam ruang hampa. Setiap data diproduksi, disusun, dan diolah di dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Penggunaan data pun juga tidak netral karena ia turut aktif membentuk realita sosial, ekonomi, dan politik. Dengan kata lain, data membentuk hubungan erat dengan politik maupun kehidupan masyarakat di dunia. Terlebih lagi di era mahadata (big data) seperti saat ini.

Lain dari dorongan Sains Terbuka yang mengabaikan relasi data dan manusia yang menghasilkannya, prinsip yang ditawarkan oleh van Wichelen menyadari kesalingterhubungan data dengan manusia dan segala konteks sosial dan politik yang menyertainya. Ia menyerukan daya kritis terhadap proyek Sains Terbuka yang, alih-alih membawa kesetaraan dan kemajuan bersama, justru membuka gerbang lebih luas bagi ketimpangan warisan masa kolonial. Mengikuti tiga prinsip bioetika global, prinsip komunitarian yang transkultural harus disemai demi menentang status quo politik monopoli data yang selama ini melanggengkan ketimpangan melalui paham sains yang neoliberal. Maka, proyek ketidakadilan berkedok Sains Terbuka harus ditangkis demi produksi data dan ilmu pengetahuan yang berkeadilan.

______________________

Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini bersumber dari PXhere.

Tags: etika rezza prasetyo setiawan sains

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju