Sebagian dari wacana populer di Indonesia kerap secara simplistis, baik eksplisit maupun implisit, menarasikan persoalan Rohingya sebagai “konflik agama”. Merespons dari sisi sebaliknya, muncul narasi yang ingin meniadakan adanya peran identitas etnoreligius dalam mengeskalasi konflik.
Persoalan yang menimpa kaum Rohingya itu, yang oleh sebagian lembaga internasional dinyatakan sebagai “pembersihan etnis” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan”, sesungguhnya memiliki elemen berlapis-lapis yang kompleks dan lebih mendasar dari sekadar apakah ia merupakan konflik agama atau bukan konflik agama.
Bila mengikuti perkembangan mutakhir, memang sulit untuk menampik adanya faktor identitas etnoreligius yang turut berkontribusi terhadap eskalasi konflik, yang menelan korban bukan hanya Muslim Rohingya melainkan juga pemeluk agama minoritas lain. Belakangan muncul pula analisis yang berargumen akan adanya faktor ekonomi politik seiring dimulainya demokratisasi dan keterbukaan Myanmar terhadap investasi dari luar.
Namun, tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, bila merujuk pada sejarah persoalan ini dalam dekade-dekade yang telah lampau, ada satu elemen yang menjadi dasar dari lapisan-lapisan itu, yaitu isu kewarganegaraan “etnis Rohingya” yang tak diakui dalam skema “identitas nasional” Burma/Myanmar.
Identitas keagamaan
Elemen keagamaan tidak bisa dikesampingkan mengingat adanya gerakan “ekstremis” yang membuat spiral kekerasan etnoreligius dalam persoalan Rohingya kian sulit dihentikan.
Kelompok Buddhis nasionalis yang dipimpin Ashin Wirathu, Ma Ba Tha, selalu membingkai persoalan Rohingya sebagai konflik agama dan dengan retorika populis: bahwa identitas nasional Myanmar yang Buddhis sedang terancam oleh invasi Muslim “Bengal”. Nama lain Ma Ba Tha adalah Gerakan 969, angka yang menjadi simbol perlawanan terhadap angka yang kerap tertera dalam restoran yang menyediakan makanan halal dan sudah menjadi tradisi berabad-abad Muslim Asia Selatan, 786. Selain mengampanyekan boikot bisnis Muslim, Ma Ba Tha telah berhasil menekan pemerintah untuk meloloskan Undang-Undang “Perlindungan Ras dan Agama” pada 2015 yang, selain makin menguatkan Buddhisme sebagai penanda identitas nasional, menambah daya represi (legal) terhadap kaum minoritas, khususnya Muslim.
Mengesampingkan agensi identitas keagamaan dalam persoalan Rohingya berarti mengabaikan salah satu faktor esensial yang berkontribusi dalam eskalasi konflik. Tetapi menjadikan faktor identitas keagamaan sebagai akar masalah juga keliru.
Di bawah identitas keagamaan ada lapisan lain, yaitu dominasi etnis mayoritas Burma. Konflik yang meliputi Rakhine bukan semata antara militer versus Rohingya. Di pihak orang Rakhine juga muncul gerakan insurgen, yaitu Tentara Arakan yang, bersama Tentara Kemerdekaan Kachin, melawan pasukan militer Myanmar Tatmadaw dalam konflik Kachin yang akar masalahnya sudah berlangsung sejak 1960-an. Rakhine dan Kachin adalah dua dari sekian etnis minoritas Myanmar.
Di samping itu, identitas keagamaan sebagai basis pemecah-belah pihak yang sedang bertikai relatif baru menegang belakangan ini, terutama sejak kerusuhan etnoreligious di Rakhine pada 2012 antara Muslim Rohingya dan Buddhis Rakhine. Ini adalah kerusuhan komunal terbesar dalam sejarah Arakan/Rakhine sejak kemerdekaan Burma dengan hampir 200 orang terbunuh, 86 persen dari rumah-rumah yang hancur milik Muslim, dan tak kurang dari 140.000 menjadi orang-orang terusir di dalam negeri (internally displaced persons/IDPs). Sejak 2012 ini, persoalan Rohingya mulai menjadi perbincangan luas dalam skala internasional. Sejak tahun ini pula, pengusiran terhadap orang-orang Rohingya makin intensif, hingga yang mutakhir yang terjadi pada akhir bulan lalu.
UU Kewarganegaraan 1982
Konflik etnoreligius 2012 itu tak muncul dari ruang hampa. Perbedaan identitas keagamaan, sekalipun sudah dipicu oleh tindakan kriminal segelintir orang, tak bisa bereskalasi menjadi konflik kekerasan komunal tanpa adanya justifikasi yang sanggup “meliyankan” musuh dan mampu menyatukan dan memobilisasi massa. Satu justifikasi itu ialah bahwa, di mata kelompok Buddhis nasionalis, kaum yang menyebut dirinya “Rohingya” bukanlah warga negara Myanmar. Di mata kaum Budhhis nasionalis ini, orang-orang Rohingya adalah imigran Bengal yang berada di Myanmar secara ilegal. Pandangan ini mendapatkan pembenaran legal, yaitu UU Kewarganegaraan Burma 1982.
UU Kewarganegaraan menyatakan eskplisit delapan etnis (sering pula disebut “delapan ras mayor nasional”) yang mendapat status kewarganegaraan penuh, yaitu Burma, Kachin, Kayah, Karen, Chin, Mon, Rakhine, dan Shan. Dalam diskursus politik Myanmar, “ras nasional” ini disebut ”taingyintha”. UU Kewarganegaraan 1982 itu mengatur kewarganegaraan Myanmar dalam tiga tingkat: citizens, associate citizens, dan naturalized citizens. Citizens adalah keturunan taingyintha dan dianggap sebagai orang pribumi. Associate citizens adalah orang-orang non-taingyintha yang mengajukan kewarganegaraan berdasarkan Union Citizenship Act 1948. Naturalized citizens adalah orang-orang non-taingyintha yang sudah tinggal di Myanmar sebelum 1948 dan dapat membuktikan bahwa mereka belum mendaftarkan kewarganeraan berdasarkan aturan 1948 itu. Bila tidak termasuk dalam tiga jenis warga ini, seseorang akan berada dalam kategori “orang asing”.
Kasus yang menjerat kaum Rohingya ialah: jangankan masuk dalam delapan ras yang diakui itu, kaum Rohingya bahkan tak mendapat akses untuk mendapat tingkat kewarganegaraan paling rendah. Lebih dari itu, eksistensi etnis bernama Rohingya tak diakui baik oleh kaum Buddhis nasionalis maupun pemerintah Myanmar. Bagi mereka, tidak ada etnis bernama “Rohingya”; yang ada adalah kaum Muslim Bengal. Aung San Suu Kyi bahkan pernah meminta pelapor khusus HAM PBB untuk menghindari penggunaan istilah “Rohingya” karena sensitivitas isu peristilahan ini dalam diskursus politik yang mendominasi Myanmar. Komisi Penasehat untuk Rakhine bentukan Aung San Suu Kyi dan diketuai oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan akhirnya tidak menggunakan istilah “Bengali” dan “Rohingya”, tetapi “the Muslim community in Rakhine” dalam laporannya.
Delegitimasi keberadaan etnis bernama “Rohingya” juga merembes ke dunia akademik, dengan argumen utama, antara lain, bahwa istilah “Rohingya” adalah invensi belakangan, yang baru muncul tak lebih dari satu abad dan asal muasalnya tak didukung bukti ilmiah. Terhadap upaya deligitimasi ini, sebagian kelompok yang mengadvokasi hak-hak Rohingya berupaya berargumen bahwa kaum Rohingya memiliki hak untuk menamai etnis mereka sendiri dan upaya “Bengalisasi” Rohingya merupakan satu bentuk pemaksaan identitas.
Lembaga-lembaga internasional yang mengadvokasi hak-hak Rohingya juga berpandangan bahwa yang lebih penting dari soal etnisitas Rohingya adalah status kewarganegaraanya, yang tidak terwadahi dalam UU Kewarganegaraan 1982 itu. Dalam lima tahun terakhir, jaringan advokasi internasional untuk Hak Asasi Manusia (HAM), baik dari PBB maupun lembaga lain seperti Human Rights Watch, Amnesty International, Equal Rights Trust, dan Fortify Rights sudah beberapa kali mengeluarkan rekomendasi kebijakan agar pemerintah Myanmar mencabut dan/atau merevisi UU Kewarganegaraan 1982 itu untuk menginklusi kaum Rohingya.
Rekomendasi solusi dengan pencabutan dan/atau revisi UU Kewarganegaraan 1982 ini telah menjadi kecenderungan umum jaringan advokasi internasional untuk mengatasi persoalan Rohingya. Yang terjadi kemudian justru sikap pemerintah Myanmar mengeras dan menganggap usulan semacam itu sebagai campur tangan terhadap urusan dalam negeri dan melanggar kedaulatan negara Myanmar.
Status kewarganegaraan Rohingya
Memberikan pandangan berbeda untuk mengurai status-tanpa-negara (statelessness) Rohingya, Nyi Nyi Kyaw dalam artikelnya Unpacking the Presumed Statelessness of Rohingyas (Journal of Immigrant & Refugee Studies, 2017) berargumen bahwa akar masalah bukan berada dalam UU Kewarganegaraan 1982 dan bahwa kaum Rohingya punya kemungkinan untuk terwadahi dalam UU Kewarganegaraan 1982 itu bila ada kehendak politik untuk itu—sekalipun tak bisa pula ditampik bahwa UU ini mengandung ketentuan-ketentuan yang diskriminatif dalam kacamata HAM. Dengan kata lain, mengikuti Nyi Nyi Kyaw, problem bukan berada di tingkat de jure peraturan, melainkan de facto tindakan politik pemerintah Myanmar.
Dalam artikel yang ia olah dari disertasinya (2015) di University of New South Wales itu, Nyi Nyi Kyaw menyusuri jejak perancangan UU Kewarganegaraan itu dan sejarah status kependudukan dan kewarganegaraan Rohingya. Berikut ini ringkasannya.
UU Kewarganegaraan 1982 lahir di bawah pemerintahan yang dipimpin Jenderal Ne Win yang merebut takhta melalui kudeta pada 1962 dan mengubah politik Burma dalam sistem satu partai, yaitu Partai Progam Sosialis Burma (BSSP). Pemerintahan junta militer ini berkecenderungan nasionalis dalam politik dan sosialis dalam ekonomi, sebagai respons ideologis terhadap Burma di zaman itu yang masih mewarisi xenofobia kolonial selepas merdeka dari Inggris pada 1948, yakni dengan adanya dominasi orang-orang India dan Cina terhadap perekonomian Burma.
Dalam konteks yang demikian, pada 1960-an dan 1970-an, program utama Ne Win ialah nasionalisasi, yang mengakibatkan ratusan ribu orang India diusir dari Burma. Selain itu, untuk menyempurnakan proyek nasionalisasi ini, pemerintahan Ne Win melakukan pengecekan imigrasi dan kependudukan melalui Operasi Raja Naga (Na-Ga-Min) pada akhir 1970-an, khususnya di kawasan perbatasan—yang tidak hanya mencakup Arakan (nama sebelum menjadi Rakhine), tapi juga daerah-daerah perbatasan lain. Sebelum operasi ini, mayoritas penduduk Burma tak memiliki kartu warga negara. Yang mereka punya adalah Kartu Registrasi Nasional (NRC) yang berdasar pada Peraturan Pendaftaran Penduduk Burma 1949. Pemerintah berpandangan pemilik NRC itu tak serta merta berarti warga negara, melainkan sebatas penduduk.
Yang terjadi dalam operasi, bila di daerah-daerah lain relatif berjalan damai, operasi di Maungdaw dan Buthidaung, daerah yang paling banyak dihuni kaum Rohingya, tidak berjalan mulus: lebih dari 100 ribu Muslim melarikan diri ke Bangladesh. Ini kemudian disebut “Eksodus Pertama”. Pandangan pemerintah saat itu: mereka yang melarikan diri takut pada pengecekan karena tak punya dokumen status kependudukan. Seusai operasi ini, imigran gelap yang ditemukan tidak lebih dari 2.000, dan dari jumlah ini hanya 230 orang-orang imigran gelap Bengal yang ditemukan.
Pada 1978, pemerintahan Burma dan Bangladesh bernegosiasi dan menghasilkan kesepakatan bahwa orang-orang Muslim yang melarikan diri ke Bangladesh akan dikembalikan (repatriasi) ke Burma. Sebanyak lebih dari 180 ribu balik ke Burma. Fakta ini mengimplikasikan satu hal penting: orang-orang yang diminta balik ini, yang juga memilki NRC, dapat diakui sebagai penduduk dan punya potensi untuk menjadi warga negara Burma. Fakta lain yang lebih penting: peraturan kewarganegaraan yang berlaku pada saat itu adalah Union Citizenship Act 1948. Berdasar para peraturan ini, saat itu baru ada 21.000 kartu warga negara telah dikeluarkan. Artinya, mayoritas rakyat Burma saat itu bahkan tak punya kartu warga negara. Baru pada 1960-an, hampir semua penduduk Burma saat itu sudah memegang kartu penduduk (NRC).
Pada titik ini, Nyi Nyi Kyaw berkesimpulan bahwa pada akhir 1970-an, sebagian besar, kalau bukan malah semua, orang-orang Rohingya di Arakan memiliki NRC dan ini menjadi bukti yang cukup bagi status kewarganegaraan mereka. Dengan kata lain, orang-orang Rohingya pernah menjadi warga negara Burma.
Pada 1987 dan 1987, Myanmar mengalami kemerosotan ekonomi. Militer mengkudeta pemerintahan BSPP pada 1988 dan sebagai gantinya membentuk Dewan Pemulihan Ketertiban dan Hukum Negara (SLORC). Dari SLORC lahir proyek militarisasi yang menyasar etnis-etnis minoritas di kawasan perbatasan. Proyek ini turut menimpa etnis Rakhine dan Rohingya, namun yang terakhir mengalami pelanggaran HAM yang parah berupa pembunuhan, eksekusi ekstrajudisial, pemenjaraan, pemerkosaan, dan bentuk persekusi lain. Amnesty International dan lembaga sejenis lain melaporkan pelanggaran HAM ini. Orang-orang Rohingya melarikan diri lagi ke Bangladesh, dengan jumlah tak kurang dari 260 ribu orang—ini kemudian disebut “Eksodus Kedua”.
Untuk kedua kalinya, Myanmar dan Bangladesh membuat perjanjian repatriasi pengungsi, namun kali ini tanpa melibatkan lembaga pengungsi PBB (UNHCR). Pengembalian paksa ke Myanmar ini dinyatakan Amnesty International dan HRW sebagai pelanggaran prinsip non-refoulement: tidak boleh memaksa pengungsi kembali ke negara asal jika di negara asal itu diyakini para pengungsi akan mengalami persekusi.
Yang lebih penting dari itu, pada 1989 SLORC meluncurkan kebijakan penggantian NRC dengan Kartu Pemeriksaan Kewarganegaraan (Citizenship Scrutiny Card/CSC) dengan kode warna. Kartu pink untuk citizens. Kartu biru untuk associate citizens. Kartu hijau untuk naturalized citizens. Kartu putih untuk orang asing. Diskriminasi dimulai dari titik ini. Sementara untuk kasus-kasus lain NRC cukup ditukar dengan CSC, orang-orang Rohingya diberi kartu sementara berwarna putih yang berbeda dari kartu putih untuk orang asing. Kartu putih Rohingya ini menjadi tanda bahwa yang bersangkutan disangsikan asal muasalnya dan status kewarganegaraan masih dalam proses. Pemerintahan SLORC tidak memberikan alasan yang memadai dalam diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya ini.
Namun, meski status kewarganegaraannya tak jelas di bawah pemerintahan SLORC, orang-orang Rohingnya mendapat hak memilih dan ikut partai politik. Rohingya ikut serta dalam referendum konstitusi pada 2008 dan pemilu 2010. Rohingya juga dapat berpindah leluasa di dalam wilayah Rakhine, boleh juga ke luar Rakhine namun harus mendapat izin dari badan imigrasi di perbatasan.
Represi terhadap Rohingya kemudian mengeras setelah 2012, yakni pascakerusuhan etnoreligius di Rakhine. Peristiwa ini bisa dibilang merupakan momen watershed dalam sejarah Rohingya. Setelah peristiwa ini, upaya pengakuan Rohingya sebagai warganegara Myanmar menjadi jauh lebih berat dan lingkaran kekerasan yang menjadi akibatnya susah dihentikan. Sentimen anti-Muslim menyebar dan menguat. Kaum Buddhis nasionalis menemukan momentum untuk naik ke permukaan. Ma Ba Tha berdiri pada 2014.
Setelah peristiwa 2012 ini, kaum Buddhis nasionalis memobilisasi massa dan memprotes pemerintah untuk menyatakan agar pemegang kartu putih tak boleh ikut dalam partai politik dan memilih dalam pemilu. Protes kaum Buddhis ini terkabul setelah pada 2014, UU Partai Politik diamandemen dan pemilik kartu putih tak lagi dapat memilih. Pada 2015, Presiden U Thein mengelurkan peraturan bahwa kartu putih habis masa berlakunya pada tanggal 31 Maret 2015. Dalam represi militer dan ketakjelasan status kewarganegaraan, 140 ribu orang Rohingya menjadi IDPs, jumlah yang amat kontras dengan IDPs dari orang-orang Rakhine yang berjumlah tak lebih dari 3 ribu. Sejak peristiwa 2012 itu, ratusan ribu telah mengungsi keluar Myanmar—yang mungkin bisa disebut “Eksodus Ketiga”.
Lalu bagaimana?
Dari penelusuran dokumentasi Nyi Nyi Kyaw itu, ketakjelasan status kewarganegaraan Rohingya tampak karena tiadanya kehendak politik dari pemerintah Myanmar sejak 1980-an untuk mewadahi kaum Rohingya sebagai warga negara, sementara mereka memiliki dokumen yang sama legalnya dan dikeluarkan berdasarkan peraturan yang sama, yang dimiliki oleh sebagian besar orang-orang Burma. Kini upaya untuk mewadahi kaum Rohingya dalam skema “identitas nasional” Myanmar makin susah dilakukan setelah masalah Rohingya makin rumit dan berlapis-lapis seperti saat ini. Sementara orang-orang Rohingya terkatung-katung menjadi orang-orang tanpa-negara, pengakuan status kewarganegaraan Rohingya oleh pemerintah Myanmar tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Dalam kondisi seperti ini, jika Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto pemerintah Myanmar saat ini, cenderung diam, atau secara implisit menolak adanya “pembersihan etnis Rohingya”, dan tak berani mengambil risiko kehilangan pendukung politiknya dalam menyikapi persoalan Rohingya ini, berarti sentimen anti-Rohingya telah menyandera diskursus politik Myanmar.
Satu kehendak politik yang positif sebenarnya telah muncul dari Aung San Suu Kyi, yaitu dengan membentuk Komisi Penasehat tentang Rakhine yang dipimpin Kofi Annan. Laporan dan rekomendasi final dari Komisi ini telah dipublikasikan bulan lalu. Meski tak mendapat mandat untuk menyelediki apakah ada “pelanggaran HAM” di Rakhine, laporan Komisi ini menguraikan lapisan-lapisan yang menyelimuti konflik di Rakhine dan memaparkan jalan yang bisa ditempuh menuju solusi jangka panjang, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi interkomunal di Rakhine dan menguji kembali proses verifikasi status kewarganegaraan. Kehendak politik yang positif dari Aung San Suu Kyi baru akan tampak nanti jika pemerintahannya benar-benar menindaklanjuti rekomendasi dari Komisi itu.[]
*Penulis adalah alumnus dan kini staf CRCS. Setengah isi dari tulisan ini, persisnya bagian subbab “status kewarganegaraan Rohingya”, adalah ringkasan dari artikel jurnal yang ditulis Nyi Nyi Kyaw, Unpacking the Presumed Statelessness of Rohingyas (Journal of Immigrant and Refugee Studies, 2017).
Baca juga: Islam di Myanmar – Bacaan Pengantar