Lapis-Lapis Politik Kewarganegaraan
Gedong Maulana Kabir – 26 Juni 2020
Kewarganegaraan umum dipahami sebagai status hukum yang diberikan oleh suatu negara-bangsa kepada warga negaranya. Relasi dalam pemahaman ini bersifat top-down: negara berkuasa mendefinisikan siapa warga negaranya. Tetapi, dalam kajian gerakan sosial, relasi tersebut dibalik menjadi bottom-up: warga negaralah yang sentral, sedangkan negara berkewajiban untuk memenuhi hak-haknya. Perbedaan pemahaman ini menemukan titik tengkarnya dalam isu-isu terkait politik kewarganegaraan seperti identitas kelas, etnis, budaya, politik, dan agama.
Dalam praktiknya, isu politik kewarganegaraan ini mengejawantah, misalnya, dalam kasus Rohingnya di Myanmar juga status kepengungsian mereka untuk mendapat kewarganegaraan di negara lain seperti di Indonesia—hingga kini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dari PBB. Contoh lainnya adalah pengakuan identitas penghayat kepercayaan, yang secara legal baru bisa menuliskannya di KTP dan KK sejak Putusan MK 2017. Contoh-contoh ini berhubungan langsung dengan sejauh mana peran negara dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak warga negaranya.
Isu politik kewarganegaraan ini dibahas dalam mata kuliah Religion, State, and Society di CRCS yang diampu oleh Dr. Zainal Abidin Bagir. Satu bacaan dalam kelas ini ialah artikel Kristian Stokke, Politics of Citizenship: Towards an analytical framework (2017). Artikel Stokke ini menyediakan kerangka pikir mengenai dimensi apa saja yang memerlukan pengakuan dan pemenuhan hak agar seseorang bisa mendapat status kewarganegaraan penuh.
Empat Dimensi
Stokke memaparkan empat dimensi kewarganegaraan yang saling terkait satu sama lain. Pertama adalah keanggotaan. Substansi dari keanggotaan adalah menjadi bagian dari suatu komunitas—yang terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Dulu, komunitas ini biasanya berupa suku atau masyarakat adat yang homogen dengan penanda distingtif tertentu. Kini, keanggotaan dalam konteks kewarganegaraan terkandung dalam suatu komunitas yang lebih besar bernama negara-bangsa. Penanda distingtif komunitas warga negara bisa menggunakan dasar politis-yuridis suatu negara.
Dimensi kedua dari warga negara adalah status hukum, yang merupakan landasan hubungan kontraktual terkait hak dan kewajiban antara individu dan negara. Warga negara bisa mendapatkan status hukum ini melalui pelbagai alasan seperti status kewarganegaraan orang tua (jus sanguinis), wilayah kelahiran (jus soli), melalui pernikahan dengan warga negara tertentu (jus matrimonii), atau melalui domisili dalam jangka waktu tertentu (jus domicili). Alasan-alasan ini tampaknya sederhana, tetapi pada praktiknya status hukum merupakan perkara yang kompleks. Beberapa masalah tak jarang terjadi, seperti dalam proses naturalisasi dan isu kewarganegaraan ganda—Indonesia tidak mengakui status kewarganegaraan ganda dengan pengecualian anak yang memiliki orang tua dengan status kewarganegaraan berbeda.
Keanggotaan dan status hukum tersebut berkaitan dengan hak, yang merupakan dimensi ketiga. T.H. Marshall dalam Citizenship and Social Class (1992) membagi hak ke dalam tiga jenis, yaitu sipil, politik, dan hak sosial; dan ketiganya melekat satu sama lain. Di samping itu, perkembangan mutakhir diskursus hak juga mulai fokus pada perlindungan terhadap lingkungan dari perusakan. Pada prinsipnya, negara memiliki kewajiban untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi setiap hak warga negaranya (juga lingkungan).
Dimensi terakhir adalah partisipasi warga negara, yang membawa keluar warga negara dari ruang privat menuju ruang publik. Partisipasi ini juga dilandasi beberapa prinsip, baik politis (misalnya bentuk negara dan produk perundang-undangan) maupun etis (seperti etika keadilan feminis dan lingkungan). Dimensi ini pada dasarnya menekankan sifat kewarganegaraan yang aktif untuk turut andil dalam menentukan bagaimana negara semestinya dikelola.
Apa yang hendak dicapai dari telaah terhadap empat dimensi di atas adalah terwujudnya status kewarganegaraan penuh. Indikasi capaiannya adalah dengan terpenuhinya semua dimensi di atas. Jika terdapat satu dimensi saja yang luput dalam diri warga negara, status kewarganegaraan penuh gagal tercapai. Misalnya, jika dari keempat dimensi itu seorang warga negara tidak terpenuhi dalam hak untuk berpartisipasi di ruang publik, status kewarganegaraannya telah dieksklusi secara politis. Jika tidak diakui status keanggotaannya, berarti ia dieksklusi secara yuridis. Dan seterusnya.
Tiga Aspek
Ketakterpenuhan empat dimensi kewarganegaraan itu merupakan satu bentuk ketidakadilan, dan upaya untuk melawan ketidakadilan ini oleh Stokke disebut dengan “politik kewarganegaraan”. Dalam tataran yang lebih rinci untuk masing-masing dari empat dimensi itu, dengan meminjam analisis Nancy Fraser dalam From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a ‘Post-Socialist’ Age (1995), kita bisa membedah keadilan melalui tiga aspek (3R) yang saling terkait, yakni rekognisi, representasi, dan redistribusi.
Tiga aspek dari Fraser ini merupakan ruang untuk mengartikulasikan politik kewarganegaraan. Politik rekognisi ingin mewujudkan inklusi budaya. Politik representasi ingin menjamin inklusi politik. Politik redistribusi ingin mencapai keadilan sosial. Jika hal ini tidak terwujud, maka yang terjadi adalah malrekognisi, malrepresentasi, dan malredistribusi.
Pilihan strategi yang ditawarkan Stokke dalam mewujudkan politik 3R ini adalah afirmasi dan transformasi. Afirmasi berarti strategi mengatasi ketidakadilan tanpa menggeser struktur relasi kuasa yang menjadi akar ketidakadilan, sedangkan transformasi merupakan upaya untuk mengugurkan ketidakadilan dengan fokus pada struktur relasi kuasa yang menjadi dasarnya.
Sementara Stokke fokus pada strategi afirmasi dan transformasi, penting untuk melihat tiga aspek di atas sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam kasus konkret di Indonesia, kita bisa mengambil contoh, misalnya, dari kasus masyarakat adat Ammatoa di Sulawesi.
Rekognisi terhadap Ammatoa hampir tidak mungkin dicapai tanpa adanya representasi dari, dan redistribusi kepada, masyarakat Ammatoa sendiri. Ini karena memahami masyarakat Ammatoa tidak cukup dengan melihat subjek manusianya semata, melainkan juga pandangan-dunia dari adat mereka yang menempatkan alam, tumbuhan, hewan, dan ‘objek-objek’ lain dalam lingkungan mereka sebagai bagian integral dari subjek bernama Ammatoa. Seluruh analisis yang hanya menempatkan manusia sebagai satu-satunya entitas kewarganegaraan akan luput memahami pandangan semacam ini.
Karena itu, rekognisi juga menyaratkan redistribusi dengan menempatkan masyarakat Ammatoa sendiri sebagai representasi mereka sendiri. Representasi menjadi faktor penting karena secara politis ini merupakan pijakan bagi pembuatan kebijakan. Pelibatan representasi dari komunitas lokal merupakan cara terbaik agar kebijakan ini bisa seoptimal mungkin memenuhi keadilan. Kebijakan inilah yang kemudian bisa menjadi basis bagi politik redistribusi untuk memastikan keadilan sosial dan pemenuhan hak-hak warga negara.
Perhatian yang serius terhadap kenyataan multikultural inilah yang pada akhirnya mengantarkan kita pada pandangan tentang keadilan dengan cara pembedaan. Maksudnya, keragaman latar belakang ekonomi-politik-sosial-budaya mengimplikasikan perlunya perlakuan yang berbeda (khusus) terhadap warga negara tertentu.
Pandangan tentang keadilan ini tentu berbeda dengan prinsip kewarganegaraan liberal yang berjangkar pada universalitas, yakni prinsip kewarganegaraan yang menempatkan seluruh masyarakat secara setara dengan tanpa menghiraukan partikularitas masing-masing komunitas. Alih-alih menjamin tercapainya keadilan, pandangan ini cenderung menyokong privilese yang telah dimiliki kelompok yang dominan dan berkuasa dengan mengorbankan kelompok-kelompok rentan.
_____________________
Gedong Maulana Kabir adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Baca tulisan Gedong lainnya di sini.
Gambar header: sejumlah anak penghayat kepercayaan Budidaya memainkan Karinding (ANTARAFOTO/Agus Bebeng).