
Dalam kunjungan pertama ke Huaulu, saya diajak untuk masuk ke wilayah hutan yang menjadi tanah ulayat masyarakat untuk mengamati perangkap buruan yang dipasang beberapa hari sebelumnya. Ketika sampai pada sebuah sungai kecil yang menjadi batas antara desa (Ninianiam) dan hutan (kaitahu), salah seorang warga yang bersama kami berkata, “Ketika masuk ke hutan, biarkan parang tetap dalam sarungnya.” Saya yang kebingungan lalu bertanya alasannya. “Agar tidak membabat sembarangan. Bagi orang Huaulu, banyak sekali pamali di hutan, dan tindakan itu maquwoli ,” jawabnya. Ada sedikit rasa takut ketika mendengar jawaban itu. Selama ini, kata “pamali” sering diasosiasikan sebagai kepercayaan yang lekat dengan kesan horor dan terkait hal-hal celaka.
Pandangan saya itu mungkin mewakili banyak orang yang seringkali melabeli pamali masyarakat Huaulu dengan hal-hal negatif. Misalnya, pamali hutan dianggap sebagai bentuk keyakinan sesat oleh masyarakat di sekitar Huaulu (yang sebagian besar muslim atau umat Kristen). Namun, sepanjang interaksi saya bersama masyarakat Huaulu, saya jadi meragu dan mempertanyakan klaim yang selama ini saya jumpai; Benarkah pamali hutan adalah hal negatif seperti yang diklaim banyak orang? Jangan-jangan pamali tersebut merupakan mekanisme kontekstual dan relevan dalam menunjang kehidupan masyarakat?
Pamali Hutan di masyarakat Huaulu
Pamali atau yang biasa disebut maquwoli bagi masyarakat adat Huaulu memiliki peranan sentral dalam kehidupan mereka secara sosial, budaya, ekonomi, bahkan spiritual (Valeri, 1999). Dalam hal ini, masyarakat Huaulu mengenal beragam jenis maquwoli yang berlaku di berbagai lini kehidupan mulai dari hutan (kaitahu), desa (niniani), hingga norma-norma sosial antarmasyarakat seperti berburu dan berkebun. Di antara berbagai maquwoli tersebut, saya tertarik dengan maquwoli hutan sebab hal itu berkaitan erat dengan kebutuhan pangan dan keseharian masyarakat Huaulu. Di sisi lain, maquwoli hutan mengikat siapa pun yang masuk ke wilayah ulayat hutan Huaulu.
Dalam maquwoli hutan, terdapat beberapa areal yang tidak boleh dibabat. Jika melanggar akan mendapatkan sanksi yang berdampak berat: kami dan banyak warga lain berisiko tidak mendapatkan hewan buruan dalam kurun waktu tertentu. “Bagian itu adalah milik babi, kasuari, rusa. Kita tidak boleh membabat sembarangan,” ujar Sinana Tamatae, salah satu kepala urusan di desa masyarakat Huaulu.
Ada juga pamali untuk terus-terusan mendapatkan hasil buruan menggunakan perangkap. Seperti yang diungkapkan etika seseorang terus-terusan mendapatkan hasil buruan lewat perangkap yang ia pasang. Ia memberikan contoh,
“Misalnya seseorang memasang 20 perangkap dan sebagian besar perangkap tersebut berhasil membunuh hewan buruan, semua perangkap yang tersisa wajib dibongkar, dan orang tersebut dilarang melakukan perburuan untuk durasi waktu yang cukup lama. Itu adalah maquwoli. Jika pamali itu dilanggar, Kaitahu Upuam (sang penjaga hutan) akan membalaskan dendam kematian hewan-hewan dalam bentuk sakit atau musibah”
Melalui diksusi yang lebih intens bersama beberapa anggota masyarakat lain, saya kemudian mendapatkan gambaran mengenai alasan di balik kedua maquwoli tersebut. Dalam paradigma masyarakat Huaulu, membabat dianggap sebagai “mengusir” hewan dari wilayah tersebut, sedangkan membiarkan perangkap tetap terpasang selepas mendapatkan banyak buruan justru meningkatkan potensi hewan menjadi semakin “curiga” akan kehadiran objek asing di zona hidup mereka. Dampaknya tentu besar. Akses terhadap hewan buruan akan menjadi semakin sulit padahal berburu merupakan salah satu cara bagi bagi masyarakat Huaulu untuk memperoleh asupan pangan tinggi protein. Dari sini, terlihat bahwa kedua maquwoli tersebut menjadi semacam mekanisme etis dalam memahami keberlanjutan ekosistem hutan sebagai ruang hidup bersama..
Maquwoli hutan: Integrasi Nalar Ekologis dalam Praktik Religius
Kedua cerita tersebut agaknya sejalan dengan teori yang dicetuskan oleh Evans-Pritchard. Melalui pendekatan interpretatif dalam Witchcraft, Oracles, and Magic among the Azande (1937), ia menjelaskan bahwa agama dalam praktiknya harus dipahami sebagai sebuah sistem yang dilandaskan dengan rasionalitas masyarakat yang mempraktikkannya. Sejalan dengan Pritchard, Harris dalam Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-Teki Kebudayaan (2019) juga menjelaskan bahwa sebuah praktik, tradisi maupun ajaran keagamaan erat berkaitan dengan konteks masyarakat yang menghidupinya. Ia menamainya sebagai materialisme kultural . Singkatnya, tak ada ide maupun praktik keagamaan yang tidak terlepas dari dinamika kontekstual yang melatarbelakanginya.Dengan menggunakan kedua argumen tersebut, agaknya relevan bahwa praktik itu tentunya bukan datang dari kekosongan, melainkan sebuah produk olah pikir masyarakat secara kolektif untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, saya juga melihat bahwa Maquwoli dalam konteks masyarakat Huaulu terbentuk lewat kaidah-kaidah berbasis nalar saintifik (scientific reasoning), ketika pengamatan, analisis, dan penarikan kesimpulan dilakukan secara mendalam dan objektif (Giere et.al, 2006). Hal tersebut termanifestasi secara alami di masyarakat Huaulu melalui beberapa tahapan. Masyarakat Huaulu mengumpulkan data melalui pengamatan intens mengenai ekosistem hutan, perilaku hewan, jalur lalu lintas hewan yang seringkali dibarengi dengan uji coba secara langsung maupun tidak langsung di areal hutan. Temuan-temuan tersebut kemudian mereka diskusikan di ruang-ruang keseharian maupun dalam forum adat yang lebih formal secara kolektif.
Yang menarik, hasil simpulan tersebut kemudian mereka integrasikan ke dalam maquwoli hutan dan praktikkan dalam hidup sehari-hari sebagai sebuah norma sosial-ekologis. Dalam konteks demikian, nalar saintifik dan nalar religius saling melebur. Dengan kata lain, maquwoli hutan bagi masyarakat Huaulu merupakan praktik yang tercipta melalui proses analisis kolektif terhadap hutan sebagai ruang hidup bersama. Alih-alih sebuah pengetahuan takhayul tak berdasar, Maquwoli adalah sebuah gagasan dan praktek hidup yang sangat kontekstual secara sosial-ekologis, yang berakar dari analisis empirik yang mendalam tentang alam, hutan dan keselarasan hubungannya dengan manusia.
______________________
Hanry Harlen Tapotubun adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2017. Kini menjadi pengajar di program studi Agama dan Budaya, Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan, IAKN Ambon.
Baca tulisan Hanry lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim; dan nomor 15 tentang Menjaga Ekosistem Darat.