Masturbasi dan Instrumen Penegas Hierarki Keagamaan
Haris Fatwa Dinal Maula – 6 Maret 2022
Bicara masturbasi bukan hanya bicara tentang “diperbolehkan” atau “dilarang”, melainkan juga mengenai hierarki institusi bernama agama.
Perbincangan mengenai masturbasi sering kali mengandaikan bahasan yang tabu dan privat. Dalam diskursus medis, masturbasi menjadi masih menjadi objek perdebatan apakah itu sehat atau tidak untuk dilakukan. Perdebatan juga terjadi dalam wacana keagamaan. Namun, Jesada Buaban dalam Wednesday Forum 17 November 2021 lalu yang bertajuk “On Masturbation: Religious Purity and Institutional Hegemony in Abrahamic Religions and Buddhism” menawarkan perspektif lain. Masturbasi, di luar dari diskursus dan perdebatan tersebut, berfungsi sebagai instrumen untuk memperkuat hierarki keagamaan, terutama dalam konteks kehidupan biksu-biksu di vihara dan para imam gereja.
Untuk menggali topik ini, Jesada melakukan penelitian pada sumber primer dari agama Kristen dan Buddha. Dalam temuannya, Jesada menunjukkan bahwa sumber-sumber primer kristiani tidak menyebutkan secara implisit tentang masturbasi. Ia berargumen bahwa masturbasi harusnya tidak bisa dikatakan baik atau buruk jika mengacu pada sumber-sumber tersebut secara tekstual. Sementara itu, dalam sumber-sumber primer agama Buddha, masturbasi dijelaskan secara gamblang. Melalui premis-premis tersebut, Jesada membangun sebuah pertanyaan mendasar yang ia paparkan dalam forum, bagaimana sebenarnya fungsi masturbasi dalam tradisi Buddhis dan biblikal?
Masturbasi dalam Wacana Tafsir Biblikal
Setidaknya ada dua kisah di Alkitab yang kerap menjadi rujukan dalam menarik hukum masturbasi. Kitab Kejadian 1:26-28 sering dipahami sebagai perintah Tuhan kepada manusia untuk bereproduksi melalui hubungan seksual sekaligus larangan melakukan masturbasi. Artinya, hubungan seksual haruslah bertujuan untuk melahirkan keturunan, bukan untuk memenuhi hasrat semata. Konsekuensinya, ketika ia diniatkan selain untuk melakukan pembuahan, hubungan seksual merupakan hal yang buruk. Asal-usul hukum masturbasi dalam tradisi Alkitab juga ditemukan dalam kisah Onan dalam Kitab Kejadian 38: 8-10,
(8) Lalu berkatalah Yehuda kepada Onan: “Hampirilah isteri kakakmu itu, kawinlah dengan dia sebagai ganti kakakmu dan bangkitkanlah keturunan bagi kakakmu.” (9) Tetapi Onan tahu, bahwa bukan ia yang empunya keturunannya nanti, sebab itu setiap kali ia menghampiri isteri kakaknya itu, ia membiarkan maninya terbuang, supaya ia jangan memberi keturunan kepada kakaknya. (10) Tetapi yang dilakukannya itu adalah jahat di mata Tuhan, maka Tuhan membunuh dia juga. (Genesis 38:8-10)
Ayat ini kerap menjadi legitimasi untuk mengutuk akivitas masturbasi. Banyak teolog Kristen menafsirkan bahwa hukuman kematian dari Tuhan datang kepada Onan akibat ia membiarkan maninya terbuang—yang berarti menyia-nyiakan benihnya.
Menurut Jesada, pemahaman semacam ini tidak valid terutama ketika dijadikan justifikasi pelarangan masturbasi. Hubungan seksual dan masturbasi merupakan dua hal berbeda. Sedari awal, masturbasi jelas tidak dilakukan untuk kepentingan reproduksi. Lagipula, tafsir mengenai hubungan seksual tersebut belum cukup mewakili makna hakiki dalam Kitab Kejadian tersebut. Karena lagi-lagi, hal itu hanyalah sebuah produk interpretasi. Alih-alih sebagai dasar pelarangan, menurut Jesada, dalil-dalil tersebut cenderung menunjukkan bahwa masturbasi tidak terlegitimasi dalam Alkitab. Kalaupun masturbasi tetap “diharamkan” mengacu pada kisah Onan tersebut, lalu bagaimana dengan masturbasi yang dilakukan oleh wanita? Bukankah wanita tidak mengeluarkan sperma seperti yang dilakukan oleh pria ketika masturbasi?
Tradisi Buddha dan Justifikasi terhadap Masturbasi
Tradisi Buddha lebih gamblang dalam membahas masturbasi. Vinaya Pitaka, bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka, kitab suci agama Buddha, dalam Sanghadisesa:1 menyatakan bahwa larangan masturbasi pada para biksu berangkat dari kewajiban biksu yang harus menjalankan praktik asketik (pertapaan). Misalnya, agar dapat mendedikasikan lebih banyak waktu untuk belajar dan bermeditasi, para biksu tidak mencari makanan dengan cara bekerja. Mereka menerima makanan dari sumbangan umat. Dengan demikian, masturbasi seorang biksu merupakan hal yang tidak dapat diterima.
Perlu dicatat bahwa tradisi Buddhis memiliki pembedaan aturan keagamaan yang tegas antara para biksu dan orang awam. Kehidupan para biksu mensyaratkan standar-standar aturan moral yang lebih ketat. Orang awam tidak dituntut untuk melaksanakan aspek-aspek kehidupan keagamannya dengan sempurna. Dengan demikian, tidak semua umat Buddha rupanya boleh melakukan masturbasi.
Penganut Buddha dari kalangan awam memiliki aturan yang lebih fleksibel terkait praktik masturbasi. Jesada menuturkan, dalam tradisi Buddha, orang awam hanya diharuskan mengikuti lima prinsip dalam Pancasila Buddha yaitu: menahan diri dari membunuh, menahan diri dari mengambil apa yang tidak diberikan, menahan diri dari penyalahgunaan indera (termasuk perzinahan), menahan diri dari ucapan yang salah (atau berbohong), dan menahan diri dari zat yang memabukkan (seperti alkohol). Perzinahan, dalam tradisi Buddha, memiliki definisi yang jelas yaitu hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. Oleh karenanya, masturbasi menjadi hal wajar di kalangan umat Buddhis awam.
Garis tegas inilah yang, menurut Jesada, membedakan justifikasi praktik masturbasi antara tradisi Buddha dan biblical. Agama Kristen tidak membincang mengenai hukum masturbasi secara gamblang dalam kitab keagamaan utamanya. Sementara tradisi Buddha membincang masturbasi melalui dua sudut pandang sekaligus, biksu dan orang awam.
Masturbasi Sebagai Justifikasi Kesucian
Meski memiliki perbedaan dalam kadar ketegasan penarikan hukum, tradisi Buddha dan Kristen punya pendekatan yang serupa dalam memaknai masturbasi. Keduanya menganggap bahwa menjauhi masturbasi merupakan tindakan yang perlu dilakukan jika manusia ingin memiliki kualitas kesucian yang tinggi: the angelic soul in the human body, jiwa malaikat dalam tubuh manusia. Salah satu caranya adalah dengan mempraktikkan hidup asketis ala pertapa: menjadi biksu dalam tradisi Buddha atau menjadi romo dalam tradisi Katolik. Dalam hal ini, Jesada mengutip Lukas 20:36,
Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan.
Menurut Jesada, ayat ini bisa juga dimaknai bahwa jika orang tidak melakukan masturbasi, maka mereka seperti malaikat yang berada di surga karena tindakannya yang sesuci malaikat. Sementara itu dalam tradisi Buddha, masturbasi yang dilakukan oleh orang awam adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Tidak ada istilah baik-buruk dan boleh-tidaknya masturbasi dalam wacana umat awam Buddha. Namun, jika seseorang berhenti melakukan hubungan seksual atau masturbasi, maka ia akan mencapai level brahmacharya. Dalam bahasa sansekerta, brahma artinya ‘Tuhan’. Artinya jika seseorang tidak melakukan hubungan seksual atau masturbasi, maka ia layaknya seorang manusia yang melakukan praktik ketuhanan.
Argumentasi-argumentasi tersebut mengarah pada alasan mengapa orang Buddha perlu untuk memuliakan para biksu sama halnya mengapa orang Kristen merasa perlu untuk menghormati romo. Menurut Jesada, alasannya tidak lain karena mereka merupakan purified people (orang yang disucikan). Dengan berpantang dari praktik-praktik tersebut, mereka bukan lagi manusia biasa, melainkan laiknya malaikat dalam bentuk manusia suci. Dalam bahasa yang lain, orang yang masih melakukan pernikahan, hubungan seksual, dan masturbasi berarti masih terikat dengan kepentingan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh orang awam. Biksu, dalam tradisi Buddha, dianggap suci dan melampaui manusia awam. Oleh karena itu, untuk menjaga reputasi itu, biksu dilarang untuk melakukan hal-hal duniawi yang berbau seksualitas.
Meminjam konsep milik Max Weber tentang legitimasi dan dominasi, menjaga jarak dari masturbasi serta jenis aktivitas seksual lainnya tidak sekadar dilihat sebagai aktivitas penyucian jiwa. Akan tetapi, praktik itu juga sebagai upaya pembentukan kesucian institusi dan legitimasi moral para imam di tingkat yang lebih tinggi dalam komunitas keagamaan. Implikasinya, orang awam cenderung memandang para asketis seperti biksu Buddha dan romo sebagai orang suci. Dengan demikian, menyumbang ke kuil atau gereja, dalam konteks tersebut, dapat menciptakan karma atau ganjaran yang lebih baik dari pada menyumbang ke organisasi sekuler. Tindakan ini, dalam bahasa Weber, bisa disebut “dominasi tradisional” atau “legitimasi tradisional”, yaitu sebuah keyakinan terhadap praktik penyucian tradisi dan kebiasaan lama. Tipe dominasi ini diterapkan oleh kepala suku, kepala keluarga, kaum aristokrat feodal, hingga tokoh keagamaan.
Diskursus tentang masturbasi secara eksplisit menyentuh pada penegasan status biksu dalam Buddha dan romo dalam Kristen. Bedanya, pandangan dan penjelasan Buddha tidak didasarkan pada gagasan tentang perintah Tuhan, tetapi hanya didasarkan pada aspek spiritual seperti konsep penderitaan dan karma. Diskusi tersebut juga menegasikan pengutukan masturbasi yang menghubungkannya dengan kenajisan, nafsu, atau kecanduan. Bicara masturbasi, tegas Jesada, bukan hanya bicara mengenai “diperbolehkan” atau “dilarang”, melainkan juga mengenai hierarki keagamaan.
______________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.
Rekaman Wednesday Forum “On Masturbation: Religious Purity and Institutional Hegemony in Abrahamic Religions and Buddhism” oleh Jesada Buaban