Melampaui Materialisme Kultural:
Relasi Anjing dan Manusia dalam Perspektif Orang Huaulu
Vikry Reinaldo Paais – 20 September 2023
Pernah nonton film Hachiko: A Dog’s Story? Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini bercerita tentang seekor anjing bernama Hachiko di Jepang yang sangat setia kepada tuannya. Hachiko akan selalu pergi ke statsiun kereta untuk menanti kedatangan tuannya yang sehabis bekerja. Akhir film ini begitu mengharukan. Hachiko yang tidak tahu bahwa tuannya telah lama meninggal terus menanti kedatangan sang tuan di stasiun kereta. Hachiko terus menanti sampai akhirnya meninggal di tempat yang sama ia biasa menunggu tuannya. Saya sendiri sampai meneteskan air mata menonton akhir kisah Hachiko. Saking fenomenalnya kisah tersebut, orang Jepang sampai membuatkan patung anjing di depan stasiun Shibuya untuk mengenangnya. Kisah Hachiko adalah contoh relasi manusia dan hewan yang sangat intim.
Secara historis, hubungan manusia dan anjing telah berlangsung lama, setidaknya sejak 15.000 tahun lalu. Kendati demikian, hubungan keduanya adalah realitas yang kompleks. Di berbagai belahan dunia, anjing kerap dipelihara untuk membangun kasih sayang dan perhatian—tak sekadar piaraan tetapi juga teman keseharian. Di saat yang sama, eksploitasi dan kekerasan terhadap anjing juga terjadi di mana-mana (lihat Prato-Previde et al., 2022). Masyarakat Indonesia, misalnya, merupakan salah satu pengonsumsi daging anjing dengan jumlah tertinggi di dunia.
Kendati demikian, di Indonesia juga terdapat kelompok masyarakat yang secara tegas menolak konsumsi atau bahkan penganiayaan terhadap anjing. Penolakan tersebut berkaitan dengan nilai adat yang diinternalisasi sejak ratusan tahun. Mereka adalah masyarakat adat Huaulu.
Huaulu, Mitos Wassulau, dan Pamali
Huaulu adalah salah satu desa adat yang terletak di Pulau Seram, Provinsi Maluku. Secara geografis, desa ini terletak di daerah pegunungan bagian utara Pulau Seram. Ciri khas mereka adalah menggunakan ikat kepala merah dan mempertahankan konstruksi rumah tradisional atau rumah panggung. Kehidupan masyarakat Huaulu sangatlah bergantung pada ketesediaan alam. Mereka harus masuk-keluar hutan demi memenuhi kebutuhan, seperti pangan, ekonomi, maupun ritual.
Bagi masyarakat Huaulu, hubungan manusia dengan anjing merupakan hubungan yang sakral. Menyakiti anjing, apalagi mengonsumsi dagingnya, adalah perbuatan tabu (pamali) yang sangat dihindari karena konsekuensinya hanya satu, kematian. Dibandingkan dengan pamali lainnya terkait hewan, pamali anjing punya konsekuensi paling berat. Bahkan, beberapa orang dengan tegas menekankan bahwa siapa pun dari kalangan mereka yang makan daging anjing akan mati saat itu juga.
Relasi masyarakat Huaulu yang dalam dan begitu sakral dengan anjing ini terekam lewat mitos Wassulau. Valerio Valeri dalam disertasinya The Forest of Taboos, mendokumentasikan mitos tersebut ke dalam beberapa plot. Berikut ringkasannya:
“Dahulu, hiduplah seseorang bernama Heuwe dan anjing yang benama Wassulau. Wassulau memiliki delapan anak. Pada suatu hari, Heuwe hendak pergi berburu. Ia lantas meminta salah satu anak Wassualu untuk menemaninya. Ketika berburu, anak Wassulau mengejar rusa hingga ke gunung, ia menggonggong dan berhasil melumpuhkan seekor rusa. Heuwe lantas membunuh rusa itu dan juga anjingnya.
Beberapa hari kemudian, Heuwe hendak berburu untuk kedua kalinya, ia meminta anak Wassulau untuk menemaninya lagi. Tindakan yang sama dilakukan Heuwe: membunuh hewan buruan beserta anjingnya. Hal itu terus dilakukannya hingga telah membunuh tujuh anak Wassulau. Sekarang kedelapan kalinya Heuwe hendak berburu. Seperti biasanya, Ia meminta lagi anak Wassulau untuk menemaninya. Permintaan itu ditolak Wassulau karena ketujuh anaknya telah dibunuh dan hanya tersisa satu anak terakhir.
Akhirnya, Heuwe pergi berburu seorang diri tanpa ditemani anjing. Ia memanah seekor babi liar. Babi itu lari ke sarangnya. Heuwe terus mengejarnya. Tak disangka Heuwe malah dikejar balik oleh kawanan babi dengan taring tiga inci. Heuwe memanjat pohon, tapi babi-babi merobohkannya. Ia berpindah ke pohon lain. Lagi-lagi kawanan babi merobohkannya. Heuwe lalu berpindah ke pohon kalondong hutan yang berbatang asam. Babi-babi menusuknya tetapi mereka berhenti karena merasakan asam di taringnya. Akhirnya babi-babi menunggu di bawah pohon hingga Heuwe turun.
Heuwe yang panik lantas memanggil Wassulau sebanyak tiga kali. Wassulau yang mendengar itu langsung memerintahkan anaknya yang terakhir untuk menemui Heuwe. Setibanya, anak Wassulau kaget melihat kawanan babi. Babi-babi itu langsung menyerang anak Wassulau. Anjing itu lantas menggonggong dan semua babi-babi itu mati. Ia menggonggong lagi dan semua binatang berbahaya mati” (diadaptasi dari Valeri, 2000: 190-192).
Cerita Wassulau tersebut menjadi sumber pamali masyarakat Huaulu terkait anjing. Sederhananya, pamali adalah bentuk pantangan atau larangan terhadap suatu hal (penjelasan lebih jauh tentang pamali dapat disimak pada Catatan dari Negeri Huaulu) Penting untuk digarisbawahi, pamali tersebut tidak menempatkan keterpisahan antara anjing sebagai hewan suci dan manusia. Pamali tersebut justru memberi ruang bagi kesetaraan dan memungkinkan relasi keduanya bersifat resiprokal. Manusia membutuhkan anjing untuk bertahan hidup, begitu pun sebaliknya. Dengan kata lain, bagi orang Huaulu, anjing adalah sesama yang juga memiliki hak hidup dan bukan sekadar hewan yang dengan bebas didominasi oleh manusia.
Anjing dan Manusia: Dari Kedekatan Spasial menjadi Emosional
Marvin Harris, dalam Cows, Pigs, Wars, and Witches (1974), menjelaskan secara antropologis hubungan antara manusia dan hewan dalam berbagai kebudayaan di dunia, sebut saja sapi yang disucikan oleh beberapa orang Hindu India; babi yang diharamkan agama Yahudi dan Islam; serta babi yang dipuja oleh suku Maring, Papua New Guinea. Singkatnya, bagi Harris, setiap bentuk konstruksi terhadap hewan merupakan hasil negosiasi yang sangat berkaitan dengan ruang dan waktu. Sapi, misalnya, sangat disakralkan oleh sebagian besar pemeluk Hindu di India karena sepanjang sejarah peradaban di Sungai Indus, hewan tersebut berperan vital bagi keberlangsungan kehidupan manusia (ulasan lebih lanjut buku Harris simak Pendekatan Materialisme Kultural dalam Studi Agama). Kita dapat menggunakan pendekatan Harris secara kritis untuk menjelaskan hubungan manusia dengan anjing di Huaulu dalam dimensi spasial.
Narasi dalam mitos Wassulau bahwa anjing adalah penolong manusia dapat dipahami berdasarkan pengetahuan esoterik. Narasi ini bukan soal benar atau salah—bukan pula soal fakta empiris atau sekadar “mitos”, melainkan bagaimana konstruksi gagasan dan perilaku yang dibangun atasnya. Mitos Wassulau adalah cara orang Huaulu menjelaskan fakta sosiologis dan geografis mereka. Orang Huaulu yang menetap di daerah pegunungan yang dikelilingi Hutan tentu menggantungkan hidupnya pada hasil hutan. Kehidupan di dalam hutan dan gunung tidak sesederhana dan tidak seaman yang diperkirakan banyak orang. Banyak bahaya yang mengancam. Dalam konteks tersebut, jika menggunakan pendekatan Marvin Harris, maka kita dapat menjelaskan signifikansi anjing lewat dua hal: pemburu dan penjaga.
Pertama, anjing yang gemar berburu sering disebut sebagai “anjing kapitan”. Dalam narasi orang Maluku, kapitan artinya ‘pemimpin yang penuh keberanian’. Dengan demikian, anjing kapitan artinya anjing yang penuh keberanian. Dalam setiap perburuan, anjing merupakan pemimpin sementara manusia menjadi pengikut. Manusia akan mengikuti ke mana anjing berlari dan menggonggong. Jika anjing berhasil melumpuhkan sasaran, barulah manusia mengambil peran sebagai eksekutor. Hasil tangkapan anjing tentu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan akan diberikan kepada manusia. Relasi inilah yang menjadi alasan orang Huaulu menganggap bahwa anjinglah yang memberi makan manusia.
Kedua, sebagai penjaga. Dalam kehidupan liar di hutan, manusia kurang memiliki kecakapan mendeteksi adanya kemungkinan bahaya. Keterbatasan tersebut dilengkapi oleh anjing. Jika ada ancaman, anjinglah yang pertama kali menyadari dan memberi tanda, bahkan ia jugalah yang pertama kali menghadapinya. Dengan kata lain, anjing lebih dahulu mengambil konsekuensi dan risiko. Ia bisa saja terluka atau bahkan terbunuh saat mengejar dan beradu dengan hewan buruan. Singkatnya, anjing akan mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi tuannya.
Dalam pendekatan materialisme kultural ala Harris, faktor geografis dan produktivitaslah yang menempatkan anjing dalam posisi signifikan pada kebudayaan Huaulu. Akan tetapi, muncul pertanyaan, apakah anjing yang tidak lagi produktif tetap dianggap signifikan?
Pamali anjing merupakan identitas yang tak terpisahkan dari masyarakat Huaulu. Mereka yang beralih agama—misalnya ke Kristen—dapat terlepas dari ikatan pamali melalui ritual pelepasan ikatan yang disebut dengan titinufu. Akan tetapi, tidak demikian dengan pamali anjing. Banyak orang Kristen di Huaulu mengaku tidak mengonsumsi bahkan membunuh anjing meski sudah berpindah agama. Tak sedikit di antara mereka yang mengekspresikan ketakutan ketika membahas tentang perilaku mengonsumsi daging anjing ataupun membunuhnya. Singkatnya, peralihan agama tidak berarti melepas keterhubungan antara manusia dengan anjing.
Fenomena ini menjelaskan bahwa hubungan manusia dan anjing di Huaulu bahkan melampaui gagasan materialisme kultural ala Harris. Oleh karena itu, saya sepakat dengan Valerio Valeri, yang menjelaskan hubungan orang Huaulu dengan anjing dalam tiga kategori: sosial, kategoris, dan emosional. Artinya, secara fisik anjing mirip dengan manusia, dan menjadi lebih bermakna karena ia tinggal bersama manusia, berburu bersama bahkan makan bersama. Kedekatan spasial ini kemudian melibatkan kedekatan kategoris yang kemudian membentuk identifikasi emosional (Valeri, 2000: 348). Jika menggunakan tingkatan kategori Valeri, materialisme kultural ala Harris hanya akan berhenti pada kategori spasial. Dengan kata lain, signifikansi hubungan manusia dengan anjing pada masyarakat Huaulu tidak sekadar terpenjara pada utilitas dan produktivitas. Ia adalah bagian dari identitas.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini dipotret oleh Wagino 20100516
bacaan indah