Melawan Perdagangan Orang, Agama Bisa Apa?
Rezza P. Setiawan – 30 Oktober 2023
Realitas perbudakan nyatanya tidak pernah sungguh-sungguh kita tinggalkan. Pakaian, sepatu, laptop, ataupun gawai yang kita gunakan untuk membaca artikel ini boleh jadi hasil dari perbudakan yang tidak (ingin) kita sadari. Kerja paksa itu tidak hanya ada di zaman kolonial, tetapi juga di era milenial. Ia berganti rupa dalam bentuk perdagangan orang. Para sindikat perdagangan orang mencari korban di daerah asal dengan iming-iming gaji besar. Para korban kemudian dibawa ke negara lain dan diperkerjakan tanpa legalitas yang jelas. Akibatnya, mereka tidak bisa menuntut haknya sebagai manusia, apalagi sebagai pekerja. Tak jarang dari para korban itu pulang hanya tinggal nama dan jasadnya. Data BP2MI menunjukkan setidaknya ada 1.900 jenazah WNI yang dipulangkan sebagai korban Tindak Pindana Perdagangan Orang (TPPO).
Topik keras ini menjadi bahasan dalam diskusi pleno pertama The 6th International Conference for Human Rights di Fisipol UGM (25/6). Sesi diskusi yang dipantik oleh Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM, ini mengangkat masalah pemberantasan perdagangan orang di Asia Tenggara melalui pendekatan hak asasi manusia.
Pengabaian, Pembiaran, hingga Keterlibatan Oknum Negara
Negara-negara di Asia Tenggara, menurut penelusuran Anis, adalah kawasan yang paling banyak menjadi asal maupun tujuan para pekerja migran. Bahkan, Indonesia menempati peringkat tertinggi penyumbang pekerja migran di dunia. Di sisi lain, masalah pekerja migran di dunia masih dihantui kasus eksploitasi seksual dan tenaga kerja anak. Menurut data ILO (International Labour Organization), badan PBB yang menangani ketenagakerjaan, tak kurang dari 80% dari jumlah korban eksploitasi seksual pada pekerja migran ialah perempuan. Lebih mengejutkan lagi, sebanyak 36% dari pekerja migran tersebut adalah anak-anak.
Begitu peliknya permasalahan ini hingga menjadi salah satu agenda dalam ASEAN Summit ke-42, September 2023 lalu, ketika Indonesia menjadi tuan rumah. Pertemuan tersebut menghasilkan tiga dokumen kesepakatan untuk menanggulangi permasalahan perdagangan orang. Akan tetapi, Anis meragukan langkah-langkah normatif tersebut. Anis menunjukkan ketimpangan antara begitu banyaknya dokumen yang sudah disepakati di negara-negara ASEAN tentang hak-hak pekerja migran dan sedikitnya kekuatan implementasi dokumen-dokumen tersebut di lapangan. “Walaupun ASEAN sudah memiliki banyak instrumen (yang melindungi hak-hak pekerja migran), kita masih menghadapi tantangan besar akan sindikat perdagangan orang yang semakin gencar, terutama setelah pandemi,” jelas Anis.
Perkara ketimpangan ini kemudian menjadi perhatian utama dalam sesi diskusi. Anis menyoroti setidaknya ada dua hal yang menjadi kendala dalam implementasi perlindungan terhadap perdagangan orang. Pertama, kurangnya alokasi dana nasional untuk menanggapi masalah tersebut. Kedua, ketidakterhubungan organisasi-organisasi di tingkat nasional dan lokal dalam penanganan perdagangan orang ini. Keterputusan ini membuat proses pengawasan di lapangan tidak dapat berjalan dengan baik.
Pada sesi diskusi, salah satu partisipan merespon dengan bercerita pengalaman buruknya dengan peran pemerintah dalam menanggapi kasus perdagangan orang. Menanggapi hal itu, Anis menyayangkan bahwa oknum-oknum yang terlibat dalam sindikat perdagangan orang kerap menduduki posisi penting dalam pemerintahan. “Perdagangan orang merupakan bisnis besar yang tidak dapat dengan mudah dijalankan tanpa keterlibatan dari oknum-oknum tersebut,” ujarnya. Dengan kondisi demikian, wajar saja jika Anis meragukan kinerja pemerintah.
Keterlibatan oknum-oknum pemerintahan dalam sindikat perdagangan orang di Indonesia mengingatkan kita kembali pada kriminalisasi terhadap Romo Paschalis beberapa waktu lalu. Paschalis dilaporkan ke polisi oleh Bambang Panji Prianggodo, Wakil Kepala BIN Daerah Kepulauan Riau, atas tuduhan pencemaran nama baik. Pasalnya, Romo Paschalis sebagai Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau mengajukan surat aduan masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik oleh Bambang Panji yang meminta Kapolsek Pelabuhan Batam untuk membebaskan pelaku perdagangan orang.
Lantas, Agama Bisa Apa?
Melalui kasus ini kita juga diajak untuk merenungkan kembali posisi orang-orang beragama di hadapan dan di dalam isu perdagangan orang. Di satu sisi, ada orang seperti Paschalis yang menjalani keimanannya melalui perlawanan terhadap perdagangan orang. Di sisi lain, ada pula laporan tentang pendeta dan penatua gereja yang terlibat dalam aktivitas perdagangan orang ini sebagai perekrut. Tak tanggung-tanggung, di samping iming-iming uang puluhan juta rupiah, para pemuka agama ini menggunakan dalil-dalil agama dan otoritas keagamaannya sebagai alat rayu.
Dalam konteks semacam ini, agama dapat menjadi instrumen pendukung perdagangan orang ataupun iman penggerak untuk melawan TPPO. Secara harfiah, “agama” memang tidak mampu melakukan apa-apa karena agama hanya ada dan berpengaruh melalui orang-orang yang menjalankan perilaku keberagamaannya itu. Geertz menggarisbawahi fungsi agama di tengah masyarakat sebagai sebuah sistem simbol yang mampu membawa dan melanggengkan sebuah motivasi bagi para pelakunya. Karenanya, para pimpinan agama seperti Paschalis memegang peran penting sebagai penggerak kesadaran dan aksi untuk melawan perdagangan orang melalui pesan-pesan yang disampaikan bagi umat. Ruang-ruang keagamaan dapat menjadi tempat untuk menumbuhkan kesadaran akan isu-isu perdagangan orang agar umat turut mengambil bagian dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Di tengah keruwetan berlapis atas masalah perdagangan orang ini, agama mampu berperan penting melalui para penganutnya, baik sebagai pemuka maupun umat beragama. Perjuangan melawan perdagangan orang dapat dihayati sebagai pengejawantahan nilai-nilai keimanan sebagaimana ditapaki oleh Paschalis dalam aktivismenya. Jika (penganut) agama tidak bergerak, agama akan terus dimanfaatkan oleh para pedagang nyawa.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari PXhere.