Membebaskan Raga, Membongkar Paradigma
Hanny Nadhirah – 22 September 2023
Apa yang terjadi jika tubuh manusia “dibebaskan” untuk bergerak?
Gerakan rupanya memungkinkan individu untuk lebih memahami diri mereka sendiri, membuka pintu ke pengalaman dialog lintas budaya, serta memperkuat koneksi dengan alam. Temuan inilah yang Emma Meehan—Associate Professor di Centre for Dance Research, Universitas Coventry—bagikan dalam presentasinya di Wednesday Forum (30/8) bertajuk “Dialogue Moves: Practicing Research with Amerta Movement”. Dalam proyek riset kolaborasi dengan CRCS UGM, sosok yang akrab dipanggil Emma ini mengeksplorasi Joged Amerta atau Amerta movement sebagai medium untuk dialog lintas budaya melalui pendekatan practicing research.
Joged Amerta dan Pendekatan Practicing Research
Joged Amerta adalah serangkaian gerakan yang dikembangkan oleh Suprapto Suryodarmo dari perjalanan hidupnya bersentuhan dengan praktik Buddhisme dan tradisi meditasi Jawa, Sumarah. Rangkaian gerak dalam Joged Amerta mengambil inspirasi dari gerak sehari-hari manusia, seperti berdiri, berjalan, bahkan berbaring. Pada prinsipnya, Joged Amerta menekankan agar manusia dapat lebih fokus terhadap kondisi di dalam dan di luar diri mereka.
Konsep Joged Amerta inilah yang memantik Emma untuk melakukan penelitian dengan pendekatan practicing research. Pendekatan ini melibatkan peneliti secara langsung dalam subjek penelitiannya, salah satunya melalui praktik langsung, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Pendekatan practicing research kerap digunakan dalam seni, desain, dan bidang kreatif lainnya. Namun, metode penelitian ini belum banyak digunakan di ranah dialog lintas agama dan budaya.
Kebebasan Berekspresi dan Berefleksi
Gerak dalam Joged Amerta tidak terikat pada interpretasi atau aturan khusus. Setiap individu dapat mengekspresikan gerakan tubuh tanpa perasaan takut akan penilaian orang lain. Kebebasan ini memiliki makna yang mendalam. Gerakan tubuh kita sering kali dibatasi oleh pola pikir, budaya, dan norma sosial di sekitar kita. Menurut Emma, kondisi yang demikian membuat tubuh kita tidak bisa mencapai potensi maksimalnya. Emma menyarikan praktik Joged Amerta dalam tiga tahap: mengenali diri sendiri, mengenali lingkungan sekitar, dan membiarkan tubuh bergerak sesuai “kehendaknya”. Dengan demikian, Joged Amerta dapat memberikan ruang untuk tubuh agar dapat bergerak lebih leluasa demi meraih kebebasan raga dan jiwa.
Tidak terbatas pada praktik fisik, Joged Amerta juga menjadi sarana untuk berefleksi diri lebih mendalam. Pemaknaan gerakan dalam Joged Amerta bersifat subjektif. Apa pun gerakan yang dilakukan memiliki makna sesuai dengan interpretasi individu yang mempraktikkannya—baik sekadar melepas penat atau berefleksi terkait kehidupan dan asal penciptaan. Upaya pembebasan pemaknaan inilah yang membuat Joged Amerta sebagai jembatan untuk perjalanan spiritualitas pelakunya.
Sarana Dialog Lintas Budaya
Kebebasan berekspresi dan berefleksi ini menjadi modal awal yang penting untuk berdialog dengan individu dari berbagai macam latar belakang. Dalam konteks Joged Amerta, dialog bukan berarti dialog dalam bentuk bertukar kata yang disampaikan antarindividu seperti yang kita biasa pahami. Menurut Emma, dialog dalam konteks ini dimaknai sebagai momen ketika individu satu dengan yang lainnya melakukan gerak bersama—yang tak harus sama—dalam satu ruangan, menikmati alunan gerakan yang mereka lakukan tanpa memandang identitas masing-masing. Melalui dialog nonverbal ini, individu-individu dapat saling terhubung sehingga membuka peluang berdialog lintas budaya.
Senada, Erica R. Jeffry dalam “Dance in Peacebuilding: Space, relationships, and embodied interactions” (2017) juga menggarisbawahi relasi antara tari dan dialog. Jeffry mengangkat riset pengaruh lokakarya tarian tongkat di Fiji terhadap perubahan interaksi antarindividu dari beragam latarbelakang. Ia menyimpulkan bahwa tarian tongkat berhasil menciptakan ruang bagi para pesertanya untuk memulai interaksi satu sama lain. Selain itu, keakraban yang dipicu oleh tarian ini juga membuat mereka mengesampingkan persepsi negatif yang dimiliki sebelumnya. Temuan Jeffry tersebut beresonansi dengan temuan Emma tentang Joged Amerta dan jembatan dialog lintas budaya.
Membangun Keterhubungan dengan Alam
Selain menjadi sarana untuk melakukan dialog dengan sesama manusia, Emma pun mengungkapkan bahwa Joged Amerta melatih individu untuk membangun keterhubungan dengan alam. Pada praktik Joged Amerta, peserta seringkali berada di alam terbuka. Setelah merasakan dan mengenali diri sendiri, peserta diajak untuk merasakan keadaan lingkungan alam sekitar dengan penuh kesadaran (mindfulness).
Banyak penelitian yang menunjukkan keterkaitan, langsung maupun tidak langsung, antara kondisi mindfulness dan pro-environmental behavior (PEB) atau perilaku pro-lingkungan, misalnya Richter dan Hunecke (2022); Apaolaza, dkk (2022); dan Thiermann dan Sheate (2022). Lebih lanjut, Richter dan Hunecke menyebutkan bahwa mindfulness dapat dilatih dengan melakukan praktik-praktik seperti meditasi dan yoga. Joged Amerta—yang memiliki banyak kesamaan dengan praktik meditasi dan yoga—juga berpotensi untuk membentuk perilaku pro-lingkungan. Terlebih lagi, gerakan-gerakan Joged Amerta kerap meniru unsur-unsur alam—seperti air mengalir dan embusan angin. Upaya peniruan dan penghadiran kembali unsur-unsur alam dalam gerak tersebut membuat individu mulai menyadari keterhubungannya dengan alam.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang peserta bertanya bagaimana menempatkan Joged Amerta—yang dilakukan tanpa adanya percakapan—dalam kajian dialog lintas agama dan budaya. Dalam bidang kajian antaragama, dialog merupakan pertukaran logos (pengetahuan) antara minimal dua individu untuk mencapai saling pengertian. Karenanya, percakapan atau pertukaran gagasan secara verbal tetap penting dilakukan. Merespons pertanyan tersebut, Emma menggarisbawahi bahwa sebagai sebuah pendekatan, Joged Amerta merupakan titik awal dari upaya dialog. Sesi gerak bersama merupakan upaya untuk menemukan resonansi antarpeserta yang biasanya hal tersebut dilakukan secara verbal. Dengan mengalami resonansi gerak dan rasa yang relatif sama, upaya dialog lintas agama dan budaya akan lebih mulus dilakukan.
Menimpali jawaban tersebut, Samsul Maarif , yang ikut melakukan riset bersama Emma, menawarkan perspektif alternatif untuk menginterpretasikan Joged Amerta sebagai langkah dalam dekolonisasi pengetahuan. Pengetahuan yang selama ini terbatas pada penyampaian melalui kata-kata, ternyata juga dapat diajarkan melalui gerakan dalam konteks Joged Amerta. Dengan kata lain, Joged Amerta membongkar paradigma dialog yang sudah ada sekaligus menawarkan ruang kebebasan baru untuk berdialog.
______________________
Hanny Nadhirah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Hanny lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini ialah Mamik Soemaryatmi (Jawa) dan Diane Butler (USA) pada sesi Solah Bowo di Rumah Banjarsari, Solo, dipotret oleh Martha Hesty Susilowati.
Saya sangat setuju dengan content tulisan ini. Perlu saya tambahkan bahwa Joget Amerta itu juga merupakan semacam metode untuk mengkini. Kompleksitasnya meliputi ruang, waktu, semesta, kehadiran pribadi dalam keterhubungan dg unsur atau elemen-elemen yang lain yang tebanya sering tak terhingga.