Membingkai Peristiwa, Menggali Imaji
Hanny Nadhirah – 17 November 2023
Bagaimana sebuah foto dapat memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemahaman kita tentang suatu peristiwa?
Foto atau gambar yang sering kita lihat rupanya bukanlah sesuatu yang netral. Di dalamnya mengandung konstruksi makna dan kepentingan tersembunyi. Sebagai sebuah visualisasi atas peristiwa, foto berpengaruh besar pada cara kita memahami, merasakan, dan mengambil tindakan terkait peristiwa tersebut. Fenomena inilah yang Elis Zulianti Anis, dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, diskusikan pada Wednesday Forum (27/09) “Picturing Power: State Media, and Religious Representation in the 2015 Sumatra Forest Fires.” Elis memaparkan temuan penelitiannya terkait publikasi foto-foto media lokal saat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Sumatra tahun 2015.
Fotografi, Konstruksi, dan Representasi
Fotografi memiliki daya yang begitu kuat untuk menciptakan konstruksi makna dan representasi peristiwa. Melalui pendekatan sosio-semiotik, Elis menganalisis bagaimana foto menyampaikan kesan tertentu melalui berbagai teknik pengambilannya. Foto yang diambil dalam jarak berbeda akan memberikan kesan yang berbeda pula. Saat seorang fotografer mengambil foto dengan sudut rendah dan meletakkan objek di posisi yang lebih tinggi darinya (posisi mata katak/frog eye), ia tengah mengonstruksi kesan bahwa subjek tersebut merupakan orang penting dan berkuasa. Sebaliknya, pengambilan foto dengan objek berada di sudut tinggi, atau posisi objek lebih rendah (bird eye), akan mengonstruksi kesan yang berkebalikan. Di samping posisi, jarak pengambilan gambar juga ikut memengaruhi kesan yang akan ditampilkan.
Dengan kata lain, fotografer memiliki kuasa untuk memilih momen-momen yang perlu diabadikan atau diabaikan. Proses pemilihan ini kemudian memengaruhi bagaimana suatu peristiwa direpresentasikan kepada khalayak luas. Susan Sontag pada “On Photography” (1947) menggarisbawahi bahwa sebuah foto memiliki kuasa yang dapat dijadikan sebagai alat konstruksi aktif untuk agenda-agenda tertentu. Dengan kata lain, foto bukanlah sekadar perjumpaan sederhana antara seorang fotografer dan event.
Karhutla Sumatra dalam Sorotan Media
Argumen Sontag tersebut menemukan gemanya saat peristiwa karhutla Sumatra tahun 2015. Seperti ditunjukkan dalam temuan Elis, foto di media massa rupanya menjadi alat aktif untuk merepresentasikan narasi dari kepentingan beragam pihak. Secara spesifik, Elis membagi temuan penelitiannya menjadi empat, yaitu foto yang berkaitan dengan narasi pasukan tim penyelamat, pejabat lokal, diskursus kemarahan, dan praktik terkait keagamaan.
Pada foto yang menampilkan pasukan tim penyelamat TNI, fotografer kerap mengambil sudut rendah dengan menempatkan objek tim penyelamat pada dua pertiga atas bagian foto. Sudut pengambilan gambar ini memberikan kesan heroik. Kesan tersebut secara implisit mengonstruksi representasi TNI sebagai salah satu aktor penting dalam menanggapi krisis nasional ini.
Begitu pula pada foto-foto karhutla yang melibatkan pejabat lokal. Para pejabat lokal itu kerap menampilkan diri dengan ikut memegang selang pemadam bersama tim penyelamat. Dengan pakaian dinas kantornya dan tanpa alat pengamanan, mereka tampak berjibaku di tengah asap karhutla. Foto-foto tersebut ingin memberi kesan positif di balik berbagai keluhan masyarakat terhadap penanganan pemerintah pada krisis karhutla: para pejabat lokal juga ikut “aktif” dalam menangani karhutla.
Namun, kesan yang berbeda ditampilkan pada foto perempuan pasukan tim penyelamat. Pada media yang dianalisis oleh Elis, para perempuan pemadam kebakaran direpresentasikan melalui tugas-tugas domestik, seperti memasak untuk dapur umum. Pada kerja-kerja lapangan di titik api karhutla, alih-alih heroisme, narasi yang dibangun justru soal dampak panasnya api pada kondisi kulit mereka. Sorotan semacam ini justru mengabaikan banyak isu lain yang lebih relevan.
Sementara itu, foto-foto karhutla juga berfungsi untuk membingkai diskursus kemarahan (discourse of anger) di media massa. Diskursus ini berfokus terhadap siapa yang bertanggung jawab, siapa yang menyebabkan bencana ini, atau apa yang harus dipertanggungjawabkan. Elis menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan seorang demonstran membawa spanduk bertulisan “Bakar Pembakar.” Demonstrasi ini mengindikasikan kemarahan mereka terhadap pelaku penyebab karhutla. Dalam kasus lain, sebuah foto protes mahasiswa menampilkan tuntutan mereka terhadap pemerintah agar bertindak tegas dalam menangani bencana ini. Foto-foto tersebut berusaha menunjukkan dampak karhutla berpotensi memantik keresahan di masyarakat.
Representasi Keagamaan dalam Karhutla di Media
Hal lain yang menjadi sorotan ialah praktik keagamaan yang dikonstruksi sebagai solusi alternatif dari krisis ini. Elis menunjukkan sebuah foto penyelenggaraan salat istisqa’ untuk meminta hujan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi karhutla. Bagian saf terdepan diisi oleh pejabat-pejabat penting dan tim pasukan TNI. Menariknya, narasi foto menunjukkan pesan imam tentang perlunya melakukan taubat bersama-sama sebagai rangkaian dari upaya meminta hujan agar titik-titik api segera padam.
Pada kasus ini, foto dan narasi media memiliki dua dimensi. Pertama, representasi keagamaan berupaya untuk menyatukan masyarakat di tengah krisis. Doa dan taubat bersama merupakan contoh aksi kolektif yang menumbuhkan solidaritas dan persatuan di tengah krisis karhutla. Emile Durkheim dalam karyanya “The Elementary Forms of Religious Life” (1912) menunjukkan peran penting agama sebagai perekat solidaritas yang menghubungkan individu-individu dan komunitas dalam masyarakat. Di sisi lain, masih menurut Durkheim, agama juga menjadi enttias yang memberikan penjelasan alternatif terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Fungi inilah yang kemudian digunakan pada narasi dan foto yang merepresentasikan tindakan keagamaan dalam konteks karhutla. Bencana yang terjadi dikonstruksi sebagai konsekuensi dari adanya dosa kolektif yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga memerlukan aksi bersama-sama untuk menanggulangi bencana tersebut. Dalam situasi ini, representasi keagamaan dapat membantu mengurangi sentimen negatif masyarakat terhadap pemerintah. Namun, Elis mengkritisi bahwa representasi keagamaan yang demikian merupakan upaya pengalihan tanggung jawab. Dari yang semula karhutla terjadi akibat kelalaian pemerintah dan oknum perusahaan pembakar hutan berubah menjadi sebuah bencana yang diakibatkan oleh “kehendak Tuhan”. Sebagai implikasinya, salat istisqa dibingkai sebagai solusi untuk karhutla, alih-alih mengusut pembakar hutan atau pembuat kebijakan yang bertanggungjawab atas peristiwa ini. Foto-foto karhutla Sumatera pada tahun 2015 menunjukkan bahwa gambar di media berperan penting dalam membentuk persepsi kita mengenai apa yang terjadi, mempengaruhi perasaan dan tindakan kita, maupun menjadi alat kepentingan pihak-pihak tertentu seperti media dan pihak berwenang.
______________________
Hanny Nadhirah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Hanny lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari Ulet Ifansasti/Greenpeace (2022)