• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Laporan Wednesday Forum
  • Membingkai Peristiwa, Menggali Imaji

Membingkai Peristiwa, Menggali Imaji

  • Laporan Wednesday Forum, Uncategorized, Wednesday Forum Report
  • 1 December 2023, 14.17
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Membingkai Peristiwa, Menggali Imaji 

Hanny Nadhirah – 17 November 2023

Bagaimana sebuah foto dapat memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemahaman kita tentang suatu peristiwa?

Foto atau gambar yang sering kita lihat rupanya bukanlah sesuatu yang netral. Di dalamnya mengandung konstruksi makna dan kepentingan tersembunyi. Sebagai sebuah visualisasi atas peristiwa, foto berpengaruh besar pada cara kita memahami, merasakan, dan mengambil tindakan terkait peristiwa tersebut. Fenomena inilah yang Elis Zulianti Anis,  dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, diskusikan pada Wednesday Forum (27/09) “Picturing Power: State Media, and Religious Representation in the 2015 Sumatra Forest Fires.” Elis memaparkan temuan penelitiannya terkait publikasi foto-foto media lokal saat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Sumatra tahun 2015.

Fotografi, Konstruksi, dan Representasi

Fotografi memiliki daya yang begitu kuat untuk menciptakan konstruksi makna dan representasi peristiwa. Melalui pendekatan sosio-semiotik, Elis menganalisis bagaimana foto menyampaikan kesan tertentu melalui berbagai teknik pengambilannya. Foto yang diambil dalam jarak berbeda akan memberikan kesan yang berbeda pula. Saat seorang fotografer mengambil foto dengan sudut rendah dan meletakkan objek di posisi yang lebih tinggi darinya (posisi mata katak/frog eye), ia tengah mengonstruksi kesan bahwa subjek tersebut merupakan orang penting dan berkuasa. Sebaliknya, pengambilan foto dengan objek berada di sudut tinggi, atau posisi objek lebih rendah (bird eye), akan mengonstruksi kesan yang berkebalikan. Di samping posisi, jarak pengambilan gambar juga ikut memengaruhi kesan yang akan ditampilkan.

Dengan kata lain, fotografer memiliki kuasa untuk memilih momen-momen yang perlu diabadikan atau diabaikan. Proses pemilihan ini kemudian memengaruhi bagaimana suatu peristiwa direpresentasikan kepada khalayak luas. Susan Sontag pada “On Photography” (1947) menggarisbawahi bahwa sebuah foto memiliki kuasa yang dapat dijadikan sebagai alat konstruksi aktif untuk agenda-agenda tertentu. Dengan kata lain, foto bukanlah sekadar perjumpaan sederhana antara seorang fotografer dan event. 

Karhutla Sumatra dalam Sorotan Media

Argumen Sontag tersebut menemukan gemanya saat peristiwa karhutla Sumatra tahun 2015. Seperti ditunjukkan dalam temuan Elis, foto di media massa rupanya menjadi alat aktif untuk merepresentasikan narasi dari kepentingan beragam pihak. Secara spesifik, Elis membagi temuan penelitiannya menjadi empat, yaitu foto yang berkaitan dengan narasi pasukan tim penyelamat, pejabat lokal, diskursus kemarahan, dan praktik terkait keagamaan. 

Pada foto yang menampilkan pasukan tim penyelamat TNI, fotografer kerap mengambil sudut rendah dengan menempatkan objek tim penyelamat pada dua pertiga atas bagian foto. Sudut pengambilan gambar ini memberikan kesan heroik. Kesan tersebut secara implisit mengonstruksi representasi TNI sebagai salah satu aktor penting dalam menanggapi krisis nasional ini.

Begitu pula pada foto-foto karhutla yang melibatkan pejabat lokal. Para pejabat lokal itu kerap menampilkan diri dengan ikut memegang selang pemadam bersama tim penyelamat. Dengan pakaian dinas kantornya dan tanpa alat pengamanan, mereka tampak berjibaku di tengah asap karhutla. Foto-foto tersebut ingin memberi kesan positif di balik berbagai keluhan masyarakat terhadap penanganan pemerintah pada krisis karhutla: para pejabat lokal juga ikut “aktif” dalam menangani karhutla. 

Namun, kesan yang berbeda ditampilkan pada foto perempuan pasukan tim penyelamat. Pada media yang dianalisis oleh Elis, para perempuan pemadam kebakaran direpresentasikan melalui tugas-tugas domestik, seperti memasak untuk dapur umum. Pada kerja-kerja lapangan di titik api karhutla, alih-alih heroisme, narasi yang dibangun justru soal dampak panasnya api pada kondisi kulit mereka. Sorotan semacam ini justru mengabaikan banyak isu lain yang lebih relevan. 

Sementara  itu, foto-foto karhutla juga berfungsi untuk membingkai diskursus kemarahan (discourse of anger) di media massa. Diskursus ini berfokus terhadap siapa yang bertanggung jawab, siapa yang menyebabkan bencana ini, atau apa yang harus dipertanggungjawabkan. Elis menunjukkan sebuah foto yang menunjukkan seorang demonstran membawa spanduk bertulisan “Bakar Pembakar.” Demonstrasi ini mengindikasikan kemarahan mereka terhadap pelaku penyebab karhutla. Dalam kasus lain, sebuah foto protes mahasiswa menampilkan tuntutan mereka terhadap pemerintah agar bertindak tegas dalam menangani bencana ini. Foto-foto tersebut berusaha menunjukkan dampak karhutla berpotensi memantik keresahan di masyarakat. 

Representasi Keagamaan dalam Karhutla di Media

Hal lain yang menjadi sorotan ialah praktik keagamaan yang dikonstruksi sebagai solusi alternatif dari krisis ini. Elis menunjukkan sebuah foto penyelenggaraan salat istisqa’ untuk meminta hujan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi karhutla. Bagian saf terdepan diisi oleh pejabat-pejabat penting dan tim pasukan TNI. Menariknya, narasi foto menunjukkan pesan imam tentang perlunya melakukan taubat bersama-sama sebagai rangkaian dari upaya meminta hujan  agar titik-titik api segera padam. 

Pada kasus ini, foto dan narasi media memiliki dua dimensi. Pertama, representasi keagamaan berupaya untuk menyatukan masyarakat di tengah krisis. Doa dan taubat bersama merupakan contoh aksi kolektif yang menumbuhkan solidaritas dan persatuan di tengah krisis karhutla. Emile Durkheim dalam karyanya “The Elementary Forms of Religious Life” (1912) menunjukkan peran penting agama sebagai perekat solidaritas yang menghubungkan individu-individu dan komunitas dalam masyarakat. Di sisi lain, masih menurut Durkheim, agama juga menjadi enttias yang memberikan penjelasan alternatif terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Fungi inilah yang kemudian digunakan pada narasi dan foto yang merepresentasikan tindakan keagamaan dalam konteks karhutla. Bencana yang terjadi dikonstruksi sebagai konsekuensi dari adanya dosa kolektif yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga memerlukan aksi bersama-sama untuk menanggulangi bencana tersebut. Dalam situasi ini, representasi keagamaan dapat membantu mengurangi sentimen negatif masyarakat terhadap pemerintah. Namun, Elis mengkritisi bahwa representasi keagamaan yang demikian merupakan upaya pengalihan tanggung jawab. Dari yang semula karhutla terjadi akibat kelalaian pemerintah dan oknum perusahaan pembakar hutan berubah menjadi sebuah bencana yang diakibatkan oleh “kehendak Tuhan”. Sebagai implikasinya, salat istisqa dibingkai sebagai solusi untuk karhutla, alih-alih mengusut pembakar hutan atau pembuat kebijakan yang bertanggungjawab atas peristiwa ini. Foto-foto karhutla Sumatera pada tahun 2015 menunjukkan bahwa gambar di media berperan penting dalam membentuk persepsi kita mengenai apa yang terjadi, mempengaruhi perasaan dan tindakan kita, maupun menjadi alat kepentingan pihak-pihak  tertentu seperti media dan pihak berwenang. 

______________________

Hanny Nadhirah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Hanny lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini bersumber dari Ulet Ifansasti/Greenpeace (2022)

Tags: citra foto hanny nadhirah

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju