• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Mempertahankan Agama Seadanya–Sebisanya di Negara Transit

Mempertahankan Agama Seadanya–Sebisanya di Negara Transit

  • Event report, Laporan Wednesday Forum, News, Wednesday Forum Report
  • 16 May 2024, 08.12
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Mempertahankan Agama Seadanya–Sebisanya di Negara Transit

Nanda Tsani – 16 Mei 2024

Pernahkah Anda transit di suatu bandara luar negeri? Transit selama 2 atau 3 jam mungkin tidak begitu terasa sembari menikmati fasilitas yang ada, tetapi bagaimana jika harus transit hingga puluhan jam? Betapapun berbagai aktivitas membunuh waktu dilakukan, tetap saja jemu itu datang, bukan? Sementara, para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia rerata menjalani waktu transit antara 5 sampai 10 tahun penuh kegetiran. 

Berangkat dari situasi yang dialami para pencari suaka ini, Realisa D. Massardi, Dosen Antropologi UGM, melakukan penelitian etnografi guna memahami manuver dan dinamika para remaja pengungsi dan pencari suaka  dalam menavigasikan identitas keagamaan mereka di tanah transit. Selama kurang lebih 14 bulan dalam kurun 2016–2017, Dosen Antropologi UGM ini melakukan penelitian di empat lokasi pengungsian. Realisa memaparkan hasil penelitiannya dalam Wednesday Forum edisi 24 April 2024 bertajuk “Religion in Transit: Young Refugees Navigating Religious Sphere in Indonesia”.

Kendati tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tetap memiliki tanggung jawab normatif sebagai negara transit untuk menerima pencari suaka dan pengungsi. Namun demikian, penerimaan negara tidak selalu berarti penerimaan yang serupa oleh warga negaranya. Para remaja pengungsi dan pencari suaka tersebut dihadapkan pada tembok-tembok sentimen dan prasangka masyarakat sekitar. Salah satunya ialah stereotipe media Indonesia terhadap keberadaan pengungsi dari Afghanistan, Iran, dan Sri Lanka sebagai imigran ilegal, pembuat onar, pengemis, bandot, pelaku kawin kontrak, ISIS, hingga misionaris Syiah. 

Sentimen anti-Syiah dan Etnis Hazara

Berdasarkan laporan statistik UNHCR bulan Desember 2023, 5.980 dari 12.295 total pencari suaka yang terdaftar di Indonesia berasal dari Afghanistan disusul Myanmar, Somalia, Iraq, Yaman, dan lainnya. Para pencari suaka Afghanistan mayoritas merupakan etnis muslim Hazara yang berhaluan Syiah. Salah seorang pemuda Hazara yang menjadi responden penelitian mengalami intimidasi dari warga lokal akibat identitas keagamaannya. Sekalipun tidak menunjukkan religiusitas kesyiahan mereka, beberapa warga julid kerap mengaitkan aktivitas sehari-hari—seperti mencuci—para pencari suaka tersebut dengan praktik Syiah. Pada kasus lain, hanya karena menyandang nama “Ali” dan “Muhammad”, sekonyong-konyong remaja pencari suaka tersebut ditanyai oleh warga, “Apakah kamu Syiah?” Pemuda Hazara tersebut menjawab, “Ya, kenapa? Ada masalah?” Warga tersebut kemudian mengatakan tidak ada masalah, tetapi sejurus kemudian beberapa pakaian yang ia taruh di layanan binatu hilang. Ada juga remaja pencari suaka yang kakinya diludahi oleh orang tak dikenal saat perjalanan menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) dari Bogor ke Jakarta.

Gangguan dan persekusi itu semakin gencar saat para pengungsi dan pencari suaka tersebut melaksanakan peringatan keagamaan. Rumah Karbalai (seorang pemimpin jemaah) di Cisarua, Bogor, digeruduk warga saat peringatan Asyura, hari berkabung atas kesyahidan Husein bin Ali–cucu Nabi Muhammad. Warga protes karena karena suara ratapan dari ritual tersebut dianggap mengganggu ketertiban dan meresahkan. Secara struktural, pemerintah setempat tidak mengambil banyak tindakan atas situasi ini. Bahkan, secara kontroversial, pada 2015 Walikota Bogor Bima Arya melarang sama sekali peringatan Asyura di Bogor. 

Menurut Dede Syarif, Iskandar Zulkarnain, dan Dicky Sofjan (2017), anti-Syiahisme di Indonesia tidak hanya mencakup lingkup teologi, tetapi juga sosial dan politik. Gerakan ini sudah berlangsung sejak Revolusi Iran 1979 dan memanas setelah era Reformasi yang ditandai dengan pendirian Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS) tahun 2012 hingga masifnya kampanye anti-Syiah di media sosial. Stigmasisasi, pengusiran, dan kekerasan terhadap jemaah Syiah di berbagai daerah merupakan permukaan dari gunung es konflik keagamaan di negeri ini.

Navigasi Keberagamaan Pemuda Hazara

Para pemuda Hazara tersebut memang tidak dapat menghentikan badai anti-Syiah dan antipengungsi dari masyarakat setempat, tetapi mereka dapat menavigasikan layar identitas etnis dan keberagamaannya. Realisa menggarisbawahi setidaknya ada empat strategi yang mereka akukan. Pertama, “bermain-main” dengan identitas etnis/religius ala anak muda. Mereka tak jarang mengaku sebagai mahasiswa pertukaran pelajar dari Iran, turis yang sedang melancong, atau mengenalkan diri sebagai blasteran Indonesia-Turki supaya aksen bahasa Indonesianya bisa dimaklumi.

Kedua, mereka mengupayakan diri agar tetap elak tampak (low profile) menyangkut urusan ibadah. Terlebih, tidak sedikit pemuda Hazara yang secara normatif mengaku tidak religius dan sebagian lagi mengaku trauma atau skeptis terhadap agama sehingga hal tersebut menjadi keuntungan di balik kebuntungan. Akan tetapi, dalam peringatan Asyura, mereka melakukan ibadah tersebut di ruang pengungsian masing-masing secara senyap dan privat. Sebagian besar pemuda Hazara tidak nyaman berjamaah di masjid setempat karena takut akan diskriminasi lebih lanjut dan diberondong pertanyaan. Pengungsi yang tinggal di Cisarua misalnya, tiap kali ditanya alasan tidak salat Jumat di masjid, mereka akan menjawab ada urusan, atau harus pergi belajar, atau menjawab singkat bahwa mereka bukan muslim. Ketika ingin melaksanakan salat sesuai dengan syariat mereka dalam kondisi yang lebih aman, para pemuda ini harus pergi jauh ke Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta.  

Ketiga, berkompromi dengan praktik ibadah ala Sunni. Beberapa pemuda memilih untuk datang ke masjid terdekat dan mengikuti salat sesuai dengan praktik yang biasa dilakukan masyarakat setempat. “Tidak masalah. Pada dasarnya (praktik salat Sunni maupun Syiah) sama saja. Yang terpenting adalah apa yang kita yakini dalam hati,” ujar salah seorang responden.

Keempat, “meminjam” identitas Kristen. Untuk menghindari intimidasi, tak sedikit pemuda Hazara yang meminjam nama-nama asing seperti Jason, Ricardo, atau Angelo saat perkenalan. Tidak jarang juga mereka mengaku sebagai Kristen ketika ditanya agama yang mereka anut. Strategi ini merupakan manuver agar pertanyaan tersebut tidak berlanjut dengan ceramah keagamaan yang seringkali datang tanpa diminta. Ada kecenderungan bahwa muslim akan lebih segan untuk mengumbar petuah keagamaan ketika berhadapan dengan pemeluk agama lain dibanding dengan sesama muslim. Beberapa remaja pencari suaka yang berpura-pura tersebut ada juga yang benar-benar berpindah keyakinan. Awalnya, mereka mengaku Kristen sekadar agar dapat santunan dari gereja-gereja Evangelis Jakarta. Namun, di tengah ekstase perasaan ingin pulang dan ketidakpastian yang panjang, mereka lambat laun merasakan kedamaian dan memutuskan untuk berpindah agama.

Dari keempat manuver tersebut, Realisa menyimpulkan bahwa bagi para pemuda Hazara, pengalaman keberagamaan di Indonesia tersebut merupakan bekal berharga. Sebagai negara transit, Indonesia menjadi tempat latihan atas perbedaan budaya keberagamaan yang jauh lebih menganga di negara tujuan kelak. Bagi para pengungsi dan pencari suaka dari Hazar, upaya “mengakali” kesulitan-kesulitan beragama dan pengalaman menavigasi keberagamaan selama bertahan di Indonesia laiknya pintu yang tetap dibiarkan terbuka. Masa transit ini menjadi momentum bagi pemuda Hazara yang mengalami trauma religius berat untuk menimbang-nimbang: apakah mereka akan hidup bebas dari/untuk beragama di negara tujuan, atau mempertahankan identitas muslim Syiah yang secara kultural kadung menubuh dalam memori, tulang, dan darah. Seperti tanggapan salah seorang partisipan diskusi, “the history of religion is the history of migration. Yet, today’s story about migration is mostly related to displacement and suffering, with no glory or divine revelation. They fight for freedom, fight against boredom.” 

______________________

Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini  dari Realisa D. Massardi.

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor  16 tentang Perdamaian, Kedamaian, dan Kelembagaan yang Tangguh.

Tags: migrasi nanda tsani pencari suaka pengungsi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju