Menengahi Benturan Kebebasan Beragama dengan Kesetaraan Gender
Azis Anwar Fachrudin – 11 Juli 2018
— Refleksi dari kuliah bersama Lena Larsen, direktur Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief, Norwegian Centre for Human Rights, Universitas Oslo
Manifestasi dari kebebasan beragama tidak selalu bersahabat dengan upaya memperjuangkan kesetaraan gender. Sebagian dari ekspresi keagamaan mengandung ajaran atau praktik yang memberikan pembenaran bagi ketimpangan relasi lelaki-perempuan dan diskriminasi berbasis gender. Dalam tataran normatif di level internasional, isu ini menjadi debat antara Freedom of Religion or Belief (FORB) dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).
Di samping debat di level normatif, persingunggan FORB-CEDAW juga menyasar isu politik identitas. Dalam kasus Islam, misalnya, diskusi mengenai topik ini menjadi lebih kompleks sebab beberapa klausul dalam CEDAW dianggap bertentangan dengan syariah. Sebagian umat Islam memandang kampanye kesetaraan gender, juga Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum, sebagai ancaman terhadap identitas Islam dan pemaksaan nilai oleh Barat. (Benarkah anggapan ini? Baca jurnal #1 dari seri Agama dan HAM ini: Seberapa Universalkah Hak Asasi Manusia?)
CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1979 dan telah diratifikasi 189 negara, tetapi menjadi konvensi yang paling banyak mendapat reservasi (penolakan terhadap sebagian ketentuan dalam konvensi). Dua puluh empat dari 58 anggota Organisasi Kerja Sama Islam melakukan reservasi, dan sebagian merujuk ke syariah atau hukum Islam sebagai alasan. Di antara ketentuan dalam CEDAW yang banyak mendapat reservasi dari anggota OKI ialah pasal 2 tentang institusionalisasi CEDAW melalui konstitusi dan lembaga negara dan pasal 16 tentang pernikahan, sementara Komite CEDAW memandang dua pasal itu sebagai bagian pokok CEDAW yang semestinya tak bisa dinegosiasi. (Baca teks CEDAW di sini.)
Bagaimana mengatasi ketegangan antara FORB dan CEDAW ini? Khusus dalam konteks Islam, dua cara bisa diupayakan untuk meminimalisasi benturan itu.
Reformasi
Pertama, melalui kampanye “reformasi” (ishlah) atau “pembaruan” (tajdid) di dunia Islam, satu upaya yang pernah digencarkan kaum Muslim “modernis”, yang dipromotori antara lain oleh Muhammad Abduh(1849-1905), Qasim Amin (1865-1908, dengan karya terkenalnya Tahrir al-Mar’ah), dan Tahir al-Haddad (1899-1935, dengan karya terkenalnya Imra’tuna fis-Syariah wal-Mujtama’).
Argumen kaum modernis mengenai kesetaraan gender berporos pada spirit dasar syariah, yaitu keadilan dan kemaslahatan, sebagai pijakan dalam melihat kembali pandangan-pandangan tradisional. Dalam pandangan Muslim modernis, spirit dasar berupa keadilan dan kemaslahatan itu bersifat tetap sepanjang zaman, sementara manifestasinya melalui fikih dapat berubah karena mempertimbangkan konteks zaman.
Dalam isu kesetaraan gender, argumen Muslim modernis bermula dari peninjuan ulang terhadap makna keadilan. Konsep keadilan di era pramodern dan di zaman modern tidaklah sama. Pada era pramodern, keadilan merujuk pada peran gender dan sosial seseorang dalam masyarakat. Dalam masyarakat pramodern, kesetaraan untuk orang-orang yang peran sosialnya tidak setara merupakan ketidakadilan. Inilah konteks sosial saat fikih tradisional ditulis, ketika kesetaraan gender belum menjadi isu. Paradigma semacam ini merembes dalam ketentuan fikih tradisional mengenai relasi lelaki-perempuan dalam pernikahan, pembagian hak dan tanggung jawab dalam rumah tangga, jatah warisan, hingga akses terhadap posisi sosial tertentu.
Karena paradigma masyarakat pramodern semacam itulah di literatur fikih klasik kita dapati uraian mengenai keadilan dan kemaslahatan sebagai poros syariat namun pada saat yang sama juga menyatakan pandangan tentang kedudukan perempuan sebagai subordinat lelaki. Contoh: salah satu pernyataan dari fikih klasik yang kerap dikutip, bahkan oleh sejumlah Muslim modernis, mengenai keadilan sebagai poros syariat ialah dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1292-1350) yang menyatakan dalam karyanya, I’lam al-Muwaqqi’in (III/1), bahwa pondasi syariat adalah “keadilan (al-‘adl), welas asih (ar-rahmah), kebijaksanaan (al-hikmah), dan kemaslahatan (al-mashlalah)”, sehingga setiap penafsiran atas syariah yang melanggar nilai-nilai dasar ini “bukanlah bagian dari syariah”. Namun penulis yang sama dalam karyanya yang lain, Ighatsat al-Lahfan (II/60), menyatakan bahwa “Nabi Muhammad menjadikan istri sebagai tawanan lelaki, semacam budaknya” (wa ja’ala al-mar’ah ‘aniyah ‘inda az-zawj, wal-‘ani huwa al-asir, wahuwa nau’un min ar-riqq) sehingga hak dan tanggung jawab suami terhadap istri mirip dengan relasi tuan dengan budaknya.
Kini konsep keadilan telah mengalami perkembangan. Di zaman kiwari, keadilan tak dipandang bersumber dari peran gender/sosial seseorang, melainkan dari dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Spirit zaman kiwari meletakkan posisi lelaki dan perempuan secara setara sebagai sesama manusia dan peran gender/sosial bukan sebagai hal yang inheren atau terwarisi. Dengan kata lain, rujukan keadilan telah mengalami perubahan titik berangkat.
Dalam terang pemikiran semacam ini, pandangan-pandangan fikih tradisional dimungkinkan untuk ditinjau ulang dan dikontekstualisasikan. Kontekstualisasi penting karena, dengan berubahnya zaman, apa yang dinyatakan sebagai maslahat juga turut berubah.
Dalam terang pemikiran itu pula, aturan-aturan dalam fikih klasik tidak boleh dibaca secara tekstual tetapi dibaca dalam konteks sosial zamannya. Perlakuan Islam terhadap wanita sudah tergolong sangat progresif untuk ukuran abad ketujuh: sebelumnya poligami tak terbatas menjadi dibatasi maksimal empat, dengan tambahan penekanan bahwa jika tak mampu adil maka satu istri saja; sebelumnya perempuan tak mendapat waris kemudian bisa mendapt jatah warisan. Ketentuan ini memang belum memenuhi standar keseteraan gender zaman modern. Namun, kaum Muslim modernis berpandangan, Islam tak bisa serta merta menghapus praktik-praktik imperatif dalam konteks sosio-ekonomi abad pertengahan itu, sehingga cara bertahaplah yang diambil. Karena kesadaran sejarah dan konteks sosio-ekonomi sudah berubah, bagi kaum modernis, cara pandang terhadap klausul fikih klasik tentang perempuan harus diubah pula, sebagaimana berubahnya pandangan kita kini terhadap perbudakan—ia normal dulu di abad pertengahan, tetapi kini bertentangan dengan semangat zaman.
Mengadvokasi penafsiran ulang terhadap aturan fikih klasik mengenai posisi perempuan ini bukan tanpa hambatan. Para kaum modernis awal dinyatakan sesat bahkan kafir oleh sejumlah ulama sezaman karena pandangan reformis mereka yang mendobrak tradisi. Tahir al-Haddad, misalnya, dinyatakan murtad oleh ulama Tunisia; gelarnya dari Universitas Zaytuna dicabut; dan ia meninggal di usia 36 dalam kondisi miskin dan terisolasi. Namun, selang dua dekade kemudian, apa yang pernah ia tulis pelan-pelan diterima dan mewujud: Tunisia pada 1956 menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami, menghapus hak unilateral talak yang dimiliki suami, dan memberikan hak setara dalam pengasuhan anak.
Prinsip-prinsip
Kedua, untuk menengahi ketegangan FORB-CEDAW, perlu ada pembedaan antara kebebasan internal (forum internum) dan eksternal (forum externum). Kebebasan internal mencakup kebebasan untuk memilih, mengadopsi, atau berganti agama. Kebebasan eksternal adalah kebebasan dalam memanifestasikan agama, baik dalam praktik maupun penyebarluasan ajaran agama di ruang publik. Kebebasan internal tak bisa diganggu gugat (inviolable), sementara kebebasan eksternal bersangkut paut dengan hak asasi manusia lain dan karena itu mungkin untuk dibatasi.
Bertolak dari bingkai itu, salah satu kerangka pikir untuk menengahi debat FORB-CEDAW telah diuraikan Heiner Bielefeldt, pelapor khusus (special rapporteur) PBB mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan 2010-2016. (Bielefeldt sempat memberikan kuliah umum di UGM pada 2017. Baca liputannya di sini.)
Dalam laporannya ke Majelis Umum PBB (A/68/290), Bielefeldt menekankan setidaknya tiga nilai pokok dari HAM. Pertama, prinsip non-diskriminasi. Ini prinsip yang mendasari semua hak, termasuk hak dalam beragama/berkeyakinan. Karena itu, manifestasi FORB tidak boleh mengandung hal-hal yang dalam praktiknya mempromosikan diskriminasi.
Kedua, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai HAM, laporan Bielefeldt itu merujuk pada prinsip yang diformulasikan dalam Konferensi Dunia tentang HAM yang diadakan di Vienna pada 1993, yakni bahwa “semua hak asasi manusia bersifat universal, tak terbagi (indivisible), saling tergantung (interdependent), dan saling terkait (interrelated).” Dengan kata lain, alih-alih dibenturkan, hak-hak asasi manusia itu seharusnya saling menguatkan. Dibawa ke dalam konteks FORB-CEDAW, manifestasi kebebasan beragama haruslah sensitif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan.
Ketiga, dan ini yang terpenting, laporan Bielefeldt itu menyatakan bahwa HAM pada dasarnya adalah untuk melindungi manusia. Dalam konteks FORB, HAM melindungi orang yang beragama (“believers rather than belief”). Pandangan ini sejatinya berporos pada nilai paling fundamental dari HAM itu sendiri, yakni penghormatan pada martabat manusia (human dignity).
Dengan ketiga cara pandang ini, manifestasi FORB dalam praktik-praktik yang berbahaya (harmful practices) atau melanggar prinsip human dignity harus dicegah, sekalipun ia dijustifikasi dengan argumen keagamaan. Karena itu, beberapa praktik seperti mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation), honour killing, pernikahan paksa, pernikahan di bawah umur, dan penolakan terhadap hak perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan tidak dapat dilegitimasi dengan dasar HAM sekalipun ia dijustifikasi dengan argumen keagamaan atau dilakukan atas nama kebebasan beragama.
HAM dengan banyak cabangnya mengandung manifestasi yang bisa jadi bertentangan antara satu jenis hak dengan jenis hak yang lain. Ketika terjadi pertentangan, jalan tengah dicari dengan mengembalikannya pada prinsip-prinsip yang menjadi akar dari HAM itu sendiri, yakni prinsip HAM sebagai satu kesatuan, prinsip penghormatan terhadap human dignity, dan prinsip non-diskriminasi.
_______________
Catatan ini berdasar pada kuliah Religion and Human Rights di CRCS UGM, yang diadakan atas kerja sama dengan Oslo Coalition on Freedom of Religion and Belief dan International Centre for Law and Religious Studies Brigham Young University (ICLRS-BYU), pada semester pendek 2018 dengan para pengajar yang terdiri dari Zainal Abidin Bagir, Suhadi, Brett Scharffs, Tore Lindholm, Lena Larsen, Renata Arianingtyas, Rikardo Simarmata, dan Asfinawati.