• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Mengapa Mati Pun Harus Beragama?

Mengapa Mati Pun Harus Beragama?

  • Perspective
  • 1 December 2023, 13.53
  • Oleh: crcs ugm
  • 2

Mengapa Mati Pun Harus Beragama?

Teresa Astrid Salsabila – 1 Desember 2023

Setiap kematian di Indonesia sulit untuk lepas dari pengaruh agama. Ia mengikat siapa pun hingga ke ujung hayat: tak peduli apa pun yang ia yakini.

Hari itu adalah hari yang muram bagi saya. Orang yang saya kenal dan kasihi wafat. Berpisah dengan yang terkasih karena kematian selalu menyisakan kesedihan mendalam. Namun, duka kali ini berbeda. Inilah pertama kalinya saya terlibat mengurusi prosesi kematian seseorang yang menyatakan diri tidak beragama. Jika merujuk pada kartu identitas, tidak ada agama yang tercantum di sana karena mendiang tercatat sebagai warga negara asing. Pasangannya juga meminta prosesi tersebut tidak menggunakan unsur agama apa pun sebagai bentuk penghormatan atas pilihan hidupnya. Di sinilah dilema dimulai.

Besar di keluarga muslim dan lingkungan Katolik, pemakaman bagi saya adalah praktik rutin yang berjalan seperti biasanya. Ketika seseorang meninggal, akan ada seorang ustadz atau romo yang memimpin segala prosesi dan menuntun hadirin untuk menghormati sang mendiang. Keluarga maupun para pelayat juga tidak perlu bingung dengan tata cara menghaturkan doa. Buku doa yang mencantumkan tata cara ritual pemakaman secara rinci tak jarang sudah disediakan. Oleh karena itu, menyiapkan prosesi kematian di Indonesia tanpa unsur keagamaan bukan urusan mudah. Ketika kami mengurus acara pelepasan bagi mendiang, pencantuman kata “surga” dalam rancangan ucapan perpisahan pun memantik perdebatan karena dirasa terlalu agamis. Padahal, pembubuhan hal tersebut dianggap lumrah bagi orang Indonesia. 

Pun ketika berziarah di kampung halaman, saya selalu menemukan makam bernisan  dengan simbol atau ungkapan yang berafiliasi agama tertentu. Beberapa makam bahkan memiliki klaster berdasarkan agama jenazah yang dikuburkan. Singkatnya, persoalan agama di Indonesia bukan cuma milik orang yang hidup, melainkan juga yang meninggal. Hal ini membuat saya termenung. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak berafiliasi dengan agama tertentu? Bagaimana jika mereka “terpaksa” meninggal di Indonesia? 

Dilema Menjadi Tak Beragama di Indonesia

Penafsiran tunggal atas sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam kehidupan bernegara membuat segala urusan di Indonesia mau tidak mau menyertakan agama. Keinginan negara untuk mengontrol kehidupan beragama warga negaranya termanifestasi dengan keberadaan kolom agama di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang berlaku sejak 1967. Penambahan kolom agama pada dokumen kependudukan itu merupakan bagian dari kebijakan antikomunis yang dilancarkan Orde Baru. Celakanya, rezim tersebut mengidentikkan komunisme dengan ateisme. Padahal, D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 50-an hingga 60-an, pernah menyatakan bahwa PKI menerima Pancasila, termasuk sila pertama yang menjadi basis kehidupan beragama di Indonesia. 

Pasca-Gerakan 30 September 1965 meletus, pemerintah saat itu menyatakan PKI sebagai biang kerok upaya pemberontakan. Pelabelan PKI sebagai ateis pun digunakan sebagai alat propaganda untuk menangkap atau melukai warga yang dianggap komunis (selengkapnya baca artikel Timo Duile, “Atheism in Indonesia: State discourses of the past and social practices of the present”). Pada masa Orde Baru, justifikasi tersebut melahirkan diskriminasi dan kian melebar kepada masyarakat yang bukan termasuk dalam “agama resmi” versi pemerintah, salah satunya agama leluhur. 

Diskriminasi itu pula yang membuat banyak orang tidak beragama atau tidak berafiliasi dengan agama tertentu memilih untuk tidak mengungkapkan keyakinan mereka. Penting untuk digarisbawahi, menjadi ‘tidak beragama’ (irreligion) tidak selalu identik dengan ateisme. Tidak beragama merupakan sebuah sikap atau keyakinan untuk tidak berafiliasi atau menganut agama tertentu. Bentuknya bisa beragam, ada agnostik, ateisme, humanisme sekuler, dan masih banyak lagi. Kendati demikian, banyak kelompok masyarakat dan pemerintah yang tidak mau repot dengan perbedaan tersebut dan memakai kacamata kuda. Bagi mereka, menyatakan tidak beragama sinonim dengan ateisme; dan ateisme ialah komunisme yang harus ditumpas karena bertentangan dengan Pancasila. Situasi tersebut membuat warga negara yang tidak beragama terpaksa mencantumkan salah satu “agama resmi” di dokumen kependudukannya. 

Identitas yang tidak mereka pilih ini pada akhirnya melekat bahkan ketika mereka tiada. Mereka akan dimakamkan sesuai dengan afiliasi agama yang tercantum di dokumen kependudukan. Di sisi lain, keluarga mendiang juga tidak dapat berbuat banyak akibat tekanan sosial masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat yang tidak beragama terpaksa dimakamkan dengan simbol agama tertentu agar orang-orang terdekatnya yang masih hidup terhindar dari stigma dan konflik dengan masyarakat.

Oleh karenanya, keterlibatan dalam prosesi kematian tanpa afiliasi agama ini bermakna begitu mendalam. Saya kagum dengan keluarga mendiang yang tetap memilih untuk memberi perpisahan terakhir tanpa menggunakan unsur agama tertentu. Ini menjadi cara bagi keluarga untuk menghormati keyakinannya. Pasangannya pun memilih untuk memberikan salam perpisahan dibandingkan memanjatkan doa. Saya sadar, ini keputusan rumit sebab mereka hidup di daerah pedesaan tempat agama masih menjadi salah satu fondasi dalam kehidupan bermasyarakat. 

Prosesi Kematian Tanpa Agama Menjadi Ruang Interritualitas Agama

Bagi masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan keberadaan agama dalam tiap prosesi kehidupan dan kematian, momen ini menjadi sesuatu yang tidak biasa. Ada kebimbangan dan keraguan untuk bertindak secara pantas dan sesuai: Sesuai dengan apa? Tata cara yang mana? Kebingungan ini juga dialami beberapa mahasiswa studi agama yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Meskipun diskursus mengenai non-religiusitas sering dibahas di kelas, mengalami secara langsung merupakan hal berbeda.

Di sisi lain, saya merasakan bahwa persemayaman ini akhirnya menciptakan ruang interritualitas bagi para penganut agama. Konsep interritualitas (interrituality) yang dipopulerkan oleh Marriane Moyaert merujuk pada interaksi antaragama yang dimanifestasikan dalam praktik-praktik yang dilakukan sebagai ritual. Hubungan antaragama tidak hanya dapat dilakukan dengan komparasi ajaran maupun dialog pada tingkat elite, tetapi juga dapat dibentuk melalui sebuah ritual bersama. Kajian praktik ritual ini mendobrak batas bahwa agama sekedar keyakinan yang tertulis dalam teks. Moyaert menyatakan, meski dapat menghubungkan beberapa kelompok agama, ritual juga sekaligus menciptakan batas-batas yang memisahkan komunitas agama satu dengan agama lainnya. Selain itu, interritualitas tidak hanya berlaku bagi para penganut agama, tetapi juga dapat terjadi atau didasari oleh individu, kelompok, atau ruang non-religius.

Kendati keluarga berupaya untuk membuat acara perpisahan tanpa unsur agama, mereka tetap membebaskan para pelayat untuk memberikan salam terakhir sesuai keyakinannya. Beberapa orang mengakhiri doa atau pesan perpisahannya dengan membuat tanda salib maupun mengusapkan kedua tangan pada wajah mereka. Salam yang dipanjatkan pun beragam. Ada yang memulai dengan basmalah, ada juga yang menggunakan kata-kata umum tanpa merujuk pada keyakinan tertentu. Ucapan perpisahan dari lurah, seorang muslim, pun berupaya untuk menggunakan istilah-istilah “universal”—sudah menjadi tradisi di Yogyakarta jika ada seorang warga meninggal, lurah yang membawahi domisili penduduk tersebut memberikan sambutan dan belasungkawa sebagai representasi warga sekitar. Dari peristiwa ini, saya menyadari setidaknya ada dua upaya bagi para tamu untuk menghormati warga yang mereka tahu tak beragama, yaitu dengan cara sesuai dengan agama yang mereka anut atau mengesampingkan karakteristik agama tersebut. Apa pun caranya, saya percaya yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang baik untuk mendiang.

***

Ketika kami sampai krematorium, latar belakang panggung untuk memberikan penghormatan terakhir sudah dihiasi dengan figur Yesus Kristus dan kutipan Filipi 1:21. Saya kaget. Ketika saya menanyakan hal ini kepada keluarga, mereka pun sudah menyatakan terkait identitas beliau kepada pihak krematorium. Namun apa daya, sepertinya pihak krematorium berasumsi bahwa mendiang beragama Kristen. Keluarga pun sudah terlalu lelah untuk memprotes karena duka. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin membuat perpisahan terakhir ini sesuai dengan keyakinan mendiang. Namun, pada akhirnya kami menyadari bahwa hal ini sulit dilakukan di Indonesia. Segala prosesi ini menjadi pelajaran bagi saya, pemahaman kita tentang keragaman dalam kehidupan beragama juga harus mencakup bagi mereka yang menyatakan diri sebagai tak beragama. Setiap orang berhak untuk mendapatkan penghormatan terakhir sesuai keyakinannya, karena kita semua tentu berharap dapat berpisah dengan cara terbaik.

______________________

Teresa Astrid Salsabila adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini. 

Tulisan ini sudah disunting dan disetujui oleh pasangan hidup mendiang. Foto tajuk artikel ini bersumber dari Jonathan Knowles/gettyimages

Tags: astrid salsabila interreligious interritualitas

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Comment (2)

  1. B Elsa Puspita 1 years ago

    Keren bestie…

    Reply
  2. f4tl0l 1 years ago

    Menarik banget sih. Soalnya saya sebagai masyarakat Indo yang tidak memeluk/mempercayai agama resmi manapun dan agama hanya “agama di ktp” saja blom pernah memikirkan nanti kalau meninggal bagaimana ya. Terima kasih atas tulisannya.

    Reply

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju