Mengapa Mati Pun Harus Beragama?
Teresa Astrid Salsabila – 1 Desember 2023
Setiap kematian di Indonesia sulit untuk lepas dari pengaruh agama. Ia mengikat siapa pun hingga ke ujung hayat: tak peduli apa pun yang ia yakini.
Hari itu adalah hari yang muram bagi saya. Orang yang saya kenal dan kasihi wafat. Berpisah dengan yang terkasih karena kematian selalu menyisakan kesedihan mendalam. Namun, duka kali ini berbeda. Inilah pertama kalinya saya terlibat mengurusi prosesi kematian seseorang yang menyatakan diri tidak beragama. Jika merujuk pada kartu identitas, tidak ada agama yang tercantum di sana karena mendiang tercatat sebagai warga negara asing. Pasangannya juga meminta prosesi tersebut tidak menggunakan unsur agama apa pun sebagai bentuk penghormatan atas pilihan hidupnya. Di sinilah dilema dimulai.
Besar di keluarga muslim dan lingkungan Katolik, pemakaman bagi saya adalah praktik rutin yang berjalan seperti biasanya. Ketika seseorang meninggal, akan ada seorang ustadz atau romo yang memimpin segala prosesi dan menuntun hadirin untuk menghormati sang mendiang. Keluarga maupun para pelayat juga tidak perlu bingung dengan tata cara menghaturkan doa. Buku doa yang mencantumkan tata cara ritual pemakaman secara rinci tak jarang sudah disediakan. Oleh karena itu, menyiapkan prosesi kematian di Indonesia tanpa unsur keagamaan bukan urusan mudah. Ketika kami mengurus acara pelepasan bagi mendiang, pencantuman kata “surga” dalam rancangan ucapan perpisahan pun memantik perdebatan karena dirasa terlalu agamis. Padahal, pembubuhan hal tersebut dianggap lumrah bagi orang Indonesia.
Pun ketika berziarah di kampung halaman, saya selalu menemukan makam bernisan dengan simbol atau ungkapan yang berafiliasi agama tertentu. Beberapa makam bahkan memiliki klaster berdasarkan agama jenazah yang dikuburkan. Singkatnya, persoalan agama di Indonesia bukan cuma milik orang yang hidup, melainkan juga yang meninggal. Hal ini membuat saya termenung. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang tidak berafiliasi dengan agama tertentu? Bagaimana jika mereka “terpaksa” meninggal di Indonesia?
Dilema Menjadi Tak Beragama di Indonesia
Penafsiran tunggal atas sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam kehidupan bernegara membuat segala urusan di Indonesia mau tidak mau menyertakan agama. Keinginan negara untuk mengontrol kehidupan beragama warga negaranya termanifestasi dengan keberadaan kolom agama di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) yang berlaku sejak 1967. Penambahan kolom agama pada dokumen kependudukan itu merupakan bagian dari kebijakan antikomunis yang dilancarkan Orde Baru. Celakanya, rezim tersebut mengidentikkan komunisme dengan ateisme. Padahal, D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 50-an hingga 60-an, pernah menyatakan bahwa PKI menerima Pancasila, termasuk sila pertama yang menjadi basis kehidupan beragama di Indonesia.
Pasca-Gerakan 30 September 1965 meletus, pemerintah saat itu menyatakan PKI sebagai biang kerok upaya pemberontakan. Pelabelan PKI sebagai ateis pun digunakan sebagai alat propaganda untuk menangkap atau melukai warga yang dianggap komunis (selengkapnya baca artikel Timo Duile, “Atheism in Indonesia: State discourses of the past and social practices of the present”). Pada masa Orde Baru, justifikasi tersebut melahirkan diskriminasi dan kian melebar kepada masyarakat yang bukan termasuk dalam “agama resmi” versi pemerintah, salah satunya agama leluhur.
Diskriminasi itu pula yang membuat banyak orang tidak beragama atau tidak berafiliasi dengan agama tertentu memilih untuk tidak mengungkapkan keyakinan mereka. Penting untuk digarisbawahi, menjadi ‘tidak beragama’ (irreligion) tidak selalu identik dengan ateisme. Tidak beragama merupakan sebuah sikap atau keyakinan untuk tidak berafiliasi atau menganut agama tertentu. Bentuknya bisa beragam, ada agnostik, ateisme, humanisme sekuler, dan masih banyak lagi. Kendati demikian, banyak kelompok masyarakat dan pemerintah yang tidak mau repot dengan perbedaan tersebut dan memakai kacamata kuda. Bagi mereka, menyatakan tidak beragama sinonim dengan ateisme; dan ateisme ialah komunisme yang harus ditumpas karena bertentangan dengan Pancasila. Situasi tersebut membuat warga negara yang tidak beragama terpaksa mencantumkan salah satu “agama resmi” di dokumen kependudukannya.
Identitas yang tidak mereka pilih ini pada akhirnya melekat bahkan ketika mereka tiada. Mereka akan dimakamkan sesuai dengan afiliasi agama yang tercantum di dokumen kependudukan. Di sisi lain, keluarga mendiang juga tidak dapat berbuat banyak akibat tekanan sosial masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat yang tidak beragama terpaksa dimakamkan dengan simbol agama tertentu agar orang-orang terdekatnya yang masih hidup terhindar dari stigma dan konflik dengan masyarakat.
Oleh karenanya, keterlibatan dalam prosesi kematian tanpa afiliasi agama ini bermakna begitu mendalam. Saya kagum dengan keluarga mendiang yang tetap memilih untuk memberi perpisahan terakhir tanpa menggunakan unsur agama tertentu. Ini menjadi cara bagi keluarga untuk menghormati keyakinannya. Pasangannya pun memilih untuk memberikan salam perpisahan dibandingkan memanjatkan doa. Saya sadar, ini keputusan rumit sebab mereka hidup di daerah pedesaan tempat agama masih menjadi salah satu fondasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Prosesi Kematian Tanpa Agama Menjadi Ruang Interritualitas Agama
Bagi masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan keberadaan agama dalam tiap prosesi kehidupan dan kematian, momen ini menjadi sesuatu yang tidak biasa. Ada kebimbangan dan keraguan untuk bertindak secara pantas dan sesuai: Sesuai dengan apa? Tata cara yang mana? Kebingungan ini juga dialami beberapa mahasiswa studi agama yang hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Meskipun diskursus mengenai non-religiusitas sering dibahas di kelas, mengalami secara langsung merupakan hal berbeda.
Di sisi lain, saya merasakan bahwa persemayaman ini akhirnya menciptakan ruang interritualitas bagi para penganut agama. Konsep interritualitas (interrituality) yang dipopulerkan oleh Marriane Moyaert merujuk pada interaksi antaragama yang dimanifestasikan dalam praktik-praktik yang dilakukan sebagai ritual. Hubungan antaragama tidak hanya dapat dilakukan dengan komparasi ajaran maupun dialog pada tingkat elite, tetapi juga dapat dibentuk melalui sebuah ritual bersama. Kajian praktik ritual ini mendobrak batas bahwa agama sekedar keyakinan yang tertulis dalam teks. Moyaert menyatakan, meski dapat menghubungkan beberapa kelompok agama, ritual juga sekaligus menciptakan batas-batas yang memisahkan komunitas agama satu dengan agama lainnya. Selain itu, interritualitas tidak hanya berlaku bagi para penganut agama, tetapi juga dapat terjadi atau didasari oleh individu, kelompok, atau ruang non-religius.
Kendati keluarga berupaya untuk membuat acara perpisahan tanpa unsur agama, mereka tetap membebaskan para pelayat untuk memberikan salam terakhir sesuai keyakinannya. Beberapa orang mengakhiri doa atau pesan perpisahannya dengan membuat tanda salib maupun mengusapkan kedua tangan pada wajah mereka. Salam yang dipanjatkan pun beragam. Ada yang memulai dengan basmalah, ada juga yang menggunakan kata-kata umum tanpa merujuk pada keyakinan tertentu. Ucapan perpisahan dari lurah, seorang muslim, pun berupaya untuk menggunakan istilah-istilah “universal”—sudah menjadi tradisi di Yogyakarta jika ada seorang warga meninggal, lurah yang membawahi domisili penduduk tersebut memberikan sambutan dan belasungkawa sebagai representasi warga sekitar. Dari peristiwa ini, saya menyadari setidaknya ada dua upaya bagi para tamu untuk menghormati warga yang mereka tahu tak beragama, yaitu dengan cara sesuai dengan agama yang mereka anut atau mengesampingkan karakteristik agama tersebut. Apa pun caranya, saya percaya yang mereka sampaikan adalah sesuatu yang baik untuk mendiang.
***
Ketika kami sampai krematorium, latar belakang panggung untuk memberikan penghormatan terakhir sudah dihiasi dengan figur Yesus Kristus dan kutipan Filipi 1:21. Saya kaget. Ketika saya menanyakan hal ini kepada keluarga, mereka pun sudah menyatakan terkait identitas beliau kepada pihak krematorium. Namun apa daya, sepertinya pihak krematorium berasumsi bahwa mendiang beragama Kristen. Keluarga pun sudah terlalu lelah untuk memprotes karena duka. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin membuat perpisahan terakhir ini sesuai dengan keyakinan mendiang. Namun, pada akhirnya kami menyadari bahwa hal ini sulit dilakukan di Indonesia. Segala prosesi ini menjadi pelajaran bagi saya, pemahaman kita tentang keragaman dalam kehidupan beragama juga harus mencakup bagi mereka yang menyatakan diri sebagai tak beragama. Setiap orang berhak untuk mendapatkan penghormatan terakhir sesuai keyakinannya, karena kita semua tentu berharap dapat berpisah dengan cara terbaik.
______________________
Teresa Astrid Salsabila adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Astrid lainnya di sini.
Tulisan ini sudah disunting dan disetujui oleh pasangan hidup mendiang. Foto tajuk artikel ini bersumber dari Jonathan Knowles/gettyimages
Keren bestie…
Menarik banget sih. Soalnya saya sebagai masyarakat Indo yang tidak memeluk/mempercayai agama resmi manapun dan agama hanya “agama di ktp” saja blom pernah memikirkan nanti kalau meninggal bagaimana ya. Terima kasih atas tulisannya.