Mengapa toleransi tidak murah?
Leo Koffeman – 16 Juli 2018
Sebagai salah satu penyelenggara konferensi Costly Tolerance (Toleransi yang Mahal) pada 2015, saya ingat mengapa kami memberi kata sifat mahal pada toleransi. Kami ingin menekankan bahwa toleransi, persisnya toleransi yang sejati dan tulus, tidaklah murah. Ia menuntut harga yang harus kita bayar jika kita benar-benar hendak bersikap toleran. Dalam esai ini saya ingin menunjukkan hal itu dengan merujuk pada beberapa makalah terpilih dari konferensi tersebut yang telah diterjemahkan dan dikumpulkan menjadi buku berjudul Costly Tolerance: Tantangan Baru Dialog Muslim-Kristen di Indonesia dan Belanda yang diluncurkan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada Mei 2018.
Namun sebelum itu, izinkan saya terlebih dahulu berbagi satu pengamatan teologis personal. Kata ‘costly’ mengingatkan saya pada kata-kata seorang teolog Kristen Jerman yang terkenal, Dietrich Bonhoeffer. Sebagai seorang teolog muda, dia menulis sebuah buku, Nachfolge —terjemahan bahasa Inggris dari buku ini menjadi The Cost of Discipleship — pada 1937, saat era Nazi.
Dalam buku itu, Bonhoeffer menolak hal yang ia sebut “kasih karunia yang murah” (cheap grace), yaitu “pengabaran pengampunan tanpa tuntutan pertobatan, pembaptisan tanpa disiplin gereja, persekutuan/komuni tanpa pengakuan dosa. Karunia yang murah adalah karunia tanpa mengikuti ajaran, karunia tanpa salib, karunia tanpa Yesus Kristus.” Kasih karunia semacam ini tidak mahal, tidak memiliki konsekuensi. Bagi Bonhoeffer, karunia semacam ini tak bisa diterima. Kasih karunia itu mahal (costly). Ia mengubah hidup.
Kasih karunia yang murah itulah yang dilihat Bonhoeffer di Jerman masa Nazi. Penindasan terhadap orang Yahudi dan minoritas lainnya oleh rezim semakin meningkat, sedang sebagian besar pemimpin gereja tidak memiliki keberanian untuk berbicara menentang ketidakadilan dan kekerasan itu. Mereka lebih suka menyesuaikan diri dengan rezim Nazi atau bahkan secara eksplisit mendukung kebijakan Nazi. Bonhoeffer dieksekusi pada bulan April 1945 sebagai salah satu korban terakhir teror Nazi, saat ia belum berusia 40 tahun. Ia membayar harga tertinggi, yakni dengan nyawanya, karena baginya itu merupakan konsekuensi tak terelakkan dari komitmennya untuk mengikuti Yesus Kristus.
Gagasan Bonhoeffer tentang mahalnya kasih karunia ini mendekati makna yang ingin kami sampaikan ketika kami memilih tema Costly Tolerance untuk konferensi kami pada Maret 2015. Toleransi yang sejati tidaklah murah; ia menuntut harga yang mahal.
Ketika kami mengundang para sarjana untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam konferensi itu, kami mengungkapkan niatan kami dalam pengumuman undangan makalah (call for papers) dengan pernyataan berikut:
Toleransi amat penting perannya dalam masyarakat multiagama seperti Indonesia dan Belanda, meski toleransi dapat terungkap dalam ekspresi yang berbeda sebab konteksnya pun berbeda. Namun demikian, sejarah kolonialisme sama-sama memengaruhi kedua konteks, misalnya mengenai pandangan tradisional tentang Islam di Belanda yang dibentuk oleh pengalaman dan kajian dalam konteks kolonialisme dan misionari, sementara kerangka hukum kolonial berdampak pada masyarakat Indonesia.
Perdamaian dan keadilan dalam masyarakat demokratis hanya bisa berkembang jika ada sikap toleransi antaragama. Hal sebaliknya juga berlaku: toleransi semata tidaklah cukup, jika tak diiringi perdamaian, keadilan, dan demokrasi. Dengan kata lain, toleransi bukanlah nilai absolut: ia memiliki keterbatasan, karena perlu diiringi nilai-nilai lain. Toleransi yang sejati itu mahal; ia menuntut komitmen dan solidaritas.
Toleransi yang murah ialah sikap acuh tak acuh. Toleransi yang murah ialah toleransi yang menghindari perjumpaan dengan ‘orang lain’. Bersikap toleran terhadap orang-orang dari agama lain—atau ras, atau preferensi seksual, atau jenis kategorisasi lainnya—itu gampang jika mereka hampir tak pernah kita jumpai, seperti yang terjadi hingga sekitar lima puluh tahun yang lalu di Belanda ketika jumlah Muslim masih sangat kecil. Sebagian besar dari kaum Muslim saat itu adalah orang-orang Maluku yang pernah bertugas menjadi tentara kolonial Belanda serta yang datang ke Belanda setelah berakhirnya Perang Dunia II dan Indonesia telah merdeka. Sebagai minoritas yang amat kecil, mereka tak dipandang sebagai ancaman. Toleransi dalam konteks ini gampang, terlebih jika Anda tinggal di daerah monokultural, di kawasan orang-orang kulit putih (seperti saya). Baru sejak 1960-an, kondisi mulai berubah berkat datangnya ratusan ribu Muslim dari Turki dan Maroko. Kini, kita dapat menjumpai masjid di semua kota besar di Belanda. Koran-koran Belanda menulis tentang isu-isu Islam setiap hari. Kehadiran Muslim tak bisa diabaikan.
Seberapa mahal toleransi yang sejati? Apa yang membuat toleransi mahal harganya? Ketika saya membaca makalah-makalah yang dipersiapkan untuk konferensi, saya mendapati tak banyak rujukan eksplisit dalam makalah-makalah itu tentang mahalnya toleransi, meski semua makalah berisi refleksi tentang apa toleransi itu. Namun demikian, sebagian besar makalah menunjukkan dengan jelas bahwa toleransi memang tidak murah.
Dalam buku Costly Tolerance, kita akan mendapati beberapa gambaran tentang apa yang membuat toleransi mahal. Beberapa penulis fokus pada kehidupan pribadi: toleransi merupakan masalah “mengatasi ego sendiri”, seperti yang ditunjukkan Rachel Iwamony dalam pendidikan sosial informal di Maluku yang terekspresikan dalam pepatah ale rasa beta rasa (yang kau rasakan, saya rasakan). M. Alipour berpandangan bahwa toleransi menuntut “kemampuan untuk menerima sesuatu yang tidak menyenangkan” sebagaimana ditunjukkannya melalui fenomena di Iran pada akhir 1980-an ketika ulama negara itu menyadari potensi dari ijtihad dan menghasilkan fatwa yang melegalkan operasi ganti kelamin untuk Muslim transeksual.
Toleransi itu mahal karena ia berlandaskan pada kerentanan manusia, seperti yang ditunjukkan oleh Gerrit Singgih ketika ia berupaya melampaui Raymundo Pannikar yang berpandangan bahwa toleransi yang sejati hanya dapat terjadi jika pluralisme telah menjadi struktur faktual realitas, sembari menunjukkan bahwa realitas memiliki dimensi lain selain rasionalitas. Singgih berfokus pada peran penderitaan bersama dalam terwujudnya toleransi. Terkadang, misalnya dalam kasus bencana alam, Muslim dan Kristen sama-sama menderita, karena mereka sama-sama manusia yang memiliki kerentanan. Tidak ada agama yang memiliki jawaban untuk segala hal terkait penderitaan sebab bencana alam. Kesadaran dan penderitaan dalam menghadapi bencana pada gilirannya akan menghasilkan toleransi yang murni, yang berlandaskan pada kerentanan manusia itu sendiri.
Toleransi yang mahal berarti “mentoleransi sesuatu dengan tidak melarang atau menuntutnya, meskipun seseorang memiliki kekuatan untuk melakukan hal itu”, sebagaimana diungkapkan Ge Speelman, dan, saya ingin lanjutkan, mengharuskan adanya suatu pengendalian diri, bukan karena takut, melainkan karena menghormati orang-orang yang memeluk pandangan keagamaan yang berbeda.
Bagi para teolog secara khusus, yang membuat toleransi mahal ialah bahwa ia menuntut mereka untuk berpikir dengan cara-cara baru. Dibutuhkan “keberanian untuk membaca kitab-kitab suci dengan cara yang berbeda” seperti ditunjukkan Yaser Ellethy melalui argumen bahwa At-Tabari, mufassir generasi awal, menyatakan penolakannya pada pandangan yang direproduksi dalam literatur Muslim klasik selama berabad-abad bahwa ayat-ayat anti-toleransi dalam al-Quran, khususnya yang disebut Ayat Pedang (QS 9:5), membatalkan/menasakh ayat-ayat perdamaian dan toleransi.
Amin Abdullah menyerukan “mentalitas ilmiah yang baru dan segar, ijtihad yang fresh, dan cara berpikir religius yang baru.” Dia membedakan dua kelompok besar ayat-ayat al-Quran yang terkait dengan masalah keilahian dan kemanusiaan dalam Islam dan Kristen. Menurut Abdullah, (1) kelompok ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan keragaman agama dan dinamika hubungan antaragama, terutama Islam dan Kristen, dan (2) kelompok ayat yang mengandung jawaban ‘final’ al-Quran terhadap realitas teologis-sosiologis dari agama-agama—kedua kelompok itu sesunggguhnya saling terkait dan terikat, dan masing-masing menyimpan semangat dialog dan kritik. Kedua kelompok ayat itu tidak dapat ditafsirkan secara parsial, terpisah-pisah dan selektif, tetapi harus dibaca secara komprehensif, dan dengan cara pandang bahwa semua ayat itu saling berhubungan dan terkait sebagai satu keseluruhan, dengan pendekatan “sistem”, bukan pendekatan abrogasi/nasakh.
Dari perspektif Kristen, Klaas Spronk mengajukan pendekatan serupa terhadap teks-teks Alkitab yang menunjukkan bahwa Tuhan mendukung atau bahkan menuntut adanya kekerasan. Dia berpendapat: “Terlepas dari fakta bahwa percaya pada satu Tuhan, terutama ketika ia dikombinasikan dengan ketakutan, sering mengarah pada intoleransi dan kekerasan, ada jejak-jejak semangat perdamaian yang datang dari Tuhan yang sama – kita dapat menyebut ini sebagai retakan/crack dalam sistem – yang justru menunjukkan bahwa Tuhan lebih luas dari apa yang dipandang banyak kelompok garis keras ketika melihat-Nya. Dalam wacana tentang hubungan antara agama (monoteistik) dan kekerasan, fokus pada ‘retakan’ dalam kitab suci ini akan membantu mengudari ajaran toleransi di dalamnya.”
Kita semua tahu bahwa toleransi bisa sangat mahal. Lebih murah dan gampang untuk tak membahas masalah-masalah seperti itu sembari tetap patuh pada pandangan tradisional yang dianut umumnya orang dalam komunitas agama tertentu, sebab jika kita tak demikian, kita akan mendapat perlawanan, dalam bentuk penolakan, fitnah, atau dianggap berkhianat terhadap komunitas sendiri.
Namun sejarah, baik dalam agama Kristen maupun Islam, telah mencatatkan tokoh-tokoh yang bersedia dengan tulus menghadapi konsekuensi-konsekuensi seperti itu. Ini membawa kita kembali ke Bonhoeffer. Dia telah membayar harga tertinggi, nyawanya, dalam memperjuangkan toleransi, keadilan, dan perdamaian yang sejati. Seperti apakah sejarah, dan seperti apakah dunia kita, tanpa tokoh-tokoh yang berani berkorban itu?
____________
Tulisan ini merupakan terjemahan oleh Turabul Aqdam dari esai versi modifikasi dari makalah yang dipresentasikan Prof. Koffeman dalam acara peluncuran buku Costly Tolerance di UIN Sunan Kalijaga pada 8 Mei 2018. Baca versi asli esai ini dalam bahasa Inggris: What makes tolerance costly?