Menggali Gaia
Hanny Nadhirah – 30 Oktober 2023
Bagaimana jika bumi yang kita sebut sebagai rumah, pada kenyataannya, adalah entitas hidup?
Pertanyaan di atas menjadi titik perbincangan pada peluncuran buku God and Gaia: Science, Religion, and Ethics on a Living Planet pada Wednesday Forum edisi spesial yang berlangsung di auditorium Sekolah Pascasarjana UGM (11/10). Peluncuran buku tersebut dihadiri oleh sang penulis, Michael S. Northcott yang kini menjadi adjunct professor di Universitas Gadjah Mada. Ia berbagi temuannya dalam mengonfigurasi ulang hubungan antara sains, agama, dan etika pada kehidupan di bumi ini.
Selama 700 tahun terakhir, perkembangan teknologi dan industrialiasi bangsa-bangsa di Eropa berdampak signifikan terhadap kerusakan lingkungan. Fenomena ini diperparah dengan doktrin-doktrin pembangunan yang melegitimasi eksploitasi di Eropa dan melandasi kolonialisme di negara-negara lain. Di berbagai wilayah, doktrin pembangunan tersebut mempunyai konsekuensi ekologis dan sosial yang serius. Sebagai ilustrasi, Northcott memberikan studi kasus di Kalimantan yang mengalami degradasi lingkungan akibat pertambangan dan konversi lahan besar-besaran sejak zaman kolonial. Kerusakan ekologis yang berkepanjangan ini pada akhirnya mengganggu keseimbangan kehidupan di bumi. Menurut refleksinya, kehancuran lingkungan terus terjadi karena sebagian besar manusia masih menganggap bumi sebagai benda mati, sekadar entitas yang tak hidup.
Menengok Gaia
“Perhaps, the single most important thing we can do to undo the harm we have done is to fix firmly in our minds the thought: the Earth is alive.” – James Lovelock
Teori Gaia, atau sering disebut sebagai “Hipotesis Gaia,” merupakan teori yang dicetuskan oleh James Lovelock dengan kontribusi dari Lynn Margulis. Tesis utama dari teori Gaia yaitu pengakuan bahwa Bumi adalah entitas hidup yang mampu mengatur dirinya sendiri dan Kehidupan merupakan bagian integral dari Bumi yang saling memiliki keterhubungan.
Lovelock sengaja menulis istilah “Earth” atau “Bumi”, serta “Life” atau “Kehidupan” menggunakan huruf kapital untuk menegaskan gagasan bahwa “Bumi” merupakan sebuah entitas yang hidup. Sementara “Kehidupan” merepresentasikan kumpulan dari semua makhluk hidup dan ekosistem di “Bumi”. Berbeda dengan teori evolusi Darwin yang berfokus pada tingkah laku spesies sebagai individu, teori Gaia menekankan Bumi dan segala isinya sebagai sebuah sistem menyeluruh yang ikut berperan aktif dalam mengatur kehidupan di planet ini.
Menurut Northcott, premis tersebut menawarkan alternatif baru untuk menjawab pertanyaan terkait krisis ekologis selama ini. Dalam mengatasi krisis, teori ini melihat bahwa pemulihan lingkungan bergantung pada Bumi dan spesies-spesies di dalamnya, terutama manusia. Dengan kata lain, segala aktivitas yang dilakukan manusia harus mempertimbangkan keseimbangan antara “Kehidupan” dan “Bumi” sebagai satu kesatuan sistem utuh. Yang menarik, teori Gaia—yang lahir dari tradisi ilmiah—membuka pintu bagi perpaduan sains dan agama dalam menanggapi krisis ekologi. Northcott mengemukakan, premis teori Gaia berbagi kesamaan dengan berbagai ajaran agama terkait relasi manusia dengan alam.
Berdasarkan penelusurannya, profesor emiritus dari University of Edinburgh ini menggarisbawahi bahwa teori Gaia ini memiliki benang merah dengan sebagian besar budaya dan tradisi keagamaan pramodern. Dalam Taoisme misalnya, konsep Tao merupakan prinsip yang mendasari keterkaitan dan ketergantungan semua unsur di alam semesta. Konsep ini serupa dengan teori Gaia yang menekankan keterkaitan semua komponen kehidupan. Contoh lain lagi berasal dari ajaran Trinitas dalam Hindu. Tiga dewa utama dalam trinitas Hindu mewakili aspek yang berbeda dan saling berkait yaitu dari Brahma sebagai unsur penciptaan, Wisnu sebagai representasi pelestarian, dan Syiwa yang bertindak dalam proses peleburan. Konsep ini mencerminkan sebuah siklus kehidupan, dengan fokus pada pemeliharaan dharma (kebenaran) dan keseimbangan. Dengan kata lain, ajaran ini berbagi kesamaan dengan teori Gaia yang melihat bahwa Bumi adalah entitas dinamis dan terus mengalami siklus penyeimbangan. Kesamaan pandangan antara teori Gaia dan keyakinan agama-agama yang berbeda ini menjadi landasan awal untuk membentuk sebuah pandangan yang holistik untuk menangani masalah lingkungan global.
Etika Gaia untuk Keberlanjutan Bumi
Salah satu simpul masalah dalam penanganan kerusakan lingkungan secara global ialah pengabaian tradisi keagamaan. Padahal dalam tradisi keagamaanlah kita dapat menemukan upaya penyeimbangan manusia dan alam melalu relasi yang saling bertaut. Northcott pun memberi studi kasus pada tradisi Subak, sebuah tradisi lokal yang mengatur sistem pertanian di Bali. Subak merupakan manifestasi dari filosofi Hindu, Tri Hita Karana (THK), yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara sesama manusia, manusia dan alam, serta manusia dan Sang Pencipta. Dalam masyarakat Bali, tradisi Subak tidak dapat digantikan oleh sistem pertanian modern yang kerap meminggirkan adat dalam implementasinya. Gerakan Revolusi Hijau yang sempat dikampanyekan pada tahun 1970-an ternyata tidak dapat memberikan manfaat yang diharapkan bagi ekosistem pertanian di Bali. Alhasil, masyarakat berinisiatif untuk kembali ke tradisi Subak yang selama ratusan tahun telah terbukti memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hasil panen. Berkaca pada kasus tersebut, integrasi nilai ekologis ke dalam agama dan budaya masyarakat dapat memberikan landasan etis yang kuat dalam menjaga keseimbangan Bumi.
Northcott juga melihat urgensi bagi tradisi keagamaan untuk menghidupkan kembali kisah-kisah kuno tentang keharmonisan antara manusia dan alam serta menekankan narasi tentang hubungan simbiosis keduanya. Tradisi memiliki signifikansi dalam menghidupkan kembali kepedulian masyarakat terhadap keseimbangan ekosistem, baik di daratan maupun di lautan. Melalui tradisi keagamaan pula kita diingatkan bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang penting bagi keberlangsungan semesta. Banyak tradisi di berbagai wilayah yang memuat narasi hewan sebagai makhluk yang mampu menjalin hubungan dengan makhluk-makhluk mistis lainnya. Dalam Tanakh di tradisi Yahudi misalnya, terdapat narasi terkait hewan yang berperan sebagai pembawa pesan ilahi. Hal ini menunjukkan bahwa komponen-komponen kehidupan lain juga hadir di Bumi dengan misi yang sama pentingnya. Tradisi-tradisi semacam ini diharapkan dapat membentuk kembali habitat di Bumi yang mendukung kesejahteraan semua bentuk kehidupan, tidak terbatas pada manusia.
Di akhir presentasi, Northcott kembali menggarisbawahi bahwa teori Gaia—yang lahir dari tradisi sains—dapat menjadi jembatan penghubung dengan tradisi-tradisi agama. Peran keduanya sangat vital untuk menanggulangi masalah kerusakan ekosistem dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
______________________
Hanny Nadhirah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Hanny lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari Syamshul/Wikimedia Commons/CC-BY-SA-4.0 (2018).